Oleh: Nurun Nisa’*
Ali terus bergumul dengan ketidaknyamanan itu. Sampai pada satu titik, Ali menemukan kesimpulan yang memprihatinkan; bahwa institusi keagamaan dapat dijadikan sebagai pemuas ambisi penguasa. Sementara di sisi yang lain, Ali meyakini bahwa tujuan agama adalah memperkaya kehidupan batin dan mendekatkan diri kepada Allah—seperti yang didapatkannya ketika membaca Alquran. Ada kontradiksi, tetapi ia terus bergumul dengan keadaan itu.
Pergumulan ini akhirnya membentuk sebuah sintesa tiga besar sebagaimana termuat dalam artikelnya yang bertajuk What I Believe (1999). Pertama, mengenai hubungan antara akal dan wahyu yang saling menunjang. Kedua, fanatisme dan sektarianisme keagamaan adalah merusak karena cenderung menggiring manusia untuk mengumandangkan truth claim—yang dengannya keyakinan tertentu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dan yang lain adalah salah. Ketiga, mengenai watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan empati terhadap penderitaan kelompok masyarakat lemah.
Pemikiran-pemikiran ini kemudian dipadatkan menjadi tema Islam sebagai ideologi pembebasan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan keberagaman. Dua tema terdepan akan menjadi pembahasan tulisan ini.
****
Islam sebagai ideologi pembebasan ditunjukkan dalam bukunya yang bertajuk Islam and Liberation Theology (1990) yang di-Indonesia-kan menjadi Teologi Pembebasan. Teologi pembebasan ala Ali berlandaskan pada Alquran dan sejarah Nabi saw. Mungkin inilah yang membedakan dengan teologi pembebasan gaya Amerika Latin yang bersandar hanya kepada Kitab Injil semata. Teologi pembebasan yang dimaksud Ali bersifat konkret, kontekstual, dan praksis. Ia berada pada realitas kekinian dan bertolak dari kondisi sosial yang ada. Ia juga merupakan refleksi dan aksi iman dan amal—sebuah produk pemikiran yang diikuti dengan praksis pembebasan. Ia ditujukan kepada kaum mustadh’afin (kaum yang dilemahkan oleh sistem), termasuk perempuan.
Alquran dalam hal ini menekankan pada umatnya agar menyantuni anak yatim, menegakkan keadilan, dan menekankan agar kekayaan tidak hanya berputar di segelintir orang. Ini juga dipraktikkan Nabi saw. seperti termuat dalam sirah nabawiyyah. Sejarah Nabi, bagi Ali, adalah sejarah perubahan sosial untuk menentang sistem yang timpang. Penolakan masyarakat Quraisy bagi Ali, lebih dikarenakan faktor ekonomi daripada faktor agama. Mereka yang menentang takut jika hegemoni ekonomi yang ada di genggaman mereka terganggu. Dengan itu, tanpa ragu, Ali mengatakan bahwa Nabi adalah seorang revolusioner—tidak hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam tindakan. Lewat praksis ia berjuang untuk mengadakan perubahan sosial pada masanya.
Nabi, menurut Ali, adalah suara reformasi masa itu. Dalam hal ini, Nabi juga berkomitmen kepada perubahan nasib perempuan. Harkat dan martabat perempuan ditinggikan setahap demi setahap oleh Nabi; mulai dari hak mengakses ilmu dan informasi, pembatasan poligami hingga hak atas warisan yang selama kurun itu dinafikan oleh adat atau tradisi Arab.
****
Konsen Ali pada teologi pembebasan yang memihak perempuan makin kuat nuansanya, ketika lahir buku barunya dua tahun kemudian. Buku bertitel The Rights of Women in Islam (1992) itu mengkonstruksi tafsir Alquran yang pro kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Seperti diketahui, beberapa ayat Alquran merupakan ayat yang berwajah ganda. Misalnya saja ayat tentang poligami dan kepemimpinan perempuan. Poligami dianggap diperbolehkan, sementara yang lain mengatakan itu sebagai dalil monogami berdasarkan QS. al-Nisa’: 3. Demikian juga ayat tentang kepemimpinan perempuan.
Perwajahan ganda ini muncul akibat pembacaan yang tidak fair terhadap ayat-ayat Alquran. Yakni, mengambil pesan sebuah ayat sembari mengabaikan spirit yang mendasari ayat itu turun. Ali kemudian menyodorkan sebuah metodologi demi mengatasi hal ini. Ali mengajukan dua konsep: ayat normatif dan ayat kontekstual. Ayat normatif, bersifat das solen, “yang seharusnya”. Ia merupakan ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan normatif atau mengandung nilai universal sehingga berlaku sepanjang masa. Sementara ayat kontekstual adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan kontekstual atau berkait dengan keadaan masyarakat ketika itu. Ia bersifat das sein, ‘yang senyatanya’.
Tujuan pembedaan antara ayat normatif dan ayat kontekstual adalah untuk mengetahui perbedaan antara yang sebenarnya diinginkan oleh Allah dan yang dibentuk oleh realitas masyarakat pada waktu itu. Keduanya merupakan kekayaan Alquran. Sebab Kitab Suci ini tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris.
Ayat-ayat berwajah dua di atas dikategorikan oleh Ali sebagai ayat konstekstual. Ia berlaku sesuai konteks ketika ayat itu diturunkan. Poligami diperbolehkan pada zaman Nabi sebab ia diyakini jalan yang ampuh untuk mengangkat martabat perempuan yang terpuruk saat itu. Kini zaman sudah berubah. Perempuan sudah (lumayan) baik posisinya di masyarakat. Poligami menjadi sebuah anjuran atas nama memuliakan perempuan? Tidak, kata Ali. Ayat tentang penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan, dari esensi yang sama (QS. al-Nisa’: 1), pemuliaan semua anak Adam (QS. al-Isra’: 70), dan pemberian pahala yang sama bagi yang bertakwa, baik laki-laki ataupun perempuan (QS. al-Ahzab: 35) merupakan contoh ayat normatif.
Ali juga menegaskan bahwa sesungguhnya Alquran menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tapi konteks sosial ketika itu tidak dapat menerima hal demikian. Jika dipaksakan, maka dakwah Nabi akan mengalami kesulitan besar.
****
Ikhtiar Ali untuk mengentaskan perempuan dari penistaannya sebagai manusia yang bermartabat dan setara dengan laki-laki tentu patut disaluti. Tetapi, beberapa pihak tetap saja menaruh antipati kepada perjuangan lulusan teknik sipil Vikram University ini—baik secara pribadi maupun tidak.
Dalam makalah Western Feminism or Rights of Women in Islam (2003), Ali, misalnya menanggapi tuduhan bahwa feminis Islam—termasuk dirinya—telah menukil nilai-nilai Barat demi memperjuangkan kesetaraan gender. Bukan menjawab dengan emosional, tetapi ia malah balik bertanya; kalau ya, memangnya kenapa? Baginya, inspirasi untuk memperjuangkan perempuan dapat diambil dari manapun asalkan baik dan bermanfaat—termasuk dari Barat.
Ia juga mendapat tentangan dari komunitasnya, Dawood Bohra Community, bahkan ketika bakat kritisnya (baru) tumbuh. Waktu itu ia bertanya kepada kepala komunitasnya terkait prinsip keagamaan Bohra. Bukan dijawab, Ali malah diasingkan dan dieks-komunikasikan dari komunitas itu pada tahun 1977.
Toh begitu ia tetap tegar. Ia terus berjuang; menulis, berpidato, dan melakukan aksi-aksi nyata. Ali pun dianugerahi berbagai penghargaan dari bermacam kalangan berkat komitmen kuatnya atas kaum tertindas, utamanya kaum perempuan. Wallahu a’lam.]
*Warga komunitas SEROJA; Studi dan Aksi Perempuan, Ciputat. Kini bergiat di The WAHID Institute dan alumni pelatihan Tadarus Mahasiswa Rahima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar