Selasa, 30 Desember 2008

HIJRAH TAHUN BARU ssssssssssssss


  • A Adib
sssss
TAHUN Baru Hijriyah diyakini banyak pemikir Islam sebagai era kebangkitan Islam, bahkan menjadi titik balik kemenangan perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Setiap tahun kita memeringati tahun baru Islam ini, termasuk Tahun Baru 1430 Hijriyah, yang jatuh pada Senin (29/12) kemarin.

Namun, sudahkah secara substansial ada pencerahan di tubuh umat dengan berlalunya tahun baru demi tahun baru itu? Sudahkah semangat energizing berhasil kita serap dari momentum yang menjadi titik balik kemenangan tersebut?

Harus diakui, hingga kini masih banyak permasalahan umat yang belum tuntas diupayakan solusinya, termasuk masalah perdamaian dan persatuan umat.

Adalah Khalifah Umar bin al-Khatthab yang menyampaikan gagasan dan keputusan tentang perhitungan Tahun Islam didasarkan pada peristiwa hijrah Rasulullah. Ketika dideklarasikan, Tahun Islam telah berusia 17 tahun, jatuh pada tanggal 8 Rabiul Awal, bertepatan dengan 639 Masehi.

Keputusan Umar bin al-Khatthab itu mempunyai alasan yang sangat mendasar dan pandangan yang visioner. Hijrah adalah bentuk perjuangan multidimensional yang sangat bersejarah, berwawasan jauh ke depan bagi kemajuan Islam.

Hijrah adalah tonggak sejarah yang perlu diabadikan generasi berikutnya dalam bentuk perjuangan, sejalan dengan nilai hijrah itu sendiri.
Progresif, Heroik

Sebelum diambil keputusan, sempat muncul beberapa usulan. Ada yang berpendapat sistem perhitungan Tahun Islam didasarkan pada kelahiran Rasulullah, didasarkan pada turunnya wahyu pertama, didasarkan peristiwa kemenangan Perang Badar, dan masih banyak lagi. Berbagai argumentasi pun merebak.

Usulan Khalifah Umar memiliki alasan kuat dari berbagai sudut pandang, sehingga diterima. Pertama, dari sisi akidah, hijrah adalah perjuangan progresif dan heroik dengan pengorbanan yang total; jihad melawan kekufuran dan usaha pemurtadan dari kaum jahiliyah musyrikin Quraisy untuk tetap mempertahankan keimanan dan keleluasan beribadah semata-mata mencari rahmat Allah SWT.

”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Baqarah: 218). Hijrah terbukti telah memenangkan iman, dan menghancurkan kekufuran serta kemusyrikan.

Dari masalah ekonomi, hijrah adalah bentuk perjuangan melawan dominasi ekonomi yang tidak adil (kapitalis) dan mencari solusi atas embargo ekonomi yang kejam yang dilancarkan oleh kaum jahiliyah musyrikin Quraisy terhadap kaum muslimin. Dengan hijrah, maka terbangunlah tatanan ekonomi yang adil dan berkecukupan.

”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa’: 100).

Dari sisisi sosial budaya, hijrah adalah bentuk perjuangan memberantas penyakit sosial jahiliyah (kebodohan), seperti judi, miras, pelecehan terhadap perempuan, dan retaknya hubungan persaudaraan. Juga perjuangan membela kaum dhuafa, fakir, miskin, akibat tekanan dan pengasingan terus-menerus dari kaum jahiliyah musyrikin Quraisy terhadap umat Islam. Dengan hijrah, maka terwujudlah rehabilitasi sosial.

”(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah, yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridlaan-Nya, dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar” (QS al-Hasyr: 8).

Dari sudut kesetaraan gender, hijrah adalah bentuk perjuangan mengangkat tinggi martabat perempuan dari kebiasaan orang kafir Quraisy, seperti membunuh anak-anak perempuan mereka. Orang-orang jahiliyah merasa malu memiliki anak perempuan, dan tidak segan-segan membunuh serta mengubur hidup-hidup anak yang terlahir sebagai perempuan.

Kedamaian

Dari dimensi politik dan hukum, hijrah adalah bentuk perjuangan membebaskan diri dari cengkeraman politik jahiliyah kaum musyrikin Quraisy yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Hijrah telah mewujudkan tatanan masyarakat yang menghargai persamaan hak, menjamin kebebasan dan kemajemukan, menegakkan kebenaran, keadilan dan tatanan masyarakat yang demokratis.

”Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui” (QS an-Nahl: 41).

Beberapa tahun setelah Nabi Muhammad hijrah dan menetap di Madinah, kota ini masih sebagai komunitas dengan penduduk muslim, musyrik, dan Yahudi. Muslim itu sendiri terdiri atas kaum muhajirin (pendatang dari Makkah) dan anshar (penduduk asli terdiri atas suku Aus dan Kharraj, dan saat itu belum bisa disebut negara.

Nabi Muhammad menjadi pemimpin komunitas Madinah. Untuk menciptakan tata pergaulan masyarakat yang damai, beliau membuat kesepakatan bersama dengan beragam penduduk kota, yang dikenal dengan Piagam Madinah. Substansi dari Piagam Madinah adalah kesepakatan prulalisme.

Masing-masing warga mempunyai kewajiban untuk menjaga stabilitas keamanan Madinah, dan semua warga mempunyai hak yang sama dalam mendapat keadilan, kebersamaan hak memeluk agama, dan menjalankan ibadah.

Sebagi pemimpin komunitas Madinah, Rasulullah memberi contoh realisasi pelaksanaan piagam. Misalnya, ketika mayat orang Yahudi lewat, beliau mengajak sahabat-sahabatnya untuk berdiri sebagai tanda penghormatan. Bahkan beliau menegaskan: ”Man qotala dhimmiyan faal khasna (Barang siapa membunuh orang nonmuslim dhimmy, maka akan berhadapan dengan saya, sayalah advokadnya)”.

Ketika Nabi Muhammad menerima kunjungan dari tokoh Kristen dari Bani Najran, Allah memerintahkan untuk mengatakan: ”Mari kita mencari kebenaran siapa, atau kebenaran itu ada pada kami atau pada Anda”.

Dalam kisah lain, penggede Kristen dari Bani Najran itu ikut membela Nabi Muhammad ketika diserang kafir Mekkah setelah adanya Piagam Madinah. Ketika sang pendeta itu gugur dalam perang, seluruh hartanya diwariskan kepada Rasulullah. Subhanallah !

Di bidang ekonomi, Nabi Muhammad memberi contoh kerja sama di bidang pertanian. Dalam Hadist Muslim (Bab Massyaqat (Pengairan)), Nabi mengatakan: ”Aku mengerjakan pengairan tanah milik penduduk Khaibar (Yahudi—Red) dengan pembagian separo dari penghasilan” (HR Imam Muslim).

Pesan Hijrah

Berangkat dari pesan hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad telah meletakkan dasar-dasar bermasyarakat, memerangi kejahiliyahan (kebodohan) dengan menekankan pendidikan, membangun kesetaraan dalam keadilan, serta penegakan hak asasi masnusia (HAM).

Rasulullah telah memberi contoh soal kedamaian dalam aplikasi Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam dan seisi di dalamnya), melalui pesan yang diciptakan untuk membangun peradaban manusia yang prural di Madinah saat itu. Itulah pesan yang bisa ditangkap dari peristiwa hijrah Rasulullah.

Jika menengok peristiwa yang terjadi 1.430 tahun lalu, yang dicontohkan melalui peristiwa hijrah Nabi Muhammad, tidak ada alasan untuk memandang Islam dengan wajah kekerasan, dan mengeksploitasi kekerasan atas nama Islam. Ya, Rasulullah memberi contoh sebagai peletak dasar agama dengan kasih sayang (rahmatan) bagi semua manusia. (32)

—A Adib, wartawan ”Suara Merdeka” di Biro Jakarta.

Minggu, 28 Desember 2008

Kematian Santri-Saudagar

Oleh Zaim Uchrowi

"Saya sekarang lebih fokus ke bisnis, Mas." Itu yang diucapkan Ismail Nahu, seorang aktivis gerakan Islam dari Surabaya. Setahun sekali saya bertemu dengannya di forum ICMI. Terakhir di Silaturahmi Kerja Nasional ICMI di Palembang, pekan lalu.

Pertemuan yang selalu kami isi dengan percakapan tentang ke mana bangsa dan umat ini perlu melangkah. Dalam peta masyarakat Indonesia, Surabaya lebih diasosiasikan dengan dunia dagang. Bukan dengan intelektualitas. Dalam urusan intelektualitas, Surabaya sering dianggap 'kalah' dari Jakarta, Bandung, dan juga Yogya. Padahal, sebenarnya, di sekitar Surabaya-lah tonggak kesadaran peradaban berbasis intelektualitas berakar kuat. Keberjayaan peradaban nusantara yang dibangun para saudagar Muslim di abad ke-15 berakar dari langkah Maulana Malik Ibrahim di Surabaya. Langkah yang melahirkan pusat peradaban Surabaya, Gresik, Demak, Cirebon, hingga Banten, dan puluhan bandar lain di nusantara.

Salah satu gerakan kunci bagi kebangkitan nasional juga berhulu di Surabaya, lewat sosok Tjokroaminoto. Dialah 'guru' bagi banyak tokoh nasional, termasuk Soekarno. Kesadaran intelektual yang berpilin-pilin dengan kesadaran kebangsaan dan keumatan yang tumbuh di Surabaya itu sebenarnya terus terwariskan hingga sekarang. Pak Muhammad Nuh, menteri negara Komunikasi dan Informasi, adalah salah satu representasi ahli waris kesadaran tersebut. Yang belum banyak terungkap adalah keterjalinan kesadaran intelektualitas-kebangsaan-keumatan dengan kewirausahaan.

Ismail Nahu mengingatkan saya pada sisi terabaikan itu. "Lihat kajian Cliffort Geerzt soal santri," katanya. Antropolog itu mengelompokkan masyarakat Jawa dalam kategori abangan, priyayi, santri. Abangan tinggal di desa, umumnya bertani, tak melakukan ritual agama, namun banyak bersandar pada kepercayaan mistik. Priyayi tinggal di kota, pamong praja, cenderung sekuler. Santri tinggal di kota-kota kecil, berdagang, dan puritan dalam beragama. Seluruh gerakan kebangsaan-keumatan dulu, lanjut Ismail, bertumpu pada para santri saudagar itu.

Para santri-saudagar itulah yang ada di balik langkah-langkah Tjokroaminoto. Peran santri-saudagar itu lebih kental lagi pada gerakan kebangsaan yang dimotori Haji Samanhudi. Efektivitas langkah Ahmad Dahlan dalam membangun Indonesia lewat Muhammadiyah adalah karena peran para saudagar batik di Laweyan, Solo; Karang Kajen, Yogya; saudagar mori Pekalongan; saudagar kretek Kudus; hingga saudagar sarung Gresik. Merekalah kaum bazaari yang dalam peradaban Islam dunia selalu menjadi motornya. Merekalah pribadi merdeka yang sebenar-benarnya, yang akan selalu berjuang buat memerdekakan seluruh bangsa ini.

Saat kecil, saya mendapati sosok-sosok seperti itu pada diri Pak Jumadi, Pak Ramdono, Pak Karmuji, dan lain-lain. Mereka para pemilik toko-toko terpenting di jalan-jalan utama Madiun. Merekalah yang ada di balik kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang digalang Pesantren Sabilil Muttaqien. Hal yang saat ini tinggal menjadi catatan ingatan. Seperti di Laweyan, Solo, anak-anak mereka tak mampu melanjutkan serta mengembangkan kesaudagaran santri tersebut. Mereka lebih memilih menjadi pegawai atau profesional. Hasilnya: dunia santri-saudagar itu mati!

Kematian dunia santri-saudagar itu membawa akibat sangat besar bagi bangsa ini. Dunia bisnis yang berkembang tak memiliki akar kuat di masyarakat. Pembangunan kemasyarakatan tak berkembang. Kemajuan peradaban tak tumbuh secara mulus. Bangsa menjadi terfragmentasi. Kesenjangan melebar. Kemiskinan terlestarikan. Sebuah tragedi yang baru saya sadari di Palembang, dalam Silaknas ICMI.

(-)

Studi Islam di Barat?

Peneliti INSISTS, Dosen STID M Natsir

''Ilmu bukanlah banyaknya riwayat, tapi ilmu adalah cahaya yang bersinar dalam hati,'' kata Ibnu Mas'ud sebagaimana dikutip Imam Al Ghazali dalam karyanya Ihya' Uluumiddin. Saat ini Islamic Studies menjadi subjek kajian yang sangat penting di dunia pendidikan, baik di dunia Islam maupun Barat. Di Leiden, Chicago, London, dan lain-lain didirikan institut atau universitas yang mengajarkan 'studi Islam' yang diajar oleh profesor-profesor Muslim dan non-Muslim.

Mereka-mereka yang belajar di Barat biasanya menunjukkan rasa bangganya karena lebih analitis dan unggul dalam metodologi. Selain banyak anak cerdas Indonesia yang belajar studi Islam di Barat, banyak juga mereka yang belajar di Timur. Kairo, Makkah, Madinah, Damaskus, dan Tripoli adalah beberapa kota yang menjadi idaman mahasiswa-mahasiswa Muslim Indonesia. Di Kairo saja mahasiswa Indonesia yang belajar S1-S3 mencapai ribuan orang. Begitu juga di Makkah dan Madinah.

Sekembali mahasiswa-mahasiswa itu ke Indonesia, kebanyakan mereka berperan dalam masyarakat. Ada yang menjadi sebagai dosen, guru, peneliti, dan manajer. Ada pula yang menjadi tokoh yang kepribadian dan pemikirannya berpengaruh luas di masyarakat dan ada yang menjadi orang yang biasa saja. Itu tergantung pada kepribadian, keseriusan dalam belajar, tradisi ilmu dalam lingkungannya, niat ketika belajar, pengalaman organisasi/hidup, dan lain-lain.

Di antara mereka yang belajar studi Islam di Barat, misalnya beralasan beberapa tokoh Islam, seperti Sayid Qutb, Prof. Mustafa Azami, dan Profesor Rasjidi belajar di Barat. Tapi, mereka justru menjadi penentang yang lantang kepada Barat.

M Hilaly Basya, seorang mahasiswa yang studi S2 di Universitas Leiden, Belanda, misalnya, menulis di majalah Madina edisi Desember 2008 dengan judul Belajar Islam di Barat, Kenapa Tidak? Ia mengutip pernyataan dosennya, Prof Busken (guru besar antropologi) yang mengajar perkuliahan Methods and Theories of Islamic Studies: ''Mata kuliah saya tidak berpretensi menjadikan Anda sebagai alim (jamak ulama). Itu karena saya tidak akan mengajarkan Anda tentang ilmu-ilmu keislaman/keagamaan (uluum ad-diin).''

Profesor Busken menambahkan bahwa Islam hanya diposisikan sebagai objek studi dan penelitian. Ilmu-ilmu yang diwariskan kepada mahasiswanya adalah sosiologi, antropologi, ilmu sejarah, arkeologi, dan filologi. Dengan demikian, kata Basya, tujuan program Islamic Studies di universitas-universitas Barat adalah melahirkan ilmuwan, entah itu sejarawan, sosiolog, antropolog, atau filolog yang bidang kajiannya adalah Islam dalam segala dimensinya.

Kemanakah belajar Islam?
Pendidikan dalam Islam bertujuan melahirkan manusia-manusia unggul yang mempunyai ketakwaan tinggi. Ketakwaan tentu dimaksudkan sebagai pemegangan teguh kepada akidah, syariah, dan akhlak Islam. Jadi, niat dan tujuan (antara dua hal ini saling berkaitan) menjadi peranan penting dalam proses belajar.

Dalam ilmu manajemen modern ada ungkapan start of the end. Sabda Rasulullah SAW yang penting: ''Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.'' (HR Bukhari). Jadi, ketika seseorang belajar S1, S2, dan S3 apa tujuan yang ingin diraihnya? Menjadi ilmuwan yang hebat, pengamat yang hebat, atau apa?

Di sinilah pernyataan Prof Busken perlu dikritisi. Ketika ia menyatakan bahwa mata kuliah saya tidak berpretensi menjadikan Anda sebagai alim dan seterusnya, di sini jelas Busken tidak akan menyampaikan ilmu-ilmu yang menjadikan mahasiswanya semakin alim. Mungkin Prof Busken sendiri tidak terlalu percaya kepada keilmuan Islam dan peradabannya. Maka, dengan sistem metodologi yang diajarkan di Leiden itu, kita bisa memprediksi bagaimana alumni-alumninya setelah lulus nanti.

Bukan hanya Busken, banyak profesor lain di Barat yang berpendapat senada. Kita ambil kasus misalnya yang terjadi pada Prof William Liddle, guru besar ilmu politik di Universitas Ohio. Lulusan-lulusan dari bimbingan Liddle memang menjadi orang hebat atau berpengaruh di Indonesia. Misalnya Dr Saiful Mujani dan Dr Denny JA, menjadi ahli survei yang presisi dengan metode quick count-nya untuk pemilihan-pemilihan bupati, gubernur, atau presiden sekalipun. Tapi, apakah ahli survei itu peduli terhadap akhlak kandidat-kandidat yang terpilih? Kita melihatnya selama ini tidak.

Itu karena dua orang itu bukan seorang alim. Mereka dibimbing oleh profesor non-Muslim yang tidak peduli terhadap pembinaan akidah mahasiswa-mahasiswanya.Jadi, dalam pendidikan bukan hanya kapasitas intelektualnya yang dikembangkan tapi juga kapasitas akidah dan akhlaknya perlu dibina. Dalam teori modern tentang kecerdasan, ada delapan kecerdasan manusia yang perlu dikembangkan. Kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis logis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetis jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan inrtapersonal, dan kecerdasan naturalis (Thomas Armstrong, 2002:232-233).

Tentu dalam Islam konsep kecerdasan ini mesti dibingkai dengan kecerdasan akidah/spiritual. Kecerdasan manusia dalam memahami dirinya, dari mana, mau ke mana dan tujuan apa hidup di dunia ini? Sabda Rasulullah saw yang sangat terkenal: ''Barangsiapa dikehendaki Allah dengan kebaikan, maka Allah akan memberikan kefakihan dalam agama.'' (HR Ahmad).

Maka, dalam Islam bukan hanya tujuan pendidikan melahirkan orang-orang hebat yang dikembangkan semua potensi kecerdasannya, tapi mereka juga mempunyai akidah yang kuat, pemahaman keislaman yang fakih dan akhlak yang mulia. Mungkinkah ini terwujud bila tiap hari mahasiswa itu berdialog, konsultasi dan dibimbing dengan profesor-profesor non-Muslim? Tentu sulit meski kaum Muslimin paham bahwa mengambil pengetahuan dari orang-orang non-Muslim diperbolehkan.

Tapi, mereka tidak diperbolehkan pembimbing, konsultan, mentor, rujukan (tempat bertanya berbagai masalah) tiap hari bagi mahasiswa Muslim. Itulah yang selama ini terjadi di Islamic-Islamic studies di Barat, yang menjadi pembimbing dan rujukan mahasiswa adalah profesor-profesor non-Muslim. Tentu saja profesor ini tidak merasakan situasi kejiwaan (kecerdasan emosional) ketika seorang Muslim shalat malam, berbuka puasa, membaca dan memahami makna-makna Alquran, berzakat, dan berjihad.

Kasuistik
Mengajak ramai-ramai orang belajar studi Islam di Barat dengan mengambil contoh-contoh kasuistik yang terjadi pada beberapa tokoh Islam, tentu merupakan pengambilan kesimpulan yang kacau. Itu sebagaimana menyuruh anak-anak Muslim belajar di sekolah-sekolah Kristen dengan mengambil kesimpulan bahwa beberapa orang dari anak yang lulus di situ justru Islamnya lebih kuat.

Dalam mengambil sebuah kesimpulan, maka harus ada uji statistik (meski sederhana). Misalnya dari 1.000 orang yang studi Islam di Barat, berapa persen orang yang lulus akidah Islamnya menjadi kacau dan berapa persen yang semakin kuat. Bila didapati mayoritas (misalnya lebih dari 50 persen) kacau, maka bisa dibuat kesimpulan bahwa studi Islam di Barat banyak menghasilkan intelektual yang kacau akidahnya.

Maka, kesimpulannya Sayid Qutb, Prof Rasjidi, dan Prof Mustafa Azami adalah contoh-contoh kasuistik. Bisa diprediksi bahwa dari awal mereka belajar studi/studi Islam di Barat niatnya untuk menjayakan Islam. Di samping mereka sebelum berangkat telah mempunyai bekal yang kuat dalam hal ilmu-ilmu Islam, ilmu-ilmu umum, dan berbagai metodologinya. Dengan begitu, ketika berhadapan dengan intelektual Barat mereka tidak minder dan bisa berargumen yang ilmiah kepada mereka.

Bila tidak, maka yang terjadi adalah menjadi 'pak turut' kepada Barat. Keunggulan Barat dengan metode ilmiah dan teknologinya menjadikan santri-santri kita terkagum-kagum, seolah-olah jalan hidup mereka benar. Para santri yang belajar di Barat itu setapak demi setapak mengikuti jalan mereka. Lupa kepada kejayaan dan kehebatan pemikiran dan peradaban sendiri. Lupa terhadap peta yang mesti ditempuh untuk meraih kembali kejayaan itu kembali.

Padahal, tradisi keilmuan universitas adalah dari peradaban Islam. Prof Wan Daud, guru besar ATMA-UKM, mengutip Makdisi (1998:237) menyatakan: ''Islam klasik telah menghasilkan sebuah budaya intelektual yang memengaruhi Barat Kristen dalam tradisi keilmuan universitas. Ia telah menyumbangkan faktor yang melahirkan universitas, yaitu metode keilmuan, bersamaan ide kebebasan akademik. Kebebasan akademik dalam Islam klasik, pada level ahli hukum dan orang awam memiliki batasan-batasan yang sama dengan konsep modern dalam kebebasan bagi profesor dan mahasiswa di universitas.''

Kebebasan manusia bermakna dan akan diperoleh setelah melalui penyerahan dan kepatuhan dengan penuh kesadaran terhadap segala kewajiban Islam. Tentu belajar di dunia Islam tidak sepenuhnya sempurna. Universitas-universitas di dunia Islam banyak yang mesti disempurnakan. Metodologi pengajarannya, intelektualitas dosennya, pembinaan mahasiswanya, perpustakaannya, dan lain-lain. Tapi, itulah rumah kita. Dari situlah kita membangun pemikiran dan peradaban Islam. Bukan dari rumah orang lain yang kita tidak memilikinya.

(-)

Sabtu, 27 Desember 2008

Menyambut Tahun Baru 1430 Hijriyah


Oleh: TIFATUL SEMBIRING

Tahun baru hijriyah diyakini banyak pemikir Islam sebagai tahun kebangkitan Islam, bahkan menjadi titik balik kemenangan perjuangan Rasulullah saw. dan para shahabat. Setiap tahun kita memperingati tahun baru Islam ini, namun sudahkah secara substansial ada pencerahan di tubuh ummat dengan berlalunya tahun baru demi tahun baru? Sudahkah semangat energizing berhasil kita serap dari momentum yang menjadi titik balik kemenangan tadi…?. Masih banyak permasalahan ummat yang belum tuntas kita upayakan solusinya, termasuk masalah persatuan ummat dan pemunculan sosok-sosok pemimpin yang berkualitas.
Perpecahan selalu membawa malapetaka dan kerusakan besar di tengah-tengah ummat. Kurang percayakah kita? Kurang yakinkah kita setelah demikian banyak bukti sejarah memberi pelajaran? Perpecahan, perselisihan di perang Uhud misalnya, mengakibatkan gagalnya kemenangan yang semula sudah diraih. Rasulullah saw. tembus di pipinya karena dilempari dengan pecahan besi, yang ketika dicabut menyebabkan dua gigi beliau patah. Bahkan ketika para sahabat memapah beliau ke tempat yang lebih tinggi, Rasulullah saw terperosok ke dalam lubang jebakan yang berisi senjata tajam, sehingga paha beliau sobek dan jatuh pingsan karena begitu banyaknya darah yang keluar.
Kurang yakinkah kita akan efek dari perpecahan? Tengoklah perang Shiffin yang disebabkan oleh konflik antara Ali dan Mu’awiyah. Perang yang menelan korban 80.000 muslimin. Sebuah tragedi kelam dalam sejarah Islam. Belum paham jugakah kita bagaimana pedihnya perpecahan? Di Iraq, ratusan orang menjadi korban ketika kaum Syi’ah menyerang kaum Sunniy. Selanjutnya kaum Sunniy menyerang kaum Syi’ah sehingga meninggal pula sejumlah orang, dan seterusnya tak berkesudahan. Padahal sunniy bukanlah musuh syi’ah dan syi’ah bukanlah musuh sunniy? Musuh mereka adalah sang penjajah Amerika.
Belum sadarkah kita tentang apa yang terjadi di Palestina? Ketika Presiden Palestina—Mahmud Abbas—berkunjung ke Indonesia dan mengundang untuk berdiskusi, dengan tegas saya sampaikan kepada beliau, bahwa bangsa Palestina tidak akan meraih kemenangan kecuali mereka bersatu melawan Israel.
Benarlah kata Imam Ali dalam pesannya, “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir”.
Sesungguhnya modal kita untuk bersatu sangat sederhana. Ialah ketika kita sepakat untuk mengucapkan “Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadurrasulullah”. Bagi kami, ketika seseorang menyatakan komitmennya untuk taat pada Allah dan Rasul-Nya, cukuplah itu. Soal fiqh, furu’, cabang-cabang, pendapat, mari kita bicarakan, mari kita diskusikan, mari kita perdalam. Wong niatnya sama-sama mau masuk surga kok, kenapa harus cek-cok?

TANTANGAN & VISI KE DEPAN
Sebetulnya apakah persoalan pokok ummat? Agenda mendesak apa yang perlu kita selesaikan bersama? Hal terberat yang sedang dihadapi ummat kini adalah kemiskinan, yang nyaris mendekatkan mereka kepada kekufuran. Ada beberapa contoh kasus, di Bandung misalnya, seorang Ibu(berkerudung pula) sampai hati membunuh anaknya karena khawatir anak-anaknya miskin. Juga di Makassar, seorang Ibu yang sedang hamil meninggal karena kelaparan. Tiga hari dia tidak makan, demikian pula anak-anaknya.
Kelemahan ekonomi ummat adalah penyebabnya. Hingga saat ini kemampuan ummat untuk berekonomi belumlah memadai. Bagai menjadi budak di negeri sendiri. Baik dari sisi akses terhadap sumber daya maupun skill-nya. Ekonomi masih dikuasai oleh sistem, konvensional ribawi. Lalu datanglah krisis ekonomi, masalah semakin berat. Akibatnya langsung dapat dilihat. Untuk menyelamatkan keluarga, para gadis dan ibu-ibu berangkat menjadi TKW diluar negeri. Dimana ‘izzah ummat ?, martabat bangsa. Begitu kerap kita mendengar kasus-kasus yang menyayat hati: ada yang diperkosa, dihukum mati, ada yang terjun dari tingkat empat lantaran tidak tahan disiksa majikan. Dan kita tidak mampu melindungi mereka.
Masalah moral juga menorehkan catatan menyedihkan. Kita dapati tokoh-tokoh muslim yang namanya seperti nama Nabi, seperti gelar Nabi, seperti nama orang sholeh namun ditangkap KPK. Mereka menjadi harapan ummat, menyandang nama terpercaya, namun ternyata korupsi. Seberapa kuatkah komitmen moral kita? Moral Islam.
Agenda berikutnya adalah pendidikan. Soal penyiapan SDM unggul, yang dapat diandalkan menjalankan roda pembangunan ummat. Apalagi persiapan kepemimpinan nasional dimasa mendatang. Sekarang saja, bangsa besar ini seperti kebingungan mencari calon pemimpinnya. Kita masih saling bertanya satu sama lain, padahal kita berdoa “waj’alna lil muttaqiina imaman”. Kita mohon pada Allah swt. agar menjadikan anak-anak kita sebagai pemimpin orang-orang bertaqwa.
Memang kita memiliki banyak pesantren. Namun setelah kami riset, pesantren-pesantren tersebut dapat kita bagi dalam dua kategori. Kategori pertama adalah pesantren yang memiliki metode pengajaran dan kurikulum bagus, namun sarananya amat memprihatinkan. Di sebuah pesantren kami pernah menemukan sebuah ruang 3x4 m2 yang dihuni oleh 30 anak. Sanitasinya tidak terawat, bak penampung air mandi yang tak pernah diganti sehingga menyebabkan penyakit kulit. Bahkan ada sebuah pemeo, tidak sah menjadi santri kalau tidak kudisan.
Kelompok kedua adalah pesantren yang memiliki sarana bagus, namun kurikulumnya tidak memiliki keunggulan. Penyiapan kwalitas SDM ummat ini perlu pembenahan, dengan sinergi dan persatuan dan keuatan bersama tentunya.

SIAPA YANG HARUS BERBUAT?
Dalam konteks ummat Islam Indonesia setiap orang tentu merujuk kepada NU dan Muhammadiyyah dengan segenap elitenya. Pertanyaannya adalah, bisakah kita menurunkan tensi jurang pemisah. Saling adzillatin, menjalin tali asih. Saling merendah dan bukannya saling gengsi. Bisakah kita sesama ummat BERHENTI saling mencurigai(su’uzhan), saling mengintai(wa laa tajassasu), saling membelakangi dan saling menggunjing(ghibah). Kita membutuhkan persatuan dalam kesejukan ikatan kasih sayang persaudaraan. Bila bersatu, maka kita akan kuat dan insya Allah sanggup untuk menghadapi kekuatan kebathilan apapun bentuknya.
Sangat mungkin dan sangat layak ummat ini bersatu. Pak Din, Pak Hasyim dan Pak Hidayat—tokoh-tokoh harapan ummat--sama-sama alumni Gontor dan sama-sama menduduki posisi strategis. Dengan seringnya tokoh-tokoh yang dicintai ummat ini bersilaturahim, syak wasangka akan terhapus, keakraban akan kian kokoh dan berbagai pemikiran untuk kemajuan ummat dan bangsa akan mengalir deras. Terbayang betapa bahagia dan sejuknya hati ummat menyaksikan para pemimpinnya kokoh bersatu. Sesuatu yang sudah amat kita rindukan.
Tak ada ghill secuilpun dari kami terhadap NU dan Muhammadiyyah. Kami tidak memiliki rencana negatif apapun terhadap saudara-saudara kami NU dan Muhammadiyyah. Kami bergerak di ranah politik, sama dengan saudara-saudara kami parpol Islam lainnya. Membenahi eksekutif dan legislatif, mengadvokasi ummat di ranah pembuatan kebijakan publik. Bila perjuangan di ranah politik ini mendapat dukungan dari saudara-saudara kami yang lain, khususnya ormas-ormas, tentu kita akan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.
Demikianlah harapan kita, ummat ini menjadi kuat, karena kita saling merunduk, saling merangkul, bagaikan satu tubuh. Sehingga kita (ummat) ini bisa dan harus bersatu untuk maju. Selamat Tahun Baru 1430 Hijriyah !

Selasa, 09 Desember 2008

Kurban dalam Bingkai Historis


Dr Rosihon Anwar
Dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Ritual kurban yang biasa dilaksanakan umat Islam setiap Hari Raya Idul Adha yang dalam perspektif Alquran sebagai manifestasi rasa syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan Allah secara melimpah (a'thaina al-kautsar) kepada hamba-hamba-Nya ternyata tidak hanya upacara religius yang terdapat dalam tradisi Islam. Momen ini juga mempunyai akar sejarah pada umat-umat terdahulu.

Dalam Alquran Surat al-Hajj ayat 34 dinyatakan: ''Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).''

Bila kita menelusuri perjalanan kurban yang dilaksanakan oleh kedua anak Adam, Qabil dan Habil, di sanalah kita menemukan tradisi kurban bermula. Keduanya bersengketa tentang bakal calon istrinya. Sebagai penyelesaiannya, Adam menyuruh keduanya mengeluarkan kurban untuk Allah.

Kurban Qabil yang berupa hewan sangat tua ditolak-Nya, sedangkan kurban Habil berupa hasil-hasil tanaman yang baik diterima-Nya. Alquran merekam kisah perjalanan kurban mereka secara global pada Surat al-Ma'idah ayat 27: ''Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): ''Aku pasti membunuhmu!'' Berkata Habil: ''Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa''.

Ritual kurban serupa dilaksanakan oleh Nabi Nuh beserta umatnya setelah bencana angin topan yang melanda umatnya yang durhaka reda. Mereka mengurbankan beberapa hewan yang langsung dibakar di tempat pengurbanan.

Ritual kurban juga dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim yang sering dikait-kaitkan secara langsung dengan ritual kurban yang biasa dilaksanakan umat Islam sekarang. Satu riwayat mengatakan Ibrahim pernah berkurban 1.000 kambing, 300 sapi, dan 100 unta. Kebaikannya itu mengundang rasa kagum orang-orang di sekitarnya dan juga menurut kisah para malaikat yang berada di langit.

Menyikapi kekaguman mereka, Nabi Ibrahim berkata, ''Apa yang telah saya kurbankan sebanyak itu tidak berarti apa-apa bagiku. Demi Allah, seandainya saya punya anak, aku akan menyembelihnya untuk dipersembahkan kepada Allah.''

Allah menagih janji Ibrahim melalui mimpinya selama tiga malam berturut-turut untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail. Melalui perenungan yang berkali-kali, akhirnya Ibrahim memutuskan melaksanakan perintah Allah yang akhirnya Ismail digantikan oleh Allah dengan seekor kambing dari surga. Secara berturut-turut Alquran Surat ash-Shaffat dari ayat 100 sampai 113 menuturkan perjalanan kisah pengorbanan Ismail tersebut.

Rentetan peristiwa penyembelihan Ismail dimulai dari bujukan Ibrahim terhadap putranya sampai pada detik-detik pelaksanaan penyembelihan yang akhirnya digantikan oleh seekor kambing, sebagiannya ditetapkan sebagai salah satu ritual dalam Islam. Lempar batu (jumrah) pada pelaksanaan haji, umpamanya, simbol pelemparan Ismail terhadap Iblis dengan batu yang terus membujuknya agar tidak menaati perintah bapaknya.

Hewan sembelihan (kurban) yang dilaksanakan oleh umat Islam yang sedang beribadah haji ataupun tidak juga simbol pengurbanan Ibrahim. Ucapan-ucapan suci (kalimah thayyibah) yang terus berkumandang tiga hari tasrik berturut-turut juga merupakan simbol tasbih, takbir, dan tahlil yang diucapkan Ibrahim, Ismail, dan Malaikat.

Ritual kurban yang dilaksanakan Ibrahim diikuti oleh keturunannya dengan praktik penyembelihan hewan-hewan kurban yang seterusnya dibakar. Tradisi mereka terus berlanjut sampai diutusnya Nabi Musa kepada mereka.

Dalam tradisi Musa dan kaumnya dikenal dua macam jenis kurban. Pertama, kurban berupa binatang yang diperuntukkan bagi Allah. Kedua, jenis kurban berupa hasil-hasil tanaman yang disimpangkan oleh sebagian pengikutnya untuk dipersembahkan kepada patung-patung.

Kurban jenis kedua ini nantinya dihapus habis oleh syariat Islam. Masih dalam tradisi umat Musa, jenis kurban yang pertama di atas dibagi pula menjadi tiga macam.

Dalam tradisi Yunani dikenal penaburan garam di atas pembakaran kurban sebagai simbol derma mereka. Dalam tradisi Romawi masih dipraktikkan penyembelihan hewan kurban bagi tuhan-tuhan mereka.

Orang-orang yang hadir dalam ritual pengorbanan Romawi tersebut dianjurkan mengambil daging sembelihan untuk dijadikan 'tabarruk' dari tuhan mereka. Selama upacara itu berlangsung, kahin-kahin memercikkan air madu dan air bunga kepada orang-orang yang hadir. Praktik semacam ini masih ditemukan pada upacara keagamaan sekarang di Romawi.

Dalam sejarahnya, ternyata tradisi kurban tidak hanya berupa hewan, tetapi juga sampai mengurbankan manusia. Praktik ini pernah menjadi tradisi di Faris, Rumania, dan Mesir Kuno. Bahkan, praktik anomali itu pernah berlangsung lama di daratan Eropa sampai dikeluarkannya UU Romanisa pada 657 M yang melarang tradisi itu.

Sebelumnya, raja Faris sering mempersembahkan kurban manusia untuk tuhannya dengan mempersembahkan seorang gadis. Sesembahan ini dihiasi sedemikian rupa untuk ditenggelamkan di tengah-tengah Sungai Nil yang dipercayainya sebagai sesembahan mereka. Tradisi pengorbanan Mesir akhirnya dihapuskan oleh Umar bin 'Ash pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.

Suruhan kurban dalam Islam secara nash bisa kita temukan secara eksplisit pada Alquran Surat al-Kautsar ayat 1-3: ''Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.''

Kata wanhar dalam ayat ini menurut ulama tafsir Ibnu Katsir adalah suruhan untuk melaksanakan ritual kurban. Kesimpulan ini seiring dengan pernyataan Nabi: ''Barangsiapa menyembelih kurban setelah Shalat Idul Adha, ia telah melaksanakan kurban''. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz IV, hal. 559).

Dari hasil studi komparatif kita terhadap praktik kurban pada umat terdahulu, kita bisa membuktikan umat Islam dengan berpijak pada Alquran dan Hadis adalah umat yang pertama kali melarang praktik kurban berupa manusia. Kurban yang dikeluarkan pun hanya sebatas pada binatang ternak, seperti unta, sapi, dan kambing.

Kurban dalam Islam dilaksanakan pada 10-11-12 Dzulhijjah dengan upacara religius tertentu yang tentu seiring dengan ajaran Islam sendiri. Daging sembelihan itu seterusnya tidak dibakar atau hanya konsumsi khusus bagi kahin-kahin tertentu seperti dalam tradisi umat terdahulu, tetapi dibagikan kepada orang-orang yang benar-benar sangat membutuhkan. Kurban dalam kebiasaan umat Muhammad tidak hanya berdimensi religius, tetapi juga berdimensi sosial.

Menggugat Tafsir Hermeneutis Kurban


Yusuf Burhanudin
Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir, Staf Pengajar STAPI Garut.


''Anda mengharapkan kesuksesan, tetapi tidak menjalani prosesnya, sesungguhnya perahu tidak mungkin berlayar di atas daratan.'' (Imam Syafii).

Mendekati musim kurban, selalu ramai perbincangan pentingnya tafsir hermeneutik syariat kurban. Syariat kurban berupa ritus penyembelihan hewan yang berlangsung selama ini dinilai tidak memenuhi kualifikasi kemaslahatan kemanusiaan terutama seiring dengan maraknya korban bencana yang mendesak segera dibantu. Tafsir ini kemudian meniscayakan syariat kurban sangat mungkin diganti dengan nilai uang (qimah).

Pendapat ini muncul berdasarkan pada asumsi teologis maupun pertimbangan teknis. Pertama, alasan teologis agama harus untuk kemaslahatan kemanusiaan dan sesuai setting kekinian.

Syariat kurban, menurut sang pengusung ide, terlalu asyik dengan pembinaan kesalehan ritual formal, tetapi mengabaikan hikmah sosial. Model penghayatan agama yang selalu mementingkan ritus dinilai sebagai agama angkuh yang tidak duniawi (membumi) sekaligus juga tidak manusiawi.

Kedua, syariat kurban yang dilaksanakan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad sangat berbeda dengan setting masa kini. Maka, syariat kurban yang diperuntukkan bagi fakir miskin menjadi sangat mungkin diganti dengan nilai uang.

Sebagai contoh, jika harga seekor sapi Rp 10 juta, maka harga 10 ekor sapi Rp 100 juta. Kalau dibagikan pada seribu orang, setiap orang menerima Rp 100 ribu. Akan lebih produktif lagi jika dana yang terkumpul itu digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, pelatihan kerja, infrastruktur fisik, beasiswa, maupun panti rehabilitasi korban bencana alam.

Sepintas ide itu menarik. Namun, jika menggunakan metodologi fikih, kita akan menemukan pendapat itu keropos metodologi sehingga cenderung absurd, ahistoris, dan distorsif.

Pandangan fikih
Mengganti hewan kurban dengan uang tidak dikenal dalam literatur fikih. Upaya menganalogikan kurban dengan zakat yang bisa diganti nilai uang analogi yang rusak dan kontraproduktif. Selain tidak berlaku qiyas (analogi) dalam ibadah, di mana tiap-tiap ibadah harus berdasarkan dalil dan nash yang independen dari ibadah lainnya sehingga tidak terjadi pencampuradukan kaefiat satu ibadah dengan lainnya, juga karena pokok maupun 'ilat hukum (sebagai prasyarat qiyas) kurban dan zakat berbeda.

Selaras keputusan Komisi Fatwa MUI yang tidak memperbolehkan mengganti hewan kurban dengan uang, dalam seminar ketujuh Haiah Kibar Al-Ulama (Lembaga Ulama Besar) Saudi Arabia yang diselenggarakan di Taif pertengahan Sya'ban 1395 H, memutuskan tidak boleh mengganti hewan kurban dengan uang dan yang senilai dengannya berdasarkan Alquran, Sunah, dan ijma' (konsensus ulama). Ini karena yang dimaksud kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih kurban (QS Al-Hajj [22]: 37). Dalam ketetapan itu ditegaskan, mengganti kurban dengan uang akan mengarah kepada mempermainkan hukum Islam.

Yang dituju dalam kurban adalah kebaikan sosial, misalnya kita tak perlu repot mengeluarkan biaya banyak untuk berkurban. Pendapat ini menilai pembagian hewan kurban mubazir.

Benar bahwa agama termasuk pertimbangan fikih di dalamnya memerhatikan kemashalatan manusia. Namun, pertimbangan ini tidak diukur semata dari parameter manusia dan pragmatisme duniawi. Tapi, juga menimbang dimensi ilahiyah dan prioritas ukhrawi.

Praktik ibadah hak prerogatif Allah. Prinsip beribadah adalah tauqifi, menunggu perintah dan sesuai contoh Rasul. Praktik ibadah otoritas wahyu sehingga siapa pun tidak dibenarkan mengubah cara yang dicontohkan Nabi SAW.

Hanya karena terik mentari di siang hari, misalnya, kita begitu saja menukar rakaat Shalat Dzuhur menjadi dua rakaat diganti Shubuh empat rakaat karena ditunaikan di pagi hari saat badan masih segar bugar. Inilah salah satu contoh salah kaprah jika saja otoritas akal manusia turut serta dalam menentukan kaefiat ibadah yang tsawabit.

Karena watak ibadah yang formalistik dan mengikat itulah maka perilaku menambah-nambah atau mengurangi aturan ibadah sama saja sikap sok tahu daripada Rasulullah SAW. Nabi SAW diutus sebagai penunjuk kebenaran bukan semata mengajarkan doktrin filosofis, tapi juga petunjuk teknis (tata cara ibadah). Jika kebenaran filosofis (akidah) saja yang dirisalahkan, sementara teknisnya tidak diuraikan, bisa jadi cara menyembah Allah dengan ritual agama Majusi bisa dibenarkan.

Menurut Prof Dr Abu Suud (2008), kalau penafsiran hermeneutis itu terjadi elaborasi dalam pemahaman agama sebagai ajaran pragmatisme, akibatnya tidak diperlukan lagi penghayatan transendental maupun kekhusyuan ilahiyah dalam pengamalan agama. Motivasi ukhrawi secara sistematis, tapi pasti mulai dijauhkan dan menjadi lenyap dari pengamalan. Ajaran agama menjadi tidak lain ajaran materialistis dan pragmatis. Semuanya dilaksanakan hanya atas dasar kepentingan duniawi.

Pada ritus kurban, misalnya, bisa dikembangkan atau digeser secara kontekstual sesuai kepentingan sewaktu. Proses analogi liar itu gilirannya menghasilkan asumsi bahwa shalat bisa digeser menjadi introspeksi dan semedi, zakat diganti pajak, puasa cukup dengan diet, dan seterusnya.

Prinsip kemaslahatan
Teori kemaslahatan atau al-maslahah dalam fikih ada tiga macam. Mashlahat yang dinilai berdasarkan ijma', mashlahat yang ditiadakan berdasarkan ijma', dan mashlahat yang dibebaskan. Membayar kurban dengan uang, termasuk mashlahat yang ditiadakan karena bertentangan dengan beberapa dalil dan karenanya tidak boleh diberlakukan.

Kemaslahatan yang didengungkan fikih Islam bukanlah kemaslahatan nisbi dan absurd. Tapi, kemaslahatan metodologis yang memedulikan dimensi ukhrawi dan duniawi secara sekaligus. Mementingkan salah satu dimensi berkonsekuensi serius pada tercerabutnya fleksibilitas agama sehingga menjebak pelakunya pada dua perilaku terlarang dalam beragama.

Memakemkan ritus kurban bukan karena miskin tafsir ijtihad dan kurang adaptif pada asas modernitas, seperti yang selama ini dituduhkan, tapi justru karena kemiskinan sang pengusung ide dalam memahami ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh.

Bukankah untuk sumbangan bencana alam, sederhananya, bisa menggunakan ruang ibadah lain seperti infak, sedekah, dan zakat? Sepakat dengan pendapat Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin, tahun silam, kurban dan sumbangan untuk korban bencana sama-sama penting. Sama-sama keliru jika demi menolong korban bencana alam harus mengganti ritus kurban atau sebaliknya demi menunaikan ritus kurban, tetapi mengabaikan korban bencana.

Pesan Imam Syafii di atas hendak menyapa kalangan yang hanya peduli substansi, tetapi abai praktik. Padahal, menurut logika saja untuk menempuh tujuan selalu membutuhkan sarana atau perantara. Demikian pula dalam beribadah harus ada keberiringan antara praktik dan implikasi.

Ikhtisar:
- Ibadah kurban parameternya adalah fikih, bukan filsafat.
- Terjadi elaborasi dalam pemahaman agama sebagai ajaran pragmatisme dalam penafsiran hermeneutis.

(-)

Qurban Seremonial


M Aji Surya -




Jakarta - Ajaran berkorban dimiliki oleh semua agama dan kepercayaan. Tanpa pengorbanan dipercayai kehidupan semakin tidak harmonis. Repotnya, pengorbanan sering dilakoni sebagai kegiatan spiritual an sich. Bukan ajaran untuk melakukan pengorbanan.

Dalam pemahaman agama dikenal adanya tingkatan-tingkatan yakni syariat, toriqoh, hakekat, dan marifat. Antara keempatya terdapat perbedaan yang sangat mencolok yang bisa dikategorikan bainas sama wal ard (antara bumi dan langit).

Syariat bisa dipahami sebagai ajaran agama yang mengatur wujud lahir manusia, baru thoriqoh atau 'jalan' atau proses dari syariat menuju hakekat. Baru setelah itu hakekat yakni esensi atau hal-hal yang menyangkut isi dari agama. Kemudian makrifat yaitu mengenal Allah dengan sebenar-benarnya kenal. Dengan kata lain, syariah adalah kulit, toriqoh transisi, hakekat adalah isi, sedangkan marifat pengetahuan yang sebenarnya.

Dan ternyata pemahaman kita tentang ajaran yang sering kita lakoni setiap hari umumnya memang hanya terkait dengan kulit. Lapisan luar, dasar, elementer, atau pada tingkatan SD (sekolah dasar).

Hal demikian sering terjadi karena aspek ibadah yang dipandang oleh manusia hanyalah apa yang bisa dilihat oleh mata dan dirasakan oleh indera lainnya. Kalaulah hal tersebut berlangsung pada seseorang secara terus menurus maka kesimpulannya adalah sebuah kesalehan.

Di masa super modern seperti saat ini manusia sudah dicapekkan dengan berbagai kompleksitas kehidupan sehingga tidak memiliki waktu cukup untuk menukik ke tingkat hakekat apalagi marifat. Pragmatisme dan hedonisme mengantarkan manusia untuk mencari yang paling praktis dan paling enak. Tanpa harus berpikir apakah hal-hal tersebut memberikan manfaat atau tidak.

Tidak heran bila dalam kenyataan siswa dan mahasiswa lebih suka nyontek dibanding belajar. Yang penting nilainya bagus meski kenyataannya tidak becus. Ada politisi lebih suka mengambil jalan pintas meskipun tidak pantas. Ada pula pegawai yang mengamini korupsi meski bertentangan dengan hak asasi.

Dengan demikian sebuah capaian yang tertinggi akhirnya hanya terukur pada kenyataan-kenyataan yang bersifat lahiriah. Orang dinilai pandai manakala semua nilainya A. Dermawan adalah yang sering menggelontorkan hartanya buat orang lain. Orang kaya terlihat dari kekayaannya yang menggunung. Pejabat yaitu mereka yang menduduki pangkat tinggi.

Dus, sangat jarang terpikir bahwa orang pandai adalah mereka yang berilmu dan
mengamalkan ilmunya. Dermawan selalu memberikan hartanya dengan penuh keikhlasan. Orang kaya mendapatkan hartanya via jalan yang halal, dan pejabat adalah mereka yang memegang amanah rakyat.

Demikian juga nasib ajaran Idul Qorban atau Idul Adha. Pemahaman yang tercipta dan selalu diulang-ulang dalam khotbah adalah perintah untuk berkorban berupa domba, lembu, unta, dan lainnya. Agama mengajarkan hal tersebut agar manusia tidak lupa untuk berkorban. Setelah itu, sang ustadz dengan gayanya yang elegan menuntun sapi bersama sang penyumbang ke tempat penyembelihan.

Sebelumnya, klik klik klik, acara foto bersama kambing, lembu dan onta yang akan dikorbankan. Lebih norak lagi, sehari sebelum hari H, para kambing dan lembu tersebut ditulisi dengan spidol besar nama orang yang berkorban. Jadilah ada lembu Muhamad, kambing Achmad, onta Fulan, atau domba Abdullah.

Kebanggaan akan muncul manakala banyak mata memandang siapa mengorbankan apa. Makin besar nilai korbannya, makin mantap jiwa keimanannya. Bahkan, biar kelihatan terpandang, maka ada yang melakukan korban keroyokan, satu sapi dibagi enam atau delapan. Dan, sang penyembelih harus menyebut berbagai nama dimaksud sebelum meletakkan pisaunya di leher sang sapi.

Anggota panitia korban adalah orang yang berhak mendapatkan dagingnya, sehingga pada tataran ini, mereka mengambil untuk pertama kali. Tentu bukan di bagian ujung kaki, melainkan di bagian-bagian yang paling berisi. Sang empunya hewan korban juga sudah menunggu di sampingnya. Biasanya mereka membawa bagian paha atas korban dimaksud.

Akhirnya, fakir miskin, muallaf, dan para musafir yang menurut agama dinilai pihak yang paling berhak hanya kebagian daging plus lemak plus tulang belulang.

Setelah acara ritual korban terjadilah pesta pora: mereka yang menerima daging korban, panitia pelaksana, ataupun pihak yang berkorban. Ada sate, gule, tongseng, dan lainnya.

Bahkan, kadang ada juga yang sambil makan sate meminum minuman keras, katanya biar pas, seperti orang barat (makan daging sambil minum red wine). Dapat dipastikan, pada dua hari mulai hari H, tukang sate dan lainnya terpaksa cuti menjual dagangannya.

Dengan pemahaman yang sangat cetek seperti itu sangat bisa dipastikan bahwa nilai-nilai pengorbanan yang menjadi ajaran setiap agama tidak atau jauh menyentuh dalam kehidupan keseharian. Semua berhenti pada tingkatan ritual, kenyataan dan syariat.

Tidak heran, bila seminggu setelah Idul Adha, ketika tetangga kesakitan dan perlu biaya, mereka pura-pura tidak tahu. Ketika saudaranya mendapat musibah rasa iba pun tidak muncul. Dan manakala ada musibah bencana alam, alih-alih menyumbang, biasanya hanya pandai mengkritik mestinya begini dan begitu.

Orang menjadi lupa bahwa pengorbanan adalah suatu ajaran untuk memberikan yang tebaik yang dimilikinya. Karenanya Tuhan mencontohkan Ibrahim menyembelih Ismail, anaknya yang paling disayanginya. Bukan hanya berkorban dengan pakaian bekas layak pakai, menyumbang dengan uang receh, dan memberi buku bekas kepada anak yatim.

Orang pun menjadi tidak mengerti lagi bahwa yang penting dalam korban bukanlah iklan di tv dan media cetak. Melainkan sebuah upaya syukur atas nikmat Tuhan agar dirinya terus menerus mendekat kepada sang pemilik kehidupan.

Bahwa yang dilihat Tuhan bukan kambingnya tetapi imannya. Bahwa yang penting penyertaan iman dalam pengorbanan, bukan besar kecilnya korban. Bahwa jiwa multiplayer effects pengorbanan harus berkobar dari waktu ke waktu tanpa henti, berkesinambungan, sustainable, dan semakin besar.

Manakala kita semua terjebak dalam ritualisme syariat ajaran korban maka manfaat korban hanya sampai pada perut yang membuncit dan akan lenyap dalam hitungan jam dan hari. Setelah itu, semua back to basic dan tidak banyak manfaat yang bisa dipetik. Naudubillahi min dzalik.

M Aji Surya
Katelniceskaya Neberisnaya 82 Moskow
ajisurya@deplu.go.id
+79250718648

Penulis adalah diplomat Indonesia di KBRI Moskow, alumnus UII, UGM, UI, dan Pondok Modern Gontor.

Senin, 08 Desember 2008

Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (4)


Nurcholis Madjid

'Umar terus melakukan musyawarah dan pembahasan. Banyak orang berargumentasi untuk melakukan pembagian sesuai dengan pengertian lahir nas-nas, dan 'Umar berargumentasi untuk tidak melakukan pembagian demi kemaslahatan masyarakat Muslim sendiri. Seolah-olah 'Umar membedakan antara apa yang dilaksanakan Nabi s.a.w. di tanah-tanah pertanian Khaybar yang kecil pada permulaan Islam yang dituntut oleh kemaslahatan masyarakat Muslim saat itu tanpa menyimpang daripadanya, dan tanah-tanah pertanian lembah yang subur di Irak, Mesir dan Syam, yang seandainya diterapkan di sana apa yang dipraktekkan Rasulullah di tanah-tanah pertanian Khaybar itu maka tentu masyarakat Muslim akan kehilangan kemaslahatannya.

Orang banyak tetap saja pada pendirian mereka, sampai akhirnya 'Umar datang dan menyatakan: "Aku telah mendapatkan argumentasi terhadap mereka dengan bagian akhir dari ayat-ayat al-Hasyr."

Di situ Tuhan merinci mereka yang berhak atas harta rampasan perang dengan firman-Nya: "Sesuatu (harta kekayaan) yang diberikan Tuhan sebagai rampasan perang untuk Rasul-Nya dari penduduk negeri adalah milik Tuhan, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibn al-sabil, agar supaya harta itu tidak berkisar di antara orang-orang kaya saja dari antara kamu..." Maksudnya supaya harta rampasan itu tidak berputar di kalangan para orang kaya saja tanpa ikut sertanya para fakir-miskin, sampai dengan firman Allah Ta'ala: "Bagi orang-orang miskin para Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta benda mereka ..." terus ke firman-Nya, "Dan mereka yang telah menetap di negeri (Madinah) dan beriman sebelum (datang) mereka (Muhajirin) itu. . .," serta diakhiri dengan firman, "Dan mereka yang datang sesudah mereka itu ..."[8]

Kemudian kata 'Umar: "Aku tidak melihat ayat ini melainkan meliputi semua orang manusia sampai termasuk pula seorang penggembala kampung Kidd'." Lalu 'Umar berseru kepada orang banyak itu: "Apakah kalian menghendaki datangnya generasi belakangan tanpa mendapatkan sesuatu apa pun? Lalu apa yang tersisa untuk mereka sepeninggal kalian itu? Kalau tidak karena generasi kemudian itu, tidaklah ada suatu negeri yang dibebaskan melainkan pasti aku bagi-bagikan sebagaimana Rasulullah s.a.w. telah membagi-bagikan tanah Khaybar."[9]

Demikianlah 'Umar memutuskan untuk menyita tanah-tanah pertanian itu dan tidak membagi-bagikannya kepada tentara pembebas, dan membiarkan tanah-tanah itu tetap berada di kalangan para penduduk penggarap yang dari hasilnya mereka membayar pajak untuk dibelanjakan bagi kemaslahatan masyarakat Muslim pada umumnya, dan orang-orang Muslim pun kemudian bersepakat dengan 'Umar.

Jelas bahwa tindakan bijaksana dari 'Umar r.a. yang menyimpang dari tindakan Rasulullah s.a.w. bukanlah berarti peniadaan suatu Sunnah yang tetap yang dibawa oleh Nabi s.a.w., melainkan justru berpegang teguh kepada Sunnah itu dengan dalil-dalil berbagai nas yang lain mengikuti kemaslahatan umum. Jika Rasulullah membagi-bagi antara orang-orang Muslim harta rampasan perang yang terdiri dari tanah-tanah pertanian pada waktu itu tanpa menyisakan barang sesuatu untuk generasi yang datang kemudian, maka hal itu ialah karena masalah zaman menghendaki hal demikian sesuai dengan situasi yang ada, khususnya untuk menolong nasib orang-orang miskin Muhajirin dari Makkah yang diusir dari tempat-tempat kediaman dan harta kekayaan mereka. Dan jika 'Umar tidak membagi-bagikannya, maka hal itu pun karena kemaslahatan saat itu, sebagaimana ia sendiri telah menjelaskannya, menghendaki kebijaksanaan demikian itu. '

Itulah sebabnya al-Qadli Abu Yusuf berkata: ''Pendapat yang dianut 'Umar r.a. untuk tidak membagi tanah-tanah pertanian itu antara mereka yang membebaskannya, ketika Tuhan memberinya kearifan tentang apa yang disebutkan dalam Kitab Suci sebagai penjelasan pendapatnya itu, adalah suatu petunjuk dari Tuhan. Pada 'Umar dengan tindakan tersebut --yang di situ terdapat kebaikan pendapatnya-- berupa pengumpulan pajak dan pembagiannya di antara orang-orang Muslim, terkandung kebaikan umum bagi masyarakat mereka. Sebab jika seandainya pendapatan dan kekayaan (negeri) tidak diserahkan kepada manusia (secara umum), maka pos-pos pertahanan tidak lagi terpenuhi kebutuhannya, dan tentara tidak lagi mendapatkan perbekalan untuk melanjutkan perjuangan suci (jihad) mereka.

Demikianlah kedua penuturan tentang ijtihad 'Umar r.a.

Semoga kita dapat belajar dari kearifan tokoh dalam sejarah Islam yang amat menentukan itu, yang sering dikemukakan sebagai tauladan seorang pemimpin dan penguasa yang adil, demokratis dan terbuka.

CATATAN

1 Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghitha, Ashl al-Shi'ah wa Ushuluha (Beirut: Mu'assasat al-A'lami, 1982), h. 101.

2 Al-Bahi al-Khuli, "Min fiqh 'Umar fi al-Iqtisad wa al-Mal", dalam majalah al-Muslimun (Damaskus), No. 4, Jumada al-Akhirah, 1373 H/Februari, 1954, hh. 55-59.

3 Q., s. al-Anfal/8:41.

4 Q., s. al-Hashr/59:7-10.

5 Ma'ruf al-Dawalibi, "Kayfa ista'mala al-sahaabah 'uqulahum fi fahm al-Qur'an", dalam majalah al-Muslimun (Damaskus), No. 7, Rabi' al-Thani 1375 H./Tashrin al-Thani (November) 1955, hh. 4347.

6 Lihat catatan 3.

7 Ibid.

8 Lihat catatan 4.

9 Diambil dari Kitab al-Huquq al Madaniyyah (Kitab Hak-hak Sipil) oleh al-Zarqa, halaman 76. Al-Zarqa telah menjabarkan ayat ghanimah (harta rampasan perang) dalam s. al-Anfal/8:41, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun dari sesuatu (harta kekayaan) yang kamu rampas dalam peperangan maka sesungguhnya seperlima daripadanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang dalam perjalanan." Kata al-Zarqa, "Sebenarnya ayat suci itu menentukan pembelanjaan seperlima dari harta rampasan itu untuk urusan umum, dan Sunnah menjelaskan tindakan Nabi tentang cara membagikan sisanya (yang empat perlima) kepada para anggota mereka yang merebut harta rampasan itu. Kemudian datang ayat fay' dalam Surah al-Hasyr/59:6-10, yang mengatakan, 'Apa pun yang diberikan Tuhan bahwa harta fay' kepada RasulNya ...' yang ayat itu memberi kejelasan bahwa harta fay' harus dimanfaatkan oleh orang-orang Muslim secara keseluruhan, baik yang sekarang maupun yang bakal datang, dan tidak hanya terbatas untuk para pejuang pembebas saja, melainkan semuanya harus ditempatkan di bawah bayt al-mal. Beda antara ghanimah dan fay' dalam istilah Shar'i ialah bahwa ghanimah harta yang dirampas dari musuh dengan kekuatan senjata, sedangkan fay' adalah harta yang ditinggalkan musuh karena ketakutan, atau yang mereka bayarkan karena terpaksa dan kalah, dan tidak diperoleh dari musuh itu dengan pengerahan kavaleri atau pun komando tentara dalam medan peperangan. Karena itu fay' meliputi pula pungutan-pungutan yang dibebankan kepada mereka seperti jiryah atas pribadi-pribadi dan pajak (kharaj) atas bumi. Telah terbukti dalam Sunnah ketika Nabi s.a.w. membebaskan Khaybar, yang dibebaskan dengan kekerasan, bukan dengan jalan damai, dan penduduk Yahudinya yang terperangi itu meninggalkannya atas dasar hukum pelarian diri, maka tanah-tanah pertanian mereka itu dianggap termasuk fay', dan Nabi mengambil separohnya --sebelum seperlimanya-- kemudian ditinggalkan untuk para pengawas dan penghuni setempat, kemudian beliau bagi-bagikan sisanya kepada para tentara pembebas." Kemudian al-Ustadh menuturkan kisah pembebasan Lembah Irak (Mesopotamia), dan menafsirkan pendirian 'Umar yang bijaksana dalam membedakan antara harta rampasan perang yang bergerak dan tanah-tanah pertanian, bahwa sesungguhnya ia justru berpegang kepada dalil-dalil nas dan menggabungkan semuanya, dan melaksanakan setiap dalil nas itu dengan meletakkan pada tempatnya yang dibimbing oleh pandangannya yang menyeluruh dan tepat, tidak seperti yang dikesankan oleh mereka dari zaman sekarang yang mengira dalam masalah ini 'Umar menyalahi nas-nas agama, dan menganggap sikap menyalahi itu menurut perkiraan mereka sebagai suatu kejeniusan dalam berijtihad. Dari yang kita kutip itu anda bisa melihat bahwa 'Umar menggunakan argumen-argumen dari nas al-Qur'an sendiri yang dengan nas-nas itu ia membungkam para penentangnya dan membuktikan keunggulan pemahamannya mengenai nas-nas itu. Menyertai pendapat 'Umar dalam pandangannya itu para pembesar sahabat yang mendalami pemahaman agama seperti 'Ali dan Mu'adh. (Al-Muslimun).

Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (3)



Nurcholis Madjid

Orang pun banyak berkumpul sekitar 'Umar, dan mereka semua berseru; "Apakah engkau akan memberikan sesuatu yang oleh Allah diberikan untuk kami dengan perantaraan pedang-pedang kami kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi? Dan kepada anak-anak mereka itu serta cucu-cucu mereka yang belum ada?"

Namun 'Umar tak bergeming kecuali berkata: "Itulah pendapatku."

Mereka menyahut: "Bermusyawarahlah!"

Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, dan mereka ini berselisih pendapat. Adapun Abd al-Rahman ibn 'Awf, maka pendapatnya ialah agar diberikan kepada para tentara itu apa yang telah menjadi hak mereka. Sedangkan pendapat 'Utsman, 'Ali, Thalhah dan Ibn 'Umar sama dengan pendapat Umar.

Kemudian 'Umar memanggil sepuluh orang dari golongan Ansar, lima orang dari suku al-Aws dan lima orang dari suku al-Khazraj, terdiri dari para pembesar dan petinggi mereka. Setelah mereka berkumpul, 'Umar membaca hamdalah dan memuji Tuhan, kemudian berkata (penuturan al-Dawalibi ini tidak jauh berbeda dengan al-Khuli di atas):

"Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya kalian menyertaiku dalam amanatku dan dalam urusan kalian yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah seorang saja dari kalian, dan kalian hari ini hendaknya membuat keputusan dengan benar: siapa saja yang hendak berbeda pendapat dengan aku, silakan ia berbeda, dan siapa saja yang hendak bersepakat dengan aku, silakan ia bersepakat. Aku tidaklah ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi kecenderunganku ini. Di tangan kalian ada Kitab Allah yang menyatakan kebenaran. Dan demi Tuhan, kalau aku pernah menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak menginginkannya kecuali kebenaran."

Semuanya serentak berkata: "Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan, wahai Amir al-Mu'minin."

Dan mulailah 'Umar berbicara:

"Kalian telah mendengar pembicaraan mereka, kelompok yang menuduh aku berbuat zalim berkenaan dengan hak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari melakukan kezaliman. Jika aku telah berbuat zalim kepada mereka berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milik mereka dan aku berikan kepada orang lain, maka benar-benar telah celakalah diriku. Tetapi aku melihat bahwa tidak ada lagi sesuatu (negeri) yang dibebaskan sesudah negeri Khusru (Raja Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kita harta kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka, garapan-garapan mereka, maka aku bagi-bagikanlah semua kekayaan (yang bergerak) kepada mereka yang berhak, kemudian aku ambil seperlimanya, dan aku atur menurut aturan tertentu, dan aku sepenuhnya bertanggung jawab atas pengaturan itu. Tetapi aku berpendapat untuk menguasai tanah-tanah pertanian beserta garapan-garapannya, dan aku terapkan pajak atas para penggarap tanah-tanah itu, dan mereka berkewajiban membayar jizyah sebagai fay' untuk orangorang Muslim, baik yang berperang maupun anak turun mereka, dan untuk generasi yang kemudian. Tahukah kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang yang tinggal menetap. Tahukah kalian, kota-kota besar seperti (di) Syam, al-Jazirah (Mesopotamia), Kufah, Basrah dan Mesir? Semuanya itu memerlukan tentara untuk mempertahankan dan biaya besar untuk mereka. Dari mana mereka diberi biaya itu jika semua tanah pertanian dan garapannya telah habis dibagi-bagi?" Serentak semuanya menjawab: "Pendapat yang benar ialah pendapatmu. Alangkah baiknya apa yang kau katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-kota itu tidak diisi dengan personil-personil, serta disediakan bagi mereka kebutuhan-kebutuhan mereka, maka tentulah kaum kafir akan kembali ke kota-kota mereka." Kata Mu'adz kepada 'Umar: "Jika engkau sampai membagi-baginya, maka akan terjadilah kekayaan yang amat besar berada di tangan kelompok orang tertentu, kemudian mereka akan mati, lalu harta itu akan bergeser ke tangan satu orang, baik laki-laki atau pun perempuan, dan sesudah mereka itu muncul generasi yang benar-benar melihat adanya kebaikan pada Islam --yaitu mereka mendapati dalam Islam suatu keuntungan-- namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Karena itu carilah sesuatu yang menguntungkan baik generasi pertama maupun generasi akhir."

Sungguh menakjubkan pernyataan Mu'adz itu: Jika tanah-tanah pertanian itu dibagi habis, maka terjadilah kekayaan amat besar pada kelompok tertentu, dan kalau mereka ini semuanya telah tiada, kekayaan itu akan pindah ke tangan satu-dua orang, sehingga orang-orang (dari kalangan penduduk setempat) yang muncul sesudah itu dan memeluk Islam tidak lagi mendapatkan sesuatu apa pun! Alangkah cemerlang pernyataannya itu!

Dengan pernyataannya itu, Mu'adz seolah-olah hendak menentang banyak orang sebagaimana kaum sosialis sekarang menentang para tuan tanah agar jangan sampai tanah yang luas milik Tuhan itu jatuh ke tangan hanya satu-dua orang, baik pria maupun wanita, yang dengan pemilikan tanah itu orang tersebut memetik buah kerja keras sejumlah besar para pekerja petani untuk dinikmati sendiri tanpa disertai kalangan manusia lainnya.

Para sahabat Nabi itu terus melakukan pembicaraan sesama mereka selama beberapa hari. Mereka yang berpendapat harus dibagi-bagi, berargumentasi dengan praktek Nabi s.a.w. dalam membagi-bagikan tanah Khaybar di antara para tentara yang membebaskannya, dan dengan firman Allah, "Ketahuilah bahwa apa pun dari sesuatu (kekayaan) yang kamu rampas dalam peperangan maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang terlantar di perjalanan."[7] Karena ayat itu hanya mengemukakan ketentuan untuk menyisihkan seperlima saja dari kekuasaan para tentara pelaksana rampasan dalam perang dan menyerahkannya kepada bayt al-mal untuk digunakan bagi keperluan pihak-pihak yang berhak yang tersebutkan dalam ayat itu, sedangkan ayat itu tidak memberi ketentuan apa-apa tentang bagian yang empat perlima lagi, maka 'Abd al-Rahman ibn 'Awf berkata kepada 'Umar: "Tanah-tanah pertanian dan garapannya itu tidak lain ialah harta yang dirampaskan oleh Tuhan untuk mereka, yakni harta yang diberikan Tuhan kepada mereka dari musuh."

Sedangkan 'Umar, dalam menjawab 'Abd al-Rahman atas argumennya itu, menyatakan: "Itu tidak lain hanyalah pendapatmu, dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan, tidak ada lagi sesudahku negeri yang dibebaskan yang di situ terdapat kekayaan yang besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim. Maka jika aku bagi habis tanah Irak dan garapannya, juga tanah Syam dan garapannya, maka bagaimana membiayai pos-pos pertahanan? Dan apa yang tersisa untuk anak turun dan janda-janda di negeri itu dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"

Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (2)



Nurcholis Madjid

Pertengkaran itu memuncak selama tiga hari, dan kegaduhan orang banyak sekitar masalah itu pun menjadi-jadi. 'Umar berpikir untuk memperluas musyawarahnya keluar kalangan Muhajirin sehingga mencakup para pemuka Ansar (Ansar), dan dipanggillah oleh Umar sepuluh orang dari mereka, lima orang dari suku al-Aws dan lima orang dari suku al-Khazraj, kemudian ia berpidato di depan mereka dengan pernyataan yang indah dan bijaksana ini: ('Umar membaca hamdalah dan memuji Tuhan sesuai dengan yang patut bagi-Nya, kemudian berkata),

"Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya kalian menyertaiku dalam amanat mengenai urusan kalian yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah seorang saja dari antara kalian ... Dan kalian hari ini hendaknya membuat keputusan dengan benar-siapa saja yang hendak berbeda pendapat denganku, silakan ia berbeda, dan siapa saja yang hendak bersepakat denganku, silakan ia bersepakat ... Aku tidaklah ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi kecenderunganku ini ... Di tangan kalian ada Kitab Allah yang menyatakan kebenaran ... Dan demi Tuhan, kalau aku pernah menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak menginginkannya kecuali kebenaran."

Kaum Ansar: "Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan, wahai Amir al-Mu'minin."

'Umar: "Kalian telah mendengar pembicaraan mereka, kelompok yang menuduhku berbuat zalim berkenaan dengan hak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari melakukan kezaliman ... Jika aku telah berbuat zalim kepada mereka berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milik mereka dan aku memberikannya kepada orang lain, maka benar-benar telah celakalah diriku ... Tetapi aku melihat bahwa tidak ada lagi sesuatu (negeri) yang dibebaskan sesudah negeri Khusru (Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kita harta kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka. Maka aku bagi-bagikanlah semua kekayaan (yang bergerak) kepada mereka yang berhak, kemudian aku ambil seperlimanya, dan aku atur menurut aturan tertentu, dan aku sepenuhnya bertanggungjawab atas pengaturan itu ... Tetapi aku berpendapat untuk menguasai tanah-tanah pertanian dan aku kenakan pajak atas para penggarapnya, dan mereka berkewajiban membayar jizyah sebagai fay' untuk orang-orang Muslim, untuk tentara yang berperang serta anak turun mereka, dan untuk generasi yang datang kemudian ... Tahukah kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang yang tinggal menetap. Tahukah kalian, negeri-negeri besar seperti Syam, al-Jazirah (Lembah Mesopotamia), Kufah, Basrah dan Mesir? Semuanya itu harus diisi dengan tentara dan disediakan perbekalan untuk mereka. Dari mana mereka mendapat perbekalan itu jika semua tanah pertanian telah habis dibagi-bagi?"

Semua yang hadir: "Pendapat yang benar ialah pendapatmu. Alangkah baiknya apa yang kau katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-kota itu tidak diisi dengan personil-personil, serta disediakan bagi mereka perbekalan mereka, maka tentulah kaum kafir akan kembali ke kota-kota mereka."

Kemudian terlintas dalam benak 'Umar suatu cahaya seperti biasanya jika kebenaran datang ke lisan dan hatinya, lalu berkata:

"Sungguh telah kudapatkan argumen dalam Kitab Allah,

'Sesuatu apa pun yang dikaruniakan Allah sebagai harta rampasan untuk Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri (yang dibebaskan) adalah milik Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang terlantar dalam perjalanan, agar supaya tidak berkisar diantara orang-orang kaya saja dari kamu. Maka apa pun yang diberikan Rasul kepadamu sekalian hendaklah kamu ambil, dan apa pun yang Rasul melarangnya untuk kamu hendaklah kamu hentikan. Dan bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah itu keras dalam siksaan.'"

"Selanjutnya," kata 'Umar, "Allah berfirman,

'Dan bagi orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta kekayaan mereka, guna mencari kemurahan Allah dan Ridla-Nya, serta membantu Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.'"

"Kemudian," kata 'Umar lagi, "Allah tidak rela sebelum Dia mengikutsertakan orang-orang lain dan berfirman,

'Dan mereka (kaum Ansar) yang telah bertempattinggal di negeri (Madinah) serta beriman sebelum (datang) mereka (kaum Muhajirin); mereka itu mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka, dan tidak mendapati dalam dada mereka keinginan terhadap apa yang diberikan kepada orang-orang yang berhijrah itu, bahkan mereka lebih mementingkan orang-orang yang berhijrah itu daripada diri mereka sendiri meskipun kesusahan ada pada mereka. Barangsiapa yang terhindar dari kekikiran dirinya sendiri, maka mereka itulah orang-orang yang bahagia.'"

"Firman ini," jelas 'Umar, adalah khusus tentang kaum Ansar. Kemudian Allah tidak rela sebelum menyertakan bersama mereka itu orang-orang lain (dari generasi mendatang), dan berfirman,

'Dan orang-orang yang muncul sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar) itu semuanya berdo'a: 'Oh Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam beriman, dan janganlah ditumbuhkan dalam hati kami perasaan dengki kepada sekalian mereka yang beriman itu. Oh Tuhan, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.'"[4]

"Ayat ini," kata 'Umar, "secara umum berlaku untuk semua orang yang muncul sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Ansar) itu, sehingga harta rampasan (fay') adalah untuk mereka semua. Maka bagaimana mungkin kita akan membagi-baginya untuk mereka (tentara yang berperang saja), dan kita tinggalkan mereka yang datang belakangan tanpa bagian? Kini menjadi jelas bagiku perkara yang sebenarnya." (Demikian 'Umar).

Para pembahas dapat menarik kesimpulan dari pendirian 'Umar itu tentang banyak hukum sosial dan ekonomi. Di situ kita dapat melihat 'Umar sangat cermat memperhatikan agar harta kekayaan tidak menumpuk hanya di tangan sekelompok orang-orang kaya saja. Sebab penyerahan pemilikan atas berpuluh-puluh juta hektar tanah pertanian di Irak, Syam, Persia dan Mesir kepada sekelompok tentara dan bawahannya akan membentuk sejumlah orang kaya yang pada mereka terdapat harta benda melimpah ruah, dengan peredarannya pun terpusat kepada mereka saja. Hal itu akan membawa dampak sosial dan moral yang akibatnya tidak terpuji.

Di dalamnya kita melihat 'Umar memandang harta sebagai hak semua orang dan menempuh kebijaksanaan yang memperhitungkan kemaslahatan generasi mendatang. Itu adalah pandangan yang cermat dan mendalam, yang dalam al-Qur'an diketemukan sandaran yang sangat kuat.

Di dalamnya juga terdapat tindakan sejenis nasionalisasi tanah-tanah pertanian atau yang mendekati itu, yaitu ketika ia mencegah sekelompok orang-orang Muslim sezamannya dari menguasai tanah-tanah yang dikaruniakan Tuhan sebagai harta rampasan (fay'), dan ia tidak bergeser dari pendapatnya untuk menjadikan tanah-tanah itu milik negara, yang dari hasil pajaknya ia membuat anggaran untuk tentara, dan dengan hasil itu pula ia menanggulangi kesulitan-kesulitan di masa depan.

Di dalamnya juga terdapat banyak hal yang lain, berupa pandangan-pandangan finansial dan ekonomi yang menunjukkan luasnya ufuk dan keluwesan pemikiran serta daya cakup Islam yang hanif (secara alami selalu mencari yang benar dan baik) terhadap masalah-masalah yang pelik ... Semoga Allah memberi kita petunjuk untuk menggali dari agama kita berbagai kekayaan, hal-hal mendasar dan hakiki.

Penuturan kedua berjudul "Bagaimana Para Sahabat Nabi Menggunakan Akal Mereka untuk Memahami al-Qur'an", oleh: Dr Ma'ruf al-Dawalibi:[5]

Barangkali dari antara banyak masalah ijtihad dan kejadian yang mucul di zaman para sahabat setelah wafat Nabi, yang paling menonjol ialah masalah pembagian tanah-tanah (pertanian) yang telah dibebaskan oleh tentara (Islam) melalui peperangan di Irak, Syam (Syria) dan Mesir.

Telah terdapat nas al-Qur'an yang menyebutk.an dengan jelas tanpa kesamaran sedikit pun di dalamnya bahwa seperlima harta rampasan (perang) harus dimasukkan ke bayt al-mal, dan harus diperlakukan sesuai dengan pengarahan yang ditentukan oleh ayat suci. Allah telah berfirman dalam Surah al-Anfal, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu rampas (dalam perang) dari sesuatu (harta) maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan (ibn al-sabil)."[6]

Sedangkan yang empat perlima selebihnya maka dibagi sama antara mereka yang merampas (dalam perang) itu, sebagai pengamalan ketentuan yang bisa dipahami dari ayat suci tersebut dan praktek Nabi s.a.w. ketika beliau membagi (tanah pertanian) Khaybar kepada para tentara.

Maka, sebagai pengamalan al-Qur'an dan al-Sunnah, datanglah para perampas (harta rampasan perang) itu kepada 'Umar ibn al-Khaththab, dan meminta agar ia mengambil seperlima daripadanya untuk Allah dan orang-orang yang disebutkan dalam ayat (dimasukkan dalam bayt al-mal), kemudian membagi sisanya kepada mereka yang telah merampasnya dalam perang. (Kemudian terjadi dialog berikut):

Kata 'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian? Mereka mendapati tanah-tanah pertanian beserta garapannya telah habis terbagi-bagi, dan telah pula terwariskan turun-temurun dan terkuasai? Itu bukanlah pendapat (yang baik).

'Abd al-Rahman ibn 'Awf, menyanggah 'Umar: "Lalu apa pendapat (yang baik)? Tanah pertanian dan garapannya itu tidak lain adalah harta rampasan yang diberikan Allah kepada mereka!"

'Umar menjawab: "Itu tidak lain adalah katamu sendiri, dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan, tidak akan ada lagi negeri yang dibebaskan sesudahku yang di situ terdapat kekayaan besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim. Jika aku bagi-bagikan tanah-tanah di Irak beserta garapannya, tanah-tanah di Syam beserta garapannya, maka dengan apa pos-pos pertahanan akan dibiayai? Dan apa yang tersisa untuk anak cucu dan janda-janda di negeri itu dan ditempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"

Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (1)


Nurcholis Madjid

Berkaitan erat dengan pokok pembahasan tentang reaktualisasi ajaran-ajaran agama yang dibawakan oleh Bapak Munawir Syadzali ialah persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan. Pertimbangan itu terlebih lagi berlaku berkenaan dengan ketentuan agama yang tercakup dalam pengertian istilah "syari'at" sebagai hal yang mengarah kepada sistem hukum dalam masyarakat.

Dalam teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal tersebut dituangkan dalam konsep-konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan), dalam hal ini kebaikan atau kemaslahatan umum (al-maslahat al-'ammah, al-maslahat al-mursalah) disebut juga sebagai keperluan atas kepentingan umum (umum al-balwa).

Contoh klasik untuk tindakan mempertimbangkan kepentingan umum dalam menangkap makna semangat agama itu ialah yang dilakukan oleh Khalifah II, 'Umar ibn al-Khattab r.a., berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian berserta garapan-garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Muslim di negeri Syam (Syria Raya, meliputi keseluruhan kawasan pantai timur Laut Tengah), Irak, Persia dan Mesir.

Pendirian 'Umar untuk mendahulukan pertimbangan tentang kepentingan umum yang menyeluruh, baik secara ruang (meliputi semua orang di semua tempat) maupun waktu (mencakup generasi sekarang dan masa datang) mula-mula mendapat tantangan hebat dari para sahabat Nabi, dipelopori antara lain oleh 'Abd al-Rahman ibn Awf dan Bilal (bekas muazin yang sangat disayangi Nabi). Mereka ini berpegang teguh kepada beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat dalam al-Qur'an dan dalam Sunnah atau praktek Nabi pada peristiwa pembebasan Khaybar (sebuah kota oase beberapa ratus kilometer utara Madinah), dari sekelompok orang Yahudi yang berkhianat. Tetapi, sebaliknya, sejak dari semula para sahabat Nabi yang lain, termasuk tokoh-tokoh seperti 'Utsman ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Talib (kedua-duanya kelak menjadi Khalifah, berturut-turut yang ketiga dan keempat), sepenuhnya menyetujui pendapat 'Umar dan sepenuhnya mendukung pelaksanaannya.

Pertikaian pendapat itu berlangsung panas selama berhari-hari di Madinah, sampai akhirnya dimenangkan oleh 'Umar dan kawan-kawan dengan argumen-argumen yang tepat, juga berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Suci al-Qur' an.

Dalam banyak hal 'Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua orang setuju dengan 'Umar, dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi'ah, misalnya, menolak keras ketokohan 'Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari mereka. Yang moderat pun masih melihat pada 'Umar hal-hal yang "menyimpang" dari agama. Atau, seperti dikatakan oleh seorang tokoh 'ulama Syi'ah, Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghita', banyak tindakan 'Umar, seperti dalam kasus ia melarang nikah mut'ah, adalah semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak ada sangkut pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la diniyyan).[1]

Untuk memperoleh gambaran yang hidup dan langsung tentang ijtihad 'Umar dan kemelut yang ditimbulkannya di Madinah selama berhari-hari itu, di bawah ini disajikan terjemahan dari dua penuturan oleh dua orang ahli. Tanpa membuat teori yang abstrak, dari kedua penuturan itu dapat kita tarik inspirasi untuk melihat dan memecahkan berbagai masalah kita sendiri sekarang, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh 'Umar.

Yang pertama dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah Fiqh 'Umar di Bidang Ekonomi dan Keuangan, oleh: al-Ustadh al-Bahi al-Khuli,[2] sebagai berikut:

Berita-berita telah sampai kepada 'Umar r.a. dengan membawa kabar gembira tentang telah terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit ... Harta benda musuh, yang terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan perang (ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah ... Dan tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara itu.

Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka 'Umar telah melaksanakan hukum Allah mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah Ta'ala, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang dari sesuatu (harta kekayaan) itu maka seperlimanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabil (orang terlantar di perjalanan), jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan, yaitu hari ketika kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik) bertemu (dalam peperangan, yakni, Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."[3]

Tetapi berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, 'Umar berpendapat lain... Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita, dan tidak dibagi-bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan negara di tangan para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini dikenakan pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan orang-orang Muslim setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di pos-pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan negeri-negeri yang terbebaskan.

Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika tanah-tanah itu dibagikan di antara mereka karena tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang dikaruniakan Allah sebagai rampasan (fay') kepada mereka.

Adapun titik pandangan 'Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?' ... Demikian itu, ditambah lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian yang luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga terjadilah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak di pihak lain ... Itulah keadaan yang hati nurani 'Umar tidak bisa menerimanya.

Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang pendapat 'Umar, yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang memang halal dan telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.

Mereka ini mengajukan argumen kepadanya bahwa harta kekayaan itu adalah fay' (jenis harta yang diperoleh dari peperangan), dan tanah rampasan serupa itu telah pernah dibagi-bagikan Rasul 'alayhi al-salam sebelumnya, dan beliau (Rasul) tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan 'Umar. Terutama Bilal r.a. sangat keras terhadap 'Umar, dan mempelopori gerakan oposisi sehingga menyesakkan dada 'Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah dan sedihnya itu 'Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan dan berseru, "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan." Akhirnya memang Tuhan melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris dalam Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua golongan tunduk kepada kekuatannya.

Begitulah 'Umar yang suatu saat berkata kepada sahabat-sahabatnya yang hadir bahwa Sa'd ibn Abi Waqqas menulis surat kepadanya dari Irak bahwa masyarakat (tentara Muslim) yang ada bersama dia telah memintanya untuk membagi-bagi harta rampasan di antara mereka dan tanah-tanah pertanian yang dikaruniakan Allah kepada mereka sebagai rampasan juga. (Kemudian terjadi dialog berikut):

Sekelompok dari mereka berkata: "Tulis surat kepadanya dan hendaknya ia membagi-bagikan tanah itu antara mereka."

'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian sesudah itu, yang akan mendapati tanah-tanah telah habis terbagi-bagikan, terwariskan dari orang-orang tua serta telah terkuasai?... Ini bukanlah pendapat yang benar."

'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Lalu apa pendapat yang benar?... Tanah-tanah itu tidak lain daripada sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai rampasan!" 'Umar: "Memang seperti yang kau katakan ... Tapi aku tidak melihatnya begitu ... Demi Tuhan, tiada lagi suatu negeri akan dibebaskan sesudahku melainkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim ... Jika tanah-tanah pertanian di Irak dan Syam dibagi-bagikan, maka dengan apa biaya pos-pos pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi anak turun dan para janda di negeri ini dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"

Orang banyak: "Bagaimana mungkin sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada kami sebagai harta rampasan dengan perantaraan pedang-pedang kami akan engkau serahkan kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta kepada anak-cucu mereka turun-temurun yang belum ada?"

'Umar (dalam keadaan bingung dan termangu): "Ini adalah suatu pendapat."

Orang banyak: "Bermusyawarahlah"

Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, yang memiliki kepeloporan dan keperintisan yang mendalam dalam Islam:

'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Aku berpendapat hendaknya kau bagi-bagikan kepada mereka itu hak-hak mereka."

'Ali ibn Abi Talib: "Tapi pendapat yang benar ialah pendapatmu, wahai Amir al-Mu'minin!"

Al-Zubayr ibn al-'Awwam: "Tidak! Sebaliknya, apa yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebagai rampasan dengan pedang kita itu harus dibagi-bagi."

'Utsman ibn 'Affan: "Pendapat yang benar ialah yang dikemukakan 'Umar."

Bilal: "Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus melaksanakan hukum Tuhan terhadap harta yang dikaruniakan sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya yang beriman."

Talhah: "Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang dianut 'Umar."

Al-Zubayr: "Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari Kitab Allah?"

'Abd Allah ibn 'Umar: "Teruskan, wahai Amir al-Mu'minin, dengan pendapatmu itu. Sebab aku harap bahwa di situ ada kebaikan bagi umat ini."

Bilal (berteriak dan marah): "Demi Tuhan, tidak berlaku di umat ini kecuali apa yang telah ditentukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w."

'Umar (dalam keadaan sesak dada dan sedih): "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan."