Selasa, 09 Desember 2008

Menggugat Tafsir Hermeneutis Kurban


Yusuf Burhanudin
Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir, Staf Pengajar STAPI Garut.


''Anda mengharapkan kesuksesan, tetapi tidak menjalani prosesnya, sesungguhnya perahu tidak mungkin berlayar di atas daratan.'' (Imam Syafii).

Mendekati musim kurban, selalu ramai perbincangan pentingnya tafsir hermeneutik syariat kurban. Syariat kurban berupa ritus penyembelihan hewan yang berlangsung selama ini dinilai tidak memenuhi kualifikasi kemaslahatan kemanusiaan terutama seiring dengan maraknya korban bencana yang mendesak segera dibantu. Tafsir ini kemudian meniscayakan syariat kurban sangat mungkin diganti dengan nilai uang (qimah).

Pendapat ini muncul berdasarkan pada asumsi teologis maupun pertimbangan teknis. Pertama, alasan teologis agama harus untuk kemaslahatan kemanusiaan dan sesuai setting kekinian.

Syariat kurban, menurut sang pengusung ide, terlalu asyik dengan pembinaan kesalehan ritual formal, tetapi mengabaikan hikmah sosial. Model penghayatan agama yang selalu mementingkan ritus dinilai sebagai agama angkuh yang tidak duniawi (membumi) sekaligus juga tidak manusiawi.

Kedua, syariat kurban yang dilaksanakan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad sangat berbeda dengan setting masa kini. Maka, syariat kurban yang diperuntukkan bagi fakir miskin menjadi sangat mungkin diganti dengan nilai uang.

Sebagai contoh, jika harga seekor sapi Rp 10 juta, maka harga 10 ekor sapi Rp 100 juta. Kalau dibagikan pada seribu orang, setiap orang menerima Rp 100 ribu. Akan lebih produktif lagi jika dana yang terkumpul itu digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, pelatihan kerja, infrastruktur fisik, beasiswa, maupun panti rehabilitasi korban bencana alam.

Sepintas ide itu menarik. Namun, jika menggunakan metodologi fikih, kita akan menemukan pendapat itu keropos metodologi sehingga cenderung absurd, ahistoris, dan distorsif.

Pandangan fikih
Mengganti hewan kurban dengan uang tidak dikenal dalam literatur fikih. Upaya menganalogikan kurban dengan zakat yang bisa diganti nilai uang analogi yang rusak dan kontraproduktif. Selain tidak berlaku qiyas (analogi) dalam ibadah, di mana tiap-tiap ibadah harus berdasarkan dalil dan nash yang independen dari ibadah lainnya sehingga tidak terjadi pencampuradukan kaefiat satu ibadah dengan lainnya, juga karena pokok maupun 'ilat hukum (sebagai prasyarat qiyas) kurban dan zakat berbeda.

Selaras keputusan Komisi Fatwa MUI yang tidak memperbolehkan mengganti hewan kurban dengan uang, dalam seminar ketujuh Haiah Kibar Al-Ulama (Lembaga Ulama Besar) Saudi Arabia yang diselenggarakan di Taif pertengahan Sya'ban 1395 H, memutuskan tidak boleh mengganti hewan kurban dengan uang dan yang senilai dengannya berdasarkan Alquran, Sunah, dan ijma' (konsensus ulama). Ini karena yang dimaksud kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih kurban (QS Al-Hajj [22]: 37). Dalam ketetapan itu ditegaskan, mengganti kurban dengan uang akan mengarah kepada mempermainkan hukum Islam.

Yang dituju dalam kurban adalah kebaikan sosial, misalnya kita tak perlu repot mengeluarkan biaya banyak untuk berkurban. Pendapat ini menilai pembagian hewan kurban mubazir.

Benar bahwa agama termasuk pertimbangan fikih di dalamnya memerhatikan kemashalatan manusia. Namun, pertimbangan ini tidak diukur semata dari parameter manusia dan pragmatisme duniawi. Tapi, juga menimbang dimensi ilahiyah dan prioritas ukhrawi.

Praktik ibadah hak prerogatif Allah. Prinsip beribadah adalah tauqifi, menunggu perintah dan sesuai contoh Rasul. Praktik ibadah otoritas wahyu sehingga siapa pun tidak dibenarkan mengubah cara yang dicontohkan Nabi SAW.

Hanya karena terik mentari di siang hari, misalnya, kita begitu saja menukar rakaat Shalat Dzuhur menjadi dua rakaat diganti Shubuh empat rakaat karena ditunaikan di pagi hari saat badan masih segar bugar. Inilah salah satu contoh salah kaprah jika saja otoritas akal manusia turut serta dalam menentukan kaefiat ibadah yang tsawabit.

Karena watak ibadah yang formalistik dan mengikat itulah maka perilaku menambah-nambah atau mengurangi aturan ibadah sama saja sikap sok tahu daripada Rasulullah SAW. Nabi SAW diutus sebagai penunjuk kebenaran bukan semata mengajarkan doktrin filosofis, tapi juga petunjuk teknis (tata cara ibadah). Jika kebenaran filosofis (akidah) saja yang dirisalahkan, sementara teknisnya tidak diuraikan, bisa jadi cara menyembah Allah dengan ritual agama Majusi bisa dibenarkan.

Menurut Prof Dr Abu Suud (2008), kalau penafsiran hermeneutis itu terjadi elaborasi dalam pemahaman agama sebagai ajaran pragmatisme, akibatnya tidak diperlukan lagi penghayatan transendental maupun kekhusyuan ilahiyah dalam pengamalan agama. Motivasi ukhrawi secara sistematis, tapi pasti mulai dijauhkan dan menjadi lenyap dari pengamalan. Ajaran agama menjadi tidak lain ajaran materialistis dan pragmatis. Semuanya dilaksanakan hanya atas dasar kepentingan duniawi.

Pada ritus kurban, misalnya, bisa dikembangkan atau digeser secara kontekstual sesuai kepentingan sewaktu. Proses analogi liar itu gilirannya menghasilkan asumsi bahwa shalat bisa digeser menjadi introspeksi dan semedi, zakat diganti pajak, puasa cukup dengan diet, dan seterusnya.

Prinsip kemaslahatan
Teori kemaslahatan atau al-maslahah dalam fikih ada tiga macam. Mashlahat yang dinilai berdasarkan ijma', mashlahat yang ditiadakan berdasarkan ijma', dan mashlahat yang dibebaskan. Membayar kurban dengan uang, termasuk mashlahat yang ditiadakan karena bertentangan dengan beberapa dalil dan karenanya tidak boleh diberlakukan.

Kemaslahatan yang didengungkan fikih Islam bukanlah kemaslahatan nisbi dan absurd. Tapi, kemaslahatan metodologis yang memedulikan dimensi ukhrawi dan duniawi secara sekaligus. Mementingkan salah satu dimensi berkonsekuensi serius pada tercerabutnya fleksibilitas agama sehingga menjebak pelakunya pada dua perilaku terlarang dalam beragama.

Memakemkan ritus kurban bukan karena miskin tafsir ijtihad dan kurang adaptif pada asas modernitas, seperti yang selama ini dituduhkan, tapi justru karena kemiskinan sang pengusung ide dalam memahami ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh.

Bukankah untuk sumbangan bencana alam, sederhananya, bisa menggunakan ruang ibadah lain seperti infak, sedekah, dan zakat? Sepakat dengan pendapat Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin, tahun silam, kurban dan sumbangan untuk korban bencana sama-sama penting. Sama-sama keliru jika demi menolong korban bencana alam harus mengganti ritus kurban atau sebaliknya demi menunaikan ritus kurban, tetapi mengabaikan korban bencana.

Pesan Imam Syafii di atas hendak menyapa kalangan yang hanya peduli substansi, tetapi abai praktik. Padahal, menurut logika saja untuk menempuh tujuan selalu membutuhkan sarana atau perantara. Demikian pula dalam beribadah harus ada keberiringan antara praktik dan implikasi.

Ikhtisar:
- Ibadah kurban parameternya adalah fikih, bukan filsafat.
- Terjadi elaborasi dalam pemahaman agama sebagai ajaran pragmatisme dalam penafsiran hermeneutis.

(-)

Tidak ada komentar: