- A Adib
TAHUN Baru Hijriyah diyakini banyak pemikir Islam sebagai era kebangkitan Islam, bahkan menjadi titik balik kemenangan perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Setiap tahun kita memeringati tahun baru Islam ini, termasuk Tahun Baru 1430 Hijriyah, yang jatuh pada Senin (29/12) kemarin.
Namun, sudahkah secara substansial ada pencerahan di tubuh umat dengan berlalunya tahun baru demi tahun baru itu? Sudahkah semangat energizing berhasil kita serap dari momentum yang menjadi titik balik kemenangan tersebut?
Harus diakui, hingga kini masih banyak permasalahan umat yang belum tuntas diupayakan solusinya, termasuk masalah perdamaian dan persatuan umat.
Adalah Khalifah Umar bin al-Khatthab yang menyampaikan gagasan dan keputusan tentang perhitungan Tahun Islam didasarkan pada peristiwa hijrah Rasulullah. Ketika dideklarasikan, Tahun Islam telah berusia 17 tahun, jatuh pada tanggal 8 Rabiul Awal, bertepatan dengan 639 Masehi.
Keputusan Umar bin al-Khatthab itu mempunyai alasan yang sangat mendasar dan pandangan yang visioner. Hijrah adalah bentuk perjuangan multidimensional yang sangat bersejarah, berwawasan jauh ke depan bagi kemajuan Islam.
Hijrah adalah tonggak sejarah yang perlu diabadikan generasi berikutnya dalam bentuk perjuangan, sejalan dengan nilai hijrah itu sendiri.
Progresif, Heroik
Sebelum diambil keputusan, sempat muncul beberapa usulan. Ada yang berpendapat sistem perhitungan Tahun Islam didasarkan pada kelahiran Rasulullah, didasarkan pada turunnya wahyu pertama, didasarkan peristiwa kemenangan Perang Badar, dan masih banyak lagi. Berbagai argumentasi pun merebak.
Usulan Khalifah Umar memiliki alasan kuat dari berbagai sudut pandang, sehingga diterima. Pertama, dari sisi akidah, hijrah adalah perjuangan progresif dan heroik dengan pengorbanan yang total; jihad melawan kekufuran dan usaha pemurtadan dari kaum jahiliyah musyrikin Quraisy untuk tetap mempertahankan keimanan dan keleluasan beribadah semata-mata mencari rahmat Allah SWT.
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Baqarah: 218). Hijrah terbukti telah memenangkan iman, dan menghancurkan kekufuran serta kemusyrikan.
Dari masalah ekonomi, hijrah adalah bentuk perjuangan melawan dominasi ekonomi yang tidak adil (kapitalis) dan mencari solusi atas embargo ekonomi yang kejam yang dilancarkan oleh kaum jahiliyah musyrikin Quraisy terhadap kaum muslimin. Dengan hijrah, maka terbangunlah tatanan ekonomi yang adil dan berkecukupan.
”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa’: 100).
Dari sisisi sosial budaya, hijrah adalah bentuk perjuangan memberantas penyakit sosial jahiliyah (kebodohan), seperti judi, miras, pelecehan terhadap perempuan, dan retaknya hubungan persaudaraan. Juga perjuangan membela kaum dhuafa, fakir, miskin, akibat tekanan dan pengasingan terus-menerus dari kaum jahiliyah musyrikin Quraisy terhadap umat Islam. Dengan hijrah, maka terwujudlah rehabilitasi sosial.
”(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah, yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridlaan-Nya, dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar” (QS al-Hasyr: 8).
Dari sudut kesetaraan gender, hijrah adalah bentuk perjuangan mengangkat tinggi martabat perempuan dari kebiasaan orang kafir Quraisy, seperti membunuh anak-anak perempuan mereka. Orang-orang jahiliyah merasa malu memiliki anak perempuan, dan tidak segan-segan membunuh serta mengubur hidup-hidup anak yang terlahir sebagai perempuan.
Kedamaian
Dari dimensi politik dan hukum, hijrah adalah bentuk perjuangan membebaskan diri dari cengkeraman politik jahiliyah kaum musyrikin Quraisy yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Hijrah telah mewujudkan tatanan masyarakat yang menghargai persamaan hak, menjamin kebebasan dan kemajemukan, menegakkan kebenaran, keadilan dan tatanan masyarakat yang demokratis.
”Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui” (QS an-Nahl: 41).
Beberapa tahun setelah Nabi Muhammad hijrah dan menetap di Madinah, kota ini masih sebagai komunitas dengan penduduk muslim, musyrik, dan Yahudi. Muslim itu sendiri terdiri atas kaum muhajirin (pendatang dari Makkah) dan anshar (penduduk asli terdiri atas suku Aus dan Kharraj, dan saat itu belum bisa disebut negara.
Nabi Muhammad menjadi pemimpin komunitas Madinah. Untuk menciptakan tata pergaulan masyarakat yang damai, beliau membuat kesepakatan bersama dengan beragam penduduk kota, yang dikenal dengan Piagam Madinah. Substansi dari Piagam Madinah adalah kesepakatan prulalisme.
Masing-masing warga mempunyai kewajiban untuk menjaga stabilitas keamanan Madinah, dan semua warga mempunyai hak yang sama dalam mendapat keadilan, kebersamaan hak memeluk agama, dan menjalankan ibadah.
Sebagi pemimpin komunitas Madinah, Rasulullah memberi contoh realisasi pelaksanaan piagam. Misalnya, ketika mayat orang Yahudi lewat, beliau mengajak sahabat-sahabatnya untuk berdiri sebagai tanda penghormatan. Bahkan beliau menegaskan: ”Man qotala dhimmiyan faal khasna (Barang siapa membunuh orang nonmuslim dhimmy, maka akan berhadapan dengan saya, sayalah advokadnya)”.
Ketika Nabi Muhammad menerima kunjungan dari tokoh Kristen dari Bani Najran, Allah memerintahkan untuk mengatakan: ”Mari kita mencari kebenaran siapa, atau kebenaran itu ada pada kami atau pada Anda”.
Dalam kisah lain, penggede Kristen dari Bani Najran itu ikut membela Nabi Muhammad ketika diserang kafir Mekkah setelah adanya Piagam Madinah. Ketika sang pendeta itu gugur dalam perang, seluruh hartanya diwariskan kepada Rasulullah. Subhanallah !
Di bidang ekonomi, Nabi Muhammad memberi contoh kerja sama di bidang pertanian. Dalam Hadist Muslim (Bab Massyaqat (Pengairan)), Nabi mengatakan: ”Aku mengerjakan pengairan tanah milik penduduk Khaibar (Yahudi—Red) dengan pembagian separo dari penghasilan” (HR Imam Muslim).
Pesan Hijrah
Berangkat dari pesan hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad telah meletakkan dasar-dasar bermasyarakat, memerangi kejahiliyahan (kebodohan) dengan menekankan pendidikan, membangun kesetaraan dalam keadilan, serta penegakan hak asasi masnusia (HAM).
Rasulullah telah memberi contoh soal kedamaian dalam aplikasi Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam dan seisi di dalamnya), melalui pesan yang diciptakan untuk membangun peradaban manusia yang prural di Madinah saat itu. Itulah pesan yang bisa ditangkap dari peristiwa hijrah Rasulullah.
Jika menengok peristiwa yang terjadi 1.430 tahun lalu, yang dicontohkan melalui peristiwa hijrah Nabi Muhammad, tidak ada alasan untuk memandang Islam dengan wajah kekerasan, dan mengeksploitasi kekerasan atas nama Islam. Ya, Rasulullah memberi contoh sebagai peletak dasar agama dengan kasih sayang (rahmatan) bagi semua manusia. (32)
—A Adib, wartawan ”Suara Merdeka” di Biro Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar