Selasa, 31 Maret 2009

Politik Kawin Sirri



  • Oleh Abdul Mu’ti

Sesuai konstitusi, negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara. Kewajiban negara wajib melindungi perempuan dan anak-anak dari pelaku kawin sirri. Tujuan syariah adalah untuk melindungi umat manusia dan menyelamatkan masyarakat dari kehancuran. Demi kemaslahatan umat dan masyarakat, biarlah perkawinan sirri menjadi sejarah feodalisme masa lalu.

DISKURSUS kawin sirri mulai mendapat perhatian publik secara serius setelah pernikahan kontroversial Syeh Puji dengan gadis 12 tahun terjadi. Miliarder asal Kabupaten Semarang itu kemungkinan besar akan masuk bui karena melanggar undang-undang perkawinan dan perlindungan anak.

Jika pengadilan Syeh Puji bertujuan untuk penegakan hukum, tindakan pemerintah sungguh sangat terlambat dan terkesan politis. Praktik kawin sirri sudah terjadi berpuluh tahun, bahkan sudah menjadi tradisi. Sekian lama pemerintah membiarkan praktik perkawinan yang tidak tercatat secara resmi ini. Mayoritas masyarakat juga memaklumi karena berpendapat bahwa perkawinan sirri sesuai dengan ”agama”.

Berbagai pihak baru tersadar, ketika kawin sirri mulai menjadi pandemi. Demoralisasi membuat perkawinan sirri menjadi penyebab beraneka patologi sosial. Bangunan keluarga roboh karena perceraian. Di antara penyebab perceraian yang tertinggi adalah kawin sirri. Menurut Departeman Agama, 200 ribu (10 persen) dari dua juta pernikahan setiap tahun bercerai karena perkawinan sirri (Depag, 2009). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam keluarga kawin sirri juga tinggi.

Selama Januari-Februari 2009, LBH APIK Jakarta menerima 130 kasus KDRT di Jabodetabek. Sebanyak 51 persen (49 persen isteri dan 3 persen suami) menggugat cerai pasangan mereka. Sejumlah 46,8 persen yang mengajukan perceraian adalah pasangan yang melakukan perkawinan sirri (LBH APIK, 2009). Masalah lain yang mengemuka adalah perampasan hak-hak sosial anak dan ibu yang melahirkan seperti kasus artis Machicha Mochtar.

Neofeodalisme

Secara historis-antropologis, akar tradisi kawin sirri dapat ditarik dari tradisi tradisi poligami yang berkembang dalam masyarakat feodalistik. Fisolofi budaya feodal menempatkan supremasi laki-laki sebagai warga kelas satu dan subordinasi perempuan sebagai warga kelas dua. Perempuan diciptakan ”untuk” laki-laki. Posisi perempuan tidak lebih dari sekadar objek (maf'ul bih) atau pelengkap penyerta (maf'ul ma'ah).

Nilai perempuan sama halnya dengan harta benda. Kemakmuran dan prestasi identik dengan kekayaan harta, jumlah isteri dan tingginya jabatan. Dalam kultur feodalisme aristokratik yang berbasis kerajaan, seorang raja atau sultan ”wajib” poligami. Selain seorang permaisuri, raja atau sultan memiliki selir sebagai ”ageman” yang tidak terbatas jumlahnya.

Meskipun praktik dan motivasinya berbeda, tradisi poligami juga terdapat dalam kultur feodalisme religius. Seorang pemimpin agama (ustadz, kiai, ajengan, dan sebagainya) lazim memiliki banyak istri. Bagi kelompok ini, poligami dimaksudkan untuk mengikuti ”sunnah” Nabi Muhammad dan strategi dakwah. Perkawinan tidak tercatat karena sistem administrasi dan birokrasi negara belum berjalan dengan baik.

Perkawinan sirri pada masa kini merupakan bentuk neofeodalisme. Feodalisme ini memadukan kultur feodalisme aristokratik, religius dan free-sex dalam liberalisme humanistik. Masyarakat liberal memandang perkawinan sebagai kontrak sosial semata. Mereka mengabaikan lembaga perkawinan.

Yang terpenting dalam hubungan laki-laki dan perempuan adalah suka sama suka. Tidak ada lagi dimensi transendental. Relasi seksual bergeser dari fungsi reproduksi dan regenerasi yang sakral, tereduksi sebatas rekreasi atau hiburan (enjoyment). Berganti-ganti pasangan bukanlah hal yang asing.

Dalam praktik kawin sirri, agama sering hanya dijadikan sebagai kedok atau legalisasi formal. Dalam Marriage Counselling, Dadang Hawari menilai praktik kawin sirri sekarang ini tidak lebih dari upaya sengaja untuk melegalisasi perselingkuhan dan poligami. Di Jakarta, Bogor dan kota-kota lain, ditemukan hotel-hotel yang melakukan komersialisasi dan komodifikasi kawin sirri. Oleh para lelaki hidung belang yang diperbudak nafsu, kawin sirri adalah bentuk baru dari ”prostitusi religius”. Beberapa pelakukanya adalah orang kaya baru (OKB) dan ulama su' (tidak beradab).

Dikotomi

Selain alasan kultural, kawin sirri terjadi karena faktor politik. Pertama, dikotomi antara hukum negara dengan hukum agama. Sebagian muslim memisahkan secara tegas hukum agama dengan negara. Kelompok ini menolak sistem negara Pancasila. Mereka hanya ”loyal” kepada agama dan mengabaikan, bahkan menolak hukum negara dan segala perangkatnya.

Ideologi ini, secara tidak langsung, mendapatkan pembenaran dari sistem perundangan yang dualistik, misalnya dengan dibentuknya peradilan agama. Di satu sisi, peradilan agama merupakan akomodasi negara terhadap umat Islam yang memungkinkan mereka menyelesaikan masalah perdata sesuai dengan syariah.

Pada sisi yang lain, adanya lembaga peradilan agama yang khusus bagi umat Islam menunjukkan ada perbedaan antara hukum positif negara dengan syariah. Jika tidak diklarifikasi dengan arif, pandangan dikotomis ini bisa menimbulkan problem konstitusi dan politik yang serius pada masa depan.

Kedua, pemahaman undang-undang perkawinan (UUP) No. 1/1974 yang tidak komprehensif. Pasal 2 UUP No. 1/1974 menyebutkan perkawinan dinyatakan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan agama masing-masing mempelai. Berdasarkan pasal ini, banyak pasangan yang menikah secara ”agama”.

Mereka cukup menikah di depan ulama, kiai, ustadz dan sebagainya dan tidak mencatatkan di kantor urusan agama (KUA). Dalam khazanah fikihh klasik, tidak ada satu pun ulama mazab yang memasukkan pencatatan sebagai syarat dan rukun perkawinan. Mazab ahlussunnah yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia menyebutkan lima syarat perkawinan: (1) ada mempelai, (2) wali --khususnya mempelai wanita, (3) saksi, (4) mahar, dan (5) ijab kabul.

Sesuai dengan pemahaman fikih tersebut, perkawinan sesuai dan sah menurut agama apabila kelima hal tersebut terpenuhi. Atas alasan ini, banyak pasangan ”kumpul kebo” yang mengaku sudah menikah secara ”agama”. Kekeliruan pemahaman UUP No. 1/1974 ini ikut bertanggung jawab atas pertentangan antara hukum agama versus hukum pemerintah.

Solusi

Sebagai respons atas fenomena kawin sirri yang meresahkan, Departemen Agama sedang menyiapkan RUU Materiil Peradilan Agama bidang perkawinan. RUU ini memuat pasal-pasal penting yang belum diatur dalam UUP No.
1/1974. Dalam RUU ini tidak disebutkan istilah kawin sirri, tetapi perkawinan yang ''tidak tercatat''. Mempelai, wali, saksi dan pihak mana pun yang terlibat dalam perkawinan yang tidak tercatat akan dikenai sanksi hukum. Secara konseptual, solusi konstitusional yang ditawarkan Departemen Agama sangat rasional. Masalah --klasik-- dalam sistem hukum di Indonesia bukan semata-mata terletak pada materi, melainkan penegakannya.

Solusi konstitusional yang mengharuskan pencatatan perkawinan akan semakin kuat apabila dikaitkan dengan solusi religius. Perlu reinterpretasi konsep fikih klasik, khususnya tentang perkawinan. Tidak dimasukkan pencatatan sebagai syarat atau rukun perkawinan karena pada masa klasik belum ada lembaga birokrasi yang memadai. Masyarakat yang masih tinggi tingkat kujujurannya dan mobilitas yang terbatas membuat lembaga pencatat pernikahan tidak diperlukan.

Ajaran Islam tentang perkawinan, secara implisit, menghendaki keharusan pencatatan. Pertama, Alquran menegaskan agar setiap transaksi utang-piutang dalam jangka waktu tak terbatas dicatat dengan sebaiknya-baiknya. Analog dengan ini, perkawinan yang merupakan akad (transaksi) juga harus dicatat pula. Kedua, keharusan adanya saksi dalam pernikahan mengandung makna bahwa pernikahan tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ketiga, tuntunan tentang walimatu al-ursy yang diselenggarakan setelah perkawinan mengandung pesan agar perkawinan tercatat dengan baik (well-recorded) dalam memori kolektif masyarakat. Berdasarkan interpretasi ini, perkawinan yang tidak tercatat tidak sah menurut agama.

Sesuai konstitusi, negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara. Negara wajib melindungi perempuan dan anak-anak dari pelaku kawin sirri. Tujuan syariah adalah untuk melindungi umat manusia dan menyelamatkan masyarakat dari kehancuran. Demi kemaslahatan umat dan masyarakat, biarlah perkawinan sirri menjadi sejarah feodalisme masa lalu. (35)

–– Dr Abdul Mu’ti MPd, Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Jakarta

Selasa, 24 Maret 2009

Revolusi Kesadaran Itu Sudah Menggelinding (I)


oleh: Ahmad Syafii Maarif


Tampaknya memang tidak selalu bisa dimulai dari revolusi politik untuk sebuah perubahan yang mendasar. Pada permulaan abad ke-15 hijriah umat Islam bersorak-sorai tentang abad kebangkitan.

Dipicu oleh Revolusi Iran yang dahsyat di bawah pimpinan Khomeini, sorak-sorai itu semakin membahana, bahkan tidak sedikit umat biasa yang langsung berubah maszhab: menjadi pengikut syi'ah, termasuk beberapa kasus yang berlaku di Indonesia. Kini waktu sudah bergulir 30 tahun pasca revolusi itu, perubahan fundamental ke arah suasana yang lebih adil dan manusiawi di dunia Islam baru tampak pada kuncupnya.

Sebagaimana yang akan saya jelaskan di bawah ini, kuncup perubahan itu telah mulai menggeliat, didorong oleh kesadaran yang semakin mendalam tentang kondisi umat yang masih compang-camping. Revolusi politik ternyata tidak membawa perbaikan yang berarti. Standar apa pun yang anda gunakan sebagai parameter untuk meneropong kondisi umat, kesimpulannya hanya tunggal: Tidak bisa terus begini!

Memasuki abad ke-21 miladiah, kegoncangan di dunia Islam malah semakin parah. Sekitar 20 tahun sebelum memasuki abad ini, Iraq di bawah Saddam Hussein berperang dengan Iran, negara tetangganya seagama. Ulama kedua negara yang bertikai itu sama-sama menggunakan dalil agama untuk saling membunuh satu sama lain. Panorama apa namanya ini? Tidak hanya sampai di situ, Iraq kemudian melakukan invasi atas Kuwait, negara kecil yang tak berdaya.

Peluang ini dimanfaatkan oleh Amerika dan sekutunya untuk melakukan akrobat perang. Iraq kemudian dihancurkan, Saddam dihukum gantung, benda-benda bersejarah milik Negeri 1001 Malam itu banyak yang binasa dan banyak pula yang dicuri. Amerika di bawah Bush ketika itu tetap saja mengklaim dirinya sebagai pelopor demokrasi dan hak-hak asasi manusia, tetapi perbuatan biadab dengan membunuh manusia dan merusak sisa-sisa peninggalan peradaban kuno juga dilakukan tanpa rasa malu. Ini adalah panorama lain yang mengawali abad ke-21. Dalam pada itu Palestina masih saja menjerit, Fatah dan Hamas belum juga akur, Jalur Gaza sudah babak belur, penderitaan penduduknya sudah sampai di puncak, sementara Israel kini dikuasai oleh kelompok rasis semi manusia.

Jika demikian pemandangannya, apakah dunia Islam masih saja berada di jalan buntu? Kelompok liberal dan fundamentalis masih berlomba dalam membangun kultur untuk tidak saling berdialog dan tidak saling mempercayai, apakah fenomena yang semacam ini yang dibenarkan al-Qur'an?

Ternyata pada tahun-tahun belakangan ini, titik-titik terang telah mulai tampak di ujung lorong sana, setelah dunia Islam mengalami pukulan telak sejarah yang nyaris saja membawa umat ini ke jurang keputusasaan. Titik-titik terang ini tidak dimulai oleh revolusi politik, sebagaimana tersebut di atas, tetapi dari kesadaran eksistensial kaum intelektual, aktivis, dan bahkan rakyat awam di berbagai negara Muslim. Fenomena ini sungguh sangat menghibur semua pihak yang ingin segera ke luar dari kepungan jalan setengah buntu ini.

Laporan mingguan Time tertanggal 19 Maret 2009 di bawah judul A Quiet Revolution Grows in the Muslim World dan laporan mingguan Newsweek untuk terbitan 30 Maret 2009, dengan pusat perhatian atas perkembangan terakhir di Saudi Arabia dengan judul The Monarch Who Declared His Own Revolution menjadi salah satu sumber refleksi saya di atas. Terasa laporan kedua mingguan papan atas itu mencoba bersikap apresiatif terhadap perubahan yang terjadi di kalangan umat itu, sekalipun bisa menjurus kepada sikap sangat kritikal kepada Barat dan ketidakpercayaan kepada kelompok-kelompok radikal dan militan yang tidak punya apa-apa, kecuali kekerasan, untuk ditawarkan dalam upaya membawa nilai-nilai universal Islam turun ke bumi. Time menulis:

Dirisaukan oleh kelompok ekstremis yang dapat menghancurkan tetapi gagal membangun alternatif-alternatif untuk perbaikan kehidupan harian, anggota generasi pasca 9/11 semakin berpegang kepada nilai-nilai Islam tinimbang kepada ideologi berdasarkan agama untuk mengejar tujuan mereka. Dan cukup penting, revolusi lunak telah membuahkan sebuah kepercayaan diri baru di kalangan Muslim dan sebuah kesadaran bahwa jawaban untuk masalah-masalah mereka terletak dalam iman dan komunitas mereka sendiri, tinimbang di dunia luar. Revolusi itu adalah reformasi dalam sebuah paket konservatif.

Generasi sadar ini rata-rata berusia antara 15-35 tahun. Mereka didefinisikan oleh sebuah pengalaman yang sama. Mereka berpikir positif, terdidik, dan punya akses pada teknologi dan aspirasi untuk mobilitas ekonomi. Mereka juga bersikap kritikal kepada penguasa-penguasa Muslim yang korup dan tak tahu diri. Mereka tidak mau lagi menjadi tawanan politik pasca 9/11. Revolusi lunak itu terjadi di banyak negara: Mesir, Bosnia, Kuwait, Palestina, Turki, Pakistan, Saudi Arabia, dan tentu saja di Indonesia, bukan?

(-)

Cak Nur Cendekiawan Besar Islam di Era Modern

MEDAN -- Nurcholish Madjid atau Cak Nur tercatat sebagai salah seorang cendekiawan besar Islam pada periode modern. Menurut Prof Nur A Fadhil Lubis, guru besar IAIN Sumatra Utara, Cak Nur dinobatkan sebagai cendekiawan besar Islam di abad modern oleh Greg Barton, seorang profesor ilmu politik dari Monash University Australia.

''Penilaian itu diungkapkan Greg Barton dalam salah satu tulisannya menanggapi wafatnya Cak Nur pada 29 Agustus 2005," tutur Fadhil dalam seminar nasional mengenang 70 tahun Nurcholish Madjid di Medan, akhir pekan lalu. Menurut Fadhil, dalam tulisannya, Barton menilai pemikiran dan gagasan Cak Nur sangat jernih dan cukup tegas.

Selain itu, kata Fadhil, Barton juga menilai pendapat Cak Nur tentang Islam cukup luas dan sangat menguasai sejarah Islam. Menurut Fadhil, Cak Nur juga dikenal sebagai pribadi yang terhormat dan sangat ramah. ''Bahkan, Barton memuji Cak Nur sebagai sosok Being Truly Saintly And Godly Character yang jika dalam konteks keislaman Indonesia mungkin dapat diterjemahkan sebagai wali,'' papar Fadhil.

Atas pertimbangan itulah, papar Fadhil, Cak Nur dinobatkan sebagai cendekiawan besar Islam di abad modern. Fadhil menambahkan, sosok Nurcholis Madjid disejajarkan dengan pemikir Muslim modern lainnya, seperti Fethullah Gulen dari Turki dan Shourous asal Iran. Ketiganya dinilai sebagai progressive Islamic intellectual yang berhasil mencerahkan banyak pihak di dunia ini tentang ada dan pentingnya agama dan keyakinan yang dipahami serta disikapi berbeda.

Menurut Fadhil, pemikiran ketiga intelektual Islam itu menjadi kunci bagi masa depan dunia yang cerah, lebih sejahtera, dan lebih damai. "Greg Barton menyimpulkan bahwa pengaruh dan sumbangsih Cak Nur tidaklah berakhir dengan kematiannya. Bahkan, lebih merupakan awal perkembangannya," kata Fadhil.

Dalam kesempatan yang sama, Yudi Latif dari Universitas Paramadina Jakarta, mengatakan, ada pertautan yang erat antara gagasan keislaman Nurcholish Madjid, cita-cita keindonesian, serta proyek historis gerakan reformasi. Menurut Yudi, inti pesan keislaman Nurcholish Madjid adalah ketegasan semua selain Tuhan bersifat nisbi belaka. ant

Sabtu, 21 Maret 2009

Pluralisme Agama



Tiar Anwar Bachtiar
(Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah)

Tulisan Prof Dr A Syafi'i Ma'arif pada rubrik Resonansi di harian Republika bukan hanya sekali ini (Selasa, 17 Maret 2009) mengundang kontroversi. Sudah berkali-kali tulisannya terdahulu menuai badai kritik. Kali ini yang menjadi bahan provokasinya adalah buku baru Abd Moqsith Ghozali yang berjudul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Alquran (Jakarta: KataKita, 2009).

Dengan terburu-buru, Prof Syafi'i memuji buku ini bahwa Moqsith telah mengurai masalah pluralisme agama sebagai salah satu isu yang diharamkan itu melalui pendekatan akademik yang imbang.

Ia juga menyarankan kepada MUI yang telah mengeluarkan fatwa haram 'pluralisme' untuk mengkaji kembali fatwanya dengan membaca dan mengkritisi buku ini.

Sebenarnya, apa yang diutarakan Prof Syafi'i ini jelas hanya klaim-klaim sepihak yang tidak berdasar pada argumentasi dan pengetahuan yang luas tentang masalah ini. Kalau beliau jeli dan juga mau sedikit membuka diri, sebetulnya isu buku ini sudah pernah dikupas panjang lebar setahun lalu (edisi April 2008) di majalah Tabligh yang diterbitkan oleh Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah.

Buku ini asal muasalnya adalah disertasi Abd Moqsith yang dipertahankannya dalam sidang promosi doktor bidang Ilmu Tafsir Alquran di UIN Jakarta pada tanggal 27 Desember 2007 dengan judul Perspektif Alquran tentang Pluralitas Umat Beragama. Kalau ini sebuah disertasi, mestinya sudah lumrah kalau dibaca terlebih dahulu oleh para pengujinya. Artinya, sudah ada yang menelaah dan membacanya, bahkan sampai kata per kata. Inilah yang mungkin dilupakan Prof Syafi'i.

Perlu dicatat oleh beliau bahwa salah seorang penguji disertasi ini, Prof Salman Harun, satu-satunya penguji yang berlatar belakang disiplin ilmu tafsir, sampai harus menulis kritikan khusus yang sangat mendasar terhadap disertasi ini. Seyogyanya, Prof Syafi'i membaca kritikan Prof Salman Harun sehingga tidak perlu ada ungkapan yang terlalu membesar-besarkan buku ini.

Selain metodologi yang lemah, di antara kelemahan mendasar yang dilakukan Moqsith yang tidak sepatutnya dilakukan seorang mahasiswa S3, menurut Prof Salman Harun, adalah pemaksaan argumentasi. Moqsith secara paksa mengutip pendapat-pendapat para ulama, seperti Al-Thabari, Zamakhsyari, bahkan Nawawi al-Jawi tidak secara utuh seolah-olah para ulama yang hanif itu sepakat dengan kesimpulan Moqsith.

Kesaksian lain atas disertasi ini disampaikan oleh Prof Muardi Chotib. Pada saat disertasi ini masih dalam bentuk usulan penelitian, ia ikut bersidang dan mengusulkan untuk menolak disertasi ini. Selain temanya yang tidak layak untuk penelitian setingkat doktor, metodologi yang ditempuhnya pun sangat lemah. Namun, entah bagaimana tiba-tiba disertasi ini sudah masuk dalam sidang-sidang berikutnya tanpa melibatkan dirinya hingga akhirnya dinyatakan lulus.

Salah satu kecacatan metodologis buku ini ditunjukkan oleh Fahmi Salim, pakar tafsir lulusan Al-Azhar Kairo. Moqsith seenaknya menafsirkan ayat-ayat Alquran tanpa ukuran metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara disiplin ilmu tafsir. Mazhab kontekstual ditekankan untuk sejumlah teks yang diduga antikemajemukan beragama. Dan, di sisi lain, mazhab literal diterapkan untuk ayat-ayat yang mendukung pluralisme. Menurut Fahmi, cara-cara seperti itu merupakan 'malpraktik penafsiran'.

Menilik pada kasus (baca: tragedi akademik) di atas, semestinya tidak perlu keluar ungkapan-ungkapan dari Prof Syafi'i Ma'arif yang terlalu memuji tidak pada tempatnya. Apalagi, secara tidak langsung beliau menuduh MUI sebagai tidak akademik dan tidak intelektual alias bertindak hanya mengandalkan emosi. Buku ini justru harus dipandang sebagai sebuah 'kecerobohan akademik' bukan sebagai sebuah kegigihan akademik yang bernilai tinggi dan pasti punya jangkauan jauh seperti yang diklaim Buya Syafi'i.

Juga, tidak benar sama sekali bahwa bagi mereka yang dianggap 'menjadikan kemapanan sebagai mazhab' buku ini merupakan sesuatu yang baru. Bertahun-tahun sebelum disertasi ini dibuat, Dr Anis Malik Thoha (rois Syuriah NU Kuala Lumpur dan ketua Departemen Perbandingan Agama Universitas Islam Internasional Malaysia) sudah menulis disertasi mengenai masalah yang sama di International Islamic University Islamabad Pakistan dalam bidang Comparative Religion.

Tahun 2006, Gema Insani Press menerbitkannya dengan judul Tren Pluralisme Agama. Buku ini secara akademik bermutu tinggi dan mendapatkan penghargaan di berbagai level internasional. Dalam acara Islamic Book Fair di Jakarta tahun 2007, buku ini juga mendapat penghargaan sebagai buku terbaik untuk kategori nonfiksi. Aneh sekali, dalam bukunya, Abd Moqsith sama sekali tidak menyebut buku ini dalam tinjauan pustakanya. Sedangkan buku-buku lain yang secara ilmiah jelas dibawah buku Dr Anis Malik Thoha, disebut-sebut dalam tinjauan pustakanya.

Kesimpulan dalam tulisan Dr Anis sangat berseberangan dengan kesimpulan Moqsith. Bukankah karya ini pun semestinya dibaca pula oleh Prof Syafi'i Ma'arif, sebelum memuji-muji buku karya Moqsith? Apakah karya Dr Anis yang juga sama-sama dilakukan dengan kerja akademik yang gigih dianggap bukan sebagai 'karya ilmiah' karena menjadi salah satu rujukan penting bagi MUI saat mengeluarkan fatwa haramnya pluralisme?

Masalah lama
Lagi pula, masalah pluralisme agama sudah menjadi kajian yang sangat luas di kalangan umat berbagai agama. Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tahun 2005, Vatikan telah mengeluarkan dekrit Dominus Iesus yang dengan tegas menolak paham pluralisme agama pada 28 Agustus 2000. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University, Roma. Terhadap paham pluralisme agama, Vatikan bersikap tegas. Pada bulan Oktober 1988, Prof Dupuis dinyatakan tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik. Surat keputusan itu ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger, yang kini menjadi Paus Benediktus XVI.

Di kalangan Protestan, juga muncul reaksi keras terhadap paham pluralisme agama. Pendeta Dr Stevri I Lumintang, menulis buku berjudul Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini (Malang: Gandum Mas, 2004). Stevri Lumintang menulis dalam bukunya ini: Inti teologi abu-abu (pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun teologi abu-abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim keabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.

Pendukung pluralisme agama ada pada berbagai agama. Meskipun sejatinya, menurut Dr Anis Malik Thoha, pluralisme agama sebenarnya merupakan 'agama baru'. Biasanya, para penganutnya mengais-ngais ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing untuk dijadikan legitimasinya, meskipun dengan menafsirkan sesuai kehendak mereka. Kaum pluralis dalam agama Hindu, misalnya, mencatut ayat Bagawad Gita IV:11: Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima. Kaum Hindu juga menolak penafsiran ala kaum pluralis yang menyebut 'jalan' sebagai 'agama'. Padahal, kata 'jalan' di situ maknanya adalah 'yoga'. (Lihat buku Semua Agama Tidak Sama, terbitan Media Hindu tahun 2006).

Di kalangan Muslim pun, kaum pluralis selalu berusaha mencari-cari legitimasi paham ini pada beberapa ayat Alquran, yang di-'akal-akali' supaya paham pluralisme agama seolah-olah ada landasannya dalam Alquran. Upaya seperti ini pasti akan lenyap ditelan masa, karena tidak punya landasan teori yang kokoh. Ini bagian dari budaya latah, ikut-ikutan tren yang laku dijual. Sebab, pluralisme agama memang proyek yang sangat laku dijual ke negara-negara dan LSM-LSM Barat. Umat Islam yakin, orang-orang yang berusaha mengakal-akali Alquran pasti akan 'ketahuan' juga! Betapa pun lihainya dan panjangnya gelar akademis yang dimilikinya.

Mendudukkan Pluralisme Agama


Oleh Ahmad Syafii Maarif

Beberapa waktu yang lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme agama di samping sekularisme dan liberalisme. Fatwa itu telah memicu gelombang prokon (pro-kontra) dengan argumen masing-masing. Tetapi, sejauh pengetahuan saya, belum ada kajian yang mendalam dan meluas tentang isme-isme itu jika dilihat dari pandangan Islam. Cendekiawan muda NU, Abd Moqsith Ghazali, dengan karyanya yang berjudul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Alquran (Jakarta: KataKita, 2009, 401 halaman) telah mengurai masalah pluralisme agama sebagai salah satu isu yang diharamkan itu melalui pendekatan akademik yang imbang. Terbukalah peluang sekarang bagi siapa saja yang ingin melihat masalah ini dengan kacamata yang lebih jernih tanpa emosi untuk membedah tesis-tesis Moqsith ini. Para mufti MUI saya anjurkan agar tidak ketinggalan pula menelaah karya Moqsith ini dengan hati dan otak yang terbuka. Adapun hasil telaah itu nanti bisa saja menguatkan tingkat keharamannya atau bisa juga menjurus kepada pencabutan fatwa yang telah dikeluarkan itu.

Pada ranah pemikiran Islam kontemporer bagi Indonesia, iklimnya sudah semakin kondusif untuk bertukar pendapat demi mencari kebenaran, bukan mencari yang lain. Gelombang kebangkitan kaum intelektual muda Muslim dengan berbagai latar belakang subkultur sedang semakin membesar. Fenomena ini sungguh sangat membesarkan hati. Peran pesantren plus IAIN/UIN bagi kelahiran anak-anak muda pemikir ini sangat sentral. Mereka tidak hanya sibuk dengan kitab kuning, tetapi sekaligus menguasai kitab putih, baik yang ditulis oleh Muslim maupun non-Muslim. Dr Abd Moqsith Ghazali adalah salah seorang di antara mereka yang berani berpikir bebas secara bertanggung jawab, baik dilihat dari sisi iman maupun dari sisi disiplin ilmu.

Adapun, misalnya, temuan mereka ini bercanggah dengan pendapat yang telah dinilai mapan, jangan cepat-cepat dihukum dengan ekskomunikasi. Jalan terbaik adalah mengikuti sumber bacaan mereka, baik yang ditulis dalam bahasa Arab maupun bahasa asing lainnya. Dan, akan lebih bijak lagi jika penafsiran terhadap sumber-sumber itu saling berlawanan. Solusinya mudah sekali, yaitu diadakan dialog yang serius dan jujur antara para pihak yang bersangkutan. Sikap menuduh dengan menggunakan kata-kata "sesat, agen zionis, atau agen Barat" bukanlah cara kaum yang beradab. Mari, kita sama-sama melepaskan prasangka lebih dulu. Lalu, kita adu argumen dengan menjadikan alquran sebagai rujukan utama dan pertama. Lalu, kita gunakan sumber-sumber lain, baik yang ditulis oleh ulama klasik maupun yang kontemporer sebagai pelengkap rujukan. Karya-karya klasik umumnya ditulis dalam bahasa Arab, sedikit dalam bahasa Persi. Sedangkan, bahasa yang digunakan dalam karya-karya modern jauh lebih kaya: Arab, Urdu, Turki, Persi, Indonesia, Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, sedikit Italia, Spanyol, Rusia, dan lain-lain.

Karya Argumen Pluralisme Agama telah mencoba membongkar sumber-sumber klasik dan modern dalam berbagai bahasa: Arab, Inggris, dan Indonesia. Dalam endorsement KH A Mustofa Bisri atas karya Moqsith ini, kita baca sebagai apresiasi sebagai berikut.

Buku ini tak sekadar wacana dan pernyataan karena kobaran ghirah keberagamaan atau semangat pembaruan, tapi seperti yang akan segera pembaca ketahui, itu merupakan hasil kerja keras penelitian. Penelitian secara ilmiah tentang sesuatu yang sebenarnya atau seharusnya bukan menjadi masalah. Tapi, bagi mereka yang menjadikan kemapanan sebagai mazhab, mungkin buku yang ditulis Muslim muda, Abd Moqsith Ghazali, ini dianggap baru, bahkan mengagetkan. Bagi saya, karya ini adalah sebuah kegigihan akademik yang bernilai tinggi dan pasti punya jangkauan jauh.

Akhirnya, saya belum perlu mengupas kandungannya, tetapi ingin mengimbau para pembaca untuk mengikutinya sendiri. Kemudian, beri penilaian secara jujur, kritikal, dan objektif. Jika ada pihak yang sangat keberatan dengan tesis-tesis utama pengarangnya, tulislah pula karya lain untuk membantahnya. Kemudian, publik diberi kesempatan luas untuk membandingkannya. Saya merindukan lahirnya sebuah iklim intelektual kelas tinggi di kalangan umat Islam Indonesia, di mana peradaban otak dan hati dapat mengalahkan 'peradaban' otot dan teriakan kasar!

(-)