Jumat, 15 Januari 2010

Senja Kala Sekularisme


Jumat, 15 Januari 2010 | 02:58 WIB

KOMARUDDIN HIDAYAT

Anda tidak perlu Tuhan untuk berperang. You don’t need God for a war, demikian John Micklethwait, pemimpin redaksi majalah The Economist, bersama Adrian Wooldridge seorang kolumnis, dalam karyanya God is Back. Buku setebal 405 halaman ini menyajikan fakta sosial seputar kebangkitan keyakinan agama yang meramaikan panggung politik global di awal abad ini.

Jika Anda naik pesawat terbang dan mendarat di Bandar Udara Nashville, Tennessee, Amerika Serikat, Anda akan disambut tulisan selamat datang: Music City, USA. Menurut Micklethwait, mestinya ditambah lagi dengan papan nama: Faith City, atau Jesus City, bahkan lebih mengena: Southern Baptist City, mengingat di kota ini terdapat sedikitnya 700 gereja, 65 persen penduduknya mengaku religius. Nashville juga dikenal sebagai kota produsen buku-buku dan kaset keagamaan yang diekspor ke seluruh dunia. Banyak penyanyi papan atas melakukan rekaman lagu-lagu keagamaan di kota ini, sebut saja Hank Williams, Johnny Cash, atau Carrie Underwood.

Penggemar lagu-lagu gereja tak akan sulit mencari kaset semisal Jesus Remembered Me, Jesus Dies for Me, How Can You Refuse Him Now?, I Talk to Jesus Everyday, dan lainnya. Suasana batin ini jauh berbeda dengan akhir abad ke-19 ketika seluruh universitas papan atas AS menggusur ke pinggir posisi agama. Now God is returning to intellectual life, tulisnya. Dulu orang belajar agama dianggap aneh atau semacam hobi bagi sekelompok orang, tetapi sekarang belajar agama merupakan hal yang lumrah, bahkan suatu kebutuhan.

Rapuhnya institusi keluarga dan berkembangnya demoralisasi sosial telah ikut mendorong pertumbuhan agama yang sangat mengesankan. Dikatakan, Islam and Pentecostalism today occupy a ”social space” analogous to early twentieth century socialism. Marx has reemerged in the guise of radical imams and Pentecostal preachers.

Pisau bermata dua

Janji-janji surga dunia ideologi besar marxisme dan kapitalisme yang tidak kunjung tiba telah ikut mendorong agama untuk tampil kembali. Ada kerinduan dan harapan masyarakat modern terhadap agama. Namun, agama yang berkembang dalam masyarakat yang kian mengglobal ini tampil semakin warna-warni, beragam paham dan keyakinan. Keragaman agama ini sekaligus juga potensial menimbulkan konflik. Oleh karena itu, kehadiran kembali agama ini dalam waktu yang sama juga menimbulkan ketakutan, dikhawatirkan akan semakin mengintensifkan konflik dan perang atas nama Tuhan. Ketakutan ini cukup beralasan mengingat perang atas nama Tuhan memang memiliki sejarah panjang.

Konflik agama bisa dibedakan menjadi dua, yaitu konflik internal antarsekte dan konflik eksternal, yaitu melawan agama lain. Konflik antara Protestan dan Katolik dan antara Sunni dan Syiah, misalnya, telah menelan korban ribuan nyawa dan menyisakan luka di antara mereka. Dalam ranah global, dua agama yang selalu menyimpan konflik adalah antara Kristen dan Islam. Agama Yahudi terbatas hanya untuk keturunan Israel, Hindu lebih berpusat pada rakyat India, Tao dan Konghucu untuk orang-orang China Daratan dan perantauan, dan Shinto lebih banyak bagi masyarakat Jepang.

Namun, konflik internal antarsekte juga sangat fenomenal. Di kawasan Timur Tengah, terutama Irak dan Lebanon, konflik berdarah-darah antara kelompok Sunni dan Syiah diperkirakan masih akan berlanjut terus. Contoh ini bisa ditambah dengan menyajikan kasus Ahmadiyah di Indonesia yang dihujat dan diserang oleh mayoritas Sunni. Bukanlah mustahil, kalau suatu saat Syiah membesar sangat mungkin akan muncul konflik seperti di Irak.

Jadi, meskipun gerakan agama kembali bangkit, masih ada pertanyaan besar, apa jaminannya bahwa kebangkitan agama akan memberikan kehidupan lebih baik di masa depan? Di sini muncul keraguan di balik God is Back. Tanpa melibatkan Tuhan saja berbagai peperangan yang sadis dan brutal terjadi di mana-mana. Terlebih lagi jika emosi agama ikut hadir menambah amunisi peperangan. Micklethwait mengatakan, kebangkitan agama akan melipatgandakan jumlah orang yang siap untuk saling berbunuhan dengan alasan agama. Konfrontasi antara nuklir Iran di satu pihak dan Israel serta Amerika di pihak lain pasti akan menggema ke seluruh dunia dan orang pun akan segera menafsirkan sebagai perseteruan agama.

Perseteruan antara India dan Pakistan soal Kashmir pasti akan melibatkan emosi keagamaan meskipun pada dasarnya merupakan persengketaan wilayah. Belum lagi di Filipina dan Indonesia, hubungan antara minoritas dan mayoritas Islam-Kristen juga selalu menyimpan bara konflik. Namun, tanpa melibatkan Tuhan dan agama sesungguhnya manusia telah mengukir sejarah konflik berdarah-darah dan berkesinambungan. Abad dua puluh adalah abad paling sekuler dan sekaligus paling berdarah-darah. Apa yang disebut ”the Godless religions of Nazism and Communism” telah membunuh puluhan juta manusia. Begitu juga pembantaian di Kamboja, Kongo, dan Rwanda, kesemuanya sama sekali tidak melibatkan nama Tuhan. Lalu terorisme yang terjadi di Sri Lanka dan Eropa juga bersifat sekuler.

Dengan kata lain, akar terorisme tidak selalu dimotivasi oleh agama. Bahkan, dalam berbagai kasus agama dijadikan jubah dan penambah amunisi, padahal akarnya bisa jadi adanya dominasi mayoritas terhadap minoritas atau kekuatan asing yang akan menguasai atau menjarah wilayah bangsa lain.

Politik identitas

Di tengah maraknya gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia, salah satu konsekuensi yang kurang diperhitungkan sebelumnya adalah munculnya gerakan politik identitas. Proses demokratisasi yang tidak disertai penegakan hukum, partsipasi pendidikan dan kesejahteraan sosial yang merata, maka politik identitas untuk memperjuangkan kelompok etnis dan agama akan semakin menguat. Fenomena ini mesti dicermati dan diantisipasi di Indonesia.

Agenda kelompok berdasarkan kepentingan etnis, daerah, agama, dan parpol mendapatkan ruang manuver secara leluasa dengan dalih hak asasi dan demokrasi. Indonesia sebagai negara bangsa yang masih amat muda, sementara korupsi masih akut, lalu pemerintah yang tengah berkuasa sangat diwarnai politik balas budi dan perkoncoan, sangat rawan untuk menghadapi menguatnya politik identitas yang jika kebablasan akan memperlemah demokrasi dan kohesi bangsa. Terlebih lagi jika ideologi transnasional yang tidak setia pada semangat kemerdekaan RI dan Pancasila ikut bermain.

Jadi, tanpa melibatkan Tuhan saja potensi konflik antardaerah dan etnis cukup rawan. Dan itu sudah terjadi. Terlebih lagi jika memperoleh amunisi tambahan berupa ketidakadilan ekonomi dan pendidikan serta sentimen agama, maka proses demokratisasi yang kita perjuangkan akan digerogoti oleh konflik antarkelompok kepentingan yang tidak rasional. Slogan Bhinneka Tungal Ika, keragaman dalam kesatuan, beralih menjadi perseteruan dalam keragaman yang tidak kunjung reda.

Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Sabtu, 09 Januari 2010

Spirit Perlawanan dan Perubahan Sikap


Sabtu, 9 Januari 2010 | 02:46 WIB

Keagamaan Sepekan silam jemaah haji kelompok terbang terakhir tiba di Indonesia. Sebagai perjalanan ibadah, sekitar 207.000 anggota jemaah Indonesia pada musim haji 2009 atau 1430 Hijriah ini diharapkan bisa menyemai nilai-nilai haji seperti solidaritas, kesetaraan, perdamaian, kasih sayang, perjuangan, serta perubahan sikap dan perilaku yang lebih baik. Hal-hal itu terasa sangat dibutuhkan ketika bangsa ini terus-menerus diguncang prahara kegamangan moral. Subhan SD

Sebagai dimensi ritual personal, ibadah haji telah melahirkan pengalaman rohani yang luar biasa bagi seorang Muslim. Namun, dimensi sosiologis-politis haji juga begitu kuat dan telah melahirkan transformasi intelektual yang menimbulkan spirit baru di kalangan komunitas Muslim. Bahkan, haji menjadi motor penggerak perubahan sikap dan perilaku, yang dalam catatan sejarah mampu menjadi motor pergerakan sosial.

Haji merupakan forum pertemuan umat Islam sedunia. Berbagai bangsa menyatu dalam lautan tawaf mengelilingi Kabah, beriringan dalam rombongan sai antara Safa dan Marwah, melebur dalam wukuf di Arafah, hingga bergandengan bersama dalam melawan ”kejahatan” di Jamarat Mina. Pertemuan umat Islam sedunia itu, dengan membawa kultur dan pengetahuan masing-masing, telah memberikan warna baru dalam pergaulan sesama Muslim. Bukan hanya dalam pemahaman kebudayaan yang multiras, tetapi juga ideologi secara politis.

Perjalanan haji telah melahirkan ikatan solidaritas yang lekat di dunia Islam dan kebangsaan, yang menggairahkan spirit keagungan Islam yang rahmatan lil alamin. Kekuatan haji secara ideologis-politis sangat kental saat perjalanan haji mulai diminati pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Haji menjadi semacam media baru perlawanan terhadap kolonialisme Barat (Eropa) yang menganeksasi negara-negara di Asia dan Afrika. Bahkan, perlawanan berlatar agama (Islam) yang dipimpin para haji bisa dikatakan menjadi prolog yang mendahului pergerakan nasional (kebangsaan).

Dalam kisah-kisah klasik sejarah pergerakan rakyat di Indonesia, peran kaum haji atau kaum putih menjadi pemompa semangat perlawanan dalam menentang kolonialisme sangatlah jelas. Kaum elite agama, khususnya para haji, telah melahirkan etos perlawanan dengan semangat kebangkitan agama (revivalisme). Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebutnya sebagai gerakan religio-politik. Pola perlawanan itu juga tumbuh subur dalam bingkai gerakan tarekat yang memperkuat radikalisasi agama.

Salah satu kisah yang sangat fenomenal adalah peran dominan haji sebagai penggerak dalam perlawanan sosial di Banten (1888), selain gerakan-gerakan sosial lainnya semisal peristiwa Cikande, Banten (1845), gerakan Haji Rifangi/Rifai di Jawa Tengah, atau skala lebih kecil perlawanan Haji Entong Gendut di Condet, Jakarta (1916), hingga merintis pergerakan nasional pada awal abad ke-20.

Perang Diponegoro (1825-1830) juga tak lepas dari peran Kiai Maja yang menjadi pemimpin spiritual penyuntik semangat perang agama. Bahkan tak perlu dipertanyakan lagi soal peran ulama dalam Perang Aceh (1873-1904) dalam mengobarkan perjuangan di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Perang Aceh merupakan perang tersulit yang ditumpas penguasa kolonial.

Saking takutnya penguasa kolonial hingga muncul ketakutan terhadap para haji (haji fobia). Bahkan, bukan hanya gerakan mereka yang ditakuti, simbol-simbol haji juga menjadi momok bagi penguasa kolonial. Misalnya saja, pascaperlawanan petani di Banten, Residen Banten meminta pemerintah kolonial agar memerhatikan pakaian haji. Memang, pengenaan pakaian haji sebagai simbol mereka yang telah pergi ke Mekkah menunaikan rukun Islam kelima makin tersebar luas di Banten. Kebiasaan pemakaian simbol itu dinilai potensi berbahaya karena mereka yang berpakaian haji sangat dihormati di kalangan masyarakat.

Komunikasi luas

Bagi Muslim, Mekkah merupakan pusat kosmis. Bukan hanya menjadi titik sentral beribadah dan kiblat bersujud, tetapi juga menjadi pusat ilmu pengetahuan. Haji telah mengukuhkan sistem komunikasi yang luas di dunia Islam. Tidak hanya tukar informasi dari belahan Islam di dunia lainnya, tetapi juga pertemuan gagasan-gagasan baru. Isu-isu pan-Islamisme menjadi sesuatu yang terbuka diterima kaum haji dari Indonesia. Kebangkitan pan-Islamisme semakin menguat ketika Barat terus melakukan penaklukan terhadap bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

Pengalaman sosiologis haji memungkinkan terjadinya pertukaran informasi, budaya, kultur, ilmu pengetahuan sesama Muslim dan seluruh penjuru dunia. Bahkan, di Mekkah, justru jemaah haji Indonesia bisa bertemu dan berkomunikasi di antara penduduk Nusantara seperti dari Jawa, Padang, Palembang, Banten, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara. Saat itulah para haji bisa mengetahui apa yang terjadi di wilayah lain di Nusantara. Snouck Hurgronje, penasihat masalah pribumi pemerintah kolonial Belanda yang pernah bermukim di Mekkah (1884-1885), menceritakan, para haji dari seluruh Nusantara kala itu justru membicarakan perlawanan rakyat Aceh.

Tak mengherankan, bila Snouck Hurgronje menyatakan, Mekkah merupakan tempat persemaian fanatisme keagamaan. Bagi sosok penting dalam penaklukan Islam di Indonesia itu, para haji ditanamkan rasa permusuhan terhadap penguasa kolonial di Tanah Air mereka. Bagi Belanda, hal itu amat membahayakan terlebih lagi jumlah haji Indonesia kian meningkat setiap tahun.

Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, jumlah jemaah Indonesia sekitar 20 persen dari total jemaah. Pada 1915-1919, Belanda melarang perjalanan haji setelah Sultan Turki memproklamasikan seruan jihad. Namun, setelah diperbolehkan kembali pada 1920, jumlahnya meningkat hingga 40 persen. Orang Indonesia di Mekkah juga terbanyak di kalangan orang asing. Mereka dikenal sebagai ”orang Jawah”, sekaligus untuk menyebut orang Asia Tenggara. Sejak 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Mekkah setelah bahasa Arab. Di Mekkah, jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928, bahasa Melayu menjadi perekat di antara orang Nusantara.

Perubahan sikap

Tak mengherankan, mereka yang pulang berhaji dipastikan diawasi penguasa kolonial. Langkahnya selalu dikuntit, bahkan sampai di desa-desa. Bahkan dalam perjalanan di kapal laut hingga aktivitas di Tanah Suci pun dimonitor. Penguasa kolonial berdalih, pengawasan itu untuk melindungi haji dari tindakan kriminal seperti penipuan hingga penyakit.

Meskipun karantina yang dibangun di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta, yang disebutkan sebagai pengawasan kesehatan menyusul wabah kolera di Mekkah, hal tersebut tak bisa menyembunyikan maksud-maksud politis di balik kebijakan karantina itu. Sistem karantina justru memudahkan pengawasan terhadap para haji.

Meskipun demikian, perjalanan rohani yang sudah pasti mampu mengalahkan keinginan duniawi ini tak membuat orang-orang Islam surut untuk pergi haji. Peringatan dari pemerintah kolonial, intaian petugas intelijen, lama dan beratnya kondisi perjalanan, atau mahalnya ongkos naik haji tak melemahkan semangat untuk berangkat ke Tanah Suci. Tidak heran, setiap tahun justru keberangkatan orang yang hendak berhaji semakin bertambah. Apalagi saat haji akbar (saat wukuf pada hari Jumat), jumlah mereka lebih banyak lagi.

Ratusan tahun silam spirit haji telah memberikan corak dan warna bagi perjalanan bangsa. Spirit haji seperti itu tampaknya sangat dibutuhkan saat ini ketika bangsa kita terus terpuruk dalam karut-marut persoalan yang nyaris tak terselesaikan, saat korupsi terus merajalela, saat tuding-menuding menjadi pemandangan lumrah, dan saat moral dan etika diabaikan.

Bangsa ini semestinya bisa memetik spirit haji untuk membangun terus silaturahim, memupuk kebersamaan dan kesetaraan, menggalang solidaritas, bukan justru saling cerca dan nyaman dalam kemunafikan. Perubahan sikap itu sangatlah krusial bila kita ingin bangsa ini maju.

Minggu, 03 Januari 2010

Kepergian Seorang Nahdliyin



Oleh Masdar F Mas'udi (Ketua PBNU)

Innalilahi Wainnailaihi Rojiun. Kabar itu sangat menyentak kita semua. Pesan berantai yang langsung menyebar ke segala penjuru menyebutkan, KH Abdurrahman Wahid, telah meninggal dunia, meninggalkan kita semua.

Tentu, kita kehilangan dengan tokoh yang mungkin tak tergantikan dari berbagai seginya. Abdurrahman Wahid atau sering kali disapa Gus Dur memiliki kelebihan dan keistimewaan, baik secara keilmuan, keulamaan, politik, gerakan kemanusiaannya, baik dalam negeri maupun di luar negeri antara sesama Islam atau umat agama yang lain.

Gus Dur terpilih sebagai kepala negara juga tak terduga dan membuat saya berpikir bahwa kira-kira 90 persen, pemilihan Gus Dur menjadi presiden adalah intervensi dari 'atas'. Bayangkan saja, waktu itu beliau punya partai yang hanya mempunyai 11 persen suara, tetapi tiba-tiba bisa terpilih menjadi presiden. Ini semua karena takdir.

Sebagai ulama, beliau tidak tergantikan karena beliau sangat lengkap, multidimensi yang beliau miliki dan kemampuannya jauh di atas rata-rata. Beliau juga orang yang mudah disalahpahami, karena banyak hal yang mungkin memang beliau pada satu pihak begitu terbuka, tetapi dalam hal tertentu banyak hal yang beliau ucapkan, tapi tidak bisa dipahami secara harfiyah. Itulah yang membuat begitu banyak orang salah paham, bahkan orang yang ada di dekatnya barangkali juga tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang beliau katakan, beliau lakukan.

Yang paling penting soal demokrasi bagi negeri ini, beliau tokoh demokrasi, terutama ketika mendirikan Forum Demokrasi menjelang berakhirnya rezim Orde Baru. Dan, itulah yang membuat salah satu kekuatan yang mempercepat proses tumbangnya rezim otoriter kepada reformasi sekarang ini. Artinya, ada jejak dan jasa yang luar biasa dari beliau.

Pada saat itu, tidak ada orang yang berani berbeda dengan Pak Harto dengan segala kekuasaannya, tapi Gus Dur dengan keberaniannya hampir tidak ada yang ditakutinya menggalang kekuatan civil society untuk mendorong dan mendesak akan perubahan, dan beliau berhasil.

Kalau dari segi pimpinan ulama dan pimpinan NU peran beliau sangat penting. Karena, pada 1984 ketika NU menegaskan kembali kepada jati dirinya mendasar sebagai organisasi sosial keagamaan beliaulah yang memegang kendalinya, memegang pimpinannya, dan bukan hanya diserahkan kepemimpinan untuk mengembalikan kepada khitahnya, tetapi juga untuk sejak langkah-langkah awal untuk menyiapkan reformasi di dalam tubuh NU sendiri bersama dengan beberapa orang.

Beliau juga yang telah mengantarkan NU menjadi kekuatan civil society yang berskala nasional sebagai pengimbang kekuasaan yang waktu itu tak terimbangi oleh siapa pun. Dan, NU betul-betul dikenal, dihormati, direspek oleh banyak pihak, terutama, baik dari dalam maupun luar negeri dan sejak saat itu NU melejit dari sesuatu yang tidak pernah dibicarakan orang, tidak pernah dilirik orang, menjadi bahkan objek studi berbagai scolar baik dalam dan luar negeri pada masa kepemimpinan beliau.

Selain itu, muncul begitu banyak kajian dan penerbitan buku dalam maupun luar negeri yang mengupas tentang peranan NU sebagai satu kekuatan Islam moderat, dan juga sebagai satu kekuatan civil society sebagai kekuatan untuk mendorong demokratisasi di tengah-tengah kehidupan bangsa yang ditekan terus-menerus secara ofensif oleh rezim Orde Baru waktu itu.

Tokoh Perdamaian
Sebagai tokoh perdamaian, almarhum mendapatkan penghargaan perdamaian Magsaysay. Dan, memang pada saat beliau menjadi presiden dan juga mengambil langkah politik yang sangat berani, yaitu mendesak supaya keputusan MPR No 25 tentang PKI juga tentang Kong Hu Cu diakui sebagai agama yang resmi diakui oleh negara sebagaimana agama-agama lain.

Padahal, selama ini agama Kong Hu Cu berada pada posisi underdog karena dikaitkan dengan etnis tertentu dan juga ideologi tertentu. Tapi, kemudian dengan keputusan politik Gus Dur, Kong Hu Cu, sebagai kelompok minoritas keagamaan hidup sejajar dengan kelompok agama lain. Padahal, beliau dari pemimpin Islam yang pada umumnya agak curiga terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.

Tokoh Intelektual
Pertama, karena kemampuan keilmuan beliau, kemampuan analisis beliau yang sangat kritis, juga tentu saja karena karya-karya pemikirannya yang juga menggertak kebekuan dan mendorong perubahan. Saya kira itu yang menjadi pertanda kuat bahwa beliau memang seorang intelektual sejati. Beliau bukan hanya berpikir untuk mendeskripsikan kenyataan, tetapi sekaligus di dalam deskripsi keilmiahannya beliau menginspirasikan perubahan yang mendasar untuk kehidupan keagamaan dan keumatan serta kebangsaan.

Saya pikir kita berhutang budi begitu besar kepada cita-cita beliau. Dan, itu adalah harusnya menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mewujudkan cita-cita terbaik dari beliau, baik dalam kehidupan keagamaan, khususnya warga NU dan umat Islam pada umumnya dan juga bangsa. Itu menjadi tanggung jawab nahdliyin ke depan.

Seharusnya, kita semua merasa berhutang budi kepada beliau, terutama nahdliyin. Nah, ini saya kira tantangan NU ke depan, amanat NU ke depan, apakah cita-cita beliau justru akan diwujudkan lebih dahulu oleh pihak lain atau kita. Dan, seharusnya kita, nahdliyin, yang menjadi pelopor untuk mewujudkan cita-cita beliau. Jika tidak, berarti kita sebenarnya kehilangan ketokohan beliau.

Komunikasi yang beliau lakukan memang menerobos tradisi komunikasi para elite NU sebelumnya. Yang sudah mentradisi biasanya elite NU datang kalau diundang. Beliau sering kali datang ke pesantren, kiai-kiai, datang menemui umat di dalam berbagai acara yang terbatas maupun terbuka atas inisiatif sendiri.

Saya kira ini yang harus digarisbawahi betul. Jadi, datang bukan sebagai undangan, sebagai orang yang dipanggil atau di- tanggap (bahasa jawa), beliau memang memiliki dorongan dari dalam untuk silaturahim mendekatkan hati dan pikiran dengan umatnya, atas inisiatif dan kemauan kuat dari beliau sendiri. Termasuk, ketika beliau menjadi kepala negara. Tidak ada kepala negara yang begitu lebih banyak waktunya berada di luar istana.

Gus Dur dan Islam


Oleh: Ma'mun Murod Al-Barbasy (Ketua PP Pemuda Muhammadiyah)

Innalillahi wa inna ilahi roji'un . Tokoh besar dan bapak bangsa dengan beragam predikat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), telah berpulang ke rahmatullah pada 30 Desember 2009. Siapa pun yang mengenal Gus Dur secara dekat, baik dalam artian fisik maupun dekat, karena gagasan pemikirannya dipastikan paling merasa kehilangan.

Gus Dur adalah sosok pemikir Islam genuine Indonesia. Gus Dur merupakan sosok pemikir Muslim yang lebih menggambarkan wajah Islam Indonesia yang sesungguhnya: akulturatif, moderat, dan toleran. Pemikiran Gus Dur berbeda dengan pemikiran mereka yang mencoba menampilkan wajah 'Islam skripturalis' yang serba rigid dan berbeda juga dengan mereka yang mencoba menampilkan wajah Indonesia yang sekuleristik.

Pendekatan serba fikih
Lazimnya kebanyakan pemikir dari kalangan pesantren yang mendasarkan pemikiran pada pendekatan fikih, Gus Dur juga dikenal sebagai pemikir yang dalam menyikapi perkembangan selalu mendasarkan pada pendekatan fikih. Dampak pendekatannya yang serba fikih menjadikan tampilan pemikiran Gus Dur selalu tidak 'hitam-putih'.

Ini mengingat banyaknya sumber yang dijadikan sebagai rujukan pemikiran. Dalam tradisi NU, yang menjadi sumber hukum bukan sekadar Alquran dan hadis, melainkan juga ijmak dan qiyas. Dalam hal sikap dan pemikiran politiknya, Gus Dur juga selalu berusaha mengambil jalan tengah ( tawassuth ). Gus Dur tidak mau terjebak dan mengambil jalan ekstrem ( tatharuf ) atau mengambil jalan paling lunak.

Asas tunggal
Ketika rezim Orde Baru bermaksud menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal, NU melalui Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo dan diperkuat oleh keputusan Muktamar NU ke-27 1984 di tempat yang sama menerima asas tunggal. Motor penerimaan asas tunggal ini tidak lain adalah Gus Dur dan KH Achmad Siddiq. Keduanya dipilih melalui mekanisme ahlul halli wal aqdhi sebagai ketua Tanfidziyah dan rais Am Syuriah PBNU.

Dibanding ormas lainnya, NU adalah ormas pertama yang menerima asas tunggal. Alasannya bukan didasarkan pada 'strategi perjuangan politik' dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahannya di mata fikih. NU juga memberi batasan yang jelas antara 'wilayah kekuasaan agama' dan 'wilayah kekuasaan negara'. Gus Dur menyatakan bahwa antara agama dan negara mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri.

Dalam hal yang tidak sama, katakanlah dalam melaksanakan wawasan Islam, itu menjadi tanggung jawab umat Islam, tanpa harus membebani negara. Negara diminta hanya untuk mengayomi hal-hal yang terkait dengan maslahatil ammah , tanpa membedakan suku, agama, bahasa, dan warna kulitnya.

Atas dasar ini, tidak heran kalau NU dengan mudah menerima asas tunggal. Menurut Gus Dur, kehidupan yang diasastunggali Pancasila merupakan wewenang negara. Tapi, ada juga kehidupan yang tidak berada di bawah wewenang negara, yaitu akidah (iman). Sementara itu, ormas lain sangat kesulitan beradaptasi dengan keinginan pemerintah ini. Hal ini karena mereka tidak mampu mendudukkan antara keimanan dan ideologi.

Mereka juga menganggap bahwa soal Pancasila itu berada di luar masalah agama karena Pancasila hanya diterima sebagai ideologi tanpa dikaitkan dengan alasan keagamaan. Ini juga, menurut Gus Dur, tidak benar karena berarti mereka mempunyai kesetiaan ganda: setia pada Pancasila dan pada agama. Dalam pandangan Gus Dur, kalau kita setia pada Islam, juga harus setia pada negara. Sebab, negara merupakan bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama dengan orang lain. Sementara itu, akidah merupakan milik kita sendiri. Jadi, ada perbedaan, tetapi tetap dalam satu kaitan.

Relasi agama dan negara
Komitmen dan pembelaan yang begitu total terhadap Pancasila menjadikan Gus Dur sebagai salah satu dari sedikit cendekiawan Muslim yang menolak setiap upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara. Penolakan ini tentu bukan tanpa alasan. Paling tidak, ada dua alasan mendasar, yaitu selain Pancasila dipandang sebagai bentuk 'kompromi politik' final, juga Islam sendiri, menurut Gus Dur, tidak mempunyai konsep tentang negara.

Dalam Alquran misalnya, tidak terdapat kata al-daulah . Pengertian kenegaraan hanya menggunakan istilah baldah . Jadi, di sini, Islam tidak mempunyai konsep yang definitif. Dalam persoalan yang paling pokok terkait suksesi kekuasaan, Islam juga tidak cukup konsisten. Terkadang, memakai istikhlaf, bay'ah , atau ahlul halli wal aqdhi . Padahal, suksesi kekuasaan adalah persoalan cukup urgent dalam masalah kenegaraan.

Tidak adanya bentuk yang baku tentang negara, menurut Gus Dur, telah membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tak terelakkan. Dengan kata lain, kesepakatan akan bentuk negara tidak dilandaskan pada dalil naql (nash) , melainkan pada kebutuhan masyarakat. Inilah yang membuat hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara dan proses suksesi kekuasaan.

Meski menolak negara Islam, bukan berarti Gus Dur tak menghendaki terciptanya 'masyarakat Islami' (lebih pada value ). Gus Dur berbeda pendapat dengan mereka yang ingin membina 'masyarakat Islam'. Sebab, itu merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi karena ia akan menempatkan non-Muslim sebagai masyarakat kelas dua. Tapi, sebuah masyarakat Indonesia yang di dalamnya terdapat umat Islam yang tumbuh kuat dan berfungsi akan dianggap lebih baik.

Pembela minoritas
Gus Dur juga dikenal sebagai pembela kelompok minoritas. Tidak saja dalam hal keagamaan, tapi juga minoritas dalam politik. Dalam kasus Monitor 1990 yang dinilai melecehkan Muhammad SAW, Gus Dur justru tampil membela dan mengecam keras pemberedelan Tabloid Monitor .

Karena, itu sama artinya memberikan otoritas dan membenarkan perilaku otoriter pemerintah dalam melakukan pemberedelan. Pembelaan Gus Dur bukan lantaran tidak marah atas polling Monitor , namun karena sikap umat Islam yang terkesan mau main hakim sendiri, termasuk menuntut pencabutan SIUPP yang sama sekali tidak demokratis.

Usai politik sapu bersih pemerintah dalam peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI, 27 Juli 1996, suara-suara kritis yang tadinya begitu keras hilang seketika. Masyarakat juga dibuat ketakutan luar biasa. Dalam suasana yang mencekam ini, Gus Dur tampil dengan mendirikan posko pengaduan bagi mereka yang merasa kehilangan keluarganya serta mengalami kerugian fisik ataupun harta benda.

Pembelaannya terhadap keluarga Kong Hu Chu dalam persidangan di PTUN Surabaya, yang kebetulan perkawinannya tidak diakui pemerintah, lantaran mereka bersikukuh beragama Kong Hu Chu setidaknya menjadi bukti lain dari kepedulian Gus Dur terhadap kelompok minoritas. Pembelaan Gus Dur juga diberikan kepada kelompok minoritas lainnya yang hak-hak politik dan keagamaannya dikebiri oleh negara dan sebagian umat Islam, seperti pembelaannya terhadap Dar al-Arqam, Syiah, dan Ahmadiyah.

Demikianlah sekelumit gagasan-gagasan besar Gus Dur yang selama ini diperjuangkan secara konsisten hingga akhir hayatnya. Hasilnya, di saat Gus Dur masih hidup pun sudah mulai bisa dirasakan. Gagasan-gagasannya telah merasuk di sebagian besar generasi muda NU dan dalam batas tertentu juga telah merasuk di lingkup angkatan muda Muhammadiyah. Seiring wafatnya Gus Dur, harapannya adalah tentu gagasan-gagasan Gus Dur akan semakin membumi. Amin dan semoga.

(-)

Zikir Berjamaah pada Malam Tahun Baru



Oleh: Nurman Kholis
(Staf Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Depag)


Sejak beberapa tahun terakhir ini, harian Republika secara rutin menyelenggarakan acara zikir nasional untuk menyambut tahun baru masehi yang diadakan pada malam hari setelah salat Isya. Acara ini selalu dipandu oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham dan bertempat di Masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Acara zikir berjamaah menjelang tahun baru masehi tersebut menjadi salah satu warna tersendiri dalam menggambarkan kiprah kaum Muslim di Indonesia dari masa ke masa. Sebab, sejak awal penyebaran Islam ke bumi nusantara ini tidak lepas dari ijtihad para ulama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lokal yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, namun substansi tradisi tersebut diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa umat Islam. Hal ini sebagaimana dilakukan ulama terdahulu yang mengganti pembacaan mantra-mantra dengan zikir kepada Allah melalui pengucapan kalimat tahlil La Ilaha Illallah sebanyak-banyaknya. Biasanya, pembacaan zikir tersebut digemakan dalam peringatan 1, 3, dan 40 hari setelah kematian sehingga acara peringatan itu disebut tahlilan.

Selain mengganti pembacaan mantra dengan zikir, para ulama juga mengganti maksud penyajian makanan. Bila berabad-abad sebelumnya penyajian makanan dimasudkan sebagai sesajen untuk para arwah, itu pun diubah sebagai jamuan bagi para tamu yang datang. Selain menggemanya kalimat La Ilaha Illallah dalam peringatan kematian, acara tersebut menjadi ajang yang dapat mempererat silaturahim di antara sesama umat Islam. Berkat silaturahim yang erat ini, lambat laun Indonesia yang terletak sekian kilometer dari Arab menjadi kawasan yang mayoritas penduduknya memeluk Islam dan dapat disatukan dalam satu wilayah meskipun terdiri atas berbagai suku, bahasa, pulau, dan perbedaan lainnya.

>Kesamaan ide<B>
Menurut KH M Sufyan Raji Abdullah dalam buku Bid'ahkah Tahlilan dan Selamatan Kematian? , ritual acara setelah kematian telah ada sebelum Islam, sekitar 5.000 tahunan Sebelum Masehi. Pada mulanya, kegiatan itu dilakukan oleh para penyembah dewa 'Yang' untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa keluarga yang telah wafat. Dalam upacara ini, berisi persembahan sesaji untuk sang dewa pada malam ke-1, ke-3, ke-7, ke-9, ke-15, ke-40, ke-100, ke-1000 hari, ke-1, dan ke-3 tahun dari kematian. Peringatan kematian ini kemudian mengalami sinkretisasi dengan agama Hindu dan Buddha yang ditambah dengan pembacaan mantra-mantra tertentu dari kedua agama ini. Dalam kitab I'anatut Thalibin Juz II hlm 145-146, dinyatakan cara penyampaian rasa dukacita dengan cara penghidangan makanan tertentu dan berkumpul dalam ritual kematian tersebut dan acara ritual kematian pada malam ke-40 yang seperti itu (jahiliyah) adalah haram.

Ia juga menambahkan bahwa acara peringatan kematian yang diperbolehkan oleh syariat Islam adalah acara yang diisi dengan membaca Alquran, shalawat, zikir, dan sebagainya. Ia pun mengutip hadis dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dan salah seorang sahabat Anshar yang bercerita, ''Kami keluar bersama Nabi SAW untuk mengantar jenazah salah seorang di antara penduduk yang wafat. Setelah pulang, kami diundang oleh istri yang berduka untuk datang ke rumahnya. Kemudian, ia menghidangkan makanan. Rasulullah SAW pun mengambil makanan yang dihidangkan tersebut dan beliau memakannya. Kemudian, para sahabat dan para undangan juga ikut memakan makanan tersebut.'' (HR Ahmad yang dikutip dari kitab Hasyiyah ala Maraqi al-Falah karya Ahmad ibn Isma'il at-Thanthawy, Juz I, hlm 409, cet Maktabah al-Bab al-Halaby, Mesir, 1318).

Hadis tersebut menunjukkan bolehnya mengadakan acara zikir dan doa bersama untuk mayat dan menghidangkan makanan yang bukan diperuntukkan sebagai sesaji seperti yang berlaku di kalangan jahiliyah. Sebab, jika peringatan kematian itu diharamkan, tentu beliau tidak akan hadir dan ikut makan dalam acara tersebut.

Dengan demikian, ide penyelenggaraan zikir berjamaah pada malam pergantian tahun masehi memiliki kesamaan dengan ide dalam penyelenggaraan zikir berjamaah pada acara tahlilan. Ide yang mendasari tahlilan adalah penggantian tradisi yang tidak Islami, seperti pembacaan mantra-mantra dan pemberian sesajen untuk para arwah pada acara peringatan 3, 7, dan 100 hari setelah kematian diganti dengan pembacaan kalimat tahlil, pembacaan Alquran, dan salawat serta makanan yang tersaji dimaksudkan untuk para tamu. Sedangkan, ide yang mendasari zikir berjamaah pada malam tahun baru masehi adalah penggantian acara peniupan terompet, penyalaan petasan, dan perbuatan sia-sia lainnya dengan zikir yang beberapa bacaannya juga terdapat dalam acara tahlilan.

Sebagaimana acara tahlilan yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya di nusantara, tentunya acara zikir berjamaah pada malam tahun baru masehi juga ada yang pro dan kontra. Karena itu, supaya umat Islam tidak menghabiskan energi dalam perdebatan yang tidak pernah kunjung selesai, para penganjur acara zikir berjamaah pada malam tahun baru masehi perlu juga menjelaskan bahwa acara tersebut hanya merupakan suatu tradisi sebagaimana tahlilan. Ia bukan bagian dari syariah sebab tidak pernah dicontohkan, diperintahkan, dan juga tidak pernah dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua tradisi tersebut mubah yang berarti tidak wajib dan tidak pula haram untuk dilakukan.

(-)