Kamis, 22 Januari 2009

PERLU DIPIKIRKAN HAJI SISTEM SHIFT


Oleh: A. Khudori Soleh


Haji adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak hanya berdimensi spiritual tetapi juga sosial. Dari aspek spiritual, al-Ghazali menyatakan bahwa haji adalah simbol kesempurnaan Islam dan dan agama (tamâm al-Islâm wa kamâl al-dîn). Artinya, perilaku keberagamaan dan keislaman kita tidak akan dianggap sempurna dan penuh sampai kita mau melakukan ibadah haji. Sementara itu, dari aspek sosial, haji memerlukan dana dan biaya yang tidak kecil. Untuk tahun ini saja, misalnya, paling tidak dibutuhkan dana sekitar 25 juta untuk dapat melakukan ibadah haji. Itu belum termasuk keperluan lain-lain seperti untuk keluarga yang ditinggalkan dan lainnya. Karena itu, al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ibadah haji memang untuk mereka yang mampu melaksanakannya, secara fisik, psikhis dan material (QS. Ali Imran, 97).

Selain itu, haji juga mempunyai dampak sosial yang menarik untuk di cermati. Di beberapa daerah tertentu, ibadah haji bukan hanya meningkatkan kualitas pengalaman keagamaan seseorang, tetapi juga meninggalkan gengsi dan prestise yang melakukannya. Status sosialnya naik setelah berangkat haji. Panggilannya juga berubah. Yang awalnya dipanggil “bapak” atau “ayah”, misalnya, berubah menjadi “abah” dan yang sebelumnya di panggil “ibu” menjadi “ummi”. Karena itu, tidak jarang dijumpai sebagian masyarakat kita berusaha keras agar segera dapat berangkat haji, meski kondisi ekonomi keluarga masih memerlukan perhatian serius. Begitu pula, kita menyaksikan orang-orang tertentu yang senantiasa berangkat setiap tahun, meski telah melakukannya beberapa kali.

Tulisan ini tidak akan mengomentari perilaku haji sebagian masyarakat kita di atas, meski secara sosial perlu direnungkan kembali. Tulisan ini justru akan mendiskusikan pelaksanaan haji yang secara rutin dilakukan pada bulan dzul hijjah setiap tahun. Persoalan ini perlu diangkat karena akhir-akhir ini sering terjadi musibah yang memakan korban dalam pelaksanaan haji, mulai kasus Mina, melempar jumrah dan seterusnya. Bagaimana masalah-masalah tersebut dapat diatasi, setidaknya diminimalisir.

Pelaksanaan Haji

Ibadah haji biasanya dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu, tepatnya tanggal 8-13 bulan dzul hijjah, bulan Besar. Di luar hari dan bulan tersebut tidak dianggap sebagai haji, tetapi hanya sebagai umrah (haji kecil). Sedemikian, sehingga pada hari dan bulan itu, umat Islam dari seluruh penjuru dunia kumpul jadi satu untuk bersama-sama melakukan ibadah haji. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi dan ramainya tanah suci saat itu. Jamaah yang begitu besar, sekitar 3 juta orang dari seluruh dunia, berkumpul di satu tempat yang tidak begitu luas dan waktu yang tidak banyak, untuk bersama-sama melakukan aktivitas ibadah yang bersifat fisik. Kondisi itu belum ditambah dengan kenyataan cuaca yang panas, jamaah yang tua, fisik yang tidak prima, medan yang belum dikenal secara baik dan seterusnya. Akibatnya dapat dipastikan bahwa kecelakaan dan jatuhnya korban tidak dapat terelakkan.

Menghadapi kenyataan itu, sebagian kita –umumnya para penanggung jawab haji-- biasanya ada yang menyalahkan korban dengan menyatakan bahwa kecelakaan itu terjadi karena mereka tidak disiplin. Yang lain menyatakan bahwa hal itu karena faktor nasib, kecelakaan yang tidak disengaja (accident) atau taqdir. Sebagai seorang muslim, kita memang harus menerimanya secara ikhlas, tetapi kita tidak dapat menerima cara-cara menghindari tanggung jawab dengan mencari kambing hitam. Di sini diperlukan solusi konkrit.

Untuk mengatasi kesulitan ibadah seperti di atas, sebagian organisasi keagamaan ada yang menganjurkan agar tidak mencari keutamaan (afdlal), yang penting absah. Melempar jumrah, misalnya, tidak harus ba`d al-zawal (setelah tergelincirnya matahari) melainkan sebelumnya, sehingga kemungkinan jatuh korban akibat berdesakan dengan jamaah lain dapat dihindari. Yang lain mengusulkan agar batas tanah Mina dan Arafah ditambah, sehingga dapat menampung jumlah jamaah pada waktu bersamaan tanpa harus berdesakan.

Sementara itu, Pusat Riset Haji di Universitas Umm al-Qura, Makkah, mengusulkan agar suasana tanah suci sekarang dibentuk lingkungan yang mirip zaman Nabi. Antara lain, sejumlah besar jalur dikhususkan untuk pejalan kaki dan di kelilingi pohon-pohon subur dan daerah-daerah teduh. Jalan-jalan ini menghubungkan antara Makkah dengan Mina, Arafah dengan Muzdalifah, sehingga para peziarah akan dapat berjalan kemana-mana, melakukan upacara selama yang diinginkan, beristirahat di tempat-tempat teduh dan tenggelam dalam lingkungan yang bersejarah. Makkah akan kembali memperoleh sebagian dari kenikmatan dan keindahannya.

Untuk itu pula, menurut mereka, di jalur-jalur utama tidak boleh ada hambatan. Jika seluruh peziarah diumpamakan sebagai sebuah sungai besar, maka masing-masing peziarah adalah setitik air, mengalir, berkelok-kelok, bergerak menuju tujuannya yang alamiah. Mereka akan bergerak dari satu tempat suci dan satu titik upacara ke yang lainnya bagaikan sungai yang beraliran tenang. Akan tetapi, jika penghalang ditempatkan di jalan mereka, dalam bentuk kendaraan-kendaraan, atau jika permukaan sungai diubah secara tiba-tiba dengan adanya jembatan atau terowongan, atau jika aliran alamiah mereka dipercepat atau diperlambat dengan diizinkannya penggunaan mobil-mobil yang menimbulkan kemacetan, maka jelas akan memunculkan gejolak, aliran yang deras atau bahkan air terjun.

Saran, ide dan gagasan-gagasan seperti di atas, jelas sangat membantu dan menjanjikan. Akan tetapi, jamaah haji tidak pernah berkurang setiap tahunnya tetapi justru semakin bertambah. Ketika jamaah semakin membludak, sementara durasi waktu tidak bertambah dan tempat pelaksanaannya tidak berubah, maka pada kondisi tertentu, kecelakaan dan musibah tetap tidak dapat dihindarkan. Artinya, di sini perlu alternatif lain yang bukan sekedar berkaitan dengan tempat. Alternatif yang dimaksud adalah penambahan durasi waktu haji. Maksudnya, perlu dipikirkan bahwa pelaksanaan haji tidak hanya satu kali dalam setahun, melainkan perlu ditambah dua atau bahkan tiga kali dalam setahun, sehingga dapat dilaksanakan secara bergantian (sistem shift); shift pertama, kedua dan ketiga dan seterusnya, dan masing-masing negara diberi bagian shift tersendiri. Dengan pemikiran haji model shift ini, maka pelaksanaan haji dapat terkendalikan dan bahkan pembatasan kuota haji –seperti yang diterapkan selama ini-- dapat dihilangkan, sehingga tidak ada lagi istilah waiting list pada calon jamaah.

Asyhur Ma`lûmât

Gagasan membuat pelaksanaan haji dengan sistem shift ini bukan tanpa dasar. Selain karena alasan praksis, alasan kebutuhan, al-Qur’an sendiri sebenarnya tidak pernah memastikan pelaksanaan haji pada bulan-bulan tertentu sebagaimana yang kita laksanakan. Al-Qur’an hanya menyatakan bahwa haji dilakukan pada bulan-bulan yang dimaklumi (al-hajj asyhur ma`lûmât) (QS. al-Baqarah, 197). Di sini al-Qur’an menggunakan kata-kata asyhur, dalam bentuk jamak atau plural, bukan mufrad, tunggal. Artinya, haji dilakukan bukan pada bulan tertentu melainkan pada bulan-bulan yang dimaklumi. Apa bulan-bulan yang dimaklumi (asyhur ma`lûmât)?

Menurut Imam Malik, dengan mendasarkan diri pada riwayat dari Ibn Umar, Ibn Mas`ud, Atha’ dan Mujahid, yang dimaksud asyhur ma`lûmât adalah bulan Syawal, Dzul Qa`dah dan Dzul Hijjah seluruhnya. Sementara itu, menurut Imam Syafii dan Ahmad, dengan mendasarkan diri pada pendapat Ibn Abbas, al-Suda, al-Sya`bi dan al-Nakha`i, bahwa yang dimaksud asyhur ma`lûmât adalah bulan Syawal, Dzul Qa`dah dan tanggal 9 bulan Dzul Hijjah, sedang menurut Abu Hanifah adalah dua bulan pertama ditambah tanggal 10 Dzul Hijjah (Bidayah al-Mujtahid, I, 238; Rawâi` al-Bayân, I, 197). Meski demikian, menurut al-Shabuni, para ulama (jumhur) sepakat bahwa yang dimaksud asyhur ma`lûmât adalah bulan Syawal, Dzul Qa`dah dan tanggal 10 bulan Dzul Hijjah (Rawâi` al-Bayân, ibid). Hikmah dari perbedaan pendapat para imam madzhab tersebut, menurut Syaukani, adalah bahwa seseorang tetap boleh menjalankan ibadah haji meski telah lewat hari nahr (hari raya qur’an) dan tanpa harus membayar dam (menyembelih binatang denda) (Tafsir Fath al-Qadîr, I, 200).

Berdasarkan berbagai pendapat imam madzhab di atas, jelas bahwa pelaksanaan ibadah haji, sesungguhnya, bukan hanya beberapa hari di bulan Dzul Hijjah, melainkan selama 3 bulan, yakni membentang dari bulan Syawal sampai Dzul Hijjah. Atau paling tidak selama 2 bulan setengah, dari bulan Syawal sampai pertengahan Dzul Hijjah. Jika seperti itu kenyataannya, kenapa kita harus memaksakan diri melakukan ibadah haji pada saat-saat yang padat? Jika demikian kenyataannya, kenapa tidak dipikirkan untuk membuat pelaksanan ibadah haji yang nyaman, aman dan mudah, sehingga para jamaah dapat melakukan ibadahnya secara khusyuk dan tenang?

Jika durasi waktu haji tidak hanya beberapa hari melainkan tiga bulan, maka dapat dipikirkan untuk membuat pelaksanaan haji dengan sistem shift (gantian atau giliran). Jika setiap shift diberi alokasi waktu 15 hari, misalnya, karena pelaksanaan haji sebenarnya telah dapat dilakukan hanya dengan sekitar 5-6 hari, maka durasi waktu 2,5 bulan berarti dapat dibagi menjadi 5 shift. Jika saat ini ada sekitar 3 juta jamaah setiap tahunnya, maka mereka akan dibagi 5 kelompok, sehingga setiap angkatan hanya akan berjumlah sekitar 600 ribu jamaah. Dengan populasi jamaah yang tidak begitu banyak, ditambah pengaturan yang baik dan lingkungan yang teduh seperti disarankan Pusat Riset Haji Arab Saudi, juga dengan saran agar jamaah tidak selalu memburu yang afdlal, maka ibadah haji akan dapat dilakukan secara baik, tenang dan aman. Yang terpenting, kecelakaan dan jatuhnya korban akibat kekisruhan ibadah sedapat mungkin dihindarkan. Mereka telah membayar mahal untuk kepuasan ibadah di tanah suci. Jangan cemari nama baik mereka dengan menudingnya tidak tertib dan tidak disiplin ketika terjadi kecelakaan dan menjadi korban.


A Khudori Soleh, M.Ag adalah dosen UIN Malang dan anggota dewan asatidz PP. Miftahul Huda, Gading, Malang

Minggu, 04 Januari 2009

Apakah Istilah “Allah” Hanya Milik Umat Islam?

Oleh Ulil Abshar Abdalla


Masalahnya adalah bahwa sebagian umat Islam sendiri melakukan sejumlah tindakan yang justru membuat citra Islam itu menjadi buruk. Menurut saya, pendapat ulama dan sikap pemerintah Malaysia itu adalah salah satu contoh tindakan semacam itu. Jika umat Islam menginginkan agar umat lain memiliki pandangan yang positif tentang agama mereka, maka langkah terbaik adalah memulai dari “dalam” tubuh umat Islam sendiri. Yaitu dengan menghindari tindakan yang tak masuk akal. 

SEORANG perempuan beragama Kristen saat ini sedang menggugat pemerintah Malaysia dengan alasan telah melanggar haknya atas kebebasan beragama (baca International Herald Tribune, 29/11/2008). Mei lalu, saat balik dari kunjungan ke Jakarta, Jill Ireland, nama perempuan itu, membawa sejumlah keping DVD yang berisi bahan pengajaran Kristen dari Jakarta. Keping-keping itu disita oleh pihak imigrasi, dengan alasan yang agak janggal: sebab dalam sampulnya terdapat kata “Allah”. 

Sejak tahun lalu, pemerintah Malaysia melarang penerbitan Kristen untuk memakai kata “Allah”, sebab kata itu adalah khusus milik umat Islam. Umat lain di luar Islam dilarang untuk menggunakan kata “Allah” sebagai sebutan untuk Tuhan mereka. Pemakaian kata itu oleh pihak non-Muslim dikhawatirkan bisa membingungkan dan “menipu” umat Islam (Catatan: Sedih sekali ya, umat Islam kok mudah sekali tertipu dengan hal-hal sepele seperti itu?) 

Pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah kata “Allah” hanyalah milik umat Islam saja? Apakah umat lain tidak boleh menyebut Tuhan yang mereka sembah dengan kata “Allah”? Apakah pandangan semacam ini ada presedennya dalam sejarah Islam? Kenapa pendapat seperti itu muncul? 

Sebagai seorang Muslim, terus terang saya tak bisa menyembunyikan rasa geli, tetapi juga sekaligus jengkel, terhadap pandangan semacam ini. Sikap pemerintah Malaysia ini jelas bukan muncul dari kekosongan. Tentu ada sejumlah ulama dan kelompok Islam di sana yang menuntut pemerintah mereka untuk memberlakukan larangan tersebut. 

Di Indonesia sendiri, hal serupa juga pernah terjadi. Beberapa tahun lalu, ada seorang pendeta Kristen di Jakarta yang ingin menghapus kata “Allah” dalam terjemahan Alkitab versi bahasa Indonesia. Menurut pendeta itu, istilah “Allah” bukanlah istilah yang berasal dari tradisi Yudeo-Kristen. Nama Tuhan yang tepat dalam tradisi itu adalah Yahweh bukan Allah. 

Jika usulan untuk melarang penggunaan kata Allah berasal dari dalam kalangan Kristen, tentu saya, sebagai orang luar, tak berhak untuk turut campur. Tetapi jika pendapat ini datang dari dalam kalangan Islam sendiri, maka saya, sebagai seorang Muslim dan “orang dalam”, tentu berhak mengemukakan pandangan mengenainya. 

Pandangan bahwa istilah Allah hanyalah milik umat Islam saja, menurut saya, sama sekali tak pernah ada presedennya dalam sejarah Islam. Sejak masa pra-Islam, masyarakat Arab sendiri sudah memakai nama Allah sebagai sebutan untuk salah satu Tuhan yang mereka sembah. Dalam Quran sendiri, bahkan berkali-kali kita temui sejumlah ayat di mana disebutkan bahwa orang-orang Arab, bahkan sebelum kedatangan Islam, telah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka (baca QS 29:61, 31:25, 39:37, 43:87). Dengan kata lain, kata Allah sudah ada jauh sebelum Islam sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad lahir di tanah Arab. 

Begitu juga, umat Kristen dan Yahudi yang tinggal di kawasan jazirah Arab dan sekitarnya memakai kata Allah sebagai sebutan untuk Tuhan. Para penulis Kristen dan Yahudi juga memakai kata yang sama sejak dulu hingga sekarang. Seorang filosof Yahudi yang hidup sezaman dengan Ibn Rushd di Spanyol, yaitu Musa ibn Maimun (atau dikenal di dunia Latin sebagai Maimonides [1135-1204]) menulis risalah terkenal, Dalalat al-Ha’irin (Petunjuk Bagi Orang-Orang Yang Bingung). Kalau kita baca buku itu, kita akan jumpai bahwa kata Allah selalu ia pakai untuk menyebut Tuhan. 

Semua Bibel versi Arab memakai kata Allah sebagai nama untuk Tuhan. Ayat pertama yang terkenal dalam Kitab Kejadian diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai berikut: Fi al-bad’i khalaqa Allahu al-samawati wa al-ard (baca Al-Kitab al-Muqaddas edisi The Bible Society in Lebanon). Dalam terjemahan versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), ayat itu berbunyi: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. 

Tak seorangpun sarjana Islam yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa ibu mereka, entah pada masa klasik atau modern, yang mem-beslah atau keberatan terhadap praktek yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun itu. Tak seorang pun ulama Muslim yang hidup sezaman dengan Maimonides yang memprotes penggunaan kata Allah dalam buku dia di atas. 

Polemik antara Islam dan Kristen sudah berlangsung sejak masa awal Islam, dan, sejauh pengetahuan saya, tak pernah kita jumpai seorang “mutakallim” atau teolog Muslim yang terlibat perdebatan dengan teolog Kristen atau Yahudi karena memperebutkan kepemilikan atas kata Allah. (Survei terbaik tentang sejarah polemik Islam-Kristen sejak masa awal Islam hingga abad ke-4 H/10 M adalah buku karangan Abdul Majid Al-Sharafi, “Al-Fikr al-Islami fi al-Radd ‘Ala al-Nashara“, 2007). 

Dalam perspektif historis, pandangan sejumlah ulama Malaysia yang kemudian diresmikan oleh pemerintah negeri jiran itu, jelas sangat aneh dan janggal sebab sama sekali tak ada presedennya. Dipandang dari luar Islam, pendapat ulama Malaysia itu juga bisa menjadi bahan olok-olok bagi Islam. Sebab, pandangan semacam itu tiada lain kecuali memperlihatkan cara berpikir yang sempit di kalangan sebagian ulama. Jika para ulama di Malaysia itu mau merunut sejarah ke belakang, kata Allah itu pun juga bukan “asli” milik umat Islam. Kata itu sudah dipakai jauh sebelum Islam datang. Dengan kata lain, umat Islam saat itu juga meminjam kata tersebut dari orang lain. 

Yahudi, Kristen, dan Islam adalah tiga agama yang lahir dari rahim yang sama, yaitu dari tradisi Ibrahim. Islam banyak sekali mewarisi tradisi dan ajaran dari kedua agama itu. Karena asal-usul yang sama, dengan sendirinya sudah lumrah jika terjadi proses pinjam-meminjam antara ketiga agama itu. Selama berabad-abad, ketiga agama itu juga hidup berdampingan di jazirah Arab dan sekitarnya. Tak heran jika terjadi proses saling mempengaruhi antara ketiga tradisi agama Ibrahimiah tersebut. Tradisi Kristiani, misalnya, mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pembentukan Islam, terutama dalam tradisi pietisme atau mistik (baca, misalnya, buku karangan Tarif Khalidi, “The Muslim Jesus: Saying and Stories in Islamic Literature“, 2001). 

Quran sendiri banyak meminjam dari tradisi lain, termasuk dalam konteks istilah-istilah yang berkaitan dengan peribadatan. Hampir semua istilah-istilah ritual yang ada dalam Islam, seperti salat (sembahyang), saum (puasa), hajj, tawaf (mengelilingi ka’bah), ruku’ (membungkuk pada saat salat) dsb., sudah dipakai jauh sebelum Islam oleh masyarakat Arab. 

Dengan kata lain, proses pinjam-meminjam ini sudah berlangsung sejak awal kelahiran Islam. Pandangan ulama Malaysia itu seolah-olah mengandaikan bahwa semua hal yang ada dalam Islam, terutama istilah-istilah yang berkenaan dengan doktrin Islam, adalah “asli” milik umat Islam, bukan pinjaman dari umat lain. Sebagaimana sudah saya tunjukkan, pandangan semacam itu salah sama sekali. 

JIKA demikian, bagaimana kita menjelaskan pendapat yang janggal dari Malaysia itu? Saya kira, salah satu penjelasan yang sederhana adalah melihat masalah ini dari sudut dinamika internal dalam tubuh umat Islam sendiri sejak beberapa dekade terakhir. Sebagaimana kita lihat di berbagai belahan dunia Islam manapun, ada gejala luas yang ditandai oleh mengerasnya identitas dalam tubuh umat. Di mana-mana, kita melihat suatu dorongan yang kuat untuk menetapkan batas yang jelas antara Islam dan non-Islam. Kekaburan batas antara kedua hal itu dipandang sebagai ancaman terhadap identitas umat Islam. 

Penegasan bahwa kata “Allah” hanyalah milik umat Islam saja adalah bagian dari manifestasi kecenderungan semacam itu. Pada momen-momen di mana suatu masyarakat sedang merasa diancam dari luar, biasanya dorongan untuk mencari identitas yang otentik makin kuat. Inilah tampaknya yang terjadi juga pada umat Islam sekarang di beberapa tempat. Kalau kita telaah psikologi umat Islam saat ini, tampak sekali adanya perasaan terancam dari pihak luar. Teori konspirasi yang melihat dunia sebagai arena yang dimanipulasi oleh “kllik” tertentu yang hendak menghancurkan Islam mudah sekali dipercaya oleh umat. Teori semacam ini mudah mendapatkan pasar persis karena bisa memberikan justifikasi pada perasaan terancam itu. 

Keinginan untuk memiliki identitas yang otentik dan “beda” jelas alamiah belaka dalam semua masyarakat. Akan tetapi, terjemahan keinginan itu dalam dunia sehar-hari bisa mengambil berbagai bentuk. Ada bentuk yang sehat dan wajar, tetapi juga ada bentuk yang sama sekali tak masuk akal bahkan lucu dan menggelikan. Pandangan ulama Malaysia yang kemudian didukung oleh pemerintah negeri itu untuk melarang umat Kristen memakai istilah “Allah” adalah salah satu contoh yang tak masuk akal itu. Sebagaimana saya sebutkan di muka, secara historis, pandangan semacam ini sama sekali tak ada presedennya. Selain itu, proses saling meminjam antara Islam, Kristen dan Yahudi sudah berlangsung dari dulu. 

Bayangkan saja, jika suatu saat ada kelompok Yahudi yang berpikiran sama seperti ulama Malaysia itu, lalu menuntut agar umat Islam tidak ikut-ikutan merujuk kepada nabi-nabi Israel sebelum Muhammad — apakah tidak runyam jadinya. Orang Yahudi bisa saja mengatakan bahwa sebagian besar nabi yang disebut dalam Quran adalah milik bangsa Yahudi, dan karena itu umat Islam tak boleh ikut-ikutan menyebut mereka dalam buku-buku Islam. Sudah tentu, kita tak menghendaki situasi yang “lucu” dan ekstrem seperti itu benar-benar terjadi. 

Selama ini umat Islam mengeluh karena umat lain memiliki pandangan yang negatif tentang Islam, dan karena itu mereka berusaha sekuat mungkin agar citra negatif tentang agama mereka itu dihilangkan. Masalahnya adalah bahwa sebagian umat Islam sendiri melakukan sejumlah tindakan yang justru membuat citra Islam itu menjadi buruk. Menurut saya, pendapat ulama dan sikap pemerintah Malaysia itu adalah salah satu contoh tindakan semacam itu. Jika umat Islam menginginkan agar umat lain memiliki pandangan yang positif tentang agama mereka, maka langkah terbaik adalah memulai dari “dalam” tubuh umat Islam sendiri. Yaitu dengan menghindari tindakan yang tak masuk akal. 

Tak ada gunanya umat Islam melakukan usaha untuk mengoreksi citra Islam, sementara mereka sendiri memproduksi terus-menerus hal-hal yang janggal dan tak masuk akal.[] 

Caveat: Mohon maaf kepada teman-teman dan pembaca Malaysia, jika tulisan saya ini terlalu kritis pada pemerintah Malaysia dalam isu yang spesifik ini. Saya sama sekali tidak berpandangan bahwa sikap pemerintah Malaysia itu mewakili sikap seluruh umat Islam di sana. Saya tahu, banyak kalangan Islam di sana yang tak setuju dengan sikap ulama dan pemerintah Malaysia itu. 

Kamis, 01 Januari 2009

Asghar Ali Engineer;Alquran untuk Perempuan dan Kaum Tertindas

 

Oleh: Nurun Nisa’* 


Anak benua India yang senantiasa bergejolak itu melahirkan seorang feminis laki-laki berpengaruh abad ini; Asghar Ali Engineer. Lahir di Rajashtan pada 1940 dari keluarga ulama terpandang, Ali memiliki pengalaman keagamaan yang unik dan menukik. Waktu itu, ayahnya menjadi pemimpin Buhra, salah satu aliran keagamaan yang berkembang pesat di India. Di saat itulah terjadi eksploitasi atas nama agama. Ia menyesalkan keadaan ini. Tapi ia tidak menemukan jalan lain. 

Ali terus bergumul dengan ketidaknyamanan itu. Sampai pada satu titik, Ali menemukan kesimpulan yang memprihatinkan; bahwa institusi keagamaan dapat dijadikan sebagai pemuas ambisi penguasa. Sementara di sisi yang lain, Ali meyakini bahwa tujuan agama adalah memperkaya kehidupan batin dan mendekatkan diri kepada Allah—seperti yang didapatkannya ketika membaca Alquran. Ada kontradiksi, tetapi ia terus bergumul dengan keadaan itu.  

Pergumulan ini akhirnya membentuk sebuah sintesa tiga besar sebagaimana termuat dalam artikelnya yang bertajuk What I Believe (1999). Pertama, mengenai hubungan antara akal dan wahyu yang saling menunjang. Kedua, fanatisme dan sektarianisme keagamaan adalah merusak karena cenderung menggiring manusia untuk mengumandangkan truth claim—yang dengannya keyakinan tertentu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dan yang lain adalah salah. Ketiga, mengenai watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan empati terhadap penderitaan kelompok masyarakat lemah.  

Pemikiran-pemikiran ini kemudian dipadatkan menjadi tema Islam sebagai ideologi pembebasan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan keberagaman. Dua tema terdepan akan menjadi pembahasan tulisan ini.  

**** 

Islam sebagai ideologi pembebasan ditunjukkan dalam bukunya yang bertajuk Islam and Liberation Theology (1990) yang di-Indonesia-kan menjadi Teologi Pembebasan. Teologi pembebasan ala Ali berlandaskan pada Alquran dan sejarah Nabi saw. Mungkin inilah yang membedakan dengan teologi pembebasan gaya Amerika Latin yang bersandar hanya kepada Kitab Injil semata. Teologi pembebasan yang dimaksud Ali bersifat konkret, kontekstual, dan praksis. Ia berada pada realitas kekinian dan bertolak dari kondisi sosial yang ada. Ia juga merupakan refleksi dan aksi iman dan amal—sebuah produk pemikiran yang diikuti dengan praksis pembebasan. Ia ditujukan kepada kaum mustadh’afin (kaum yang dilemahkan oleh sistem), termasuk perempuan.

Alquran dalam hal ini menekankan pada umatnya agar menyantuni anak yatim, menegakkan keadilan, dan menekankan agar kekayaan tidak hanya berputar di segelintir orang. Ini juga dipraktikkan Nabi saw. seperti termuat dalam sirah nabawiyyah. Sejarah Nabi, bagi Ali, adalah sejarah perubahan sosial untuk menentang sistem yang timpang. Penolakan masyarakat Quraisy bagi Ali, lebih dikarenakan faktor ekonomi daripada faktor agama. Mereka yang menentang takut jika hegemoni ekonomi yang ada di genggaman mereka terganggu. Dengan itu, tanpa ragu, Ali mengatakan bahwa Nabi adalah seorang revolusioner—tidak hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam tindakan. Lewat praksis ia berjuang untuk mengadakan perubahan sosial pada masanya.  

Nabi, menurut Ali, adalah suara reformasi masa itu. Dalam hal ini, Nabi juga berkomitmen kepada perubahan nasib perempuan. Harkat dan martabat perempuan ditinggikan setahap demi setahap oleh Nabi; mulai dari hak mengakses ilmu dan informasi, pembatasan poligami hingga hak atas warisan yang selama kurun itu dinafikan oleh adat atau tradisi Arab.  

****

Konsen Ali pada teologi pembebasan yang memihak perempuan makin kuat nuansanya, ketika lahir buku barunya dua tahun kemudian. Buku bertitel The Rights of Women in Islam (1992) itu mengkonstruksi tafsir Alquran yang pro kesetaraan laki-laki dan perempuan. 

Seperti diketahui, beberapa ayat Alquran merupakan ayat yang berwajah ganda. Misalnya saja ayat tentang poligami dan kepemimpinan perempuan. Poligami dianggap diperbolehkan, sementara yang lain mengatakan itu sebagai dalil monogami berdasarkan QS. al-Nisa’: 3. Demikian juga ayat tentang kepemimpinan perempuan. 

Perwajahan ganda ini muncul akibat pembacaan yang tidak fair terhadap ayat-ayat Alquran. Yakni, mengambil pesan sebuah ayat sembari mengabaikan spirit yang mendasari ayat itu turun. Ali kemudian menyodorkan sebuah metodologi demi mengatasi hal ini. Ali mengajukan dua konsep: ayat normatif dan ayat kontekstual. Ayat normatif, bersifat das solen, “yang seharusnya”. Ia merupakan ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan normatif atau mengandung nilai universal sehingga berlaku sepanjang masa. Sementara ayat kontekstual adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan kontekstual atau berkait dengan keadaan masyarakat ketika itu. Ia bersifat das sein, ‘yang senyatanya’.  

Tujuan pembedaan antara ayat normatif dan ayat kontekstual adalah untuk mengetahui perbedaan antara yang sebenarnya diinginkan oleh Allah dan yang dibentuk oleh realitas masyarakat pada waktu itu. Keduanya merupakan kekayaan Alquran. Sebab Kitab Suci ini tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris.  

Ayat-ayat berwajah dua di atas dikategorikan oleh Ali sebagai ayat konstekstual. Ia berlaku sesuai konteks ketika ayat itu diturunkan. Poligami diperbolehkan pada zaman Nabi sebab ia diyakini jalan yang ampuh untuk mengangkat martabat perempuan yang terpuruk saat itu. Kini zaman sudah berubah. Perempuan sudah (lumayan) baik posisinya di masyarakat. Poligami menjadi sebuah anjuran atas nama memuliakan perempuan? Tidak, kata Ali. Ayat tentang penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan, dari esensi yang sama (QS. al-Nisa’: 1), pemuliaan semua anak Adam (QS. al-Isra’: 70), dan pemberian pahala yang sama bagi yang bertakwa, baik laki-laki ataupun perempuan (QS. al-Ahzab: 35) merupakan contoh ayat normatif. 

Ali juga menegaskan bahwa sesungguhnya Alquran menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tapi konteks sosial ketika itu tidak dapat menerima hal demikian. Jika dipaksakan, maka dakwah Nabi akan mengalami kesulitan besar. 

****

Ikhtiar Ali untuk mengentaskan perempuan dari penistaannya sebagai manusia yang bermartabat dan setara dengan laki-laki tentu patut disaluti. Tetapi, beberapa pihak tetap saja menaruh antipati kepada perjuangan lulusan teknik sipil Vikram University ini—baik secara pribadi maupun tidak.  

Dalam makalah Western Feminism or Rights of Women in Islam (2003), Ali, misalnya menanggapi tuduhan bahwa feminis Islam—termasuk dirinya—telah menukil nilai-nilai Barat demi memperjuangkan kesetaraan gender. Bukan menjawab dengan emosional, tetapi ia malah balik bertanya; kalau ya, memangnya kenapa? Baginya, inspirasi untuk memperjuangkan perempuan dapat diambil dari manapun asalkan baik dan bermanfaat—termasuk dari Barat.  

Ia juga mendapat tentangan dari komunitasnya, Dawood Bohra Community, bahkan ketika bakat kritisnya (baru) tumbuh. Waktu itu ia bertanya kepada kepala komunitasnya terkait prinsip keagamaan Bohra. Bukan dijawab, Ali malah diasingkan dan dieks-komunikasikan dari komunitas itu pada tahun 1977.  

Toh begitu ia tetap tegar. Ia terus berjuang; menulis, berpidato, dan melakukan aksi-aksi nyata. Ali pun dianugerahi berbagai penghargaan dari bermacam kalangan berkat komitmen kuatnya atas kaum tertindas, utamanya kaum perempuan. Wallahu a’lam.]

*Warga komunitas SEROJA; Studi dan Aksi Perempuan, Ciputat. Kini bergiat di The WAHID Institute dan alumni pelatihan Tadarus Mahasiswa Rahima.