oleh: Ahmad Syafii Maarif
Tampaknya memang tidak selalu bisa dimulai dari revolusi politik untuk sebuah perubahan yang mendasar. Pada permulaan abad ke-15 hijriah umat Islam bersorak-sorai tentang abad kebangkitan.
Dipicu oleh Revolusi Iran yang dahsyat di bawah pimpinan Khomeini, sorak-sorai itu semakin membahana, bahkan tidak sedikit umat biasa yang langsung berubah maszhab: menjadi pengikut syi'ah, termasuk beberapa kasus yang berlaku di Indonesia. Kini waktu sudah bergulir 30 tahun pasca revolusi itu, perubahan fundamental ke arah suasana yang lebih adil dan manusiawi di dunia Islam baru tampak pada kuncupnya.
Sebagaimana yang akan saya jelaskan di bawah ini, kuncup perubahan itu telah mulai menggeliat, didorong oleh kesadaran yang semakin mendalam tentang kondisi umat yang masih compang-camping. Revolusi politik ternyata tidak membawa perbaikan yang berarti. Standar apa pun yang anda gunakan sebagai parameter untuk meneropong kondisi umat, kesimpulannya hanya tunggal: Tidak bisa terus begini!
Memasuki abad ke-21 miladiah, kegoncangan di dunia Islam malah semakin parah. Sekitar 20 tahun sebelum memasuki abad ini, Iraq di bawah Saddam Hussein berperang dengan Iran, negara tetangganya seagama. Ulama kedua negara yang bertikai itu sama-sama menggunakan dalil agama untuk saling membunuh satu sama lain. Panorama apa namanya ini? Tidak hanya sampai di situ, Iraq kemudian melakukan invasi atas Kuwait, negara kecil yang tak berdaya.
Peluang ini dimanfaatkan oleh Amerika dan sekutunya untuk melakukan akrobat perang. Iraq kemudian dihancurkan, Saddam dihukum gantung, benda-benda bersejarah milik Negeri 1001 Malam itu banyak yang binasa dan banyak pula yang dicuri. Amerika di bawah Bush ketika itu tetap saja mengklaim dirinya sebagai pelopor demokrasi dan hak-hak asasi manusia, tetapi perbuatan biadab dengan membunuh manusia dan merusak sisa-sisa peninggalan peradaban kuno juga dilakukan tanpa rasa malu. Ini adalah panorama lain yang mengawali abad ke-21. Dalam pada itu Palestina masih saja menjerit, Fatah dan Hamas belum juga akur, Jalur Gaza sudah babak belur, penderitaan penduduknya sudah sampai di puncak, sementara Israel kini dikuasai oleh kelompok rasis semi manusia.
Jika demikian pemandangannya, apakah dunia Islam masih saja berada di jalan buntu? Kelompok liberal dan fundamentalis masih berlomba dalam membangun kultur untuk tidak saling berdialog dan tidak saling mempercayai, apakah fenomena yang semacam ini yang dibenarkan al-Qur'an?
Ternyata pada tahun-tahun belakangan ini, titik-titik terang telah mulai tampak di ujung lorong sana, setelah dunia Islam mengalami pukulan telak sejarah yang nyaris saja membawa umat ini ke jurang keputusasaan. Titik-titik terang ini tidak dimulai oleh revolusi politik, sebagaimana tersebut di atas, tetapi dari kesadaran eksistensial kaum intelektual, aktivis, dan bahkan rakyat awam di berbagai negara Muslim. Fenomena ini sungguh sangat menghibur semua pihak yang ingin segera ke luar dari kepungan jalan setengah buntu ini.
Laporan mingguan Time tertanggal 19 Maret 2009 di bawah judul A Quiet Revolution Grows in the Muslim World dan laporan mingguan Newsweek untuk terbitan 30 Maret 2009, dengan pusat perhatian atas perkembangan terakhir di Saudi Arabia dengan judul The Monarch Who Declared His Own Revolution menjadi salah satu sumber refleksi saya di atas. Terasa laporan kedua mingguan papan atas itu mencoba bersikap apresiatif terhadap perubahan yang terjadi di kalangan umat itu, sekalipun bisa menjurus kepada sikap sangat kritikal kepada Barat dan ketidakpercayaan kepada kelompok-kelompok radikal dan militan yang tidak punya apa-apa, kecuali kekerasan, untuk ditawarkan dalam upaya membawa nilai-nilai universal Islam turun ke bumi. Time menulis:
Dirisaukan oleh kelompok ekstremis yang dapat menghancurkan tetapi gagal membangun alternatif-alternatif untuk perbaikan kehidupan harian, anggota generasi pasca 9/11 semakin berpegang kepada nilai-nilai Islam tinimbang kepada ideologi berdasarkan agama untuk mengejar tujuan mereka. Dan cukup penting, revolusi lunak telah membuahkan sebuah kepercayaan diri baru di kalangan Muslim dan sebuah kesadaran bahwa jawaban untuk masalah-masalah mereka terletak dalam iman dan komunitas mereka sendiri, tinimbang di dunia luar. Revolusi itu adalah reformasi dalam sebuah paket konservatif.
Generasi sadar ini rata-rata berusia antara 15-35 tahun. Mereka didefinisikan oleh sebuah pengalaman yang sama. Mereka berpikir positif, terdidik, dan punya akses pada teknologi dan aspirasi untuk mobilitas ekonomi. Mereka juga bersikap kritikal kepada penguasa-penguasa Muslim yang korup dan tak tahu diri. Mereka tidak mau lagi menjadi tawanan politik pasca 9/11. Revolusi lunak itu terjadi di banyak negara: Mesir, Bosnia, Kuwait, Palestina, Turki, Pakistan, Saudi Arabia, dan tentu saja di Indonesia, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar