Rabu, 26 Agustus 2009

Tempointeraktif.Com - Padri

Tempointeraktif.Com - Padri: "Padri

Senin, 24 Agustus 2009

Pada bulan puasa tahun 1818, Thomas Standford Raffles memasuki pedalaman Minangkabau. Ia ingin menemukan kerajaan Pagaruyung.

Menurut cerita, kerajaan ini tegak sebelum Islam datang, tapi sejak orang Portugis mendatanginya di tahun 1648 ia tak pernah lagi diketahui orang luar. Pagaruyung hidup bagaikan sebuah kerajaan dongeng, berlanjut sampai hari in"

Sabtu, 22 Agustus 2009

KOMPAS cetak - Bulan Suci Bermakna Sosial

KOMPAS cetak - Bulan Suci Bermakna Sosial: "RENUNGAN RAMADHAN
Bulan Suci Bermakna Sosial

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:12 WIB

Moeslim Abdurrahman

Biasanya, menjelang puasa seseorang baru ingat akan dosa-dosanya. Buktinya, SMS beredar ke mana-mana, dari orang yang kita kenal dekat, tetapi banyak juga sahabat jauh, eh tiba-tiba kirim lewat SMS minta juga dimaafkan. Biarpun sesungguhnya, kalau mau jujur, kita juga tidak ingat lagi dosa yang mana dan salah yang mana yang perlu dihapus.

Hal ini tidak ada salahnya, memang. Toh, Ramadhan adalah bulan berkah dan penuh ampunan. Kapan lagi dosa dengan orang lain, akibat pergaulan, kalau bukan pada bulan suci ini saatnya untuk dibersihkan? Oleh karena itu, hampir menjadi persepsi umum bahwa bulan puasa bagi mereka yang menjalankannya diniati selain menjadi momentum untuk mengumpulkan pahala juga sebagai penyucian diri dan pertobatan dosa, baik dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan."

Jumat, 21 Agustus 2009

Republika Online - Ramadhan Transformatif

Republika Online - Ramadhan Transformatif: "Ramadhan Transformatif

Oleh Azyumardi Azra

Ramadhan kembali menjelang kita. Betapa bahagianya orang-orang beriman yang kembali bersua dengan Ramadhan. Berapa banyak sanak saudara, karib kerabat, dan handai tolan kita yang tidak berkesempatan lagi menjalani Ramadhan karena sudah dipanggil Yang Mahakuasa ke hadirat-Nya. Karena itu, berbahagialah mereka yang masih dapat kesempatan bertemu kembali dengan Ramadhan guna menjalankan ibadah puasa dan sekaligus meningkatkan amal ibadah lainnya untuk mencapai derajat takwa, yang merupakan tujuan ibadah puasa.

Kedatangan Ramadhan, boleh jadi sekadar perjalanan sirkular waktu yang memang sebagai salah satu sunatullah yang selalu datang, pergi, dan datang kembali selama alam raya ini masih beredar. Dan karena itu, dalam perspektif ini, datangnya Ramadhan merupakan sebuah kerutinan perjalanan masa belaka; yang pada gilirannya juga menciptakan siklus kerutinan dalam kehidupan mereka yang berkewajiban menjalankan ibadah puasa. Pada tahap ini, rutinitas mengandung banyak jebakan dan dampak, yang boleh jadi membuat mereka yang berpuasa kehilangan greget dalam mengambil manfaat sebesar-besarnya dari ibadah puasa.

Rutinitas dalam hal apa pun, termasuk ibadah, khususnya ibadah puasa, bisa memunculkan dampak-dampak yang tidak diharapkan. Ibadah sangat boleh jadi bakal kehilangan kesyahduan, makna, dan fungsinya bagi si pelaku jika ia mengerjakannya sebagai seb"

Republika Online

Republika Online: "Transformasi Budaya SBY

Oleh: Zaim Uchrowi

Pacitan. Ini salah daerah yang sangat berkesan bagi saya. Bukan karena cerita kakak saat kecil tentang begitu sulit perjalanan menuju Pacitan. Tapi, saya beberapa kali datang ke kabupaten ini. Kedatangan untuk membangkitkan pemimpin perempuan di tingkat masyarakat. Saya sangat percaya, saat ini kontribusi laki-laki sudah relatif optimal dalam mewujudkan kemajuan Indonesia sekarang. Justru kontribusi perempuan yang masih jauh dari optimal.

Agar Indonesia dapat berkembang lebih maju, kontribusi perempuan harus meningkat lagi. Para perempuan Indonesia, dalam bayangan saya, harus terus belajar untuk menjadi sosok seperti Siti Khadijah--istri Rasulullah SAW. Khadijah bukan perempuan lemah, penurut tanpa bersikap. Sebaliknya, beliau adalah pribadi sangat kuat hingga mampu menjadi pendukung dan mitra sejati Rasul pada masa-masa yang sangat sulit. Hal yang tak mungkin diperankan oleh perempuan lain. Meskipun Khadijah wafat lebih dulu, kontribusinya dalam mengubah peradaban umat manusia tak dapat diabaikan."

Republika Online - Puasa--Sebuah Jembatan Emas

Republika Online - Puasa--Sebuah Jembatan Emas: "Puasa--Sebuah Jembatan Emas

Kusmayanto Kadiman
(Menteri Negara Riset dan Teknologi)

Saudara saudara, apakah yang dinamakan merdeka?'' tanya Soekarno berapi-api di hadapan 30 orang lebih anggota Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Lalu, Soekarno menjawabnya sendiri. ''Tak lain tak bukan ialah suatu jembatan, satu jembatan emas--di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat--di seberang jembatan emas inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.'' Dalam salah satu khotbahnya, Rasulullah SAW yang diceritakan Salman Al-Farisi berkata, 'Dan, ia (Ramadhan) adalah bulan yang awalnya merupakan rahmat, pertengahannya merupakan ampunan, dan akhirnya sebagai pembebas dari api neraka.' (HR Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah).

Dari cuplikan pidato yang membakar semangat dari presiden Soekarno dan hadis Rasulullah SAW yang menyejukkan di atas, marilah kita petik maknanya. Bukan hanya yang tersurat kita cermati, kita sibak yang tersurat untuk memahami apa yang tersirat. Kita kaitkan semangat yang dibakar presiden Soekarno dengan hikmah serta pahala yang akan kita raih dari ibadah suci di bulan Ramadhan ini."

Republika Online - Manifesto Perdamaian Muhammad SAW

Republika Online - Manifesto Perdamaian Muhammad SAW: "Manifesto Perdamaian Muhammad SAW

Dr Aunur Rofiq
(Dosen UIN Malang)

Dalam konteks sosial, manusia diciptakan dengan membawa dua karakter kontradiktif. Pertama, sebagai pelaku gerakan perdamaian. Kedua, sebagai pelaku konflik dan perang.

Dalam sejarah peradaban dan agama, para nabi dan para pengikut mereka termasuk dalam kelompok pertama. Di sinilah Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW melakukan tugasnya sebagai juru damai dan pembawa rahmat.
Kelompok kedua ditempati oleh Qabil, Firaun, Abu Jahal, dan para penerusnya. Adalah Qabil lambang individu atau masyarakat perusak, ganas, dan pelaku kekerasan. Dialah manusia pertama yang telah menumpahkan darah manusia, saudaranya sendiri.

Firaun adalah simbol penguasa militer yang haus darah dan kekuasaan. Untuk melanggengkan kekuasaannya, dia akan melakukan segala cara, termasuk membunuh rakyat dan lawan politiknya. Dia memang memiliki kekuatan militer yang dahsyat pada zamannya."

Senin, 17 Agustus 2009

Partai Islam, antara Kepentingan dan Dakwah. - JIL Edisi Indonesia

Partai Islam, antara Kepentingan dan Dakwah. - JIL Edisi Indonesia: "Gagasan
12/12/2003
Partai Islam, antara Kepentingan dan Dakwah.
Oleh Soplo

Agama sering dimanfaatkan serta digunakan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan duniawi. Dengan menyitir ayat-ayat alquran mereka menggembar-gemborkan bahwa kita harus mewaspadai “sekularisme”. Tapi siapa yang sebenarnya sekularis?"

Gagasan - JIL Edisi Indonesia

Gagasan - JIL Edisi Indonesia: "Pengalaman Mengikuti Persidangan Rizieq Shihab
Oleh Musdah Mulia

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar."

JIL Edisi Indonesia

JIL Edisi Indonesia: "Wacana Islam Liberal di Timur Tengah

Mengapa tema ini menarik untuk diangkat adalah pertama karena selama ini publik Indonesia, dan saya kira secara umum masyarakat dunia, melihat wacana Timur Tengah selalu dari pemberitaan media. Dan sebagaimana kita tahu, media cendrung menampilkan hal-hal yang nyaris tidak adil terhadap kenyataan yang sesungguhnya berlangsung."

Kapan Muhammad SAW Lahir? - JIL Edisi Indonesia

Kapan Muhammad SAW Lahir? - JIL Edisi Indonesia: "Kapan Muhammad SAW Lahir?
Oleh Abd. Moqsith Ghazali

Begitu tinggi kedudukan Muhammad di hadapan umat Islam, maka momen-momen penting dalam kehidupannya selalu dikenang, dirayakan, dan diperingati. Mulai dari kelahirannya, pengangkatannya sebagai nabi, pendakian spiritualnya yang tak tepermanai berupa isra’-mi`raj hingga migrasinya dari Mekah ke Madinah. Berbeda dengan kematian yang merupakan pertanda kesementaraan manusia dan juga keterbatasan seorang nabi, maka kelahiran Nabi Muhammad dianggap sebagai pertanda kehidupan baru, perubahan sosial."

Mendudukkan Pluralisme Agama - JIL Edisi Indonesia

Mendudukkan Pluralisme Agama - JIL Edisi Indonesia: "Mendudukkan Pluralisme Agama
Oleh Ahmad Syafii Maarif

Dan akan lebih bijak lagi, jika penafsiran terhadap sumber-sumber itu saling berlawanan, solusinya mudah sekali, yaitu diadakan dialog yang serius dan jujur antara para pihak yang bersangkutan. Sikap menuduh dengan menggunakan kata-kata “sesat, agen zionis, agen Barat” bukanlah cara kaum yang beradab. Mari kita sama lepaskan prasangka lebih dulu, lalu kita adu argumen dengan menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama dan pertama. Lalu kita gunakan sumber-sumber lain, baik yang ditulis oleh ulama klasik maupun yang kontemporer sebagai pelengkap rujukan.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Republika, 17 Maret 2009"

Asal Muasal Jagat Raya: - JIL Edisi Indonesia

Asal Muasal Jagat Raya: - JIL Edisi Indonesia: "Cinta ala Rumi atau Evolusi ala Hawking-Darwin?
Oleh Malja Abror

Jawaban model berseloroh seperti ini mengingatkan kita pada jawaban Santo Agustinus ketika ditanyakan kepadanya tentang apa yang dilakukan Tuhan sebelum peristiwa Big Bang itu terjadi. Jawab Agustinus: Tuhan sibuk membangun neraka buat orang-orang yang melontarkan pertanyaan seperti itu"

Merebut (Makna) Pancasila - JIL Edisi Indonesia

Merebut (Makna) Pancasila - JIL Edisi Indonesia: "Catatan dari Kaki Gunung Slamet
Oleh Trisno S. Sutanto

Satu-satunya jaminan keberadaan kelompok-kelompok ini adalah Pancasila—walau rezim Soeharto telah menodainya. Karena pada rumusan Pancasila yang menghormati kebhinekaan, tetapi sekaligus menjaga persatuan, setiap kelompok diterima dan dihargai, tenggang rasa dicari, dan sikap moderasi diunggulkan. Soalnya adalah mencari celah yang melalui mana tuntutan mendasar itu dapat timbul ke permukaan."

Islam dan Pluralitas(isme) Agama - JIL Edisi Indonesia

Islam dan Pluralitas(isme) Agama - JIL Edisi Indonesia: "15/06/2009
Islam dan Pluralitas(isme) Agama
Oleh Abd Moqsith Ghazali

Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, di samping memang mengandung kesamaan tujuan untuk menyembah Allah dan berbuat baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap agama memiliki keunikan, kekhasan, dan syari`atnya sendiri. Sebagian mufasir berkata, al-dîn wâhid wa al-syarî`at mukhtalifat [agama itu satu, sementara syari`atnya berbeda-beda]. Detail-detail syari`at ini yang membedakan satu agama dengan agama lain."

Soekarno, Pelopor Islam Liberal - JIL Edisi Indonesia

Soekarno, Pelopor Islam Liberal - JIL Edisi Indonesia: "Soekarno, Pelopor Islam Liberal Reportase Diskusi “Islam Liberal dalam Ajaran Soekarno”
Oleh Saidiman"

Pilpres, Otoritas Kiai, dan Rasionalitas Nahdhiyyin - JIL Edisi Indonesia

Pilpres, Otoritas Kiai, dan Rasionalitas Nahdhiyyin - JIL Edisi Indonesia: "Pilpres, Otoritas Kiai, dan Rasionalitas Nahdhiyyin
Oleh Abd Moqsith Ghazali"

Pilpres, Otoritas Kiai, dan Rasionalitas Nahdhiyyin - JIL Edisi Indonesia

Pilpres, Otoritas Kiai, dan Rasionalitas Nahdhiyyin - JIL Edisi Indonesia: "Pilpres, Otoritas Kiai, dan Rasionalitas Nahdhiyyin"

Agama Lama dengan Baju Baru - JIL Edisi Indonesia

Agama Lama dengan Baju Baru - JIL Edisi Indonesia: "Agama Lama dengan Baju Baru
Oleh Saidiman"

Masyarakat Indonesia Anti-Kekerasan - JIL Edisi Indonesia

Masyarakat Indonesia Anti-Kekerasan - JIL Edisi Indonesia: "Masyarakat Indonesia Anti-Kekerasan"

Pesantren, Terorisme, dan Langkah Penyelamatan - JIL Edisi Indonesia

Pesantren, Terorisme, dan Langkah Penyelamatan - JIL Edisi Indonesia: "Pesantren, Terorisme, dan Langkah Penyelamatan"

Terorisme dan Soal Ketidakadilan - JIL Edisi Indonesia

Terorisme dan Soal Ketidakadilan - JIL Edisi Indonesia: "Terorisme dan Soal Ketidakadilan Catatan untuk Magda Safrina
Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Masalahnya adalah sederhana saja: kekeliruan dalam menafsirkan doktrin agama, “the perversion of religious interpretation”. Mereka bukan pahlawan kaum miskin dan pejuang ketidakadilan. Dan sudah seharusnya kita tak usah menganggap mereka sebagai pahlawan, entah pahlawan dunia Islam apalagi kaum miskin yang menjadi korban ketidakadilan. Mereka adalah penjahat. Titik! Ayat-ayat Quran yang selama ini mereka pakai untuk menjustifikasi tindakan mereka tidak akan bisa menyelamatkan mereka dari kutukan publik.

Tulisan ini adalah tanggapan untuk artikel teman saya, Magda Safrina, yang dimuat di The Jakarta Post, 8/8/09, dengan tajuk “The Jakarta Bombing: A lesson in equality”. Artikel itu ingin mengaitkan masalah terorisme dengan masalah ketidakadilan di Indonesia. Dalam pandangan Magda Safrina, terorisme adalah “bahasa” yang dipakai oleh orang-orang yang kecewa karena melihat ketidakadilan dan kesenjangan sosial di Indonesia agar suara mereka didengar.

Dalam bagian terakhir artikelnya, Magda menyimpulkan: “In conclusion, as long as social injustice still exists in Indonesia, I believe, those who are willing to sacrifice their lives by carrying bombs and other high explosive materials will always exist.”

Menurut saya, analisis Magda"

Jumat, 07 Agustus 2009

STRATEGI DAKWAH: Sebuah Permenungan atas Konstruksi-Transformatif Nilai Islam


oleh: A. Fakih Kurniawan

Pendahuluan
Sejak munculnya era televisi, acara-acara keagamaan di media elektronik juga ikut menyemarakkan acara dengan ragam wajah dan model yang variatif yang disajikkan oleh para pemeluknya. Tetapi idealisasi yang diharapkan dari agama-agama belum dapat dinikmati, apalagi dibanggakan sebagai pembawa rahmat dan pembangun peradaban besar. Inilah fenomena yang harus dicermati, dipelajari dan dipecahkan bersama oleh segenap pemeluk agama. Tugas besar orang-orang beragama adalah mendekatkan dan merekatkan kenyataan dengan nilai-nilai luhur yang dikandung oleh masing-masing ajaran agama.

Saat ini kita sedang berhadapan dan berada dalam arus globalisasi. Proses perubahan berlangsung begitu cepat dan jawaban selalu jauh tertinggal di belakang. Oleh karena itu, mau tidak mau peran-peran keagamaan perlu ditinjau ulang dan direvitalisasi. Sebab di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi yang berlangsung sangat cepat dan sulit ditebak arahnya itu orang masih tetap percaya dan berharap pada agama (dalam segala bentuknya) untuk tampil menghadapi dan memecahkan masalah yang ditimbulkannya. Kalau saja dipersonifikasikan, sosok agama itu diharapkan tampil bagaikan "Superman" yang mempu membuat keajaiban untuk mencari penyelesaian seketika di luar hukum-hukum sosial. Salah satu media agama yang dapat menjembatani krisis tersebut adalah dakwah, tetapi perlu diperhatikan bahwa dakwah disini bukanlah dakwah dalam pengertian sempit (da'wah bi al-lisan) tetapi juga menyangkut dakwah amal (da'wah bi al-hal), dakwah seni, dakwah intelektual, dakwah budaya dan dakwah-dakwah lainnya yang bertujuan mengajak untuk hidup yang lebih baik aplikatif dan sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam sebuah bukunya, Komaruddin Hidayat, menceritakan pengalaman hidupnya selama menjadi mahasiswa IAIN Jakarta. Salah satu hal yang diceritakannya adalah ketika ia menjadi penceramah, setiap kali ia menjadi penceramah ia mendapatkan honor berupa uang. "…dari peristiwa ini saya berpikir, bahwa sesungguhnya masyarakat Jakarta memiliki perhatian yang besar pada syiar agama", kenangnya.[1] Satu hal yang patut dipotret dari pengalaman tersebut bahwa proses dakwah terus berjalan berkelindan mengikuti sebuah kebutuhan manusia akan kehausan nilai agama (jika tidak dikatakan moralitas dan spiritualitas!).

Dari kondisi seperti itulah maka dakwah bukanlah kegiatan yang ajek atau rigid dengan metode penyampaian doktriner an sich, tetapi ia merupakan kegiatan yang dinamis mengikuti kondisi dan realitas yang terus berubah namun tetap menjaga normatifitas pesan. Karena itulah wajar jika sekarang bertebaran para da'i bak jamur di musim hujan dengan "menawarkan" metode masing-masing secara unik.

Dakwah merupakan aktualisasi atau realisasi salah satu fungsi kodrati seorang muslim, yaitu fungsi kerisalahan berupa proses pengkondisian agar seseorang atau masyarakat mengetahui, memahami, mengimani dan mengamalkan Islam sebagai ajaran dan pandangan hidup (way of life).[2] Dus, hakikat dakwah adalah suatu upaya untuk merubah suatu keadaan menjadi keadaan lain yang lebih baik menurut tolok ukur ajaran Islam sehingga seseorang atau masyarakat mengamalkan Islam sebagai ajaran dan pandangan hidup. Dengan kata lain tujuan dakwah, setidaknya bisa dikatakan, untuk mempertemukan kembali fitrah manusia dengan agama atau menyadarkan manusia supaya mengakui kebenaran Islam dan mengamalkan ajaran Islam sehingga benar-benar terwujud kesalehan hidup.[3]

Ketika dakwah dinilai sebagai media transformasi nilai serta ajaran Islam, maka sesungguhnya ia telah masuk dalam sebuah ranah khusus yaitu agama. Setiap agama memiliki nilai serta ajaran yang baik – setidaknya oleh para pengikutnya - dan memiliki kecenderungan mentransformasikan ajaran tersebut agar diikuti oleh orang lain, maka dapat ditebak bahwa akan ada sebuah pergulatan "penyeruan". Maka dakwah merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan umat beragama.[4] Dalam tradisi Kristen "penyeruan" itu biasa disebut dengan missionary atau kristenisasi, sedangkan dalam Islam adalah dakwah. Dalam Islam, dakwah bukan hanya media yang bertujuan untuk memperbanyak pengikut, tetapi juga sejatinya merupakan kegiatan untuk memperbanyak orang yang sadar akan kebenaran Islam dan selanjutnya mengamalkan ajaran tersebut, karena itu dakwah harus dilandasi dengan cinta kasih[5] pada sesama manusia untuk menyelamatkan sesama manusia dari berbagai penderitaan, kesesatan dan keterbelakangan.

Konstruksi Filosofis Dakwah
Pada hakikatnya, gerakan dakwah Islam berporos pada amar ma'ruf nahy munkar.[6] Ma'ruf mampunyai pengertian segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah awt. sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan diri dari pada-Nya. Pada dataran amar ma'ruf, siapapun bisa melakukannya, pasalnya kalau hanya sekadar "menyuruh" kepada kebaikan itu mudah dan tidak ada resiko bagi di "penyuruh". Lain halnya dengan nahy munkar, jelas mengandung konsekuensi logis dan beresiko bagi yang melakukannya. Karena "mencegah kemungkaran" itu melakukannya dengan tindakan konkret, nyata dan dilakukan atas dasar kesadaran tinggi dalam rangka menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, ia harus berhadapan secara vis a vis dengan obyek yang melakukan tindak kemungkaran itu.

Inilah sesungguhnya cikal bakal perintah dakwah yang diwajibkan oleh Allah swt. pada setiap pribadi seorang muslim yang mengaku beriman. Oleh karena itu, peran para nabi dan rasul sesungguhnya diutus oleh Allah saw. untuk menyampaikan kebenaran firman-Nya melalui dakwah yang disampaikan dan sekaligus memberikan tuntutan kebaikan kepada manusia untuk selalu konsisten dan istiqamah dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Pun demikian, istilah dakwah sendiri jika tidak dilandasi dengan struktur fundamental yang jelas, pengertiannya akan menjadi semakin kabur karena selalu diberi pengertian dengan konotasi dan denotasi yang pasti baik dan positif. Padahal, perlu dijelaskan secara rinci mengenai apa makna literer dari dakwah itu. Kalau pengertian dakwah secara asal bahasanya itu "panggilan", lalu panggilan kemana? Atau untuk apa?

Penjelasan rinci tersebut tetap diperlukan, karena kalau tidak, dakwah hanya akan menjadi prevellese bagi orang-orang tertentu, dan dengan gaya serta jabatan tertentu pula. Misalnya saja pelakunya dibungkus status quo dengan sebutan da'i atau muballigh yang seringkali oleh masyarakat awam atau pada umumnya menempatkannya pada maqam tertinggi, yakni sebagai acuan dalam berpikir dan bertindak, atau bahkan sampai di tingkat ma'sum yang taken for granted.

Pelembagaan (jika tidak dikatakan patronase) dakwah secara monopoli inilah yang mengakibatkan bergesernya kualitas rohaniah-intelektual ke status sosial dan simbol budaya semata. Di sinilah maka dakwah kemudian menjadi kering dan seringkali tidak sampai pada sasaran yang dimaksud.[7] Karenanya wajar jika ada pertanyaaan, mengapa konsep dakwah Islam tidak begitu "menggigit" atau mengakar kuat sebagai basis metodologis dalam aplikasi terapannya?

Pertanyaan tersebut seharusnya tidak perlu muncul manakala pembekalan dan penguatan secara konseptual–metodologis mendapat tempat layak dalam wilayah akademiknya. Artinya, dataran konseptual harus diberi prioritas utama sebelum aplikasi di lapangan itu diterapkan. Selanjutnya memberikan porsi akademik kepada pentingnya otonomi berpikir[8] manusia sebagai basis dan kemampuannya untuk menangkap realitas di sekelilingnya, sebagai wacana yang akan terus berkembang yang sifatnya paradigmatik dan akan diuji di wilayah publik. Hal ini perlu mendapat perhatian serius, karena bagaimanapun juga para da'i atau muballigh adalah orang yang secara langsung berhadapan dengan individu atau bahkan komunitas masyarakat banyak dan terpadu, dan oleh karenanya diperlukan bekal akademik sebagai basis intelektual agar mampu memprediksi dan sekaligus memahami realitas yang terus berkembang tanpa harus bersikap apologetik sebagaimana tradisi dakwah pada masa abad pertengahan. Dengan demikian, maka wacana konseptual sebagai basis metodologisnya tidak harus dipahami dan dipandang sinis sebagai entitas mengawang di atas tanpa kaki, tidak membumi.[9]

Karenanya, dakwah saat ini harus dilandasi oleh dasar filosofis-epistemologis yang kuat, jika tidak maka akan menyebabkan pemahaman dakwah (Islam) menjadi dangkal dan bahkan menyebabkan penganutnya terjebak ke dalam formalisme dan fanatisme sempit, sebaliknya, pemahaman dakwah yang dilandasi filosofis-epistemologis akan mengantarkan dakwah pada pemahaman yang bersifat esensial dan mendalam, sehingga terhindar dari konflik yang diakibatkan oleh banyak isme atau aliran yang berkembang.

Efektivitas Dakwah
Manifestasi dakwah Islam dapat mempengaruhi cara berpikir, bersikap dan bertindak dalam kaitannya dengan kehidupan pribadi dan sosial. Dalam hal ini dakwah Islam akan senantiasa dihadapkan oleh kenyataan realitas sosial yang mengitarinya. Maka untuk menyikapi hal tersebut, dakwah Islam paling tidak diharapkan berperan dalam dua arah. Pertama, dapat memberikan out put terhadap mesyarakat dalam arti memberikan dasar filosofi, arah dan dorongan untuk membentuk realitas baru yang lebih baik. Kedua, dakwah Islam harus dapat mengubah visi kehidupan sosial dimana sosio kultural yang ada tidak hanya dipandang sebagai suatu kelaziman saja, tetapi juga dijadikan kondusif bagi terciptanya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.[10]

Di atas telah dikemukakan bahwa kegiatan dakwah pada hakikatnya adalah kegiatan komunikasi yang spesifik atau khusus. Spesifik karena pesan-pesan yang disampaikan adalah mengenai ajaran Islam. efektivitas dakwah dapat dilihat dari apakah suatu proses komunikator (da'i / subyek dakwah) dapat sampai dan diterima komunikan (mad'u / subyek dakwah), sehingga mengakibatkan perubahan perilaku komunikan. Perubahan perilaku tersebut meliputi aspek-aspek pengetahuan, sikap dan perbuatan komunikan yang mengarah atau mendekati tujuan yang ingin dicapai proses komunikasi tersebut. Dan dalam kaitan dakwah, maka efektivitas dakwah tercermin pada sejauh mana obyek dakwah (pada dataran individu) mangalami perubahan, dalam hal makin lengkap dan benarnya akidah, akhlak, ibadah dan mu'amalahnya. Sedangkan pada dataran masyarakat, efektivitas tersebut dapat tercermin pada iklim sosial yang makin memancarkan syi'ar Islam, dan makin mendekatnya norma sosial pada nilai-nilai Islam atau aturan hidup menurut Islam.

Singkat kata, ada dua hal yang amat menentukan efektivitas proses komunikasi (dakwah), yaitu, a) apakah pesan yang disampaikan komunikator sampai (didengar, dilihat, dirasakan dan difahami) oleh komunikan, dan b) kalau memang sampai, apakah pesan tersebut "diterima" (disetujui dan disajikan dasar tindakan/perbuatan) sehingga menimbulkan perubahan pada diri komunikan.[11]

Dari uraian ini dapat diketahui bahwa kondisi atau faktor yang mempengaruhi sampai dan diterimanya pesan oleh komunikan akan amat menentukan efektivitas komunikasi dakwah. Hal-hal yang menentukan sampai tidaknya pesan pada umumnya berkaitan dengan masalah strategi (model komunikasi atau dialog apa, metode yang digunakan, media yang dipakai dan sebagainya), sementara hal-hal yang menentukan diterima tidaknya pesan pada umumnya berkaitan dengan isi atau substansi pesan yang tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi objek.

Tawaran Strategi Dakwah
Masalah strategi ditentukan oleh kondisi obyektif komunikan dan keadaan lingkungan pada saat proses komunikasi tersebut berlangsung. Dalam kegiatan dakwah, maka hal-hal yang mempengaruhi sampainya pesan dakwah ditentukan oleh kondisi obyektif obyek dakwah dan kondisi lingkungannya dengan demikian maka strategi dakwah yang tepat ditentukan oleh dua faktor tadi. Sekedar contoh: antara orang desa dan kota tentu berbeda metode penyampaian pesan yang dipakai. Demikian pula antara petani, pegawai, mahasiswa, sarjana, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, wanita, buruh, orang miskin dan orang kaya dan lain sebagainya.

Sedangkan masalah isi atau substansi pesan ditentukan oleh seberapa jauh relevansi atau kesesuaian isi pesan tersebut dengan kondisi subyektif komunikan, yaitu "needs" (kebutuhan) atau permasalahan mereka. Dalam dakwah perlu diketahui kebutuhan apa yang mereka rasakan, dan seberapa jauh pesan dakwah dapat menyantuni kebutuhan dan permasalahan tersebut. Relevansi antara isi pesan dakwah dengan kebutuhan tersebut hendaknya diartikan sebagai ketersantunan yang proporsional, artinya pemecahan masalah atau pemenuhan kebutuhan yang tidak asal pemenuhan, tetapi yang dapat mengarahkan atau lebih mendekatkan obyek dakwah pada tujuan dakwah itu sendiri, dan bukan sebaliknya. Untuk itu maka pengolahan pesan dakwah dari sumbernya (al-Qur'an dan Sunnah Rasul) akan sangat menentukan.

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan relevansi tersebut, maka baiknya dikemukakan beberapa contoh. Bagi petani, bagaimana bertani yang baik sehingga hasil pertaniannya meningkat dan bagaimana peningkatan tersebut sekaligus merupakan bagian dari ibadahnya kepada Allah. Demikian pula bagi buruh, sehingga peningkatan mutu kerjanya sama dengan mutu ibadahnya. Hal ini akan mendorong mereka untuk lebih memahami bagaimana beribadah dengan baik akan membantu mereka untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Sudah barang tentu da'i yang bertugas di kalangan buruh atau petani atau lainnya haruslah mereka yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dunia buruh dan tani.
Dalam hal ini, khutbah atau tabligh perlu disesuaikan dnegan persoalan buruh dan petani. Di samping itu perlu dilakukan kegiatan yang lebih konkret seperti latihan keterampilan kerja, pemilihan bibit dan pupuk, sehingga mereka merasa diperhatikan. Tak lupa juga masalah bagaimana memasarkan hasil tani. Lapangan kerja apa saja yang sedang dibutuhkan dan dagang apa saja yangsedang laku dan seterusnya.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa hal-hal yang menentukan model pendekatan dakwah dapat diperhatikan unsur-unsur berikut:[12]
  1. Kondisi obyektif (ciri-ciri) obyek dakwah.
  2. Kondisi subyektif (kebutuhan, persoalan yang mereka hadapi dan sebagainya)
  3. Faktor lingkungan dakwah
Untuk menapaki uraian tersebut, diajukan gagasan awal mengenai strategi dakwah, sebagai berikut:
  1. Peninjauan kembali pendekatan dakwah dengan upaya sentral perencanaan dakwah yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving oriented)
  2. Pergeseran medan dakwah (model komunikasi dakwah) konvensional, yaitu tabligh dalam makna sempit menjadi dakwah yang 'multi dialog' (dialog amal, dialog seni, dialog intelektual, dialog budaya).
  3. Perimbangan antara dakwah bersekala massal menjadi dakwah personal atau dakwah kelompok yang lebih dialogis.
  4. Perlunya perhatian dan pengembangan yang serius lembaga-lembaga dakwah, terutama majlis tabligh, pada fungsi-fungsi perencanaan dan pengelolaan.
  5. Perlu dilakukan pengkajian yang mendalam mengenai (a) ciri-ciri dan permasalahan yang dihadapi objek dakwah (kondisi obyektif dan subyektif), serta (b) kondisi lingkungan, dalam rangka mengembangkan strategi dakwah yang tepat di masing-masing daerah dan kelompok umat tertentu. Untuk itu maka penelitian obyektif dan lingkungan dakwah merupakan langkah yang amat tepat.
  6. Perlu dikembangkan mekanisme pengorganisasian yang lebih profesional, dengan pemilahan tudas yang jelas antar subyek dakwah (da'i, perencana dan pengelola kegiatan dakwah)
  7. Perlunya pengembangan nilai-nilai saintifik Islam dan keilmuan yang interdisipliner atau pengembangan pendekatan objektivasi dan subjektivasi. Dengan pendekatan ini berarti dilakukan interpretasi dienul-Islam secara kreatif proporsional, dikaitkan dengan kehidupan manusia, alam dan sejarah.
  8. Melakukan pendekatan positif konstruktif terhadap objek dakwah yang 'abangan', dengan menghilangkan 'jarak' psikologis maupun budaya yang ada.
  9. Mengembangkan sistem informasi yang mempu menjangkau umat secara luas dan menumbuhkan komunikasi yang efektif.
  10. Peran pembawa "kabar dari langit" agar dapat mengarifi realitas untuk mentransformasikan nilai, sehingga "dimensi langit suci" lebih dapat dibumikan untuk dipahami oleh manusia secara sadar dan bertaha, di samping melihat tipologi masyarakat yang dihadapinya.


Penutup
Dalam uraian di atas, dapat kita awang-awang dalam pikiran kita bahwa kata "dakwah" mengacu pada transformasi nilai-nilai Islam yang dititik beratkan pada sebuah perjalanan "proses"nya. Dalam tahap berikutnya, dakwah memiliki perluasan makna yakni aktivitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat muslim, antara lain dalam bentuk pengembangan kesejahteraan sosial. Maka untuk sampai kepada tujuan kesejahteraan sosial, sejatinya metode dakwah konvensional harus berani "banting setir", artinya harus berani mengimbangi dakwah secara retorika (da'wah bi al-lisan) dengan dakwah perbuatan (da'wah bi al-hal), mengimbangi dakwah yang monologis dengan dakwah dialogis, karena bagaimanapun, sejarah membuktikan bahwa dakwah yang dilakukan dengan perbuatan atau amal akan lebih efektif jika dibandingkan dengan hanya sebatas retorika-apologis.[13]


Selain itu, dalam perkembangan dakwah Islam selanjutnya semestinya tidak hanya dipahami sebagai transformasi nilai yang kadang terkesan sebagai pengandaian struktural atas-bawah (antara da'i dan mad'u) saja dalam penyampaiannya, tetapi pengandaian hubungan itu secara fungsional, artinya, lebih kepada model bottom up daripada top down. Karena itu, dalam hubungan fungsionalnya, ada semacam strategi pola dan gaya penyampaian secara dialektik. Di situlah sesungguhnya keunikan dakwah yang mempunyai pertautan erat dengan "strategi".


Sumber Bacaan
Asy'arie, Musa, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 1999

Dermawan, Andi (ed.), Metodologi Ilmu Dakwah. Yogyakarta: LESFI, 2002

Fakhry, Majid, The Genius of Arab Civilization, Canada: MIT. Press, 1983

Hidayat, Komaruddin, Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban di Panggung Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2003

Mulkhan, Abdul Munir, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episod Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir. Yogyakarta: Sipress, 1996

Muriah, Siti, Metodologi Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000

Shihab, M. Quraish, Dr., Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2002

_____________________________
[1] Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban di Panggung Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 2003). hlm. 203-204
[2] Abdul Munir Mulkhan , Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episod Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir. (Yogyakarta: Sipress, 1996). hlm. 205
[3] H. Sukriyanto, "Filsafat Dakwah" dalam Andi Dermawan (ed.), Metodologi Ilmu Dakwah. (Yogyakarta: LESFI, 2002). hlm. 8
[4] Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung: Mizan, 2002). hlm. 194
[5] lihat QS. Ali Imran (3): 159
[6] lihat QS. Ali Imran (3): 104 dan 110
[7]Andy Dermawan, "Landasan Epistemologis Ilmu Dakwah" dalam Andy Dermawan (ed.), Metodologi Ilmu Dakwah. (Yogyakarta: LESFI, 2002). hlm. 56
[8]Pada dasarnya hakikat berfikir itu adalah otonom. Artinya, kebebasan berpikir tidak sama dengan kebebasan berbuat, selain bebas dan radikal ia juga berada dalam dataran makna. Kebebasan berpikir itu : 1) tidak ada kekuasaan yang dapat menghalangi berpikir, 2) tidak ada kekuasaan yang bisa mengatur, 3) tidak ada yang haram untuk dipikirkan, 4) tidak ada sanksi moral, 5) sifatnya spiritual, 6) ruang lingkupnya dinamis, 7) bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Penjelasan lebih lanjut lihat Musa Asy'arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 1999), hlm. 1-3
[9] Secara konseptual, kajian kitab suci dan kenabian malahirkan ilmu agama, sedangkan kajian terhadap alam semesta melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti termasuk di dalamnya ilmu humaniora dan kajian terhadap ayat-ayat Tuhan yang dilakukan pada tingktan makna, yang berusaha mencari hakikat dengan menggunakan nalar dan mata batinnya, melahirkan ilmu filsafat. Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan teknis, filsafat memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yang menyeluruh, sedangkan agama mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual, memasuki dimensi ilahiyah. Para filosof muslim yang menggunakan filsafat adalah untuk mempelajari konsep-konsep al-Qur'an. lihat Majid Fakhry, The Genius of Arab Civilization, (Canada: MIT. Press, 1983), hlm. 58
[10] Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), hlm. 11-12
[11]Abdul Munir Mulkhan , Ideologisasi Gerakan Dakwah…hlm. 207
[12] Ibid…hlm. 208
[13]dalam perbendaharaan bahasa Arab kita sering dengar kata, " لسان الحال أفصح من لسان المقال"

Selasa, 04 Agustus 2009

Provokasi Umat



Oleh: Tifatul Sembiring
(Presiden Partai Keadilan Sejahtera)

Dua ledakan bom terjadi di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott, memecah ketenangan Jakarta di pagi Jum'at, 17 Juli itu. Darah pun kembali tumpah. Sembilan orang meninggal dunia dan sekitar 60-an orang luka-luka. Astaghfirullah , provokasi apalagi ini?

Ummati... ummati... , kata Rasulullah SAW dengan suaranya yang lirih, saat-saat maut akan menjemput, beliau masih saja mengingat umatnya. Mungkin, ada hal-hal tertentu yang sedang beliau bincangkan dengan Jibril atau ada nubuwwah yang sedang diperlihatkan Allah SWT hingga beliau sangat mengkhawatirkan keadaan masa depan umat Islam. Itulah ucapan beliau menjelang detik-detik wafatnya.

Sebelumnya, Nabi SAW juga pernah memberikan wasiat panjang. Di kala hajjataul wada , beliau berpesan agar umat Islam berpegang erat kepada dua pedoman, yaitu Alquran dan sunah. Dan, agar menjaga tali persaudaraan sesama kaum Muslim. Atau, barangkali beliau terkenang kembali kepada peristiwa perang Uhud, kekalahan yang memilukan, di mana 70 orang pasukan kaum Muslim mati syahid. Termasuk, paman beliau yang sangat beliau cintai, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib.

Peristiwa ini direkam dalam surah Ali Imran ayat 153, di mana Allah SWT menegaskan pelajaran berharga, apa yang terjadi dan apa akibatnya manakala kaum Muslim berselisih dan bertengkar. Kemenangan yang telah diraih pada tahap pertama justru berbalik menjadi kekalahan. Ini disebabkan pasukan pemanah yang ditugaskan oleh Nabi SAW untuk tetap berada di Jabal Rumah (bukit Panah) malah berselisih paham. Sebagian besar malah turun dari atas bukit itu akibat dipancing tentara Quraisy dengan menebarkan barang-barang berharga di tengah jalan. Akibatnya, pasukan kaum Muslim kehilangan kunci pertahanannya.

Setelah Rasulullah wafat, apa yang beliau khawatirkan ternyata menjadi kenyataan. Munculnya hal-hal, seperti nabi palsu Musailamah al-Kadzab juga terjadi harbu riddah, ialah memerangi orang-orang murtad yang menolak membayar zakat. Bahkan, peristiwa lebih parah terjadi di masa Ali bin Abi Thalib, yaitu perang dengan Mu'awiyyah yang dikenal dengan perang Siffin di mana 80.000 Muslim menjadi korban. Ini adalah kejadian paling gelap dalam sejarah Islam karena perang saudara.

Bila kita tarik garis melewati ruang dan waktu, tentu kita bisa mengambil pelajaran bagaimana provokasi-provokasi itu bisa masuk ke tengah-tengah umat meskipun sudah diperingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam kasus Irak, misalnya, bagaimana Syiah menyerang Sunni dan Sunni menyerang Syiah. Ribuan korban telah berjatuhan. Berkali-kali mereka melakukan hal demikian, padahal musuh mereka adalah sang penjajah Amerika.

Hal yang sama terjadi pada kasus Palestina. Fatah menyerang Hamas dan Hamas menyerang Fatah, padahal musuh mereka adalah zionis Israel. Ini tidak terlepas dari provokasi para penjajah Yahudi atau Amerika. Demikian pula yang dialami kaum Muslim Uighur di Xinjiang. Mereka layak dibela karena mereka diperlakukan secara diskriminatif, yang sejarahnya dulu dianeksasi dari Turkistan (1955). Pemerintah Cina juga mengecap Muslim Uighur sebagai Wahabi, persis seperti istilah yang sering diungkapkan oleh Badan Intelijen Amerika atau yang disebut George Bush dalam pidato-pidatonya. Jadi, manakala umat Islam lemah hingga imunitasnya menurun; para provokator akan segera masuk dan menyelinap ke tengah-tengah umat. Padahal, jelas Allah SWT mengingatkan, In jaa akum fasiqun binabain fatabayyanuu (Jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita, cek dan riceklah oleh kalian). (QS 49: 6).

Kelemahan ini muncul karena kita tidak memiliki sistem informasi yang memadai, membuat seseorang mudah menimpakan tuduhan kepada saudaranya secara serampangan. Kisah sebab turunnya ayat di atas adalah ketika beberapa sahabat diutus Rasulullah SAW untuk menarik zakat dari sebuah negeri. Menjelang perbatasan negeri tersebut, tiba-tiba ada sepasukan berkuda yang mendatangi mereka. Karena salah paham, para sahabat ini berbalik ke arah Madinah karena menyangka akan diserang. Lalu, mereka melaporkan peristiwa ini kepada Rasulullah SAW. Sehingga, beliau pun merasa prihatin.

Namun, tak lama kemudian, datanglah utusan dari negeri tersebut. Utusan ini menjelaskan bahwa pasukan mereka justru ingin menyambut kedatangan para sahabat dan bukannya hendak menyerang. Lalu, turunlah ayat tentang tabayyun (cek dan ricek) tadi. Oleh sebab itu, ketika kita menerima berita, hendaklah mengecek terlebih dahulu berita tersebut sehingga umat tidak terprovokasi. Di negeri tercinta ini, Pemilu 2009 telah berlangsung dengan lancar. Dalam pilpres, seluruh calon adalah Muslim, tentunya dengan kualitas masing-masing. Berbagai kekuatan politik merapat membentuk koalisi-koalisi dan ini sah-sah saja secara perundang-undangan.

Namun, yang memprihatinkan kita adalah sekelompok orang yang mengaku ulama, berpenampilan ulama, dan aktif memprovokasi umat. Bukannya menenteramkan malah ngipasi . Dalam hati saya, '' Mbah Yai, kalau memang tidak tahan atau bernafsu sekali berpolitik, sebaiknya bikin partai saja, lebih fair kan ? Daripada seperti main karambol dan umat pun kurang terurus.'' Walhasil, fatwa-fatwa mereka pun ternyata tidak diikuti oleh pengikutnya.

Seorang ahli zikir saya ingatkan agar tidak usah bergabung dengan urusan pilpres ini, " Akhi , pilpres ini hanya tiga bulan, zikir antum masih panjang."Jawabannya simpel, ''Siap, Bang . Insya Allah, saya netral.'' Alhamdulillah. Kita juga menyaksikan bagaimana fitnah-fitnah banyak bertebaran di media. Informasi-informasi yang menyesatkan dan mengeruhkan suasana disebar melalui SMS. Ini bukanlah bentuk upaya-upaya konstruktif dan mencerdaskan umat. Hal ini tentu amat kita sayangkan. Berapa banyak sumber daya bangsa yang akhirnya terbelanjakan sia-sia karena efek provokasi tersebut. Penulis termasuk yang mengalami hal destruktif di atas ketika sebuah media menyajikan secara tidak utuh suatu wawancara sehingga pembaca bisa sampai pada kesimpulan yang misinterpretasi . Apalagi, dibumbui dan di-SMS ke mana-mana sehingga penulis dianggap telah melecehkan jilbab. Astaghfirullah !

Kejadian terakhir, kita dikejutkan oleh peristiwa tragis bom di kawasan Kuningan Jakarta. Sebentar lagi, dapat kita duga akan ada yang menuding bahwa kelompok Islam-lah yang melakukan pengeboman tersebut. Demikianlah adanya bila kita terus sibuk bertengkar sesama umat. Musuh-musuh bangsa justru memanfaatkan kelengahan dan kelemahan tersebut untuk memperkeruh suasana sehingga membawa dampak yang merugikan bagi bangsa dan negara. Inilah provokasi baru.

Adalah sebuah realitas bahwa akhir-akhir ini negara-negara lain memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif, sementara Indonesia sebaliknya, bergerak naik, sehingga investasi mengalir deras ke Indonesia. Sebagai sebuah kemungkinan modus, boleh saja dipertimbangkan dugaan adanya keinginan kelompok tertentu untuk memurukkan citra Indonesia dan mendiskreditkan pemerintah. Buktinya, para turis, investor, dan orang yang akan bertandang ke Indonesia mulai berhitung. Bahkan, rencana MU untuk laga tanding di Indonesia langsung dibatalkan.

Sebelum kita menuduh siapa-siapa, sebelum para pengamat memberikan analisisnya, please , jangan provokasi lagi umat ini. Pandangan Islam tentang terorisme jelas, waman yaqtul mu'minan muta'amidan fajazaa uhu jahannam khalidan fiiha (Dan, siapa yang membunuh satu orang beriman dengan sengaja, baginya neraka jahanam dan kekal di dalamnya). (QS 4: 93).

Oleh sebab itu, sekali lagi, janganlah kita menjadi provokator umat ini. Marilah kita saling mengingatkan tawashau bil haq tawashau bishshobr , untuk tidak terprovokasi. Bila ada berita-berita yang tidak jelas, seyogianya kita mengecek dan ricek kebenarannya. Terkait validitas informasi, sahabat saja ada yang sampai disebut sebagai fasik oleh Allah SWT ketika tidak memerhatikan kebenaran berita. Wallahua'lam bishawwab .

(Bukan) Kegamangan Politik Islam



Oleh: Dr Ali Masykur Musa
(Anggota F-PKB DPR RI)

Kegamangan kekuasaan menggelayuti dua ormas besar Islam: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Arus itu lamat-lamat menyeruak ke publik seiring berakhirnya moment pilpres. Kemenangan SBY-Boediono sementara berdasarkan rapat pleno KPU pada 25 Juli 2009 serta kekalahan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo menjadi pemantik utamanya. Hal itu terkait sinyalemen afiliasi politik Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin dan vulgaritas dukungan politik Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi kepada pasangan capres nomor urut tiga, JK-Wiranto.

NU dan Muhammadiyah adalah representasi komunalitas umat Islam di Indonesia. Keduanya secara sosiologis merupakan pewaris arus besar Islam Indonesia. Secara jam'iah (organisatoris), keduanya mempunyai basis struktural mengakar kuat dari pusat hingga pedesaan (ranting). Secara jama'ah (warga), keduanya adalah basis Islam terbesar, yang jika diakumulasi akan mencapai kisaran 90 hingga 100 juta warga.

Namun, lebih besar pasak daripada tiang. Besarnya dukungan politik ternyata tak sebesar harapan terhadap puluhan juta suara itu. Dukungan politik elite pimpinan ormas besar Islam tak kunjung mendongkrak suara pasangan JK-Wiranto, sebaliknya berada di urutan terbawah. Fakta itu kini melahirkan apa yang saya sebut sebagai 'kegamangan kekuasaan'. Ia muncul sebagai bentuk kekhawatiran psikologis rapuhnya bangunan kultural Islam karena aspek delegitimasi umat Islam kepada elitenya, baik dalam konteks struktural (elite organisasi) maupun secara kultural (kiai dan tokoh berpengaruh lain).

Menyikapi kegamangan
Ditinjau dari operasional kekuasaan praksis, kegamangan menjadi sebuah kewajaran. Meski tak langsung, selama ini NU dan Muhammadiyah diberi bagian turut serta melakukan penataan birokrasi. Salah satu kader mereka acap kali diminta menjadi bagian penting struktur negara. Dengan preseden kurang baik ini, bisa mungkin 'jatah kekuasaan' tak lagi diberikan kepada mereka, melainkan kepada pihak lain. Dalam konteks ini, terjadi semacam pergulatan politik kultural dalam tubuh ormas-ormas Islam sendiri pada perebutan kekuasan. Secara kebetulan, saat ini NU-Muhammadiyah berada pada keberpihakan yang sama.

Ditinjau dari domain kultural dan basis ideologisnya, kegamangan psikologis itu tak harus didramatisasi sebagai sebuah tragedi kekuasaan. Di satu sisi, kekalahan pilihan politik itu tidak sampai berefek terlalu parah. Sebab, ijtihad politik semacam itu tidak menjadikan ormas Islam ditinggal oleh warganya. Bagaimanapun warga NU dan Muhammadiyah masih membutuhkan bimbingan, tausiyah, dan pemberdayaan sosial dan keagamaan.

Dalam konteks nilai ideologis, pandangan politik NU dan Muhammadiyah sesungguhnya serupa meski tak sepenuhnya sama. Di NU, terdapat 'Khittah 1926' dan di Muhammadiyah ada 'Matan Muhammadiyah' sebagai basis nilai organisatoris. Baik khittah maupun matan sepaham untuk mengambil jarak dengan kekuasaan politik praktis sebagai garis pembeda antara gerakan kultural (keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya) dengan gerakan politik kekuasaan. Meski demikian, politik sebagai satu dari sekian variabel pemberdayaan masyarakat harus disikapi secara arif. Nah , kearifan itulah yang kini mesti dipraktikkan.

Di sisi lain, fakta politik pilpres mestinya menjadi referensi bahwa umat Islam saat ini berhak mempunyai preverensi pilihan berbeda dengan para tokohnya. Kesadaran atas hak memilih ini mesti disambut baik sebagai bagian dari tren positif demokrasi bangsa ini. Bahwa, rakyat sudah kian dewasa untuk berpikir sendiri dan memilih siapa pun calon yang mereka anggap baik. Pada saat yang sama, fakta ini menyiratkan dua pesan sekaligus.

Pertama, rekonsolidasi atas-bawah. Meski tak verbal, tertanam kesadaran di hampir semua ormas Islam untuk mengambil peran lebih besar dalam konteks kekuasaan politik praktis. Salah satu motivasinya adalah sinergi langsung dengan kekuasaan birokrasi akan mampu memajukan umat Islam secara lebih optimal. Kesadaran itu sesungguhnya menjadi sesuatu yang latent .

Sebab, jika tidak dikontrol dengan baik, ia akan berubah menjadi syahwat kekuasaan yang tanpa malu-malu dapat menabrak batas nilai etika dan moral. Agar tidak menjadi gerakan 'memalukan', diupayakan memahami terlebih dahulu arah preverensi umat Islam atas pemimpin bangsa ke depan. Caranya, melakukan komunikasi intensif antara elite umat dan warga lapis bawah. Karena itu, mesti dipikirkan sejauh mana efektivitas pola rekonsolidasi umat agar tidak terjadi jurang pemisah atas-bawah.

Kedua, rekonstruksi nilai dan pola gerakan. Di antara natijah penting usai pilpres adalah dikembalikannya ormas Islam kepada gerakan kultural. Baik NU maupun Muhammadiyah secepatnya meluruskan kembali orientasi perjuangan kulturalnya. Salah satu bentuk percepatannya adalah dengan membangun SDM kader yang akan didistribusikan ke semua bidang kehidupan, baik muamalah (sosial), ahwal asy syahsiyah (personalitas), maupun assiyasah (politik). Selama ini, belum ada optimalisasi pengkaderan hingga dalam level multidisipliner. Untuk memunculkan tokoh bangsa berkualitas 5-10 tahun ke depan, harus dipersiapkan sejak saat ini.

Optimisme
Elite umat Islam pada umumnya mesti menyikapi kemenangan politik pasangan SBY-Boediono sebagai keniscayaan demokrasi. Adapun kelemahan penyelenggara (KPU) tetap dikoreksi dan diproses sebagaimana mestinya di jalur hukum, mengajukan sengketa pilpres ke MK, misalnya. Sebagaimana keyakinan bersama bahwa ketiga pasangan capres adalah tokoh bangsa. Mereka semua mempunyai konsepsi konstruktif demi pemberdayaan bangsa Indonesia kearah cita-citanya. Karena itu, saya tetap yakin siapa pun pasangan pemenangnya akan tetap menempatkan ormas Islam dan umat Islam secara umum sesuai dengan porsi dan tugasnya masing-masing.

SBY sebagai representasi kalangan nasionalis-religius menjadi capres terpopuler di kalangan rakyat ditinjau dari berbagai segi strategi politik. Sebaliknya, chemistry religiositas JK belum mampu mengakomodasi gerbong 'Islam politik' dengan terpecahnya suara umat Islam dalam fragmentasi kewajaran politik. Karakter pemimpin berkarakter nasionalis-religius seperti SBY memang menjadi tren saat ini. Tetapi, tren itu akan berubah lima tahun mendatang, seiring absennya SBY dalam kontestasi pilpres karena terhalang konstitusi (tidak dapat dipilih untuk ketiga kalinya).

Dan, kemungkinan munculnya tokoh dengan tingkat religiositas mendalam berwawasan nasionalis (religius-nasionalis) akan muncul pada periode 2014 mendatang. Di sinilah kesempatan kader-kader NU-Muhammadiyah tampil sebagai calon pemimpin. dengan basis massa kuat, tokoh dari ormas Islam mempunyai kohesivitas tinggi yang mudah didorong sebagai ikon pemimpin bangsa. Karena itu, tak ada alasan bersikap pesimis saat ini.

Justru pengalaman politik ini berguna sebagai ruang kontemplasi dan pembenahan diri untuk mengerahkan segenap kemampuan peningkatan SDM mumpuni. Di titik ini, rasanya tidak berlebihan jika kader NU atau Muhammadiyah akan menjadi pemimpin bangsa pada 2014 mendatang. Jika branded SBY-Boediono adalah nasionalis-religius, ke depan rasanya akan bergeser ke branded religius-nasionalis. Maka, mulai saat ini, tak ada alasan kegamangan bagi masa depan politik Islam selama tetap menjunjung tinggi pluralitas. Semoga!

(-)

Darul Islam, Wahabi, Lalu Apa Lagi?



Herry Nurdi
(penulis, wartawan)

Sebulan pascaperistiwa 11 September 2001, majalah Time menurunkan laporan utama tentang jaringan Alqaidah dengan judul Inside Al Qaeda Bin Laden's Web of Terror. Majalah ini, mendaftar Indonesia sebagai salah satu lokasi jaringan ini berada. Dua organisasi Islam dimasukkan namanya sebagai kepanjangan tangan Alqaidah di Indonesia. Kedua organisasi tersebut adalah Laskar Jihad dan Front Pembela Islam (FPI).

Kedua organisasi ini dikaitkan karena beberapa aktivitasnya. FPI ditandai dengan kegiatannya melakukan sweeping pada warga negara asing, terutama warga Amerika di Jakarta. Sedangkan, Laskar Jihad dikaitkan karena aktivitas gerakannya yang dipimpin oleh Ja'far Umar Thalib ini, dalam Jihad Ambon. Apalagi, diketahui bahwa Ja'far Umar Thalib adalah salah satu alumnus Afghanistan, orang-orang Indonesia yang pernah turut berperang di Afghanistan melawan Uni Soviet.

Tapi ternyata, peta ini tak bertahan lama. Baik FPI dan Laskar Jihad memang tak memiliki hubungan dalam network Alqaidah. Peta baru digelar, dengan mengaitkan gerakan Islam tua di Indonesia, seperti Darul Islam, sebagai akar terorisme di negeri Khatulistiwa. Laporan pertama kali yang menyebut nama organisasi Darul Islam adalah Dr Zachary Abuza, dari Departemen Political Science dan Hubungan Internasional, Simmons College. Laporan yang disusun oleh Zhachary Abuza beredar pada 6 Agustus 2002. Dan setelah itu, banyak nama lain yang bermunculan. Sebut saja, Rohan Gunaratna dengan Inside al Qaeda Global Network of Terror. Kemudian ada The Seed of Terror yang disusun oleh Maria A Ressa, kepala biro CNN di Jakarta. Dan yang terakhir muncul, dan sangat kuat merangkai keterkaitan Darul Islam sebagai akar terorisme di Indonesia adalah buku berjudul The Second Front yang ditulis oleh Ken Conboy.

Ken Conboy menulis The Second Front yang ia beri subjudul Inside Asia's Most Dangerous Teroris Network. Dan di buku ini, Ken Conboy memereteli dan menyusun logika tentang keterlibatan Darul Islam dalam proses kelahiran Jemaah Islamiyah.

Bahkan, setelah halaman 116, dalam bukunya Ken Conboy menyusun foto-foto tokoh yang seolah hendak bercerita secara kronologis. Paling atas ada Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, lalu turun sedikit ada Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir. Lalu ada gambar peta lokasi Abdul Rasul Sayyaf di perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Bahkan di halaman berikutnya, secara provokatif disusun di halaman yang sama foto Abdul Rahim Ayyub yang disebut-sebut pimpinan Mantiqi IV di wilayah Australia sedang duduk bareng dengan Abu Bakar Ba'asyir.

Meski begitu, tampaknya nama yang paling populer dalam urusan laporan jaringan terorisme ini tak ada yang mengalahkan nama Sidney Jones, koordinator Internasional Crisis Group. Sidney Jones begitu gencar mengatakan Darul Islam (DI) yang menjadi mata rantai paling besar gerakan terorisme di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan Tempo, Sidney menerangkan bahwa muncul jaringan bermacam-macam dari DI. Mulai dari Jemaah Islamiyah (Jl), Laskar Jundullah di Makassar, dan Mujahidin Kayamanya. Bahkan KW 9 yang dipimpin oleh Abu Totok alias Panji Gumilang yang juga Pimpinan Al Zaytun, telah disebut oleh Sidney Jones.

Menyebut nama Darul Islam, bukan sembarangan dampaknya. Sebab, seperti pukat harimau, jika Darul Islam disebut, nyaris semua gerakan Islam bisa terjaring dan kena sasaran. Karena, tidak berlebihan jika disebut Darul Islam adalah akar dari seluruh gerakan Islam di Indonesia.

Jika Darul Islam telah disebut, semua organisasi Islam di Indonesia bisa jadi terkena. Salah satu contohnya adalah ketika dalam laporannya, ICG menyebut nama Abu Jihad. Abu Jihad ini adalah anggota DI generasi Daud Bereueh. Sedangkan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir dianggap tokoh DI di Jawa Tengah. Darul Islam tidak ada hubungannya dengan Jemaah Islamiyah. DI ada di masa lalu. Sama sekali tak ada hubungannya dengan Jl.

Kini, muncul penamaan baru: Wahabi. Tak hanya Wahabi, tapi juga Ikhwanul Muslimin telah disebut-sebut. Konon keduanya, Wahabi dan Ikhwanul Muslimin telah 'melangsungkan' perkawinan silang yang melahirkan anak-anak dengan ideologi sekeras batu dan perilaku gerakan yang militan.
Wahabi sebenarnya bukan istilah baku dalam sumber-sumber rujukan Islam. Wahabi adalah penyebutan sebuah gerakan yang didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at Tamimi al Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M). Tokoh ini lahir di Uyainah, belajar Islam dari sumber terpercaya, hafal Alquran pada usia 10 tahun dan dapat bermazhab Hambali.

Pada zamannya, beliau berhadapan dengan masyarakat yang mengalami kemunduran dan kerancuan akidah Islam. Kehidupan umat Islam nyaris dibelenggu dengan warna dan aroma syirik serta takhayul. Kuburan disembah dan dijadikan tempat berdoa. Kemusyrikan menjadi gejala. Bahkan, dukun serta peramal memainkan peranan penting di tengah kehidupan sosial.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melakukan dakwah untuk membersihkan akidah dan memurnikan tauhid. Beliau mengajak umat membersihkan kesadaran dan memperbaiki akidahnya. Dan untuk itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menulis sebuah risalah pendek yang berjudul Kitabut Tauhid yang hingga kini masih menjadi rujukan para ulama dalam masalah akidah. Gerakan penyadaran ini lalu berkembang menjadi sebuah kesadaran massal, tidak saja di tempatnya dicetuskan, tapi meluas hampir ke seluruh jazirah Arab, bahkan keluar sampai ke tanah-tanah seberang, termasuk Indonesia.

Secara umum, gerakan ini memiliki beberapa tokoh ulama yang dijadikan rujukan, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, juga Ibnul Qayyim al Jauzi. Dan kelak, gerakan ini menjadi semacam pemantik kebangkitan gerakan-gerakan Islam yang lebih modern dan dianggap sebagai gerakan yang memiliki pengaruh luas di dalam dunia Islam, seperti ide Pan-Islamisme yang dicetuskan oleh Jamaluddin al Afghani, dan juga pemikiran yang dibawa oleh Syaikh Muhammad Abduh.

Secara logika, dengan sangat sederhana hal ini bisa dicerna. Mengapa gerakan pemurnian akidah yang diserukan dan diperjuangkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini berkembang menjadi ide dan pemikiran yang membahayakan kolonialisme? Sebab, akidah yang murni mendorong manusia untuk melepaskan diri dari menjadi hamba manusia lainnya, dan menjadi hamba Allah SWT semata. Gerakan ini, secara jangka panjang telah mengilhami usaha dan perjuangan kemerdekaan yang sedang membelenggu dunia Islam pada masa-masa itu. Dan tentu saja, gerakan ini telah dipandang sebagai ancaman tersendiri bagi kekuatan-kekuatan kolonial.
Hassan al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin sendiri, bisa dibilang sebagai salah satu anak cucu ideologis dari pemikiran tokoh-tokoh, seperti Syaikh Jamaluddin al Afghani dan juga Syaikh Muhammad Abduh. Maka secara ideologis, di sinilah letak pertemuan antara Wahabi dan Ikhwanul Muslimin yang hari ini disebut-sebut telah memberikan sumbangan besar pada perilaku terorisme.

Salah satu motif yang bisa dilacak dengan menyebut Wahabi dan Ikhwanul Muslimin sebagai akar ideologis dari masalah teror ini tidak lain untuk memperlebar pukat harimau untuk seluruh gerakan Islam. Maka kelak, bukan hanya gerakan-gerakan yang sudah familier disebut sebagai networking teroris seperti Jemaah Islamiyah. Tapi, bisa jadi tuduhan akan diperlebar pada elemen-elemen tertentu dari gerakan-gerakan seperti Muhammadiyah, al Irsyad, Persis, bahkan juga Nahdlatul Ulama, bahkan yang lebih bersifat trans-nasional, seperti Hizbut Tahrir dan Jamaah Tabligh.

Sebab, gerakan-gerakan seperti Muhammadiyah, memiliki unsur ajaran 'Wahabi' yang dibawa oleh KH Ahmad Dahlan saat meluruskan umat Islam dari penyimpangan TBC (Tachayul, Bid'ah, dan Churafat, ejaan lama). Ditambah lagi dengan penyebutan Ikhwanul Muslimin, maka nama partai politik seperti Partai Keadilan Sejahtera di Indonesia, atau PAS di Malaysia, juga menjadi sasaran dari perluasan incaran.

Dan dengan mudah, gerakan-gerakan perlawanan seperti Patani United Liberation Organization (PULO) dan Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang ada di Thailand Selatan, yang bergerak karena perlawanan akibat ketidakadilan Pemerintahan Thailand, mendapatkan stigma gerakan teroris karena mendapatkan ide tarbiyah dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Apalagi gerakan perlawanan seperti Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang mendiang pemimpin besarnya, Ustadz Salamat Hashim, adalah seorang Azhari atau lulusan Universitas Al Azhar, Mesir. Dengan sangat mudah gerakan perlawanan dikelompokkan sebagai teroris, apalagi secara tradisional Amerika memang memiliki hubungan erat dengan kepentingan Filipina. Padahal, secara kontekstual gerakan-gerakan seperti yang disebut terakhir ini lahir akibat dari penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di negara-negara seperti Thailand dan Filipina.

(-)