Sabtu, 11 April 2009

NU, Ru’yah, dan Reformasi Penanggalan


Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Padangan-pandangan dalam mazhab fikih yang hampir sebagian besar mengukuhkan metode ru’yah itu hanyalah kelanjutan saja dari tradisi dalam masyarakat Arab pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, hampir semua mazhab Islam lahir dalam konteks di mana tradisi ru’yah memang lazim
berlaku. Dengan kata lain, metode ini bukan sesuatu yang tidak bisa ditinjau ulang.

NU selama ini dikenal sebagai ormas Islam yang berpegang pada metode ru’yah dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadan. Sementara Muhammadiyah dikenal mengikuti metode hisab. Fenomena ini agak janggal, sebab, secara logis, mestinya Muhammadiyah mengikuti metode ru’yah, karena itulah yang jelas-jelas sesuai dengan makna literal sebuah hadis yang terkenal, “shuumuu li ru’yatihi, wa afthiruu li ru’yatihi, fi in ghumma ‘alaikum fa-akmilu ‘l-’iddata tsalaatsiina”. Bukankah selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai ormas yang mengumandangkan ide kembali kepada Qur’an dan Sunnah? Metode ru’yah, sebaliknya, justru diikuti oleh NU yang selama ini lebih dikenal mengikuti fikih mazhab, ketimbang kembali langsung kepada sunnah.

Tetapi, sikap NU dalam mengikuti ru’yah ini juga tak lepas dari semacam kontradiksi, atau tepatnya inkonsistensi. Penentuan awal bulan dengan ru’yah hanya diikuti oleh NU dalam kasus awal dan akhir Ramadan, tetapi tidak dalam bulan-bulan lain sepanjang tahun. Di PBNU sendiri ada lajnah falakiyyah yang salah satu tugasnya adalah membuat penanggalan atau kalender seluruh bulan dalam setahun, tentu dengan metode hisab. Dengan kata lain, dalam kasus bulan Ramadan, NU memakai metode ru’yah, sementara untuk bulan-bulan yang lain, memakai metode hisab. Ini yang saya sebut sebagai sikap yang inkonsisten.

Selain berpatokan pada fikih mazhab, argumen NU untuk memakai metode ru’yah jelas adalah berpegangan pada hadis terkenal di atas. Secara harafiah, hadis di atas memang hanya berbicara tentang bulan Ramadan. Tetapi apakah ru’yah atau melihat bulan hanya dipakai oleh Nabi dalam kasus awal Ramadan saja? Jelas jawabannya tidak. Pada masa Nabi belum ada ilmu falak untuk menentukan penanggalan dengan hisab. Dengan kata lain, metode penanggalan dalam masa Nabi adalah ru’yah dan ini berlaku sepanjang tahun. Setiap menjelang akhir bulan, para sahabat selalu mengintip bulan di cakrawala. Jika mereka melihat bulan, maka tahulah mereka bahwa bulan baru telah tiba. Jika tidak, mereka menyempurknakan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari. Itulah adat yang berlaku di masyarakat Arab dan kemudian dieskplisitkan oleh Nabi melalui statemen di atas.

Tetapi, satu hal mestilah ditambahkan di sini sebagai semacam warning. Sebagaimana sudah saya sebut, metode ru’yah adalah tradisi yang berlaku dalam masyarakat Arab pada zaman itu, dan bukan sesuatu yang bersifat khas Islam. Dengan memakai ru’yah, Nabi hanya melanjutkan tradisi yang sudah ada. Kalender Hijriyah yang berdasarkan sistem lunar atau rembulan, bukan solar atau matahari seperti dalam sistem Gregorian, adalah tradisi masyarakat Arab. Sistem lunar ini juga diikuti dalam sistem penanggalan Yahudi.

Kembali kepada soal NU dan ru’yah: mestinya, jika NU mengikuti sunnah yang diajarkan Nabi secara kurang lebih konsisten, maka sistem penanggalan harus memakai ru’yah untuk bulan-bulan sepanjang tahun, bukan hanya untuk bulan Ramadan sahaja. Kenapa NU hanya memakai ru’yah untuk bulan Ramadan saja, dan tidak bulan-bulan lain, tidak pernah jelas alasannya. Saya sendiri tak pernah mendengar argumennya secara langsung dari para pakar falak dalam NU. Informasi mengenai ini juga tidak saya temukan dalam sebuah risalah pendek tentang ru’yah yang ditulis oleh Allah Yarham Kiai Rodli Soleh, salah satu pemikir falak dalam Lajnah Falakiyyah NU dulu. [Mohon dikoreksi, jika saya keliru].

Saya menduga, alasannya adalah berkaitan dengan kepraktisan saja. Tentu sangat mahal dan tidak praktis jika metode ru’yah dipakai sepanjang tahun. Karena penentuan awal Ramadan berkaitan dengan soal ibadah puasa, maka metode ru’yah ditempuh untuk tujuan ihtiyath, atau hati-hati, sebuah konsep yang sangat luas dikenal dalam lingkungan mazhab Syafi’i. Sementara metode hisab dipakai untuk bulan-bulan lain sebab di sana tidak ada peristiwa ritual atau peribadatan.

Yang kurang jelas bagi saya adalah bulan Dzul Hijjah atau Bulan Besar dalam istilah santri Jawa: apakah penentuan bulan itu memakai ru’yah atau tidak, sebab jelas dalam bulan itu ada peristiwa penting, yakni wuquf di Arafah dan Idul Adha, dua ritual yang sangat penting dalam Islam karena berkaitan dengan rukun atau pilar Islam yang kelima. Setahu saya, NU sendiri jarang--untuk tak mengatakan tak pernah--menempuh ru’yah untuk penentuan awal bulan Dzul Hijjah. Dalam hal ini, alasannya juga kurang jelas, kenapa demikian. Dugaan saya, mungkin karena even haji tidak berlangsung di Indonesia, maka tugas ru’yah kurang urgen dilakukan di negeri ini. Mungkin ru’yah dipandang sebagai tugas pemerintah Saudi ketimbang ormas-ormas atau pemerintah Islam di negeri lain.

Pada tahun-tahun awal berdirinya NU hingga beberapa dekade setelah itu, masalah ru’yah dan hisab memang menjadi bagian dari semacam politik identitas dan karena itu juga merupakan semacam titik selisih antara NU dan Muhammadiyah. Masalah ini menjadi bagian dari sejumlah masalah lain yang dipertengkarkan antara kedua ormas itu selama bertahun-tahun, antara lain soal ziarah kubur, talqin, tahlil, qunut, dll.

Setelah berlalu sekian generasi, saya melihat telah terjadi pergeseran sosial dan generasional yang cukup penting. Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah sudah tidak tajam lagi, dan mood di lingkungan aktivis kedua ormas itu justru menunjukkan keinginan untuk saling mendekat dan membangun hubungan yang harmonis. Corak berpikir yang dominan di dalam dua ormas itu dalam memandang masalah-masalah keagamaan, kemasyarakatan dan kenegaraan juga sama sekali tak menunjukkan perbedaan yang tajam. Dengan kata lain, garis demarkasi antara dua ormas itu tidak lagi setajam pada masa-masa lampau.

Dengan melihat perkembangan ini, saya memandang bahwa di lingkungan NU perlu ada upaya untuk meninjau masalah ru’yah. Dalam pandangan saya, metode ru’yah sudah sama sekali tak relevan dipakai saat ini, dengan pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, metode ini sama sekali tak berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya “Islami”, meskipun metode itu diperintahkan secara eksplisit dalam sebuah hadis. Sebagaimana saya katakan di atas, tradisi ru’yah hanyalah tradisi yang berlaku di masyarakat Arab pada zaman itu. Karena itu, metode ini tak usah disucikan sebagai semacam doktrin keagamaan. Akan lebih proporsional jika ru’yah dipandang sebagai salah satu perkembangan dalam teknik penanggalan yang berlaku dalam sejarah penanggalan umat manusia. Karena ini hanyalah menyangkut soal teknik, maka ru’yah juga sebaiknya dipandang sebagai metode yang relevan dalam batas-batas waktu tertentu. Karena teknik penanggalan berkembang terus, maka ada baiknya jika metode baru dipertimbangkan, apalagi jika metode baru itu lebih baik dan bermanfaat, sesuai dengan prinsip yang berlaku di kalangan NU, “al-muhaafadzah ‘ala ‘l-qadiim al-shaalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-jadiid al-ashlah”.

Kedua, metode ru’yah memang dimantapkan sebagai metode standar dalam lingkungan mazhab Syafi’i, dan juga sebagian besar mazhab-mazhab lain. Dalam lingkungan mazhab Syafi’i, metode ru’yah dipandang sebagai satu-satunya cara yang bisa dipakai sebagai dasar penentuan tangggal oleh pemerintah Islam, sementara hisab hanya boleh diikuti oleh haasib atau pakar hisab secara pribadi, dan tidak boleh dikampanyekan kepada masyarakat. Inilah yang terjadi dulu pada Kiai Turaihan Kudus, salah satu ulama falak penting di lingkungan NU. Kiai Turaihan seringkali berlebaran tidak bersamaan dengan masyarakat NU lain, karena berpegangan “ijtihad hisab” yang ia percayai. Ulama-ulama NU yang lain dapat menolerir sikap Kiai Turaihan itu dengan berpegangan pada konsep fikih Syafi’i tersebut di mana haasib diberikan kelonggaran untuk mengikuti hisab yang ia percayai.

Tetapi, dalam pandangan saya, pendapat dalam mazhab bukan sesuatu yang suci. Padangan-pandangan dalam mazhab fikih yang hampir sebagian besar mengukuhkan metode ru’yah itu hanyalah kelanjutan saja dari tradisi dalam masyarakat Arab pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, hampir semua mazhab Islam lahir dalam konteks di mana tradisi ru’yah memang lazim
berlaku. Dengan kata lain, metode ini bukan sesuatu yang tidak bisa ditinjau ulang.

Ketiga, metode ru’yah sangat rentan terhadap kemungkinan perpecahan dalam tubuh umat Islam, meskipun metode hisab juga mengandung kemungkinan yang sama. Tetapi kemungkinan perpecahan itu lebih kuat ada pada metode ru’yah. Karakter metode ru’yah adalah kemendadakan. Kemungkinan ru’yah hanya berlangsung beberapa saat saja di akhir bulan. Waktu untuk memverifikasi ru’yah juga berlangsung dengan singkat, sebab keputusan untuk mulainya tanggal baru harus segera diambil pada hari yang sama. Jika terjadi ru’yah yang berbeda-beda di sejumlah tempat dalam negara yang sama, waktu yang dibutuhkan untuk menilai hasil ru’yah itu juga tidak cukup lama.

Bayangkanlah situasi berikut ini: Pada tanggal 29 Sya’ban, tim A, B dan C dikirim ke sejumlah tempat dan ditugasi untuk melakukan ru’yah. Meskipun tidak sering, tetapi kemungkinan adanya perbedaan hasil ru’yah tetap ada. Tim A melihat bulan, sementara tim B dan C tidak melihatnya. Hasil itu akan dibawa ke pusat untuk didiskusikan. Tetapi, waktu diskusi jelas tidak cukup lama, sebab keputusan harus diambil malam itu juga. Di sinilah kemungkinan lain bisa terjadi: sekelompok masyarakat yang mendengar bahwa tim A telah melihat bulan di sebuah tempat, boleh jadi mengikuti hasil ru’yah tim itu, walaupun keputusan di pusat tidak memakai hasil ru’yah tim tersebut. Yang terjadi akhirnya adalah perbedaan awal bulan Ramadan atau Syawwal. Kejadian ini berlangsung berkali-kali sepanjang pengetahuan saya. Waktu kecil dulu, tidak satu kali saya mendengar bahwa ru’yah sudah terjadi di Cakung, atau Aceh, atau Madura, sehingga sebagian masyarakat di daerah bersangkutan sudah berlebaran, sementara di tempat saya, Pati, lebaran belum terjadi. Peristiwa ini bahkan masih saja terjadi tahun lalu, di mana PWNU Jawa Timur berlebaran secara berbeda dengan keputusan resmi PBNU yang dikukuhkan oleh Depag RI.

Kemungkinan perselisihan ini lebih bisa dieliminir dalam kasus hisab, sebab hasil hisab sudah bisa didiskusikan jauh-jauh hari, bahkan sejak awal tahun, dan keputusan pun bisa diambil sejak awal, sehingga prediksi awal dan akhir Ramadan sudah bisa dilakukan sejak awal. Karakter kehidupan modern adalah adanya prediktabilitas untuk tujuan kepraktisan. Metode hisab lebih bisa menjamin prinsip prediktabilitas ini ketimbang ru’yah.

Keempat, dalam konteks masyarakat Amerika, bahkan masalah ru’yah atau dikenal di lingkungan masyarakat Muslim Amerika sebagai “moon sighting”, bisa menimbulkan masalah yang agak serius. Masyarakat Muslim di Amerika berjuang untuk menjadikan Idul Fitri sebagai hari libur nasional, atau sekurang-kurangnya menjadi hari libur di negara bagian di mana koloni masyarakat Islam cukup besar, seperti misalnya negara bagian Michigan. Tetapi upaya ini menghadapi sejumlah kendala, antara lain tidak adanya kepastian tanggal awal bulan Syawwal karena menunggu adanya bulan. Hari libur nasional di Amerika harus ditetapkan minimal setengah tahun sebelum kalender tahun baru dimulai, demi keperluan penanggalan di lingkungan kantor-kantor pemerintah, sekolah dan institusi pendidian, dan, tentu, bisnis. Jika tidak ada kepastian kapan Idul Fitri berlangsung, jelas hal ini akan menyulitkan pihak pemerintah untuk menyusun kalender kegiatan tahunan yang jelas membutuhkan semacam kepastian dan prediktibilitas, dua hal yang tak bisa diberikan oleh metode ru’yah.

Kelima, Idul Fitri, dalam pandangan saya, adalah ritual keagamaan yang lebih mempunyai dimensi sosial dan karnaval, karena melibatkan perayaan sosial yang dalam konteks masyarakat Indonesia mempunyai makna yang sangat penting, bukan saja secara keagamaan, tetapi lebih-lebih lagi secara kebudayaan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, keseragaman tanggal dalam merayakan event sosial itu sangatlah penting. Perbedaan tanggal Idul Fitri, walau bisa ditolerir oleh sebagian masyarakat Islam, jelas menimbulkan rasa saling curiga, kadang terpendam, kadang meledak keluar menjadi perselisihan publik yang mengganggu karnaval sosial dan kegembiraan masyarakat.

Dalam hal ini, saya rasa, kita tak bisa atau kurang relevan memakai argumen pluralisme, yakni pluralisme lebaran, dalam pengertian perbedaan tanggal Idul Fitri. Meskipun, tentu, saya tetap bisa menghargai pihak-pihak yang memakai argumen itu. Alasan-alasan yang saya kemukakan di atas jauh lebih kuat, dalam pandangan saya, ketimbang alasan pluralisme.

Dengan pertimbangan- pertimbangan ini, saya hendak mengatakan bahwa saatnya NU menempuh suatu reformasi penanggalan dengan mengadopsi metode hisab secara konsisten, atau metode penanggalan modern lain yang lebih bisa menjamin asas kepastian dan prediktibilitas, dua hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern. Toh, metode hisab tersebut sudah dipakai selama bertahun-tahun dalam menentukan awal bulan-bulan lain di luar Ramadan sepanjang tahun.[]

Komen Doktrin

Semoga kita tidak terjebak dalam kemusyrikan yang khafiy dengan mengatakan bahwa Tuhan kita berbeda dengan Tuhan mereka. Pernyataan ini sebenarnya mencerminkan tauhid yang kurang benar, karena tauhid yang benar adalah keyakinan yang berhak untuk disembah hanyalah satu Tuhan, walau dengan nama dan sifat-Nya yang berbeda-beda sesuai dengan pemikiran pemujanya.

Posted by Alfatih on 03/30 at 10:32 AM

salam sejahtera..

maaf kalo koment sy singkat, sy tipe orang yg pasif..

kalo yg sy tangkap dari artikel mas ulil adalah :

agama islam tidak berhak untuk menghapus agama2 sebelum islam, begitupun sebaliknya. sy setuju dengan ini karena kepercayaan itu tidak bisa dipaksakan. kepercayaan itu kan soal hati.

orang kristen, menganggap agamanya benar itu sah sah saja..

orang muslim, menganggap agamanya benar itu sah sah saja..

yg menurut sya ngga boleh adalah menganggap agama kita lebih mulia dari agama yg lain.

semua agama itu BENAR menurut PENGANUT AGAMA ITU SENDIRI.

terima kasih,,

Posted by hilmiy on 02/13 at 10:31 PM

Sebenarnya tidak ada agama yang arogan tetapi semua agama membawa keselamatan dan berserah diri kepada Tuhan. Hanya manusia lah yang menyimpulkan dari hasil pemikirannya bahwa ada agama yang paling benar dan tidak benar. Orang bebas berfikir untuk menentukan agamanya yang paling benar dan sempurna. Sebagai contoh :
1. Aku beragama Islam karena aku berfikir bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Mereka yang tidak mau masuk agama Islam ya tidak apa-apa.Tidak ada paksaan dalam beragama.
2. Kalau agama Islam itu benar tentunya nabi yang membawakan atau menyiarkan agama Islam itu ya juga pasti benar dan tidak salah.
3. Firman yang disampaikan oleh Nabi itu pasti juga benar. Masalahnya ada di interpretasi masing-masing orang yang mungkin berbeda. Saya yakin Al Qur’an benar 100 % tetapi terjemahan dan tafsirnya mungkin masih 70 %.
4. Kalau aku berfikir bahwa Islam adalah benar tentu agama sebelumnya dan agama lainnya ku anggap tidak benar. Kalau agama sebelumnya yang paling benar tentu aku akan mengikuti agama sebelumnya.Tapi setelah melalui pemikiran yang jernih, aku tetap mengatakan Islam adalah agama yang benar menurutku.
5. Tuhan berfirman “.... pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu..”.(QS 5:3) Ini berarti agama Islam sudah sempurna dan tentunya tidak ada Nabi lagi setelah Nabi Muhammad. Aku yakin karena telah melewati pemikiran yang cukup menurut pendapatku.
Jadi yang penting adalah jangan menyampaikan kebenaran menurut kita itu dengan cara-cara yang tidak baik. Semua agama kan menyeru supaya kita berbuat baik. Kalau orang itu tidak baik bukan agamanya yang tidak baik tetapi orang itu sendiri yang tidak baik.
Salam

Posted by mr.dayson on 01/12 at 11:50 AM

asslamualaikum. .

mas ulil,yth.

kalaulah mas ulil membuat artikel spt itu. .saya setuju 100% . .

tapi kalau bgtu apakah surga dan neraka benar-benar ada?

karena 2 hal itu merupakan hal yg irasional. .bhkan apakah benar ada kehidupan setelah mati ?karena semua itu tidak bisa dibuktikan dgn penelitian (ijtihad)

kalau begitu bagaimana donk mas ulil. .sebenarnya apa tujuan kita?mohon dibalas.

Posted by fachmiazhar on 11/14 at 05:06 AM

kak uli yang…

maaf, tapi jika anda tidak meyakini bahwa islam adalah agama yang paling benar, kenapa anda tidak multi agama (puny banyak agama) agar anda dapat merangkum semua kebenarannya? bukankah tulisan anda bertolak belakang dengan sikap anda?

Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam


Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu.

Banyak hal dalam agama yang jika dibuang sebetulnya tidak mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu. Oleh para pemeluk agama, banyak ditambahkan hal baru terhadap esensi agama itu, sekedar untuk menjaga aura agama itu agar tampak “angker” dan menakutkan di mata pemeluknya. Saya akan mengambil contoh Islam.

Satu, doktrin bahwa Nabi tidak bisa berbuat salah. Menurut saya, doktrin ini sama sekali tak berkaitan dengan inti dan esensi agama Islam, dan karena itu kurang perlu. Jika doktrin ini dihilangkan, Islam tidak menjadi kurang nilainya sebagai sebuah agama. Mengatakan bahwa manusia, apapun namanya (entah Nabi, Rasul, Imam [dalam Syiah], Paus [dalam Katolik]) sebagai “infallible”, tidak bisa berbuat salah, jelas tak masuk akal.

Dua, doktrin bahwa sumber hukum hanya terbatas pada empat: Quran, hadis, ijma’, dan qiyas. Doktrin ini menjadi “hallmark” dari sekte Ahlussunnah waljamaah di mana-mana, sepanjang sejarah. Doktrin ini sebetulnya kurang perlu dan menjadi alat ortodoksi Islam untuk mempertahankan status quo. Sumber hukum jelas tidak bisa dibatasi dalam empat sumber itu. Islam tidak berkurang nilainya sebagai agama jika doktrin ini dihilangkan.

Tiga, doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman. Doktrin ini jelas “janggal” dan sama sekali menggelikan. Setiap agama, dengan caranya masing-masing, memandang dirinya sebagai “pamungkas”, dan nabi atau rasulnya sebagai pamungkas pula. Doktrin ini sama sekali kurang perlu. Apakah yang ditakutkan oleh umat Islam jika setelah Nabi Muhammad ada nabi atau rasul lagi?

Empat, doktrin bahwa sebuah agama mengoreksi atau bahkan menghapuskan agama sebelumnya. Ini adalah yang disebut sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini tertanam kuat dalam psike dan “mindset” umat Islam. Doktrin ini tak lain adalah cerminan “keangkuhan” sebuah agama. Kehadiran agama tidak terlalu penting dipandang sebagai “negasi” atas agama lain. Agama-agama saling melengkapi satu terhadap yang lain. Kristen bisa belajar dari Islam, Islam bisa belajar dari Yahudi, Yahudi bisa belajar dari tradisi-tradisi timur, dan begitulah seterusnya.

Lima, doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah dengan rajin kerap dipandang lebih “Muslim” ketimbang mereka yang bekerja untuk kemanusiaan, hanya karena mereka tidak beribadah secara rutin. Agama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain melalui pengabdian kepada kemanusiaan.

Enam, doktrin bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan Islam atau agama orang berangkutan adalah “kafir”. Ini mekanisme yang nyaris standar dalam semua agama. Semua agama cenderung memandang bahwa mereka yang ada di luar “lingkaran penyelamatan” adalah domba-domba sesat. Doktrin ini, sekali lagi, cerminan dari arogansi sebuah agama tertentu. Sudah jelas bahwa jalan keselamatan adalah banyak sekali.

Tujuh, berkaitan dengan doktrin sebelumya, ada doktrin lain yang biasanya bekerja dalam lingkaran internal masing-masing agama. Dalam Islam, ada doktrin tentang “sekte yang diselamatkan”, al-firqah al-najiyah. Kelompok yang menyebut dirinya ahlussunnah wal-jamaah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masuk sorga, sementara kelompok lain sesat. Begitu juga kelompok Syiah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, selebihnya sesat. Doktrin ini diteruskan oleh MUI dalam bentuk lain melalui fatwa penyesatan. Mendaku bahwa yang selamat hanya lingkaran tertentu adalah sebentuk arogansi.

Delapan, doktrin bahwa jika Kitab Suci mengatakan A, maka seluruh usaha rasional harus berhenti. Kitab Suci adalah firman Tuhan, dan firman Tuhan tak mungkin salah. Oleh karena itu, jika Tuhan sudah mengeluarkan sebuah “dekrit”, maka seluruh perbincangan harus berhenti. Doktrin ini tercermin dalam sebuah “legal maxim” atau kaidah hukum dalam teori hukum Islam yang berbunyi, “la ijtihada fi mahal al-nass”, tidak ada “independent reasoning” dalam hal-hal di mana teks Kitab Suci sudah mempunyai kata putus. Dengan kata lain, ijtihad harus dihentikan jika Kitab Suci sudah memutuskan sesuatu. Dalam diskursus filsafat modern di Amerika, hal ini disebut sebagai “discussion stopper”, agama sebagai penghenti diskusi. Sudah jelas Kitab Suci terkait dengan konteks sejarah tertentu, dan banyak hal yang dikatakan Kitab Suci sudah tak relevan lagi karena konteks-nya berbeda.

Sembilan, doktrin bahwa hukum hanya bisa dibuat oleh “syari’” atau legislator. Yang disebut legislator dalam konteks Islam adalah Tuhan, kemudian secara derivatif juga Nabi Muhammad. Para ulama atau fukaha datang belakangan sebagai penafsir atas hukum itu, dan pelan-pelan juga menempati kedudukan sebagai “pembuat hukum” atau legislator hukum agama. Doktrin ini sangat kuat tertanam dalam Islam. Doktrin ini juga kuat tertanam dalam agama Yahudi. Deklarasi Qur’an sudah sangat jelas dan sangat “kategorikal” , bahwa Adam dan seluruh keturunannya adalah “khalifah” di muka bumi. “Kekhilafahan” di sini, dalam tafsiran saya, mencakup pula kompetensi untuk menciptakan hukum yang mengatur ketertiban di muka bumi ini. Seluruh individu, dalam pandangan Islam yang saya pahami, adalah obyek dan subyek hukum sekaligus. Dengan kata lain, hukum bukan hanya diciptakan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia.
Manusia secara generis adalah syari’, bukan saja Nabi atau ulama/fukaha.

Ini paralel dengan konsep “kewarganegaraan modern” di mana konsep “warga negara” mencakup secara intrinsik kemampun untuk membuat dan men-generate sebuah hukum. Jika ada kelebihan pada ahli hukum atau fukaha yang membuat mereka menjadi spesial kedudukannya adalah karena mereka mempunyai “training” untuk merumuskan sebuah hukum dalam prosedur yang standar. Tetapi sumber hukum bukan saja hanya ada pada Kutab Suci, sabda-sabda Nabi, atau pendapat ulama, tetapi juga manusia secara keseluruhan.

Sepuluh, doktrin bahwa Kitab Suci bersifat seluruhnya supra-historis, karena ia adalah firman Tuhan. Karena Tuhan bersifat supra-sejarah, maka firmanNya pun bersifat supra sejarah pula. Karena itu, Kitab Suci juga supra sejarah. Kebenaran Kitab Suci tak terikat dengan ruang dan waktu. Pandangan ini lagi-lagi adalah pandangan yang “angkuh”. Akan lebih proporsional jika kita mengatakan bahwa ada hal-hal yang supra-sejarah dalam Kitab Suci, tetapi juga ada hal-hal lain yang cukup banyak yang terikat dengan sejarah. Bagian Kitab Suci yang “lengket sejarah” ini bisa tidak relevan sama sekali jika keadaan berubah.

Sebelas, doktrin bahwa Islam bisa menjawab semua masalah. Doktrin ini jelas hanya retorika belaka. Sebab pada kenyataannya tidak demikian. Solusi agama atau Islam, jika pun ada, juga tidak mesti sukses dan berhasil. Sebagaimana solusi-solusi sekuler, solusi Islam juga bisa gagal, seperti terbukti dalam banyak kasus.

Saya masih memiliki daftar yang panjang. Tetapi, itulah hal-hal pokok yang ingin saya kemukakan di sini. Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu. Mendaku bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada nabi atau rasul lagi adalah berlawanan dengan etika tawadlu’. Mendaku bahwa Islam menghapuskan agama sebelumnya sama sekali tak mencerminkan sikap tawadlu’. []

Komen Ibnu Khaldun

Setahu saya, satu-satunya terjemahan ke bahasa Indonesia yang paling lengkap atas Muqaddimah karya Ibn Khaldun ini hanya dilakukan oleh saudara Ahmadi Thoha (nama sebetulnya Ahmadie Thaha).

Saya pernah mendengar cerita darinya bagaimana susahnya dia menerjemahkan buku klasik ini selama bertahun-tahun sejak dia di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan hingga pengembaraannya di Yogya. Jadi, saya agak heran kalau dikatakan terjemahannya disebut terjemahan “komersial”, apalagi buku seperti ini agak susah juga dijualnya. Dan saya tahu dari dia bahwa karya terjemahannya tidaklah “dijual” kepada penerbit, melainkan dia menerima royalti dari hasil penjualan bukunya yang dijual sangat murah bila dibanding ketebalannya. Karena itu, tolonglah Mas Ulil sedikit agak memberi simpati kepada usaha-usaha penerjemahan seperti ini. Jangan malah dikatakan “komersial” segala, yang kedengarannya seperti sinistis dan negatif begitu.
-----

Posted by ahmad gabink on 01/30 at 12:02 AM

subsistensi masyarakat ternyata telah di kaji oleh Ibnu Khaldun beberapa abad yang lalu. kajian tentang subsistensi ini masih sangat jarang di lakukan di Indonesia khususnya dan di masyarakat Islam pada umumnya. subsistensi, dalam kajian ekonomi, sangat berkaitan dengan pola-pola kehidupan masyarakat, termasuk dalam pola beragama, nilai-nilai, tingkat kepatuhan, tingkat perkembangan dan lain sebagainya,..

para ahli sekarang membedakan tingkat subsistensi menjadi dua yaitu masyarakat subsisten dan masyarakat modern. masyarakat subsisten lebih memiliki kecenderungan dan orientasi kehidupan pada gawang subsistensinya. sedangkan pada masyarakat modern dapat dikatakan telah menyelesaikan problem tantangan pemenuhan subsistensi mereka sehingga lebih mengarah ke arah perkembangan lain seperti misalnya investasi dan menabung. pada masyarakat subsisten sendiri sering dibedakan menjadi beberapa kelas, yaitu masyarakat berburu dan meramu, masyarakat berladang, dan masyarakat agraris susbsisten, masing-masing memiliki kecenderungan dalam pola subsistensi mereka.

sebagai ilustrasi masyarakat subsisten adalah pada cerita berikut ini: sebuah perusahan multinasional di Papua, menghadapi masalah yang sangat mendalam dalam kaitannya dengan karyawan yang diambil oleh masyarakat sekitar. hal tersebut dikarenakan setelah menerima gaji yang relatif besar setelah bekerja selama satu bulan, dan penghasilan selama satu bulan tersebut diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan selama enam bulan, maka karyawan tersebut selama enam bulan berikutnya tidak mau lagi bekerja karena sudah memiliki uang yang cukup untuk hidup selama enam bulan ke depan,…

ilustrasi tersebut merupakan gambaran yang ekstrim dalam kultur masyarakat subsisten, meskipun kecenderungan tersebut seringkali masih dilakukan oleh masyarakat modern pada saat sekarang dengan bentuk yang berbeda. sebagian besar masyarakat Islam pada saat sekarang masih terlelap dalam budaya-budaya subsisten, meskipun dengan derajat yang berbeda-beda. oleh karena itu, pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah seringkali tidak berhasil, karena sebetulnya tidak menyentuh akar-akat budaya subsistensi,..pemberian tambahan modal, atau modal usaha hanya dibelanjakan untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi bukannya untuk memeperkuat struktur penopang subsistensi sehingga dapat meloncat dari himpitan subsistensi.

oleh karena itu pada saat sekarang masih sangat relevan ketika mengkaji kembali tentang aplikasi-aplikasi ajaran agama dalam dimensi pemahaman subsistensi. hal tersebut misalnya dalam zakat, hutang piutang, kredit dsb,..semoga tulisan kami bermanfaat, Amiin

Posted by fashihullisan on 01/23 at 01:02 AM

Saya sangat apresiatif sekali dengan Muqoddimah nya Ibnu Khaldun, dan saya sependapat dengan Sdr. Muqoffa bahwa karya ini memang begitu dahsyat bahkan begitu dahsyatnya buku beliau itu nyaris saya jadikan satu-satunya referensi saya tentang materi sosiologi dan antropologi peradaban manusia. Tak pelak lagi karya beliau ini merupakan satu-satunya buku yang menghadirkan pencerahan, ketika pada masanya perkembangan pemikiran islam mandeg, ketika para intelektual pada masa itu hanya sibuk dengan tradisi men-syarah-kan dan memberi “hasyiah"(komentar) pada kitab2 fiqih ulama - ulama dulu tanpa mampu untuk membuat kitab-kitab yang menyegarkan. Ibnu Khaldun datang dengan Mukaddimahnya dan saya kira usaha beliau ini bukan hanya melebihi ulama pada masanya juga ulama - ulama sebelumnya. Sehingga bisa saya sejajarkan usaha kreatif beliau ini dengan Imam Syafi’i untuk bidang Fiqih, Imam Al-Ghazali untuk bidang penyatuan antara fiqih dg Tasawuf dan Imam Bukhari untuk bidang penelitian hadits.

Posted by Iki Susnengtiko on 01/20 at 10:01 PM

Mas Ulil, trima kasih. Ini artikal sampean yang paling saya suka. Menjelaskan warna sejarah yang positif untuk bekal kita bersama. Pemaknaan yang luar biasa ibn Khladun tentang kepemimpinan dari quraish sangat saya sepakati. yakni bahwa , bukan semata- mata Quraish yang menyebabkan seseorang menjadi pemimpin, tetapi kualitas semacam Quraish lah yang menghantarkannya layak jadi pemimpin. Universalitas pemikiran ini yang antara lain membawa kita pada kesimpulan, bahwa selamanya tafsir terhadap ajaran agama adalah hal yang niscaya. wasalam

Posted by Yusuf Suharto on 01/18 at 09:02 PM

saya juga pengemar berat Ibnu Khaldun,akan tetapi Ibnu Khaldun ada teori yang salah dalam urutan pembagian musim di Belahan bumi, sehingga dihubungkan dengan warna kulit dan jenis makanan. Ibnu khaldun mendidik kita terutama Muslim untuk memahami bahwa peradaban bisa dibangun dengan memanfaatkan peradaban yang telah ada. Kita bisa memanfaatkan demokrasi untuk memajukan peradaban Islam misalnya, Bagaimana Islam maju di Persia karena peradaban Persia sudah maju dahulu. Akan tetapi pencarian konsep kepemimpinan yang sangat bagus yang mempunyai jiwa badawiyah(Baduwi) dengan ciri,tegas, jujur, kepahlawanan, ekspansif, konsisten memang manjadi masalah sendiri apabila mengikuti kompas yang ditunjukkan oleh Ibnu Khaldun.

Mas Ulil, Ibnu Khaldun sesungguhnya ingin memberi semacam blue print cara mengembalikan kejayaan Islam bagi generasi Islam selanjutnya, karena Ibnu Khaldun sudah tahu proses kemunduran peradaban pun memakan waktu yang lama. Saya lebih tertarik dengan konsep kepemimpinan yang badawiyah yang meng_"Quraisy"- yang akan menggerakkan peradaban Islam kembali selain konsep “ kemampuan pertukangan , kedokteran dan bidang yang menurut Ibnu Khaldun sangatlah penting”. Saya akui saya belum pernah membaca buku karangan sarjana Muslim sedahsyat ini setelah Ihya’ ‘ulumuddin-nya Al Ghozali. Ibnu Khaldun adalah manusia jenius yang meninggalkan pemikiran yang brilian bagi Pelajar Muslim bahkan mungkin 2000 tahun ke depan.

Ibn Khaldun dan Sejumlah Observasinya


Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut adalah bahwa peradaban Islam pada saat keemasannya tidaklah seperti dibayangkan oleh kaum Islamis “modern” atau pengusung ide khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya bertumpu pada syariat Islam, fikih, dan aturan agama yang ketat.

Karya Ibn Khaldun (w. 1406 M) yang sudah “kanonik”, Mukaddimah, memuat banyak observasi yang masih terasa segar dan relevan hingga saat ini.

Saya tak habis-habisnya mengagumi karya satu ini; karya yang nyaris mengagetkan bisa muncul dari kalangan sarjana Islam pada era tatkala peradaban Islam sedang pelan-pelan mengalami kemunduran di segala bidang, terutama di bidang pemikiran. Yang lebih mengagetkan lagi, karya ini tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari kalangan Islam sendiri yang lebih banyak “terpukau” oleh kajian fikih.

Terus terang, yang membuat nama Ibn Khaldun bersinar terang kembali, antara lain, adalah para orientalis di Barat yang bekerja dengan gigih untuk membongkar “lumbung” intelektual Islam yang kaya sekali ini, tetapi tak seluruhnya disadari oleh kalangan Islam. Franz Rosenthal adalah orientalis pertama yang membuat perhatian terhadap sarjana Islam yang hidup di abad ke-14 ini lewat terjemahannya atas Mukaddimah, sehingga Ibnu Khaldun bangkit kembali.

Rintisan Rosenthal diteruskan oleh sarjana Muslim asal Irak yang lama mengajar di Universitas Chicago, kemudian diteruskan di Universitas Harvard, Prof. Muhsin Mahdi, melalui kajiannya atas filsafat sejarah Ibn Khaldun. Prof. Mahdi baru meninggal bulan Juli, 2007 dalam usia 81. Minat Prof. Mahdi atas pemikiran Ibn Khaldun, antara lain, diilhami oleh gurunya di Universitas Chicago, Leo Strauss, seorang filsuf dan sarjana besar Yahudi asal Jerman yang juga dikenal karena penelitiannya atas al-Farabi.

Terjemahan “akademis” atas karya ini belum pernah sekalipun dikerjakan di Indonesia. Yang kita punya adalah terjemahan “komersial” (kalau boleh memakai istilah ini) yang dibuat Ahmadi Taha pada pertengahan 80-an dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta. Usaha Ahmadi Taha, bagaimanapun, layak kita hargai di tengah kelangkaan sarjana Muslim Indonesia yang bersedia “belepotan” untuk menerjemahkan karya-karya kanon Islam ke dalam bahasa Indonesia, terutama karya yang tak ada sangkut-pautnya dengan kajian fikih.

Mukaddimah karya Ibn Khaldun memuat banyak sekali observasi atas “masyarakat manusia” yang, menurut saya, masih terus layak dibaca dan dikaji hingga sekarang. Buku ini adalah salah satu hasil “jenius” dalam sejarah Islam yang sangat mengagumkan.

Sangat disayangkan bahwa karya besar ini sama sekali tak memperoleh perhatian di kalangan pesantren. Kajian Islam di pesantren atau umumnya lembaga-lemabaga pendidikan Islam yang cenderung berpusat pada “ilmu-ilmu ortodoks” (fikih, hadis, tafsir) layak diperluas dengan melibatkan karya-karya “non-ortodoks” seperti karya Ibn Khaldun ini.

Membaca buku ini, menurut saya, sangat nikmat dan lezat bukan sekedar karena di sana kita bisa menjumpai analisis Ibn Khaldun yang tajam terhadap sejumlah gejala sosial pada zamannya, tetapi terlebih lagi karena mutu bahasanya yang sangat baik dan cemerlang.

Karena urusan penulisan paper kelas, saya dipaksa membaca kembali Mukaddimah karya Ibn Khaldun. Saya terpukau dengan sejumlah observasi cemerlang yang saya temukan dalam buku ini. Dalam tulisan ini, saya ingin membagi apa yang saya baca dengan teman-teman yang kebetulan memiliki minat terhadap pemikiran Islam klasik.

Salah satu observasi Ibn Khaldun yang menarik adalah mengenai hubungan antara “ulama” dan “politik”. Kata ulama di sini sebaiknya tak usah dikaitkan dengan istilah “ulama” dalam, misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebab yang dimaksud Ibn Khaldun dengan istilah ini jauh lebih luas. Dalam pemakaian modern, istilah ulama sebagaimana kita jumpai dalam karya Ibn Khaldun, terutama dalam bab yang saya bahas ini, paralel dengan isitlah “intelektual”, “cendekiawan”, atau “philosophe” sebagaimana dipakai di dalam tradisi Prancis.

Yang menarik adalah judul bab yang membahas mengenai masalah ini, “Fasal ke-34, perihal bahwa ulama, di antara manusia yang lain, adalah mereka yang paling jauh dari politik dengan seluruh cabang-cabangnya” (Fi anna al-ulama’ min bain al-basyar ab’ad ‘an al-siyasah wa madhahibiha). (Mukaddimah, cetakan Kairo, tanpa tahun, hal. 542).

Menurut Ibn Khaldun, ulama (baca: intelektual, cendekiawan) cenderung jauh, atau menjauhi politik karena watak mereka yang lebih cenderung tenggelam atau menenggelamkan diri dalam dunia ide, dan refleksi intelektual (mu’tadun al-nazar al-fikri wa al-ghaus ‘ala al-ma’ani). Mereka cenderung melakukan abstraksi, dalam pengertian mencari pola-pola umum dari data-data empirik yang terserak. Minat mereka bukan pada fakta-fakta empirik yang bersifat sporadis dan carut marut, tetapi mencari pola-pola umum, atau apa yang disebut oleh Ibn Khaldun sebagai ”umur kulliyyah ‘ammah”.

Kerja ulama, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah persis seperti yang ia kerjakan sendiri, yakni melihat sejarah sebagai suatu arena tempat bekerjanya pola-pola besar. Bagi seorang sejarawan, suatu data sejarah kecil di sebuah tempat dan berkenaan dengan masyarakat tertentu, tidaklah terlalu menarik. Sebab, yang penting bagi dia adalah sebuah pola atau hukum yang bersifat umum. Dengan kata lain, abstraksi pemikiran adalah watak yang melekat pada kerja seorang ulama.

Sementara itu, politik, menurut Ibn Khaldun, menuntut sesuatu yang lain. Seorang yang bekerja di sektor politik harus membaca dengan jeli setiap gejala secara spesifik. Seorang “politisi” (istilah ini saya pakai untuk menerjemahkan istilah Ibn Khaldun, “shahib al-siyasah"), “dituntut untuk memperhatikan segala sesuatu yang berkembang di dalam dunia empirik berikut segala hal yang menjadi akibatnya (mura’at ma fi al-kharij wa ma yalhaquha min al-ahwal wa yatba’uha).

Yang menarik adalah bahwa dalam pandangan Ibn Khaldun, setiap peristiwa dalam dunia politik adalah unik, dan karena itu menuntut perlakuan yang khusus. Oleh karena itu, “qiyas” atau “analogi fikih”, cenderung kurang tepat dipakai dalam menangani perkara-perkara politik. Seorang ulama/intelektual yang biasa bekerja dengan “qiyas”, pola-pola umum, teori, biasanya cenderung gagal dalam sektor politik, karena mereka mengira bahwa suatu pola bisa diterapkan di mana-mana.

Selain “qiyas”, Ibn Khaldun juga memakai istilah “muhakah” (harafiah: meniru) yang dalam pemakaian modern bisa kita terjemahkan sebagai “ekstrapolasi”, atau memproyeksikan suatu hukum yang berlaku pada suatu kasus ke kasus-kasus lain. Kerja intelektual para ulama biasanya bertumpu pada “qiyas” dan “muhakah”. Politik tidak bisa diperlakukan dengan cara demikian. Saya kutip kalimat Ibn Khaldun yang menarik:

“Suatu keadaan yang berkaitan dengan peradaban tertentu tak bisa dianalogikan dengan keadaan (peradaban) lain, sebab, meskipun boleh jadi mengandung kesamaan dalam satu hal, dua keadaan itu juga mengandung perbedaan dalam segi-segi yang lain. Itulah sebabnya, seorang ulama yang biasa melakukan generalisasi atas suatu hukum dan menganalogikan suatu gejala dengan gejala yang lain, saat mereka menganalisa politik, cenderung menumpahkan gejala-gejala politik itu ke dalam bejana teoritik (qalab andzarihim) dan sejumlah deduksi mereka yang lain. Karena itu, mereka seringkali melakukan kesalahan.” (hal. 542, baris 14-17).

Yang mengejutkan adalah pengamatan Ibn Khaldun berikut ini. Orang-orang awam yang tak terbiasa dengan “qiyas”, “muhakah”, abstraksi, teori-teori besar memiliki kemungkinan besar untuk sukses dalam politik justru karena mereka bisa memberi perhatian yang cukup pada setiap gejala, dan memperlakukannya sebagai sesuatu yang “einmalig” atau unik. Mereka, orang-orang awam itu, lebih mudah terhindar dari kecenderungan “meng-qiyas-kan” satu gejala dengan gejala yang lain. Sikap “intelektual” kaum awam, kata Ibn Khaldun, adalah seperti seorang perenang di samudra yang selalu awas dan menjaga diri terus dekat dengan pantai, dan tidak keasyikan “lepas” ke tengah lautan sehingga akhirnya tenggelam.

Analisis Ibn Khaldun ini sangat cemerlang karena menangkap perbedaan yang mendasar antara dunia “intelektual” dan dunia “politik”. Pembaca modern akan dengan mudah diingatkan melalui analisis dari abad ke-14 ini kepada analisa serupa dari Julien Benda. Meskipun Ibn Khaldun sama sekali tidak mengatakan bahwa seorang ulama/intelektual yang masuk ke dunia politik sedang melakukan “la trahison des clercs” atau pengkhianatan kaum “klerk” alias ulama.

Pengamatan Ibn Khaldun ini juga menarik karena sama sekali meninggalkan tradisi al-Farabi yang justru melihat politik sebagai wiayah kerja “raja-filosof” seperti dalam kerangka pemikiran Plato. Wawasan Ibn Khaldun jelas lebih empirik.

Dalam fasal ke-17, Ibn Khaldun mengulas suatu gejala menarik yang muncul dalam setiap peradaban yang telah mencapai suatu taraf kematangan.

Sebagaimana kita tahu, Ibn Khaldun memakai istilah “‘umran” yang dalam kesarjanaan modern diterjemahkan sebagai “peradaban”. Saya lebih cenderung mengartikan istilah ini sebagai “urbanisme” atau gejala meng-kota. Sebab, apa yang disebut sebagai ‘umran oleh Ibn Khaldun selalu dikaitkan dengan fenomena kota (al-hadhar) sebagai lawan dari gejala masyarakat badui yang cenderung nomaden.

Judul fasal ini adalah, “Perihal bahwa profesi-profesi akan mengalami penyempurnaan seturut dengan kian sempurna dan menyebarnya gejala urbanisme” (hal. 400-401).

Dalam bagian ini, Ibn Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi modern mengenai “pembagian kerja” dan diferensiasi sosial.

Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme di mana kota-kotanya belum berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung untuk memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsisten, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap ini terlampaui, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan (al-a’mal) mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al-zai’d) untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup, “luxuries” (al-kamalat min al-ma’ash).

Ada dua aspek yang inheren pada manusia yang menyebabkan terjadinya gejala seperti ini. Pertama, aspek yang menyebabkan manusia berbeda dengan binatang, yaitu intelektualitas (fikr), dan aspek kehewanan serta nutritif (al-hayawaniyyah wa al-ghidza’iyyah). Kebutuhan manusia untuk memenuhi tuntutan aspek yang kedua ini biasanya lebih mendesak, dan karena itu harus didahulukan, ketimbang tuntutan aspek yang pertama. Makin berkembang dan canggih perkembangan ‘umran atau urbanisme suatu masyarakat, makin pesat pula perkembangan bidang-bidang profesi dalam masyarakat bersangkutan.

Yang menarik, Ibn Khaldun memakai istilah “al-shana’i’”, bentuk plural dari “shani’ah” yang dalam tulisan ini saya terjemahkan sebagai “profesi”. Mungkin terjemahan ini kurang terlalu tepat. Istilah yang mungkin mendekati adalah “craft” atau kerajinan tangan. Jika industrialisasi sudah muncul dalam peradaban Islam saat itu, tentu istilah itu akan tepat kita terjemahkan sebagai “teknologi”. Selain istilah ini, Ibn Khaldun juga memakai istilah lain yang sudah lazim dipakai pada saat itu, yakni “al-’ulum” atau ilmu. Penggunanaan dua istilah ini secara serentak menandakan bahwa Ibn Khaldun sadar mengenai dua aspek dalam ilmu, yakni aspek teoritik dan terapan. Ilmu murni mungkin paralel dengan istilah “al-’ulum”, sementara ilmu terapan adalah sepadan dengan istilah “al-shana’i’”.

Suatu urbanisme yang matang dan berkembang maju, menurut Ibn Khaldun, akan dibarengi oleh perumitan dan pencanggihan di bidang “al-’ulum” dan “al-shana’i’”. Begitu pula saat ‘umran atau urbanisme merosot, kemajuan dalam bidang ilmu dan kerajinan juga akan mengalami kemerosotan pula.

Pengamatan Ibn Khaldun ini jelas bukan berasal dari fantasi yang berasal dari “awan”, tetapi berdasarkan pengamatan langsung dia pada “up” dan “down” dari peradaban Islam sendiri. Berdiri pada abad ke-14, Ibn Khaldun memiliki keuntungan dan kemewahan untuk bisa melihat, menganalisis dan menjelaskan jatuh-bangunnya peradaban Islam, dalam cara serupa yang belakangan, dalam era modern, dilakukan oleh sejarawan-sejarawan besar seperti Arnold Toynbee atau, yang lebih populer, Will Durant.

Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun tidak semata-mata mengembalikan proses jatuh-bangunnya peradaban Islam ini kepada “kehendak Tuhan”, tetapi, dengan teliti dan cermat, dia mencoba mencari proses sosial-historis yang bekerja dalam masyarakat. Ia melihat bahwa perkembangan peradaban tunduk pada suatu hukum atau pola tertentu. Pola ini bekerja pada masyarakat manapun, baik Muslim atau non-Muslim.

Marilah kita ikuti sejumlah detil-detil pengamatan Ibn Khaldun yang mencerminkan sejumlah perkembangan yang ada pada abad ke-14 Masehi. Sementara itu, kita perlu mengetahui, walau secara selintas, semacam “state of the art” dari peradaban Islam pada saat Ibn Khaldun hidup. Sebagaimana kita tahu, Ibn Khaldun hidup dalam rentangan antara 1332 M hingga 1406.

Pada saat itu, sekurang-kurangnya ada dua dinasti besar Islam. Pertama adalah dinasti Mamluk di Mesir yang berkuasa antara 1250-1517. Kedua adalah dinasti Usmaniyah yang melanjutkan dinasti Abbasiyah yang runtuh pada 1258. Pada saat Ibn Khaldun hidup, riak-riak pencerahan mulai muncul di Eropa, terutama di Italia. Ibn Khaldun juga hidup tidak lama sebelum pecahnya reformasi dalam agama Kristen.

Contoh urbanisme yang maju pesat yang disebut oleh Ibn Khaldun dalam bukunya ini adalah apa yang ia lihat di Kairo, Mesir, ibu kota dari dinasti Mamluk. Ia menyebut sejumlah profesi yang ada pada saat itu, misalnya “jazzar”, yakni profesi penyembelihan hewan, “dabbagh”, yakni penyamakan atau pengolahan kulit, “kharraz”, yakni semacam usaha pengolahan kulit untuk menjadi bahan pakaian, “sha’igh”, yakni “jewellery” atau pengolahan emas menjadi bahan-bahan perhiasan, “dahhan”, pembuatan parfum, “shaffar”, yakni
pengolahan kuningan, “al-hammami”, yakni usaha mandi uap (semacam industri spa yang sekarang menjamur di Jakarta itu), “al-tabbakh”, yakni usaha restoran, “shamma’”, yakni kerajinan lilin, “al-harras”, usaha yang berkaitan dengan pembuatan permen dan kue.

Ibn Khaldun juga menyebut jenis-jenis usaha lain yang menarik, misalnya, jika memakai bahasa sekarang, kursus musik, tari dan memainkan alat-alat perkusi (mu’allim al-ghina’ wa al-raqs wa qar’ al-thubul ‘ala al-tauqi’). Istilah “qar’ al-thubul ‘ala al-tauqi’” layak mendapat perhatian khusus di sini. Secara harafiah, istilah itu berarti menabuh perkusi sesuai dengan nada nota atau nada musik tertentu. Ini, antara lain, memperlihatkan bahwa ketrampilan memainkan alat musik dengan memakai nota tertentu merupakan bidang yang digemari masyarakat pada saat itu sehingga muncul profesi khusus untuk mengajarkannya.

Bidang pekerjaan lain yang disebut Ibn Khaldun dan penting peranannya dalam reproduksi intelektual Islam pada saat itu adalah “al-warraqun”, yakni profesi penulisan manuskrip buku. Pada saat itu, penggunaan kertas sudah mulai dikenal luas dalam peradaban Islam, sehingga memudahkan penyebaran karya-karya para sarjana Islam. Peran penting dalam penyebaran ini dimainkan oleh seorang “warraq” yang melakukan penyalinan naskah secara manual. Pekerjaan “warraq” bukan sekedar menyalin naskah (intisakh), tetapi juga “editing” (tashih) dan penjilidan (tajlid). Dengan kata lain, profesi “warraq” adalah apa yang sekarang berkembang menjadi “publishing house” atau penerbitan. “Warraq” pada zaman Ibn Khaldun adalah semacam Mizan atau Gramedia pada masa kita saat ini.

Ibn Khaldun menyebut perkembangan bidang-bidang ini sebagai cerminan dari apa yang ia sebut sebagai “al-taraf fi al-madinah” atau kemewahan urban. Dia juga mengemukakan suatu pengamatan yang menarik bahwa dalam segi-segi tertentu, kemewahan ini juga kadang-kadang bergerak secara ekstrim. Ibn Khaldun menyebut sejumlah contoh, misalnya: profesi melatih burung dan keledai, sulap, dan berjalan serta menari di atas seutas tali. Deskripsi Ibn Khaldun yang jeli ini langsung membuat saya berkesimpulan bahwa pada saat itu pertunjukan sirkus sudah mulai berkembang.

Pada penutup pengamatannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa “kemewahan urban” ini hanya ada di Kairo yang sangat maju saat itu, tetapi tak berkembang di Maghrib atau Tunisia/Maroko, tempat di mana dia tinggal saat itu.

Apa yang bisa kita simpulkan dari pengamatan Ibn Khaldun ini? Tentu ada sejumlah hal menarik yang bisa kita simpulkan dari pengamatan ini. Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut adalah bahwa peradaban Islam pada saat keemasannya tidaklah seperti dibayangkan oleh kaum Islamis “modern” atau pengusung ide khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya bertumpu pada syariat Islam, fikih, dan aturan agama yang ketat.

Era keemasan peradaban Islam itu juga mengenal sirkus!

Bangsa-bangsa taklukan ( al-maghlub) biasanya akan meniru kebudayaan dan adat kebiasaan bangsa-bangsa lain yang menaklukkan mereka (al-ghalib).

Ini adalah adalah salah satu “hukum sosial” yang dirumuskan dengan sangat menarik oleh Ibn Khaldun dalam karyanya, “Muqaddimah”. Ia mengutarakan observasi ini dalam bab kedua, fasal ke-23.

Judul fasal itu adalah: “Perihal bahwa mereka yang kalah selalu “tergila-gila” untuk meniru mereka yang menang menyangkut ciri-ciri fisik, pakaian, mazhab pemikiran, segala bentuk kebiasaan dan adat mereka” (fi anna al-maghluba mula’ abadan bi al-iqtida’ bi al-ghalibi fi shi’arihi wa ziyyihi wa nihlatihi).

Marilah kita ikuti bagaimana Ibn Khaldun memberikan penjelasan atas fenomena ini. Jiwa (al-nafs) bangsa-bangsa yang ditaklukkan biasanya cenderung memandang bahwa bangsa-bangsa yang menaklukkan mereka memiliki kesempurnaan yang sifatnya “alamiah”. Ketundukan mereka pada bangsa yang menang sama sekali tak dipandang sebagai sesuatu yang timbul karena adanya “penaklukan alamiah” (ghalbun thabi’iyyun).

Dengan kata lain, bangsa yang kalah meniru bangsa yang menang bukan karena adanya “paksaan”, tetapi karena adanya keyakinan pada bangsa yang kalah tersebut bahwa bangsa yang menang, secara “natural”, lebih unggul ketimbang mereka. Jika boleh memakai istilah yang sangat terkenal dari Gramsci, bangsa yang kalah meniru bangsa yang menang karena adanya semacam “persetujuan” atau “consent”. Gramsci menyebutnya sebagai “hegemoni”.

Anggapan pada pihak bangsa yang kalah tentang keunggulan “alamiah” bangsa yang menang oleh Ibn Khaldun disebut sebagai “mughalathah” atau anggapan yang keliru. Saya kira, di sini Ibn Khaldun melihat dengan cermat bagaimana proses penundukan atas bangsa-bangsa berlangsung. Pada tingkat pertama, penundukan itu berlangsung pada level “fisik” yang biasanya melibatkan kekekerasan, entah melalui perang atau agresi. Setelah penundukan lewat sarana kekerasan fisik ini tercapai (oleh Ibn Khaldun disebut sebagai “ghalbun thabi’iyyun"), muncullah penundukan pada level mental.

Di sinilah, bangsa-bangsa yang ditundukkan memiliki anggapan bahwa bangsa yang menang memiliki “keunggulan” secara alamiah atas mereka. Ibn Khaldun memandang bahwa hal semacam ini tidak benar, sebab ketundukan mental hanya merupakan selubung untuk ketundukan pada level fisik.

Peniruan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kalah ini berlangsung pada pelbagai aspek, mulai dari pakaian (malbas), kendaraan (markab), senjata (silah), dsb. Ibn Khaldun memberikan contoh atas keadaan yang terjadi di Spanyol. Bangsa Galisia yang beragama Kristen dan tinggal di kawasan barat laut semenanjung Iberia (Spanyol) cenderung meniru adat kebiasaan bangsa Muslim di Andalusia yang saat itu menjadi bangsa yang unggul atau menang. Dalam teks Ibn Khaldun, istilah yang dipakai untuk menyebut bangsa Galisia adalah “al-Jalaliqah”.

Orang-orang Galisia meniru bangsa Muslim dalam banyak hal, mulai dari mode pakaian, pembuatan lukisan mural (rasm al-tamatsil fi al-judran), hingga lukisan biasa yang dipajang di rumah, begitu rupa sehingga siapapun yang melihat keadaan itu akan tahu bahwa mereka “ditaklukkan” (secara mental) oleh bangsa Muslim.

Ibn Khaldun menyebut suatu peribahasa yang dikenal luas dalam masyarakat saat itu, “al-’ammah ‘ala din al-malik”, orang-orang awam biasanya mengikuti “din” atau kebiasaan para raja-raja yang menundukkan mereka.

Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun melakukan observasi ini dengan “dingin” tanpa memberikan suatu penilaian yang sifatnya normatif. Saya membaca observasi Ibn Khaldun ini sebagai semacam “hukum sosial” yang bisa berlaku kepada siapa saja, baik bangsa Muslim atau non-Muslim. Jika yang unggul adalah umat Islam, maka umat lain akan cenderung meniru mereka. Begitu pula sebaliknya, saat bangsa di luar Islam unggul, tak pelak bangsa-bangsa Muslim akan meniru mereka pula.

Yang patut mendapat perhatian kita dalam observasi Ibn Khaldun ini adalah bahwa ketundukan bangsa yang kalah mula-mula terjadi karena “kekerasan” fisik yang dipakai oleh bangsa yang menang. Tanpa kekerasan ini, maka ketundukan mental atau “hegemoni” tak akan berlangsung. Seperti Machiavelli, Ibn Khaldun melihat “kekuasaan fisik” sebagai fakta sosial yang harus dilihat dan dianalisis dengan dingin.

Apa implikasi dari observasi Ibn Khaldun ini? Saya menangkap suatu implikasi yang sama sekali mengagetkan dari observasi ini. Yakni, jika bangsa Galisia atau bangsa non-Muslim lain meniru kebiasaan orang Islam yang kebetulan menjadi bangsa pemenang saat itu, maka hal itu bukanlah karena mereka melihat adanya keunggulan pada Islam sebagai suatu agama, tetapi karena pertama-tama bangsa Muslim memakai kekerasan fisik untuk menundukkan mereka.

Jangan lupa hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun: ketundukan mental dimungkinkan karena adanya kekerasan fisik atau “ghalbun thabi’iyyun”.

Ibn Khaldun bukan saja seorang sejarawan yang bekerja dengan konsep dan kategori besar, tetapi juga sangat “rajin” melihat hal-hal yang sangat kecil. Pada Ibn Khaldun kita melihat kombinasi yang menarik antara studi sejarah dan sosiologi, suatu pendekatan yang, kita tahu semua, pernah dikembangkan dengan amat baik di Indonesia oleh alm. Prof. Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkenal dari UGM.

Dalam bab kelima, fasal ke-22, Ibn Khaldun mengemukakan suatu obeservasi yang menarik berkenaan dengan perkembangan profesi (shina’ah) yang ada pada zamannya.

Judul fasal itu adalah “Perihal bahwa seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang tertentu, amat jarang bahwa orang yang sama akan memiliki kecakapan dalam tingkat yang sama di bidang yang lain” (fi man hashalat lahu malakah fi shina’ah fa qalla an yujida ba’du fi malakah ukhra).

Pengamatan Ibn Khaldun ini didasarkan pada suatu teori pengetahuan tertentu, atau tepatnya teori mengenai proses kejiwaan. Menurut dia, makin seseorang mendekati keadaan “alamiah”, yakni keadaan ketika seseorang belum mengalami proses belajar untuk memperoleh kecakapan tertentu, maka makin mudahlah ia untuk mempelajari kecakapan tersebut. Sebaliknya, jika ia telah mempelajari suatu kecakapan tertentu, maka ia akan sulit untuk mempelajari kecakapan lain dalam derajat kecanggihan yang sama.

Kecapakan, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah semacam “warna”. Jika jiwa manusia boleh kita analogikan dengan sebuah kanvas, maka jiwa tersebut tak bisa menerima sejumlah warna secara serentak. Kalaupun ada sejumlah warna dituangkan di sana, maka salah satu akan tampak menonjol, sementara yang lain hanyalah menjadi semacam latar belakang.

Observasi Ibn Khaldun ini, jelas, bukan ia peroleh dari “meditasi” di perpustakaan, tetapi berdasarkan apa yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks sejumlah kota besar yang berkembang pada zamannya di mana “’umran” atau urbanisme mencapai tahap yang sangat canggih.

Ibn Khaldun memberikan contoh: jika seseorang mencapai suatu keunggulan dalam bidang kecakapan jahir-menjahit (khayyath/khiyathah), begitu rupa sehingga kecakapan itu meresap dengan mendalam dalam dirinya (rasakhat fi nafsihi), maka ia amat sulit sulit untuk bisa unggul dalam, misalnya, bidang pertukangan kayu atau bangunan (nijarah/bina’). Kecuali jika dia belum begitu menguasai dengan benar kecakapan menjahir, maka ia bisa belajar kecakapan pertukangan dengan mudah. Tetapi, begitu satu kecakapan telah meresap dengan mendalam dalam dirinya, ia sulit mengusirnya, dan menggantinya dengan kecakapan baru.

Hal ini, menurut Ibn Khaldun, bukan saja berlaku pada sejumlah ilmu terapan yang mengandaikan pekerjaan tangan, tetapi juga pada ilmu-ilmu yang lebih bersifat konseptual. Jika seseorang menguasai “kecakapan intelektual” (malakah fikriyyah) tertentu, maka ia akan sulit untuk menguasai kecakapan lain dalam derajat yang sama.

Ibn Khaldun tentu tidak mengabaikan adanya sejumlah kasus perkecualian. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang bisa “unggul” dalam derajat yang sama dalam sejumlah kecakapan, baik kecakapan tangan atau konseptual. Harus kita ingat, “ambisi intelektual” yang ingin dicapai oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, “Muqaddimah”, adalah untuk membangun suatu “hukum” yang berlaku umum, bukan kasus-kasus terbatas yang sporadik--sesuatu yang tentu amat mencengangkan dilakukan oleh seorang sarjana Muslim di abad ke-14 M.

Tampaknya ada sesuatu yang secara implisit hendak dikatakan oleh Ibn Khaldun melalaui observasinya--tentu ini tidak dapat kita baca dalam bukunya secara harafiah. Observasi ini, tampaknya, hendak mengatakan bahwa spesialisasi adalah sesuatu yang inheren dalam “‘umran” atau urbanisme tinggi. Spesialisasi mengandaikan bahwa seseorang mencurahkan seluruh tenaga intelektualnya untuk satu hal hingga ia mencapai keunggulan di sana. Karena itu, amat susah sejumlah spesialisasi dikuasai dengan baik dan serentak oleh seseorang.

Dengan kata lain, istilah “shina’ah” yang kerapkali dipakai Ibn Khaldun sebetulnya dapat kita tafsirkan sebagai semacam indikasi ke arah spesialisasi.

Komen Poligami

Menanggapi pendapat sdr valentine. Saya menghargai pemikiran anda, tp saya sangat tidak setuju apabila anda lebih memperbolehkan free sex dibandingkan dengan poligami. saya sendiri termasuk orang yang tidak setuju (keberatan) dengan praktek poligami, akan tetapi saya meyakini kalo perintah polgami itu ada secara tertulis dalam al-quran dan perintah itu langsung datang dari sang pencipta yang disampaikan dalam kitab suci al-quran. kitab yang saya yakini (sebelumnya saya mohon maaf apabila keyakinan anda berbeda dengan saya). Poligami pun baru bisa dilaksanakan dengan persyaratan yang tidak mudah, dalam hal ini harus mendapatkan izin dari sang istri. buat saya praktek poligami lebih mulia di mata sang pencipta karena ada dasar hukum secara agama dan hukum negara (walo sebagian masyarakat indonesia belum bisa menerima praktek poligami) dibandingkan dengan praktek seks bebas (free sex) yang kotor dan lemah dasar hukumnya apabila diliat dari norma agama manapun dan norma sosial. Dan jika kita mau menyadari praktek seks bebas sangatlah beresiko memunculkan berbagai macam penyakit, dan buat anda laki2 atau wanita yang sudah memiliki pasangan yang syah melakukan praktek seks bebas berarti anda sudah menodai sucinya ikatan pernikahan juga menyakiti pasangan anda. Buat saya Seks bebas sama dengan perilaku Binatang yang tidak memiliki norma sosial dan juga akal. Membebaskan praktek seks bebas sama dengan menganggap manusia = binatang. sekian pendapat dari saya semoga menjadi pencerahan bagi siapa pun.

Posted by FANNY RISMANSYAH on 02/10 at 03:22 PM

buat mas valentino. udah tahu kan free sex ma drugs bawa HIV. apa kita ga sebaiknya konservatif.

Posted by john on 08/29 at 01:24 AM

Mau satu ataupun sampai empat juga gpp, yang penting pola pikir masyarakat indonesia harus berubah, jangan hanya mementingkan kepentingan pribadi, mari kita majukan NKRI tercinta ini bersama-sama, seperti yang pernah diperjuangakan oleh para pahlawan bangsa yang terkadang atau bahkan sering kita lupkana jasa-jasanya terhadap kelangsungan hidup kita di negara yang telah mereka perjuangkan ini…

Posted by Indonesia Raya on 08/28 at 11:59 AM

POLIGAMI & MONOGAMI
Sayang sekali, ketika Bung Ulil menyoroti faktor motif berpoligami, beliau hanya terpaku pada motif erotis sehingga diciptakan citra bahwa pria pelaku poligami itu pasti bertujuan memuaskan hawa nafsu seks setiap kali melihat wanita lain. Ini menunjukkan kurangnya riset sosial terhadap praktek poligami dan terburu-buru menarik kesimpulan hanya melalui perenungan pribadi. Keyakinannya bahwa perkawinan ideal menurut Islam adalah monogami pun menggambarkan keterpakuannya pada perasaan pribadi. Islam menetapkan monogami dan poligami sebagai pola perkawinan yang sama-sama syah bila memenuhi syarat-syarat tertentu. Pemaksaan pola monogami sama buruknya dengan pembiaran pola poligami.
Liberalisasi Islam jangan sampai memakan Islam, tetapi justru dia harus dapat menghidupkan kembali atau merevitalisasi Islam. Kecenderungan menciptakan keseragaman pola hidup dan pola pikir akan merupakan penghianatan terhadap pemikiran liberal itu sendiri, sehingga pada gilirannya nanti aliran liberal ini akan jadi demagog baru yang memaksakan dogma baru. Liberalisasi Islam justru dituntut menciptakan perangkat yang sesuai dengan jaman untuk menafsirkan dan mengamalkan prinsip-prinsip hukum yang sudah jadi dalam Quran, bukan untuk merubah substansi ayat itu sendiri.
Keabsyahan monogami dan poligami sudah jelas dalam Alquran. Yang belum jelas adalah definisi “adil” yang merupakan syarat utama poligami itu sendiri. Konsep “adil” inilah yang harus terus-menerus ditafsirkan penjabarannya sesuai dengan kondisi jaman. Kondisi jamanlah yang akan mempengaruhi keketatan dan kelonggaran batasan “adil” ini. Semakin ketat batasan “adil”, maka semakin sedikit kasus poligami, dan sebaliknya, semakin longgar batasan “adil”, semakin banyak kasus poligami. Penjabaran “adil” ini harus dituangkan dalam perundang-undangan yang mengatur perkawinan. Situasi ini akan beragam di berbagai tempat dan jaman sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan bahkan politik selama dunia ini berputar. Dengan cara ini, Islam bergerak dengan dinamis tanpa meninggalkan keaslian Islam itu sendiri.
Kita memerlukan pranata hukum dan pranata sosial yang dapat lebih sungguh-sungguh menangani praktek perkawinan. Misalnya, diperundangkanlah bahwa pelaku poligami harus terlebih dahulu mengajukan proposal ke pengadilan. Untuk mengesyahkan proposal tersebut, selain pranata hukum, diperlukan juga pranata sosial untuk meneliti suatu rencana atau proposal poligami. Pranata inilah yang akan memagari dan mengawasi praktek poligami sejak masih dalam perencanaan sampai pelaksanaannya, sebagaimana di Amerika pranata ini memagari dan mengawasi kasus kekerasan dalam rumah tangga dan hak perwalian anak. Pada akhirnya, berdasarkan hasil riset yang diadakan oleh petugas sosial (sebagai bagian dari pranata sosial) yang diberi wewenang oleh pemerintah, maka hakim (sebagai bagian dari pranata hukum) dapat mengambil vonis tentang boleh atau tidaknya seseorang berpoligami. Vonis hakim ini tentunya berkekuatan hukum, sehingga pria yang melanggarnya akan diancam dengan tindakan hukum.
Di dalam kandungan konsep “adil” yang harus dituangkan dalam suatu perundang-undangan, harus tercantum rincian syarat bagi terpenuhinya proposal poligami, menyangkut segi motivasi dan kondisi fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan politik dari empat tokoh utama dalam lingkaran keluarga pelaku poligami, yaitu pria yang akan berpoligami, wanita yang akan dimadu, wanita yang akan jadi isteri muda, dan anak-anak yang ada dalam perkawinan terdahulu dan kemudian.
Patutlah kita mengharap dengan penuh keyakinan bahwa bila praktek poligami ini diatur dengan cara konsisten dan konsekwen terhadap hukum yang mendasarinya, maka akan banyak proposal poligami yang ditolak hakim. Dengan demikian praktek poligami ini akan menyusut atau bahkan hilang dengan sendirinya tanpa harus menghapus substansi ayat Quran itu sendiri.
Ya Allah, ampunilah hambamu ini bila pemikiran ini melahirkan ijtihad yang salah.

Posted by Cepot Ranawijaya on 08/22 at 02:10 AM

saya ingin berkomentar. maaf kalau bahasa saya yang mungkin nanti menjurus kasar, karena saya masih muda, masih kuliah. hehehe. buat pras s, terimakasih sebanyak2nya buat data anda. berkurang satu alasan buat para pria SUCKS buat poligami. sekarang tolong ikuti dulu tulisan saya ini. sebelumnya, sejak awal saya ingin bersuara “SAY NO TO POLIGAMI”. kalau saya jadi presiden atau semacam aktivis, saya akan menempatkan “SAY NO TO POLIGAMI” di urutan pertama, jauh di atas “SAY NO TO DRUGS”, “SAY NO TO FREE SEX”, dan “SAY NO TO HOMOSEX/LESBIAN”. heran?? ya, saya mengerti kalau anda semua heran. malah saya yang akan heran kalau anda semua tidak heran. pemikiran saya sangat simpel, begitu simpel. pertama, Drugs, bagaimanapun, dikonsumsi seseorang ATAS DASAR KEINGINAN SENDIRI. saya SANGAT JARANG menjumpai orang yang dipaksa ngedrugs. biasanya dia coba-coba, atau mungkin tidak tahu bahaya narkoba?? bisa jadi. kedua, Free sex? saya cenderung mendukung free sex daripada poligami. kaget?? bukan mental terjajah barat atau apa, gini ya. free sex, bagaimanapun (lagi) didasari keinginan natural si pria dan wanita. seorang pria menjalani hubungan one night stand dengan wanita2 berbeda tiap malam. sah?? sah!! si pria ok, wanita ok. tidak ada wanita yang disakiti atau protes dalam kasus ini. sekarang sebaliknya. seorang wanita menjalani hubungan one night stand dengan pria berbeda setiap malam. sah?? sah!! tidak ada pria yang disakiti dan BERHAK protes dalam kasus ini. yang berhak melarang cuma orang tua mereka. ketiga, homo/lesbi. yah, sama lah. ini juga atas dasar keinginan mereka koq. sekali lagi, GA ADA PEMAKSAAN ATAU PIHAK YANG TERSAKITI DAN TERTINDAS dalam kasus ini. sekarang, poligami. seorang pria mau poligami. sah?? mau ga mau harus sah. kan di islam katanya istri yang mengijinkan suaminya poligami akan masuk surga (berat teuing syarat masuk surga eui). istri seolah harus menerima suaminya direbut KUNTILANAK (sorry ya, tapi menurut saya, istri kedua/ketiga/dst = PELACUR = perebut suami orang = DEVIL = LUCIFER’s ANGELS). coba sebaliknya, seorang wanita mau poliandri. sah?? suaminya akan berbuat apapun agar itu tidak sah. walaupun harus mengarungi 7 lautan 7 samudera mendaki gunung lewati lembah sampai mau mampus, pasti akan dijalani agar itu tidak kesampaian. kenapa? karena laki2 itu SEBAGIAN BESAR EGOIS!! sudah paham maksud saya sekarang kenapa saya lebih cenderung memberantas poligami daripada free sex dan drugs? kita lihat dari sudut kesetaraan gender, dimana sekarang orang2 yang ga nerima persamaan derajat pria dan wanita lebih baik mati atau kelaut aja temenan sama setan. dalam narkoba atau free sex, yang notabene kesenangan semu belaka, pria dan wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk “SENANG”, suatu hal yang sebaiknya dilupakan jauh2 dalam kasus poligami. ok! ga usah alasan2 pria nafsunya tidak pernah habis!! heloo, wanita juga manusia, makhluk hidup!! wanita juga punya gairah dan nafsu sex!! wanita ga ngesex cuma buat muasin pria atau punya anak doang!! ga usah juga alasan2 memenuhi perintah ALLAH buat memenuhi bumi dengan menghasilkan anak2 muslim. tolooongg!! kurang penuh apa bumi kita ini?? buktiin mars atau jupiter bisa dihuni baru deh ngomong gini. jangan juga alasan2 perbandingan jumlah wanita dan pria yang ga seimbang. data dari yth pras s udah menjawab segalanya. buat sdr Iswar, sok tau banget lo!! justru yang mendukung poligami lah yang ga dewasa dan patut disamakan dengan anak kecil yang percaya superman. naif!! mereka begitu percaya kalau poligami asal bener ngejalaninnya pasti mendatangkan kesenangan. bullshit!! sucks!! ngibul gede!! anda mau dimadu?? dipoliandri sama istri anda?? truz kalo ga mau anda terima dibilang ga dewasa?? ask to u’r heart, dan itu udah menjawab segalanya. so, gimana tanggapan anda semua buat tulisan saya?? apakah sekarang udah setuju untuk menentang poligami di urutan pertama?? atau malah jadi menentang saya?? ah, sabodo teuing. emang gue pikirin!!

Poligami, Monogami, dan Kontradiksi Modernitas


Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.

Apa yang saya tulis ini sebetulnya sudah menjadi diksusi secara pribadi dengan sejumlah teman waktu saya masih di Jakarta dulu. Agar tak menimbulkan salah paham, saya akan mengemukakan posisi moral saya sejak awal. Saya tidak setuju terhadap praktek poligami. Dalam pandangan saya, perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.

Yang menarik adalah bahwa monogami ternyata bukan saja merupakan “keadaan ideal” yang dikehendaki oleh agama. Monogami, lebih penting lagi, adalah juga menjadi norma yang sangat penting dalam kehidupan modern. Sensibilitas masyarakat modern terbentuk dalam norma semacam ini, sehingga mereka melihat praktek poligami sebagai semacam “warisan” dari masa lampau yang “jahiliyah”. Poligami adalah bagian dari feodalisme pra-modern.

Mungkin perlu semacam riset yang lebih mendalam mengenai asal-usul sosial dan historis yang bisa menjelaskan kenapa monogami menjadi norma utama dalam masyarakat modern. Saya percaya bahwa norma ini tidak datang “ujug-ujug” dari langit. Ia terbentuk melalui proses historis tertentu. Dengan kata lain, kaum pejuang keadilan jender perlu melakukan “analisa historis” atas munculnya norma keluarga dengan satu isteri itu. Historisitas tidak saja berlaku pada perkembangan ajaran dan doktrin agama, tetapi juga berlaku pada norma-norma yang kita kenal dalam masyarakat modern saat ini.

Ada satu paradoks dalam modernitas yang jarang kita sadari. Paradoks ini layak kita pikirkan dengan baik-baik, sebab entah pengutuk atau pemuja modernitas sama-sama tidak bisa menghindarkan diri dari gejala modernitas itu sendiri.

Di satu pihak, modernitas mengandung suatu impuls atau dorongan ke arah asketisisme, yakni hidup dengan etos kerja keras, tepat waktu, kalkulasi, efektivitas, dsb. Saya memandang, norma monogami mungkin berasal dari impuls ini. Saya tak tahu bagaimana menjelaskan hubungan antara monogami dengan etos asketisme dalam modernitas. Saya hanya menduga saja, bahwa bentuk keluarga kecil dengan isteri satu lebih sesuai dengan etos masyarakat modern yang menghendaki segala bentuk kepraktisan, efisiensi, kerja keras, dsb. Selain itu, keluarga kecil juga lebih memenuhi kebutuhan masyakarat modern untuk melindungi hak-hak milik pribadi. Konsep “hak milik” sangat penting kedudukannya dalam kesadaran masyarakat modern, sekurang-kurangnya jika dibandingkan dengan masyarakat pra-modern.

Tetapi ada impuls lain dalam modernitas yang jarang sekali kita sadari, padahal kita lihat gejalanya dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dorongan untuk selalu mencobai hal-hal baru. Saya ingin menyebutnya sebagai impuls advonturisme. Penjelajahan Columbus untuk mencari “dunia baru” ternyata bukan saja melambangkan suatu kegiatan ekonomi dalam masyarakat modern untuk mencari tanah baru untuk dieksploitasi. Lebih dari itu, penjelajahan itu juga berlangsung pada kehidupan pribadi, termasuk dalam kehidupan seksual.

Dua kecenderungan ini jelas tidak “klop” satu dengan yang lain. Kecenderungan asketik medorong ke arah etos kehidupan yang menekankan semangat “menahan diri”, sementara kecenderungan yang kedua mendorong ke arah “pelampiasan nafsu”. Yang satu bersifat “frugal” atau “ugahari”, yang lain bersifat boros.

Paradoks ini paling kelihatan dalam konteks kehidupan keluarga. Di satu pihak, modernitas menekankan norma monogami: keluarga dengan satu isteri dan sedikit anak. Di pihak lain, kita menyaksikan bagaimana eksperimentasi dengan pengalaman seks meledak dalam masyarakat modern. Kita semua tahu bagaimana modernitas mengekspose segala kemungkinan yang ada pada tubuh, baik laki-laki atau, terutama, perempuan. Dengan berkembangnya teknologi audio-visual seperti televisi dan film, kecenderungan itu sekarang mengalami radikalisasi yang sangat ekstrem.

Paradoks ini selalu saya rasakan saat saya menonton televisi di Amerika (juga di Jakarta, sebetulnya). Saya menonton peragaan tubuh yang erotis di TV, begitu rupa sehingga saya berpikir dalam hati, “Kenapa saya tak bisa menikmati pengalaman erotisme seperti diperagakan dalam televisi itu? Bukankah kesempatan untuk itu terbuka lebar?” Tetapi di pihak lain, bagaimana saya mendamaikan antara “keinginan” mencobai erotisme itu dengan norma lain yang juga dijunjung tinggi dalam masyarakat modern, yakni norma hidup dengan satu isteri?

Dengan kata lain, di satu pihak saya dituntut, entah oleh modernitas atau juga oleh agama sebagaimana saya pahami, untuk hidup asketis dengan satu isteri, begitu pula isteri saya harus hidup dengan satu suami. Tetapi di pihak lain, saya (dan juga isteri saya) berada dalam suatu habitus sosial di mana erotisme hampir meresap ke segala pori-pori.

Tentu ada banyak solusi untuk paradoks seperti ini. Pertama, solusi yang “legal”, yakni saya akan gonta-ganti pasangan. Kalau saya bosan dengan isteri saya, atau isteri saya bosan dengan saya, kita sepakat untuk cerai, untuk mencobai pasangan baru yang lebih menggairahkan. Solusi ini sangat sulit berlaku dalam konteks masyarakat Kristen di mana perceraian ditabukan. Bukan hanya itu, solusi ini, secara praktis, juga sangat tak menguntungkan, dan dilihat dari sudut kepentingan melindungi hak milik yang sangat penting dalam masyarakat modern, sangat tidak menarik. Yang lebih masuk akal dalam konteks masyarakat modern adalah hidup dengan satu pasangan, terutama karena hal itu lebih menjamin keamanan dan perlindungan hak milik.

Kedua, solusi yang “tak legal”. Solusi ini memiliki banyak bentuk, misalnya “selingkuh”, dengan akibat yang juga pada akhirnya tak menguntungkan dari segi kebutuhan menjaga hak milik, selain merugikan hak-hak perempuan. Bentuk yang lain adalah “membeli” kebutuhan seksual di “pasar bebas”. Solusi ini jelas tak bisa diterima, sekurang-kurangnya dari sudut agama. Juga tak bisa diterima dari sudut norma monogami.

Ketiga, solusi keagamaan. Inilah solusi yang ditawarkan oleh kalangan konservatif. Solusi ini sama sekali tertutup dalam masyarakat Barat, tetapi masih terbuka dalam masyarakat di luar Barat, seperti masyarakat Islam. Tetapi, solusi ini juga bukan tanpa cacat. Kalau poligami dibolehkan dengan alasan untuk “menampung” gairah seksual laki-laki, kenapa hanya dibatasi empat. Kalau gairah dibiarkan, sudah tentu
empat tidak cukup. Dalam habitus sosial di mana erotisme meresap begitu dalam, seseorang akan terdorong untuk mencobai kegiatan seksual tanpa batas.

Solusi terakhir yang juga diam-diam mulai banyak menarik masyarakat modern adalah hidup lajang, seraya membuka diri untuk mencobai segala bentuk kemungkinan seks. Solusi ini hanya menarik buat kelas menengah yang memiliki surplus penghasilan yang memadai untuk mendukung segala kemungkinan ke arah “advonturisme”. Alternatif melajang tentu bukan semata-mata didorong oleh adventorisme seksual, tetapi juga oleh keinginan untuk memburu karir dan pekerjaan yang lebih baik. Tampaknya yang terakhir ini lebih banyak terjadi dalam praktek sehari-hari.

Saya mengetengahkan paradoks ini bukan untuk “diselesaikan” dengan cara sim-salabim dan sekali pukul dengan tongkat Musa. Saya tak percaya paradoks ini bisa diselesaikan dengan mudah. Bahkan agama pun tak bisa menyelesaikan paradoks ini dengan mudah. Saya mengetengahkan paradoks ini hanya untuk membuka mata kita pada aspek-aspek kehidupan modern yang tak mudah untuk diringkus dalam satu-dua jenis solusi, dengan satu bentuk justifikasi.

Komen Syariat

Penerapan syariat islam mutlak harus diimplementasikan dikarenakan kegagalan hukum sekuler yang dikemudikan kaum kapitalis dan para orientalis, kejatuhan ekonomi, kemerosotan moralitas, ketidak pastian hukum serta perkembangan kriminalitas adalah dampak dari diterapkannya hukum sekuler yang bersifat duniawi yang menjauhkan diri dari moralitas dan agama, penolakan syariat islam yang dilakukan kaum sekuler muslim jelas sebagai pembangkangan terhadap Allah yang telah menurunkan hukum2nya untuk manusia sekaligus sebagai penghinaan mereka terhadap Allah dengan mengedepankan wacana seram dan zalim pada hukum islam, bukankah hal itu sama saja menganggap Allah sebagai Maha kejam dan Maha Zalim?, penolakan syariat Islam juga sebagai bukti kebodohan dan kesombongan mereka terhadap Allah dan sekaligus menafikan kebenaran islam yang absolut, dan kaum sekuler slalu saja mengusung dalil islam rahmatan lil alamin untuk mencegah tegaknya islam, padahal hanya dalam islam dan dengan islamlah keselamatan dan kesejahteraan ada, karena Allahlah pemilik keselamatan dan kesejahteraan! Bagaimana mungkin muslim menolak kesempurnaan islam kecuali kalau dihati mereka ada penyakit yang semakin parah, dan jika pernyataan kaum sekuler muslim slalu sama dengan pendapat orang2 kafir, mengapa mereka tak kunjung keluar dari islam jika hati mereka sudah tak berpihak pada islam

Posted by Hizburrahman on 02/17 at 01:18 AM

penerapan syariat Islam adalah sebuah penghianatan terhadap konsensus yang sudah disepakati para pendiri bangsa ini, dan hal tersebut adalah bentuk ke-egoisan beragama kita sebagai umat muslim. berbagai macam keberagaman yang ada merupakan pemersatu bangsa ini. dahulu saat butir-butir Pancasila susun, orang yang pertama kali menolak diterapkannya syariat Islam di Indonesia adalah Bung Hatta, yang notabene beliau adalah orang yang sangat Islami, taat dan mengenal Islam dengan baik tapi hal tersebut dilakukannya karena beliau sangat sadar akan keberagaman dan pluralitas bangsa ini sebagai sebuah modal yang tidak dimiliki oleh bangsa manapun didunia ini. saya rasa umat Islam masih sangat mampu untuk menjadi semakin muslim dan menunjukkan kemuslimannya tanpa perlu penerapan syariat Islam di Indonesia.

Posted by deskam on 09/01 at 02:23 AM

yang paling penting bagi saya adalah bukan syariat islam secara perundang-undangannya, tapi apakah para umat islam sendiri sudah mampu menjalankan syariat islam secara maksimal dalam kehidupan sehari-harinya?banyak terbukti bahwa syariat islam lebih bnyak diselewengkan aturannya dari pada sebagai sebuah pedoman hidup berbangsa dan bernegara untuk menciptakan sebuah masyarakat yang damai. Di negara-negara arab ternyata apa yang mereka lakukan juga tidak lebih baik dari pada negara yang dikatakan negara sekuler.
jadi hemat saya, yang paling penting adalah memperbaiki moralitas umat muslim sehigga semakin mampu menunjukkan apa dan siapa sebenarnya ajaran islam itu bukan lagi memaksakan penerapan syariat isalam sebagai dasar negara.Indonesia sudah sangat cocok dan tepat dengan Pancasila dan UUD ‘45.

Tafsir Humanis Atas Syariat Islam


Oleh Zuhairi Misrawi

Mencuatnya keinginan masyarakat muslim di tanah air untuk menerapkan syariat Islam merupakan gejala yang menarik untuk diamati, bukan hanya dalam hal penerapan yang bersifat teknis, akan tetapi dalam mengungkap dimensi yang hilang (al-bu’d al-dla’i’) dalam wacana syari’at Islam. Setidaknya terdapat ruang yang lebar untuk “memahami” kembali syariat Islam yang selama ini hanya identik dengan istilah “penerapan dan formalisasi” (tathbiq). Arus reformasi dan demokratisasi yang berhembus dahsyat pasca-totalitarianisme Orde Baru telah mengilhami keterbukaan dan kebebasan untuk mendiskusikan wacana keagamaan yang selama ini mengalami keterkungkungan.

Mencuatnya keinginan masyarakat muslim di tanah air untuk menerapkan syariat Islam merupakan gejala yang menarik untuk diamati, bukan hanya dalam hal penerapan yang bersifat teknis, akan tetapi dalam mengungkap dimensi yang hilang (al-bu’d al-dla’i’) dalam wacana syari’at Islam. Setidaknya terdapat ruang yang lebar untuk “memahami” kembali syariat Islam yang selama ini hanya identik dengan istilah “penerapan dan formalisasi” (tathbiq). Arus reformasi dan demokratisasi yang berhembus dahsyat pasca-totalitarianisme Orde Baru telah mengilhami keterbukaan dan kebebasan untuk mendiskusikan wacana keagamaan yang selama ini mengalami keterkungkungan.

Hal tersebut dapat dimaklumi sebagai sebuah proses yang wajar untuk mencapai pemahaman yang otentik. Hanya saja dalam kaitannya dengan syariat Islam, bukanlah hal yang sepele dikarenakan beberapa hal; pertama, perdebatan syariat Islam bukan wacana baru, akan tetapi merupakan “beban sejarah” yang sampai detik ini belum tuntas, sewaktu-waktu akan menjadi bom yang siap meledak dan sekaligus menjadi hambatan bagi terciptanya wacana kebangsaan yang kukuh. Kedua, adanya pemahaman yang artifisialistik dan reduksionis, tatkala syariat Islam dipersempit pada aras ketentuan-ketentuan hukum yang kaku dan rigit, sehingga yang mengemuka wajah terseram yang menampilkan cover terburuk dari syariat Islam. Peristiwa perajaman Abdullah di Maluku dan fenomena jihad politik merupakan konsekuensi dari kecenderungan artifisialistik terhadap syariat Islam. Ketiga, kecenderungan memahami syariat Islam sebagai solusi dan jalan hidup yang bersifat totalistik (qath’i), tanpa mempertimbangkan aspek historisitas dan kontekstualitas, sehingga berakibat pada pendangkalan nilai-nilai universal syariat Islam yang sejatinya menghidangkan menu kearifan, kedamaian, keadaban dan pandangan hidup yang dinamis.

Ketiga hal tersebut dapat dijadikan titik tolak untuk menyingkap tirai syariat Islam yang masih “misterius” dan tidak memiliki performance yang jelas. Di samping secara tegas masih terdapat kontradiksi antara nilai-nilai ideal agama yang mengajarkan keseimbangan, keadilan, kebenaran dan kemanusiaan dengan penerapan syariat dalam tataran praksis yang meniscayakan permusuhan dan pemutusan dengan non-muslim, kekerasan dan pemberlakukan hukum yang hegemonik, bahkan tidak humanis. Di sinilah perlu ada pembacaan ulang terhadap syari’at untuk memberikan corak dan warna baru terhadap syari’at, sehingga syari’at Islam menjadi rahmatan li al-‘alamien, pengikat tali kasih antar penghuni di alam semesta ini, penebar kedamaian dan kebenaran.

Otentisitas versus Fundamentalisme

Ketertinggalan dan keterbelakangan umat Islam di pelbagai belahan dunia Islam telah menyulut semangat umat Islam untuk mencari model terbaik untuk merengguk kejayaan yang hilang beberapa abad terakhir ini, sehingga tidak ayal apabila seruan yang menggema, yaitu “Islam sebuah alternatif”, “menegakkan syariat Islam”, “mendirikan negara Islam” dan lain-lain. Setidaknya, hal tersembut membentuk nalar kolektif yang mempengaruhi struktur pemikiran keislaman di tanah air.

Situasi politik yang centang-perentang dan pertumbuhan ekonomi yang terseok-seok kerapkali dianggap sebagai konsekuensi dari penjauhan diri terhadap ajaran Islam. Karenanya, reaksi oposisional yang dilakukan pro-penerapan syariat Islam hanya pada tataran ideologi yang emosional belaka dan tidak jarang menampakkan kekerasan dan penindasan terhadap minoritas. Yang menggema adalah corak fundamentalistik yang identik dengan pola-pola kekerarasan, totalitarian, monologis dan lekat dengan cara-cara konservatif.

Secara sepintas, akar-akar sayap fundamentalis dapat dilacak dari pola yang digunakan dalam mewujudkan cita-cita mereka. Pertama, adanya keterbatasan dalam memahami ajaran keislaman atau secara sengaja mengambil domain sejarah, mazhab dan kepentingan tertentu, sehingga terkesan memainkan pola yang ekstrim. Dalam hal ini tercermin dalam landasan teologis yang seringkali digunakan kalangan fundamentalis yaitu fatalisme dan teori kasb ala Imam Asy’ari yang menghendaki moderasi antara kepatuhan pada Tuhan dan inovasi manusia. Namun keduanya, pada akhirnya mempunyai proyek besar untuk mengunggulkan kekuasaan Tuhan di atas segala-galanya.

Pola pikir semacam itu, menurut Hassan Hanafi dalam al-Turats wa al-Tajdid; Maugqifuna min al-Turats al-Qadim telah membentuk “suasana kejiwaan” yang kemudian menjadi tradisi yang berpengaruh terhadap prilaku keberagamaan dan politik dalam tataran negara-bangsa (nation-state). Fatalisme dan kasb mempunyai problem yang sama, terutama dalam membentuk kepatuhan passif dan pemahaman fundamentalistik, sehingga seseorang harus melakukan pembelaan dan pemberhalaan terhadap “kekuasaan” yang “maha kuasa”, baik kekuasaan agama, politik, budaya dan ekonomi. Apabila kekuasaan tersebut berusaha diotak-atik, dikritisi dan dikontrol, maka tidak ayal lagi, akan muncul reaksi massif yang siap-siaga melakukan pembelaan tanpa reserve.

Hassan Hanafi menulis, “Premis teologis yang menggambarkan wujud yang mutlak sebagai kekuasaan yang totalistik dan kehendak yang hegemonik, telah membentuk pandangan kekuasaan yang tunggal dan tidak bisa diotak-atik, sehingga kekuasaan berada di puncak manara gading, tidak bisa dilawan dan disekutukan, tidak bisa ditentang, mempunyai kekuasaan mutlak. Teologi yang memupuk keyakinan absolut secara tidak langsung berimbas pada keyakinan absolut terhadap penguasa politik. Dari penghambaan terhadap Tuhan menuju penghambaan terhadap penguasa.”

Kedua, adanya keterbatasan dalam mengambil keteladanan. Yang menjadi inspirasi kalangan pro-penerapan syariat Islam adalah periode awal Islam dan gerakan-gerakan fundamentalisme Islam di negara-negara Arab. Padahal gerakan-gerakan fundamentalisme Islam, seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’at Islamiyah dan garis keras lainnya mengalami fragmentasi dan polarisasi, dikarenakan belakangan ini mempunyai target politik kekuasaan yang dianggap mengganggu kedudukannya. Secara perlahan-lahan, gerakan fundamentalis mulai menyusut, karena tidak ada kebulatan tekad dalam membangun kesepahaman politik. Karena selain keinginan untuk mendirikan negara Islam, mereka juga terbentur dengan nasionalisme Arab yang merupakan pijakan mereka.

Oleh karena itu, kalangan pro-penerapan syari’at Islam di tanah air akan mengalami hambatan yang serupa, khususnya dalam rangka mempertahankan integritas bangsa, selain mereka tidak mempunyai pengalaman politik yang cukup untuk menawarkan sistem dan konsep alternatif, kecuali hanya imajanisi kolektif yang sangat idealistik.

Keinginan untuk menerapkan syariat Islam sebenarnya terkait dengan upaya untuk menemukan otensitas keagamaan yang akan mengangkat harkat dan martabat umat Islam, yang selama ini terbelakang, tertindas dan tertinggal. Muhammad Arkoun, pemikir muslim asal Aljazair, dalam al-Fikr al-Ushuly wa Istihalat al-Ta’shil; Nahw Tarikh Akhar li al-Fikr al-Islamy menegaskan perlunya rekonstruksi pencarian otensitas keagamaan yang bersifat idealitik-ideologis menuju upaya mencari nilai-nilai yang belum terungkap dalam khazanah keislaman, seperti konsep kewarganeraan (al-muwathaniyah). Konsep ini merupakan keniscayaan bagi umat Islam kontemporer dalam membangun kesepahaman dalam keperbedaan, terutama dalam konteks berbangsa dan bernegara, di mana setiap individu setara dan sejajar, terlepas dari perbedaan ras, suku, agama dan aliran atau madzhab.

Dalam sejarah klasik, hal tersebut telah dipraktekkan pada periode Andalusia, tatkala umat Islam dapat membangun manara keadaban dan peradaban yang cemerlang bersama dengan umat Kristen dan Yahudi, sehingga terjadi penerjemahan besar-besaran terhadap buku-buku Yunani. Filsafat dengan cepat dapat dikomsumsi masyarakat Islam, sehingga melahirkan peradaban yang maju. Penelusuran terhadap otensitas keislaman harus mempertimbangkan unsur budaya, ilmu yang akan mengangkat umat Islam dari ketertinggalan, bukan pada aras politik yang manipulatif.

Menuju Tafsir Humanis

Nashr Hamid Abu Zayd dalam Mafhum al-Nash; Dirasat fi Ulum al-Qur’an, menegaskan bahwa peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks. Artinya perlu adanya penakwilan dan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai kemanusiaan. Karena yang berkembang selama ini hanya penafsiran yang mengunggulkan aspek transendensi dan sakralitas, tapi mengenyampingkan aspek sosiologis yang menyapa realitas kemanuasian dengan santun dan elegan.

Perlunya mengangkat aspek kemanusiaan dalam syari’at Islam. Dalam banyak ayat al-Quran tidak hanya menyerukan pembelaan kepada Tuhan. Dia Mahakaya, Mahatahu dan Mahakuasa. Karenanya Tuhan tidak perlu dibela. Yang semestinya mendapat perhatian adalah manusia, dalam rangka membangun kedamaian, keadaban dan keseimbangan. Segala bentuk penindasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia harus menjadi sorotan syariat Islam, sehingga dapat mendorong terealisasinya hak asasi manusia. Dalam beberapa ayat yang seringkali dilantunkan, “Tuhan langit dan bumi”, “Dialah Allah, Tuhan di langit dan Tuhan di bumi” memberikan inspirasi untuk menegakkan nilai-nilai langit dan nilai-nilai bumi yang berkaitan dengan hak-hak utama manusia. Karenanya syariat Islam harus menjadi penggerek untuk menciptakan perubahan, mengentaskan kemiskinan, menumpas kezaliman, menolong kaum lemah, membantu kalangan tertindas dan mempersatukan masyarakat yang tercerai-berai. Barangkali benar apa yang diungkapkan Hassan Hanafi, bahwa wahyu akan dianggap wahyu yang sesungguhnya, bukan karena diturunkan dari Tuhan belaka, akan tetapi tatkala wahyu itu dapat menjadi spirit dalam menciptakan perubahan pada tataran akar rumput, membela kemaslahan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi

Oleh Saiful Mujani

Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan kepolisian.

Kita bisa memperdebatkan apa yang dimaksud dengan “syari’ah Islam.” Lepas dari perdebatan ini, saya kira setiap Muslim punya sebuah kultur politik bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat politik (polity) yang dibangunnya, yakni Madinah, harus dijadikan acuan. Rasulullah bukn saja seorang pemimpin spiritual umat tapi juga seorang pemimpin politik. Dalam diri Nabi, dua kekuatan ini menyatu, dan Nabi dipercaya menjalankan kepemimpinan politiknya atas dasar Syari’ah.

Dengan wafatnya Nabi, kepemimpinan politik model ini seharusnya juga berakhir, karena memang tidak ada lagi Nabi setelahnya. Tapi para Sahabat sebagai pelanjut kepemimpinan umat dari Nabi telah berusaha meneruskan pola kepemimpinan ini. Sahabat bukan saja pemimpin politik tapi juga otoritas keagamaan setelah Nabi.

Dalam proses sejarah, peniruan atau pengidealan ke masa Nabi ini tidak mudah berkenan dengan semakin kompleks dan besarnya umat. Pembagian otoritas ke dalam otoritas politik kekuasaan dan otoritas kegamaan menjadi tak terhindarkan. Tapi Nabi dan Madinah di bawah kepemimpinan Nabi tetap bernilai dan menjadi orientasi dan legitimasi kekuasaan dalam perjalanan sejarah politik umat. Para pemikir Muslim yang mendukung demokrasipun tetap harus merujuk kepada kepemimpinan Nabi dan politik di bawah kepemimpinannya, misalnya dengan “mendemokrasikan” Madinah dan “mendemokrat-kan” Nabi. Ini sah saja, sebagai suatu tafsiran. Demikan halnya bagi yang menentang upaya ini. Kita umat Islam, sepertinya sudah ditakdirkan oleh sejarah supaya terus bergumul dengan persoalan ini. Pergumulan ini begitu nyata. Kita punya contoh nyata yang mencerminkan pergumulan ini: Saudi Arabia, Reublik Islam Iran, Politik Islam di Sudan, dan Rezim Taliban di Afghanistan. Semua rezim ini dengan caranya sendiri-sendiri mengklaim bertumpu pada syari’at Islam.

Tapi kita juga punya Turki, Indonesia Pasca-Suharto, Mali, Bangladesh, dan Jordania yang telah mencoba bereksperimen dengan demokrasi. Tapi, eksperimen inipun bukan perkara mudah. Tantangan besar di antaranya datang dari kelompok umat sendiri yang berorientasi pada penerapan syari’at Islam dalam kehidupan publik di mana negara bertanggungjawab atas pelaksanaannya. Tantangan ini sebagian menyumbang terhadap instabilitas demokrasi di negara-negara Muslim. Kenapa?

Demokrasi itu sendiri membutuhkan kultur politik demokrasi, yakni kultur massa mayoritas yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dibanding sistem lain. Di dalamnya ada keyakinan terhadap pluralisme politik: keyakinan bahwa keragamaan politik, teruatama yang berkaitan dengan politik yang bertumpu pada kekuatan primordial seperti agama, merupakan keniscayaan. Karena itu, tidak boleh ada kekuatan priomordial apapun untuk memaksakan dirinya menjadi dominan terhadap kekuatan primordial lain dalam wilayah publik. Kalau kultur ini lemah, di mana kekuatan primordial mayoritas menuntut menjadi kekuatan dominan dalam arena publik, maka sistem politik yang cocok untuk ini adalah non-demokrasi, misalnya saja otoritarianisme atau bahkan totalitarianisme.

Pluralisme ini terkait dengan unsur lain dari kultur demokrasi, yakni toleransi politik dan saling percaya sesama warga (interpersonal trust) dalam sebuah negara-bangsa, lepas apapun latar belakang primordialnya. Bila unsur-unsur ini lemah dalam masyarakat, maka demokrasi tidak bisa hidup dengan baik. Di dalam masyarakat Islam, baik itu yang sekarang ataupun yang menjelma dalam sejarah yang panjang, yang berkultur politik demokrasi itu hanya satu varian dari umat. Mereka membangun kultur ini di antaranya melalui penafsiran atas doktrin Islam dan melalui praktek politik umat.

Di samping itu, ada varian lain, yakni yang meyakini Syari’ah Islam, terutama yang dipraktikkan Rasulullah dan para Sahabat, sebagai landasan sistem politik terbaik bagi umat sekarang. Apa yang berlangsung di dalam umat Islam sendiri kemudian adalah pertarungan tafsir dan pelembagaan terhadapnya untuk menjadikan masing-masing tafsirnya dominan dalam sebuah masyarakat politik. Pertarungan ini memunculkan konflik kultural yang bisa jadi sehat dalam kehidupan umat, tapi bisa juga berimplikasi pada sikap dan prilaku yang tidak demokratis: kurang toleran dan kurang percaya terhadap sesama, walapun sama-sama Muslim. Bila ini yang tumbuh, maka pada gilirannya bisa berdampak pada sulitnya demokrasi terlembagakan sebagai sistem politik terbaik bagi umat. Ini sebagian menjelaskan kenapa eksperimen demokrasi di negara-negara Muslim yang telah lama berlangsung, seperti Turki dan Pakistan, tidak kunjung stabil. Sumbernya adalah interpersonal distrust yang tumbuh dari pertentangan tadi.

Di tanah air, munculnya aspirasi untuk menerapkan syari’at Islam belakang ini, harus dilihat dalam konteks demokrasi yang sedang diupayakan. Di mana-mana di dunia Muslim, gerakan “politik syari’ah” ini pada dasarnya tidak menjadikan demokrasi sebagai sarana dan tujuan politik. Seringkali politik syri’ah merupakan perlawanan terhadap demokrasi. Kecenderungan ini logis saja adanya. Sebab, gerakan politik syari’ah pada dasarnya menghendaki agar semua Muslim menjalankan syari’ah Islam seperti yang difahami oleh satu versi tertentu. Misalnya, hukum rajam, hukum potong tangan, pemberlakukan lembaga keuangan bebas bunga, dll., adalah bagian dari syari’ah. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan Muslim yang percaya bahwa hukum-hukum semacam itu bukan bagian utama dari syari’ah, dan karena itu dapat diabaikan?

Sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok dalam masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Tapi kalau sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka ia akan mengikat semua Muslim. Kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang syari’ah, mulai terancam keberadaannya.

Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan kepolisian.

Keterbatasan demokrasi ini harus disadari oleh kelompok demokrat dan kelompok politik syari’ah yang memperjuangkan aspirasi politiknya di jalur demokrasi. Demokrasi tidak akan mampu mewadahi kekuatan yang akan membunuh demokrasi itu sendiri. []