Tiar Anwar Bachtiar
(Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah)
Tulisan Prof Dr A Syafi'i Ma'arif pada rubrik Resonansi di harian Republika bukan hanya sekali ini (Selasa, 17 Maret 2009) mengundang kontroversi. Sudah berkali-kali tulisannya terdahulu menuai badai kritik. Kali ini yang menjadi bahan provokasinya adalah buku baru Abd Moqsith Ghozali yang berjudul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Alquran (Jakarta: KataKita, 2009).
Dengan terburu-buru, Prof Syafi'i memuji buku ini bahwa Moqsith telah mengurai masalah pluralisme agama sebagai salah satu isu yang diharamkan itu melalui pendekatan akademik yang imbang.
Ia juga menyarankan kepada MUI yang telah mengeluarkan fatwa haram 'pluralisme' untuk mengkaji kembali fatwanya dengan membaca dan mengkritisi buku ini.
Sebenarnya, apa yang diutarakan Prof Syafi'i ini jelas hanya klaim-klaim sepihak yang tidak berdasar pada argumentasi dan pengetahuan yang luas tentang masalah ini. Kalau beliau jeli dan juga mau sedikit membuka diri, sebetulnya isu buku ini sudah pernah dikupas panjang lebar setahun lalu (edisi April 2008) di majalah Tabligh yang diterbitkan oleh Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah.
Buku ini asal muasalnya adalah disertasi Abd Moqsith yang dipertahankannya dalam sidang promosi doktor bidang Ilmu Tafsir Alquran di UIN Jakarta pada tanggal 27 Desember 2007 dengan judul Perspektif Alquran tentang Pluralitas Umat Beragama. Kalau ini sebuah disertasi, mestinya sudah lumrah kalau dibaca terlebih dahulu oleh para pengujinya. Artinya, sudah ada yang menelaah dan membacanya, bahkan sampai kata per kata. Inilah yang mungkin dilupakan Prof Syafi'i.
Perlu dicatat oleh beliau bahwa salah seorang penguji disertasi ini, Prof Salman Harun, satu-satunya penguji yang berlatar belakang disiplin ilmu tafsir, sampai harus menulis kritikan khusus yang sangat mendasar terhadap disertasi ini. Seyogyanya, Prof Syafi'i membaca kritikan Prof Salman Harun sehingga tidak perlu ada ungkapan yang terlalu membesar-besarkan buku ini.
Selain metodologi yang lemah, di antara kelemahan mendasar yang dilakukan Moqsith yang tidak sepatutnya dilakukan seorang mahasiswa S3, menurut Prof Salman Harun, adalah pemaksaan argumentasi. Moqsith secara paksa mengutip pendapat-pendapat para ulama, seperti Al-Thabari, Zamakhsyari, bahkan Nawawi al-Jawi tidak secara utuh seolah-olah para ulama yang hanif itu sepakat dengan kesimpulan Moqsith.
Kesaksian lain atas disertasi ini disampaikan oleh Prof Muardi Chotib. Pada saat disertasi ini masih dalam bentuk usulan penelitian, ia ikut bersidang dan mengusulkan untuk menolak disertasi ini. Selain temanya yang tidak layak untuk penelitian setingkat doktor, metodologi yang ditempuhnya pun sangat lemah. Namun, entah bagaimana tiba-tiba disertasi ini sudah masuk dalam sidang-sidang berikutnya tanpa melibatkan dirinya hingga akhirnya dinyatakan lulus.
Salah satu kecacatan metodologis buku ini ditunjukkan oleh Fahmi Salim, pakar tafsir lulusan Al-Azhar Kairo. Moqsith seenaknya menafsirkan ayat-ayat Alquran tanpa ukuran metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara disiplin ilmu tafsir. Mazhab kontekstual ditekankan untuk sejumlah teks yang diduga antikemajemukan beragama. Dan, di sisi lain, mazhab literal diterapkan untuk ayat-ayat yang mendukung pluralisme. Menurut Fahmi, cara-cara seperti itu merupakan 'malpraktik penafsiran'.
Menilik pada kasus (baca: tragedi akademik) di atas, semestinya tidak perlu keluar ungkapan-ungkapan dari Prof Syafi'i Ma'arif yang terlalu memuji tidak pada tempatnya. Apalagi, secara tidak langsung beliau menuduh MUI sebagai tidak akademik dan tidak intelektual alias bertindak hanya mengandalkan emosi. Buku ini justru harus dipandang sebagai sebuah 'kecerobohan akademik' bukan sebagai sebuah kegigihan akademik yang bernilai tinggi dan pasti punya jangkauan jauh seperti yang diklaim Buya Syafi'i.
Juga, tidak benar sama sekali bahwa bagi mereka yang dianggap 'menjadikan kemapanan sebagai mazhab' buku ini merupakan sesuatu yang baru. Bertahun-tahun sebelum disertasi ini dibuat, Dr Anis Malik Thoha (rois Syuriah NU Kuala Lumpur dan ketua Departemen Perbandingan Agama Universitas Islam Internasional Malaysia) sudah menulis disertasi mengenai masalah yang sama di International Islamic University Islamabad Pakistan dalam bidang Comparative Religion.
Tahun 2006, Gema Insani Press menerbitkannya dengan judul Tren Pluralisme Agama. Buku ini secara akademik bermutu tinggi dan mendapatkan penghargaan di berbagai level internasional. Dalam acara Islamic Book Fair di Jakarta tahun 2007, buku ini juga mendapat penghargaan sebagai buku terbaik untuk kategori nonfiksi. Aneh sekali, dalam bukunya, Abd Moqsith sama sekali tidak menyebut buku ini dalam tinjauan pustakanya. Sedangkan buku-buku lain yang secara ilmiah jelas dibawah buku Dr Anis Malik Thoha, disebut-sebut dalam tinjauan pustakanya.
Kesimpulan dalam tulisan Dr Anis sangat berseberangan dengan kesimpulan Moqsith. Bukankah karya ini pun semestinya dibaca pula oleh Prof Syafi'i Ma'arif, sebelum memuji-muji buku karya Moqsith? Apakah karya Dr Anis yang juga sama-sama dilakukan dengan kerja akademik yang gigih dianggap bukan sebagai 'karya ilmiah' karena menjadi salah satu rujukan penting bagi MUI saat mengeluarkan fatwa haramnya pluralisme?
Masalah lama
Lagi pula, masalah pluralisme agama sudah menjadi kajian yang sangat luas di kalangan umat berbagai agama. Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tahun 2005, Vatikan telah mengeluarkan dekrit Dominus Iesus yang dengan tegas menolak paham pluralisme agama pada 28 Agustus 2000. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University, Roma. Terhadap paham pluralisme agama, Vatikan bersikap tegas. Pada bulan Oktober 1988, Prof Dupuis dinyatakan tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik. Surat keputusan itu ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger, yang kini menjadi Paus Benediktus XVI.
Di kalangan Protestan, juga muncul reaksi keras terhadap paham pluralisme agama. Pendeta Dr Stevri I Lumintang, menulis buku berjudul Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini (Malang: Gandum Mas, 2004). Stevri Lumintang menulis dalam bukunya ini: Inti teologi abu-abu (pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun teologi abu-abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim keabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.
Pendukung pluralisme agama ada pada berbagai agama. Meskipun sejatinya, menurut Dr Anis Malik Thoha, pluralisme agama sebenarnya merupakan 'agama baru'. Biasanya, para penganutnya mengais-ngais ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing untuk dijadikan legitimasinya, meskipun dengan menafsirkan sesuai kehendak mereka. Kaum pluralis dalam agama Hindu, misalnya, mencatut ayat Bagawad Gita IV:11: Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima. Kaum Hindu juga menolak penafsiran ala kaum pluralis yang menyebut 'jalan' sebagai 'agama'. Padahal, kata 'jalan' di situ maknanya adalah 'yoga'. (Lihat buku Semua Agama Tidak Sama, terbitan Media Hindu tahun 2006).
Di kalangan Muslim pun, kaum pluralis selalu berusaha mencari-cari legitimasi paham ini pada beberapa ayat Alquran, yang di-'akal-akali' supaya paham pluralisme agama seolah-olah ada landasannya dalam Alquran. Upaya seperti ini pasti akan lenyap ditelan masa, karena tidak punya landasan teori yang kokoh. Ini bagian dari budaya latah, ikut-ikutan tren yang laku dijual. Sebab, pluralisme agama memang proyek yang sangat laku dijual ke negara-negara dan LSM-LSM Barat. Umat Islam yakin, orang-orang yang berusaha mengakal-akali Alquran pasti akan 'ketahuan' juga! Betapa pun lihainya dan panjangnya gelar akademis yang dimilikinya.
Sabtu, 21 Maret 2009
Pluralisme Agama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar