Jumat, 27 Februari 2009

Ijtihad Umar bin Khathab

Muhammad Musa dan Adian Husaini
(Dosen STID Mohammad Natsir, Jakarta)

Dalam wawancara di Rubrik Islam Digest Republika (1/2/ 2009), Prof Dr H Ahmad Rofiq MA, guru besar IAIN Semarang, mengatakan bahwa dalil qath'i masih juga diperdebatkan oleh ulama. ''Salah satu contoh dalil qath'i yang kemudian diperdebatkan kembali hukumnya adalah kasus potong tangan bagi pencuri,'' kata Ahmad Rofiq yang juga sekretaris MUI Jawa Tengah.

Menurut Prof Rofiq, ketika itu ada pembantu yang mengambil barang majikannya. Tapi, ia mencuri karena terpaksa, karena anak dan istrinya sedang kelaparan akibat honornya tidak dibayar oleh majikannya. Oleh khalifah Umar, si pencuri tidak dihukum potong tangan. Cerita ini tidak disebutkan sumbernya. Tapi, penjelasan Prof Ahmad Rofiq itu menyimpulkan bahwa Umar bin Khathab telah mengubah hukum yang qath'i, yakni hukum potong tangan.

Argumentasi semacam ini sudah berulang-ulang diungkapkan oleh berbagai kalangan. Munawir Sjadzali, dalam makalahnya berjudul Reaktualisasi Ajaran Islam menulis tentang Umar bin Khathab: Selama menjabat beliau telah mengambil banyak kebijaksanaan dalam bidang hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan bunyi ayat-ayat Alquran. (Lihat, Munawir Sjazali. 1993. Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI Press). Peneliti Freedom Institute, Ahmad Sahal, dalam artikelnya berjudul Umar bin Khattab dan Islam Liberal menyebut Islam Liberal mendapat energi dari Umar bin Khathab.

Padahal, fakta sebenarnya tidaklah demikian. Umar bin Khatab ra sama sekali tidak mengubah status hukum potong tangan bagi pencuri. Tetapi, yang sebenarnya, penerapan hukum itu sendiri harus memenuhi sejumlah syarat. Ada beberapa dalil untuk itu. Pertama, hadis riwayat As-Sarkhasi dari Mahkul bahwa Nabi SAW telah berkata: Tidak ada potong tangan pada masa (tahun) paceklik yang teramat sangat. (Lihat, Syamsuddin As- Sarkhasi, Al-Mabsuth (Mesir: As-Sa'adah, 1324), jil. 10, hal. 104). Jadi, Umar tidak menerapkan hukum potong tangan pada kasus tertentu karena memang ada nash lain yang menjelaskan. Umar ra tidak meninggalkan nash Alquran yang sudah jelas maknanya.

Kedua, selain hadis yang sangat jelas itu, Allah menjelaskan dalam Alquran: Maka barangsiapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 5:3).

Dari sini jelas bahwa ijtihad Umar menggugurkan had potong tangan dalam beberapa kasus pencurian di bawah pemerintahannya adalah karena tunduk di bawah aturan syariat Alquran dan hadis. Dan, bukan disandarkan pada logika dan kemaslahatan semata. Adalah tidak masuk akal, Umar bin Khathab berani melanggar atau mengubah nash-nash yang qath'i, sedangkan ketika itu para sahabat begitu kritisnya dalam setiap masalah agama. Tindakan Umar ra dalam masalah hukuman bagi pencuri pun sudah disetujui oleh para sahabat karena tidak menyalahi Alquran dan Sunah Rasulullah SAW.

Kasus pengguguran hukum potong tangan bagi sebagian pencuri telah dibahas secara mendalam oleh Dr Muhammad Baltaji dalam tesis masternya di Fakultas Syariah Universitas Kairo, yang berjudul Manhaj Umar Ibn Khathab fii at-Tasyri: Diraasatu Mustaw’abah li-Fiqhi Umar wa-Tandziimaatihi. (Diterbitkan oleh Penerbit Khalifa dengan judul Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, 2003). Umar bin Khathab tidaklah menggugurkan hukum potong tangan bagi pencuri, tetapi beliau menerapkan hukum itu untuk kondisi tertentu dan tidak menerapkannya untuk kondisi yang lain.

Hukum potong tangan bagi pencuri telah diterapkan oleh Rasulullah SAW dan juga oleh Abu Bakar ra. Umar pun menerapkan hukum tersebut terhadap Samurah yang kedapatan mencuri. Tetapi, di musim paceklik, Umar tidak menerapkan hukum tersebut karena memang ada hadis Rasulullah SAW: Tidak ada potong tangan pada masa (tahun) paceklik yang teramat sangat. Sejumlah ulama, seperti Ibnul Qayyim dan al-Auzai juga berpendapat bahwa dalam keadaan paceklik, hukum potong tangan digugurkan.

Muhammad Baltaji berpendapat, bukan hanya paceklik nasional yang menjadi kondisi digugurkannya hukum ini, bahkan dalam kondisi paceklik personal yang memaksa seseorang mencuri karena lapar maka hukum potong tangan pun digugurkan. Ibnul Qayyim, sebagaimana dikutip Baltaji menyatakan: Dan, sesuai dengan sunah bahwa jika ada kelaparan dan kebutuhan yang teramat sangat, yang menyebabkan seseorang merasa butuh dan bahkan menjadi keharusan baginya untuk memperoleh barang yang dibutuhkan itu, seorang pencuri akan bebas dari tuntutan karena keadaan darurat untuk menyambung nyawanya. Dan, dalam keadaan yang demikian itu, wajib bagi orang yang memiliki sesuatu untuk memberikan barangnya itu secara cuma-cuma, karena setiap orang wajib memberikan kemudahan dan membantu orang lain untuk menjaga nyawanya. Dan, inilah alasan kuat digugurkannya potong tangan bagi orang yang dalam keadaan terpaksa.

Umar bin Khathab berpegang pada sabda Rasulullah SAW: Hindarkanlah had (hukuman yang sudah ditentukan, misalnya potong tangan atau rajam--Pen) semampu kalian dari orang Islam. Sebab, lebih baik seorang imam (hakim) salah dalam memberikan ampunan daripada ia salah dalam memberikan had. Karena itu, kata Umar ra: Menggugurkan had dalam masalah-masalah yang belum jelas, lebih baik daripada melaksanakannya.

Oleh sebab itu, tidak benar tuduhan bahwa Umar bin Khathab berani mengubah nash yang qath'i. Umar ra tetap berpegang kepada nash Alquran dan sunah. Dr Baltaji menulis: Merupakan kesalahan yang sangat fatal, jika ada orang yang mengira bahwa Umar bin al-Khathab adalah pioner (orang yang pertama kali) dalam menggugurkan had pencuri. Karena pada kenyataannya, ia hanya sebatas mempraktikkan nash-nash yang umum dan khusus dari Alquran dan sunah.

Umar bin Khathab dan para sahabat Nabi SAW adalah manusia-manusia pilihan yang sangat taat kepada Alquran. Suatu ketika, saat menjabat kepala negara, Umar berpidato di atas mimbar: Aku tidak mendengar seorang wanita yang maharnya melewati mahar istri-istri Nabi, kecuali aku akan menguranginya.

Tiba-tiba seorang wanita berkata kepada Umar: Kau berkata dengan pendapatmu sendiri atau kau mendengar dari Rasulullah? Karena kami menemukan dalam Alquran sesuatu yang tidak sesuai dengan perkataanmu. Dia lalu membaca QS 4:120. Mendengar kritik wanita tersebut, Umar bin Khathab berkata: Perempuan ini betul dan Umarlah yang salah.

Itulah sikap Umar ra sebagai seorang kepala negara yang memiliki kualitas keilmuan yang sangat tinggi. Generasi sahabat memang dikenal sebagai generasi yang sangat kritis. Karena itulah, seorang pemimpin, seperti Umar bin Khathab tidak bisa bertindak sembarangan. Apalagi, sampai mengubah-ubah hukum yang jelas ditetapkan dalam Alquran dan sunah.

Dalam wawancara dengan Republika tersebut, Prof Rofiq berpendapat bahwa dalam masalah sosial kemasyarakatan dan kemaslahatan yang lebih besar, hukum-hukum Islam masih bisa diperdebatkan. Dia contohkan, hukum iddah bagi wanita bisa diperdebatkan, karena dengan kemajuan teknologi, dalam waktu lima menit sudah bisa diketahui seseorang yang berhubungan suami-istri bisa hamil atau tidak.

Logika seperti ini sebenarnya sangat riskan sebab tidak memiliki batasan yang jelas. Sehingga, bisa menjadi pendapat yang liar. Seharusnya, setiap Muslim tidak gegabah dalam mengeluarkan pendapat jika tidak didukung oleh landasan yang kokoh.

Jika hukum-hukum Islam yang sudah qath'i boleh diubah atas dasar kemaslahatan, tentu pertanyaannya adalah apa makna kemaslahatan dan menurut siapa? Soal manfaat dan maslahat, lokalisasi perjudian dan pelacuran pun ada maslahatnya. Perkawinan sejenis juga ada manfaatnya, bagi mereka.

Kaum Yahudi dimurkai oleh Allah karena mereka berani merusak ajaran para Nabi (QS 2: 75, 79). Dengan alasan kemaslahatan juga, kaum Yahudi liberal kini menyelenggarakan perkawinan homo dan lesbi di sinagog-sinagog mereka. Kita senantiasa berdoa dalam shalat, semoga dijauhkan dari jalan kaum Yahudi (al-maghdlub). Wallahu A'lam.

Sabtu, 14 Februari 2009

Dari Penguasa ke Peradaban

Sabtu, 14 Februari 2009 | 01:37 WIB

Oleh Aguk Irawan MN

Ibnu Al-Nadim dalam kitabnya, Al-Fihrist, mengisahkan, suatu malam khalifah Al-Ma’mun (813-833) bermimpi melihat sosok berkulit putih kemerah-merahan, keningnya lebar, matanya biru, sikapnya gagah, sedang duduk di atas singgasana. Orang itu tidak lain adalah Aristoteles.

Percakapan yang berlangsung di antara mereka —dalam mimpi itu—memberi inspirasi kepada Al-Ma’mun untuk menyosialisasikan literatur Yunani di lingkungan akademinya. Setelah mengadakan hubungan surat-menyurat dengan penguasa Byzantium, Al-Ma’mun mengutus sebuah tim kerja ke Yunani. Tak lama berselang utusan itu kembali dengan membawa sejumlah buku untuk diterjemahkan.

Inilah awal mula gerakan penerjemahan di dunia Arab pada abad pertengahan. Langkah ini membuat akademi Bait Al-Hikmah (dar al-ilm)—yang dirintis Al-Ma’mun—semakin tersohor. Dalam kerja penerjemahan literatur Yunani, Al-Ma’mun mengundang para fisikawan, matematikawan, astronom, penyair, ahli hukum, ahli hadis dan mufasir dari berbagai penjuru.

Mereka diberi fasilitas dan perlindungan negara agar dapat mencurahkan seluruh perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan. Sir John Glubb dalam Moslem Heroes in The World—dikutip oleh M Atiqul Haque (1995)—mencatat bahwa Hunain Ibn Ashaq, seorang Kristiani, telah menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan Plato dari karya-karya Hippocrates dan Galen dalam bidang fisika. Karya itu beberapa tahun kemudian menyebar sampai ke Eropa Barat melalui Sisilia dan Spanyol.

Setelah menjamurnya karya- karya terjemahan itu, semakin lengkaplah koleksi buku di perpustakaan akademi Bait Al-Hikmah. Sebagaimana dicatat juga oleh Al-Nadim, perpustakaan itu telah mempekerjakan sarjana- sarjana brilian, seperti Al-Kindi (801-873), filsuf Arab pertama yang juga banyak menerjemahkan karya-karya Aristoteles. Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka, penemu Al-Jabar juga bekerja di perpustakaan ini. Selama masa tugasnya di perpustakaan itu, ia menulis karya monumental Kitab Al-Jabr wa Al-Muqabillah.

Para penguasa di kurun itu dinilai sebagai pribadi-pribadi yang memiliki perhatian penuh terhadap pertumbuhan ilmu pengetahuan. Ini dibuktikan dengan keterlibatan mereka secara langsung dalam membangun perpustakaan.

Pentingnya perpustakaan

Pada tahun 1065, perdana menteri pemerintahan Saljuk, Malik Shah—dalam sejarah dikenal dengan nama Nizam Al- Mulk—mendirikan perpustakaan Nizamiyah sebagai sentral penyimpanan buku-buku bagi kelangsungan aktivitas keilmuan di Madrasah Nizamiyah.

Menariknya, peningkatan jumlah koleksi di perpustakaan ini diselenggarakan dengan program wakaf besar-besaran. Ibn Al-Thir menyebutkan, Muhib Al-Din An-Najjar Al-Baghdadi mewakafkan koleksi pribadinya dalam jumlah relatif banyak. Khalifah An-Nashir juga ikut ambil bagian dalam program pewakafan tersebut.

Perpustakaan itu mempekerjakan pustakawan reguler sebagai karyawan yang digaji tinggi. Di antara pustakawan terkenal seperti Abu Zakariyyah Al-Tibrizi dan Yaqub Ibn Sulaiman Al-Askari bekerja di perpustakaan ini. Di sana pula Nizam Al-Mulk Al-Tusi (wafat 1092) menghabiskan sebagian besar waktunya dan menulis buku tentang hubungan internasional, Siyar Mulk yang terkenal itu. (Sardar, 2000).

Masih di kawasan Baghdad, pada tahun 1227, khalifah Muntasir Billah mendirikan sebuah perpustakaan megah guna memfasilitasi berbagai diskursus keilmuan di madrasah Musthansiriyah.

Pengeliling dunia Ibn Batutah menceritakan tentang Musthansiriyah dan perpustakaannya dengan jelas. Dikerahkan 150 unta untuk membawa buku-buku langka dari istana sehingga perpustakaan itu memiliki koleksi 80.000 judul buku.

Melihat kekayaan khazanah intelektual yang tersimpan di setiap perpustakaannya, wajarlah jika Baghdad masa itu menjadi pusat berbagai aktivitas keilmuan. Pelajarnya datang dari berbagai penjuru dunia.

Pertumbuhan dan perkembangan perpustakaan yang dipelopori langsung oleh penguasa tidak saja terkonsentrasi di dalam satu wilayah seperti Baghdad, tetapi juga tumbuh pesat di belahan wilayah lain seperti di Kairo. Menurut catatan Sardar, di daerah ini terdapat Khazain Al-Qusu, sebuah perpustakaan megah yang didirikan oleh salah seorang pejabat Fatimiyah, Al- Aziz Ibn Al-Muizz. Perpustakaan itu terdiri atas 40 ruangan yang diisi lebih dari 1,6 juta buku dan sudah tersusun dengan sistem klasifikasi canggih.

Sebagai implikasi dari tingginya sense of science para penguasa masa itu, sampai pada periode sejarah kerajaan-kerajaan kecil (malakut thawaif), kultur semacam ini masih tetap terpelihara. Kerajaan-kerajaan kecil juga sibuk membangun perpustakaan, seperti perpustakaan Nuh Ibn Mansur, salah seorang sultan Bukhara.

Sebagaimana digambarkan Ibnu Sina: ”Setelah memohon dan mendapat izin dari Nuh bin Mansur untuk mengunjungi perpustakaan ini, saya menemukan banyak ruangan yang penuh dengan buku-buku. Sebuah ruangan berisi buku-buku filsafat dan puisi, sementara ruangan lainnya yurisprudensi. Saya membaca katalog dari pengarang kuno dan mendapatkan semua buku yang diperlukan. Di sana banyak sekali buku-buku yang tidak pernah saya temukan sebelumnya,” (Bibliophilism in Medieval Islam, 1938).

Ajang keilmuan

Model-model perpustakaan abad pertengahan yang telah menjadi salah satu tiang penyangga peradaban di era golden age. Bukan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan literatur, tetapi juga berperan sebagai wahana bagi sejumlah aktivitas keilmuan, termasuk riset dan polemik keilmuan. Begitu juga pengunjung perpustakaan, bukan hanya kalangan keluarga kerajaan, juga terbuka untuk seluruh pelajar dari berbagai tingkatan keilmuan.

Sebuah peradaban, sukar dibayangkan bila tanpa buku. Dan, distribusi ilmu pengetahuan akan cepat bergulir bila para penguasa terlibat langsung dalam mendirikan perpustakaan.

Sejak lama, hubungan penguasa dengan buku telah menjadi semacam ”syarat-rukun” dalam menegakkan tiang-tiang penyangga sebuah peradaban. Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap dunia perbukuan itu sendiri adalah juga sebuah lelaku yang beradab sehingga Sardar menyebutnya sebagai civilization of book (peradaban buku). Lalu, sudahkah para penguasa (juga calon penguasa kita hari ini yang sibuk berkampanye) menyadarinya?

Aguk Irawan MN Pengarang, Penerjemah, dan Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah