Kamis, 25 Juni 2009

Moskow



Oleh Azyumardi Azra


Moskow hari-hari ini dan agaknya juga ke depan adalah sebuah kontras dan ironi sejarah. Ibukota Rusia ini, sekarang hampir tidak lagi menyisakan banyak pertanda sebagai kota yang pernah menjadi pusat dunia sosialis-komunis, yang mampu menyaingi blok kapitalis di bawah pimpinan Amerika Serikat; inilah realitas Perang Dingin yang sebenarnya tak bisa terhapus begitu saja dalam buku-buku sejarah.

Ironis. Kini Moskow tidak ubah seperti kota-kota kapitalis, di manapun di bagian dunia lain. Moskow adalah lanskap perkotaan yang hiruk pikuk, penuh kemacetan di jalanan, lalu lintas yang semrawut saling serobot di antara mobil-mobil. Dalam hal lalu lintas, Moskow tidak lebih baik daripada Jakarta kecuali tidak ada motor yang meliuk-liuk di jalanan, seperti lazim di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia. Saya tanya kepada beberapa orang Rusia, kenapa lalu lintas di Moskow begitu semrawut. Mereka jawab, karena umumnya mereka baru pertama kali punya mobil; dan karena itu ada kecenderungan mau pamer (show off) dan mau menang sendiri di jalanan.

Jalanan Moskow dipenuhi banyak mobil impor baru-baru dan mewah, buatan Jerman, Prancis, Jepang, dan Korea Selatan. Mobil "Lada" mobil buatan Soviet atau Rusia sendiri, dengan bentuknya yang "primitif" sulit terlihat di jalanan, tersingkir dalam persaingan survival of the fittests.

Semua itu memperlihatkan Moskow hari ini sebagai "kota kapitalis"; kota dengan biaya hidup sangat mahal. Dan tidak kurang simboliknya, berbagai restoran waralaba, dan mal-mal yang menjual barang-barang branded yang mencirikan dunia kapitalis secara mencolok hadir di Moskow, bahkan di depan Kremlin tempat mayat Stalin yang diawetkan tersimpan; tokoh yang pernah menjadi salah satu simbol kedigjayaan Uni Soviet.

Moskow, inilah kota yang pada masa Perang Dunia II dan Perang Dingin merupakan pusat dari dua poros dunia; satunya lagi adalah Washington DC. Dari sinilah Blok Timur, Dunia sosialis-komunis dikendalikan dalam persaingan dan pertarungan menghadapi Blok Barat di bawah pimpinan AS. Dua blok kekuatan adikuasa, yang berebutan pengaruh di berbagai wilayah dunia, yang untungnya tidak sampai menjerumuskan dunia ke dalam perang nuklir yang memusnahkan.

Persepsi banyak kalangan dunia luar termasuk saya tentang Moskow masih banyak diwarnai fenomena Perang Dingin tersebut. Dalam persepsi ini, Moskow adalah sebuah kota yang "angker", kaku dan "dingin", yang kurang bersahabat. Ketika orang mendengar nama Kremlin atau Lapangan Merah (Red Square), dalam bayangannya, kedua tempat ini tak lain adalah simbol otorianisme rejim-rejim komunis Uni Soviet yang pernah begitu dominan dalam sejarah moderen negara ini.

Citra seperti itu tetap bertahan, meski Soviet telah runtuh di tengah gegap gempita reformasi yang dikenal dengan istilah perestroika dan glasnost yang diperkenalkan Presiden Mikhail Gorbachev sepanjang masa pemerintahannya (1985-1991). Reformasi ini tidak hanya membawa keterbukaan negeri "beruang es", yang juga sekaligus membuat bubarnya Uni Soviet pada 25 Desember 1991 sesuatu yang tidak pernah terbayangkan. Presiden Boris Yeltsin yang menggantikan Gorbachev tidak mampu membendung arus sejarah; akhirnya pada 1 Februari 1992 Yeltsin menandatangani Deklarasi Rusia-AS tentang berakhirnya Perang Dingin.

Datang pertama kali ke Moskow atas undangan Dutabesar RI Hamid Awaluddin dan Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Deplu RI pada awal Juni 2009 lalu untuk serangkaian konperensi dan ceramah, saya terkaget-kaget menemukan Moskow yang lain dengan bayangan saya selama ini. Moskow begitu cepat dan radikal berubah, meski sisa-sisa mentalitas masa lalu tetap bertahan.

Salah satu contohnya adalah sikap kaku petugas imigrasi yang sentralistik. Satu pagi, ketika mau check in di Bandara menuju St Petersburg, petugas imigrasi menolak karena saya sudah lebih tiga hari di Rusia dan sesuai ketentuan harus sudah ada bukti "wajib lapor". Tapi, saya memang tidak melapor, karena menginap di Wisma Duta, KBRI London.

Tetapi sang petugas ngotot dan meminta ikut bersamanya ke kantor petugas lain, yang lokasinya cukup jauh. Hal yang mirip juga terjadi ketika check-in mau kembali ke Moskow. Kita seolah dipimpong dari satu ke meja, sebelum masalah bisa diselesaikan sebuah sentralisme yang kaku dan menyiksa.

Tapi itulah Moskow. Di tengah dunia yang uni-polar seusai runtuhnya Uni Soviet khususnya pada masa Pasca 11 September 2001, banyak masyarakat dunia berharap agar Rusia dapat kembali muncul sebagai kekuatan pengimbang. Tetapi harapan ini nampaknya masih sulit terwujud, karena Rusia kini masih berjuang mengatasi berbagai masalah domestik yang membuatnya harus lebih fokus ke dalam daripada ke luar.

(-)
Index Koran

Syekh Al-Azhar: Burqa Tidak Wajib


Syekh Al-Azhar: Burqa Tidak Wajib

KAIRO--Pernyataan Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy, soal pelarangan burqa menuai pro dan kontra. Para pemimpin Muslim di Inggris yang tergabung dalam Muslim Council of Britain (MCB), mengingatkan bahwa ucapan Sarkozy soal pelarangan burqa berisiko memicu permusuhan terhadap Islam. Sementara sebagian ulama justru menganggap kebijakan Sarkozy tersebut sebagai kewajaran dan itu merupakan haknya sebagai kepala negara.

Burqa merupakan pakain wanita yang terdiri dari gaun panjang yang membalut seluruh tubuh dan menutup seluruh wajah seorang wanita Muslim yang mengenakannya. Dari 5 juta Muslim yang ada di Perancis, sekitar 100 ribu perempuan Muslim mengenakan burqa.

"Burqa tak bisa diterima di Perancis karena tak sesuai dengan nilai-nilai Perancis." Demikian penegasan yang dilontarkan Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy, kepada para anggota parlemen di Versailes, Senin (22/6).

''Di negara ini, kita tak bisa menerima perempuan terpenjara di balik sebuah layar, tersisih dari semua kehidupan sosial, dan tercerabut semua identitasnya. Burqa bukanlah simbol religius tapi penindasan,'' lanjut Sarkozy.

Menurut MCB, yang memayungi 500 lembaga Islam di Inggris, pernyataan Sarkozy bahwa burqa merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan merupakan pernyataan ofensif. Lembaga ini juga berharap Sarkozy berhenti menjalankan politik yang memecah Muslim di Perancis.''

Berbeda dengan MCB, Grand Syekh Al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi, pemegang pucuk pimpinan tertinggi lembaga keislaman Al-Azhar Mesir justru mengatakan bahwa apa yang dikatakan Sarkozy merupakan haknya sebagai pemimpin sebuah negara, dan tidak ada hubungannya dengan orang-orang di luar negaranya.

"Itu adalah kebijakan dan urusan dalam negeri orang lain, dalam hal ini adalah Perancis. Dalam keadaan darurat dan tertentu, seorang Muslim dan Muslimah yang hidup di negeri Barat, misalnya, bolehlah bagi mereka untuk mengikuti undang-undang yang berlaku di negeri tersebut," demikian ungkap Thanthawi.

Para Muslimah yang memakai cadar di Perancis termasuk ke dalam kaidah tersebut. Mereka pun diperbolehkan untuk melepas cadarnya untuk mentaati undang-undang negara orang lain yang mereka tinggali.

Ditambahkan oleh Thanthawi, cadar dan burqa tidaklah termasuk ke dalam bab wajib bagi Muslimah. Hukum cadar dan burqa lebih kepada mubah. Jika mereka hendak mengenakan, maka kenakanlah, dan jika tidak, maka tak ada masalah. Hal ini berbeda dengan jilbab, yang hukumnya wajib bagi para Muslimah dan tidak boleh dilepas karena alasan apa pun.

Pendapat Thanthawi juga disepakati oleh Kementrian Wakaf Mesir, yang menetapkan pelarangan memakai cadar bagi para pegawai di lembaga tersebut.

Syekh Al-Azhar juga menekankan bahwa umat Islam yang berada di Perancis rata-rata merupakan pendatang (kebanyakan dari Arab dan Turki) di negeri tersebut, jadi mereka adalah tamu di sana. Sebagai tamu sudah selayaknya mengindahkan aturan-aturan yang dimiliki tuan rumah. Berbeda jika mereka hidup di Arab, di negeri dan rumah asal mereka sendiri. Sarkozy sendiri tidak masalah dengan pemakaian jilbab, ia bahkan membolehkan pihak Muslimah untuk mengenakannya.taq

Rabu, 17 Juni 2009

Islam: Politik dan Kultural



Oleh Azyumardi Azra

Kemerosotan perolehan suara parpol-parpol berasaskan Islam pada Pemilu Legislatif 9 April lalu menjadi bahan diskusi yang hangat, baik di kalangan elite kepemimpinan Islam maupun para pengamat dalam dan luar negeri. Bagi mereka, realitas itu masih sulit dipahami; karena bertolak belakang dengan gejala meningkatnya kehidupan keislaman di negeri ini. Parpol-parpol Islam ternyata gagal melakukan kapitalisasi peningkatan keislaman itu ke dalam kancah politik.

Diskusi tentang realitas politik yang tidak menggembirakan itu mengundang pembicaraan kembali tentang apa yang disebut sebagai 'Islam politik' pada satu pihak dan 'Islam kultural' pada pihak lain. Pembedaan kedua kelompok ini tentu saja tidaklah kedap air; bahkan keduanya dapat dikatakan saling melengkapi dalam usaha memajukan agenda-agenda keislaman dan keumatan.

Persoalannya adalah; sepanjang perkembangan politik demokrasi pasca-Soeharto yang telah berlangsung satu dasawarsa dengan tiga pemilu, Islam politik yang diwakili parpol-parpol Islam terus gagal meraup suara secara signifikan. Akibatnya, parpol-parpol Islam ini hanya dapat menjadi bagian dari koalisi yang dipimpin parpol-parpol lain yang tidak berbasiskan Islam--sebaliknya berdasarkan Pancasila; mereka tidak menjadi lokomotif koalisi-koalisi politik tersebut.

Pada pihak lain, ormas-ormas Islam politik yang bukan merupakan parpol, tetapi juga memiliki agenda politik, tidak kelihatan kiprahnya dalam bulan-bulan politik 2009 ini. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), misalnya, yang mengusung perjuangan penciptaan kembali kekhalifahan (khilafah) dan penegakan syariah Islam, khususnya hudud, secara jelas absen dalam aktivisme dan isu politik. Tidak begitu jelas alasan terjadinya gejala semacam ini pada HTI.

Di tengah realitas dan gejala kegagalan Islam politik itu, orang kembali ingat pada Islam kultural, yang biasanya diwakili ormas-ormas keagamaan Islam, seperti Muhammadiyah, NU, al-Washliyah, Perti, Persis, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Wathan, Darud-Dakwah wal-Irsyad, al-Khairat, dan Hidayatullah. Semua ormas ini, sejak berdirinya menetapkan diri sebagai jam'iyyah dakwah, pendidikan dan pelayanan sosial. Memang dalam periode tertentu, khususnya di masa Orde Lama, sebagian ormas Islam ini pernah terlibat langsung dalam politik kepartaian, tetapi dalam waktu tidak terlalu lama, mereka kembali kepada khittah-nya sebagai ormas keagamaan.

Namun, pada awal-awal masa pasca-Soeharto sampai Pemilu 2004, beberapa ormas Islam ini terseret ke dalam politik kepartaian. Ormas-ormas Islam ini menjadi basis bagi parpol-parpol Islam tertentu; dan bahkan kepemimpinan puncaknya terlibat dalam politik praktis, menjadi cawapres misalnya. Namun, mereka juga gagal dalam kancah politik pilpres tersebut.

Agaknya semua perkembangan seperti inilah yang membuat ormas-ormas Islam secara sengaja atau tidak, tanpa deklarasi, kembali ke khittah semula yang bergerak terutama dalam dakwah, pendidikan, pelayanan sosial, dan pemberdayaan ekonomi. Pada saat yang sama, ormas-ormas Islam ini juga meneguhkan kembali perannya sebagai organisasi masyarakat madani (civil society) yang independen dari negara (dan juga politik kekuasaan), membiayai dan mengatur diri sendiri ciri-ciri pokok bagi kelompok dan organisasi apa pun untuk dapat disebut sebagai civil society. Sebagai masyarakat madani, ormas-ormas nonpolitik ini memainkan peran penting sebagai penengah dan jembatan di antara masyarakat pada satu pihak dengan negara pada pihak lain.

Dengan kembalinya ormas-ormas ini ke khittah-nya aslinya, mereka bisa lebih berkonsentrasi pada bidang-bidang yang selama ini disebut sebagai Islam kultural--pembinaan umat dalam bidang dakwah, pendidikan, pelayanan sosial, ekonomi, dan banyak lagi. Memang, bergerak dalam bidang-bidang ini tidaklah menarik liputan media massa; ini adalah pekerjaan pengabdian yang lebih berdasarkan keikhlasan.

Hasil dari perkembangan ini adalah bahwa sejak usainya riuh rendah Pemilu 2004 dan kini gegap gempita dan ketegangan Pemilu 2009, keterlibatan ormas-ormas Islam ini beserta tokoh-tokohnya dapat dikatakan minimal. Kini, tidak ada pimpinan dan tokoh nasional, tokoh ormas-ormas Islam, yang menjadi capres atau setidaknya cawapres seperti kita lihat pada Pemilu 2004. Dengan begitu, ormas-ormas Islam dapat melakukan 'penjarakan politik' (political disengagement) dengan kekuatan-kekuatan politik kepartaian dan kekuasaan yang manipulatif dan abusif.

Dalam konteks itu, perkembangan ormas-ormas dan masyarakat madani Islam ini merupakan 'berkah terselubung' bagi dinamika gerakan Islam lebih lanjut di negara ini. Banyak kalangan di kawasan Dunia Muslim lain melihat ini sebagai sebuah tradisi yang unik bagi Islam Indonesia. Dan, menurut mereka, inilah sebuah distingsi dan kekayaan Islam Indonesia yang tidak bisa ditemukan di tempat mana pun di Dunia Islam lainnya.

(-)
Index Koran

Syekh Al-Azhar Tak Setujui Syiah di Mesir



Syekh Al-Azhar Tak Setujui Syiah di Mesir

KAIRO--Imam Besar Al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi, menegaskan di Mesir tidak akan menyediakan tempat untuk Syiah. Ia juga mengatakan, pihaknya akan senantiasa bekerja keras untuk membentengi umat Muslim Mesir dari upaya penyebaran madzhab Syiah di negaranya, dan dengan cara yang santun tentunya.

"Tidak ada tempat untuk madzhab Syiah di Mesir, karena negara ini adalah negara 'Sunni'. Kami juga tidak akan menerima dan berpangku tangan dari upaya penyebaran madzhab tersebut di negeri kami," demikian dikatakan Thanthawi di hadapan para rombongan mahasiswa dari Saudi Arabia pada Selasa (16/6), kemarin, sebagaimana dikutip harian Al-Arabiyyah.

Selain itu, Thanthawi juga menegaskan bahwa Al-Azhar adalah lembaga keislaman yang menebarkan dakwah Islam dengan prinsip-prinsip yang moderat, toleran, dan akomodatif, serta menolak segala bentuk ekstrimisme dan konservatisme Islam.

"Al-Azhar jauh dari model Islam yang fanatis, apalagi fanatik buta," katanya. Meski mayoritas Muslim Mesir adalah penganut ordo Sunni, namun sejumlah kecil penganut Syiah dapat ditemukan di Mesir.

Bahkan, jika merujuk pada sejarah masa lalu, Mesir pernah menjadi pusat Syiah dalam dunia Islam. Dinasti Fathimiyah yang berkuasa di Mesir pada abad ke-9 hingga ke-10 adalah dinasti yang menjadikan Syiah sebagai madzhab resmi negara. Al-Azhar sendiri semula didirikan oleh para ilmuwan Fathimiyyah yang menganut Syiah.

Semenjak masa dinasti Shalahuddin yang menggantikan dinasti Fathimiyyah, madzhab resmi negara diganti menjadi Sunni, dan berlangsung hingga sekarang.taq/arb/hid