Sabtu, 19 September 2009

JK dan Gusti Allah "Ora Sare"

Oleh Andi Suruji

Tuhan tidak tidur. Bahkan, Dia tidak akan tidur. Dengan kemahakuasaan-Nya, Dia-lah yang mengatur dunia dan segala isinya, serta perputaran sistem tata kehidupan manusia. Karena ketidaktidurannya itulah Sang Khalik mengetahui pasti dan sangat detail apa saja yang telah dan akan terjadi.

Ini bukanlah cuplikan renungan puasa bulan Ramadhan. Bukan pula khotbah Idul Fitri. Ini hanya terinspirasi dari sebuah judul berita di harian ini tempo hari, ”JK: Gusti Allah ’Ora Sare’”.

Pernyataan ora sare (bahasa Jawa) Wakil Presiden itu menyentak. Selama ini, Jusuf Kalla (JK) tak pernah terdengar mengutip ungkapan Bugis walaupun ia seorang Bugis. Padahal, orang Bugis juga memiliki banyak ungkapan perumpamaan bernilai tinggi, sebagaimana bahasa Jawa, Melayu, Sunda, Batak, dan bahasa lainnya.

Ketika JK mengungkapkan sesuatu dengan bahasa ”orang lain”, bukan berarti JK sudah kehilangan jati dirinya sebagai orang Bugis, ”manusia sabrang” istilah Syafii Maarif bagi JK. Jangan pula salah! Seberapa pun kadarnya, ”kejawaan” setidaknya ada juga dalam kehidupan JK. Dua menantunya orang Jawa. Istrinya adalah orang Minang. Tidak heran jika banyak orang mencap JK sebagai nasionalis tulen.

Boleh jadi, ora sare-nya JK bermakna lain, untuk menegaskan apa yang ada di benaknya, yang tidak bisa tergambarkan dan dipahami kebanyakan orang jika diungkapkan dengan bahasa lain, seperti bahasa Indonesia, apalagi bahasa Bugis.

Biarlah JK sendiri yang merasakan makna ungkapan Jawa itu dari lubuk hatinya yang paling dalam. Pembaca pun tak dilarang menafsirkan lebih jauh, lebih luas, dan lebih dalam makna di balik pernyataan JK tersebut. Apakah itu sekadar lucu-lucuan menjelang buka puasa, gurauan di antara pidato resmi, letupan kekecewaan, atau kekesalan.

Kalau pembaca tak keberatan, saya hanya coba menangkap yang dirasakan maupun yang disimpan rapat dalam hati JK sehingga lahir ucapan itu.

Pertama-tama, ungkapan itu diucapkan di hadapan tim sukses dan pendukungnya yang telah bekerja keras siang dan malam. Mereka memang sering tidak tidur, ora sare, untuk memenangkan pasangan JK-Wiranto dalam pemilu presiden dan wakil presiden pada 8 Juli 2009.

Seperti ungkapannya, dan saya saksikan sendiri karena beberapa kali bertemu di rumah jabatan selama masa kampanye pilpres, JK pun kadang memang seperti ora sare, tidak tidur. Sampai larut malam, bahkan dini hari, JK belum tidur dan terus menerima kedatangan tamu yang mengalirkan pernyataan kelompoknya mendukung penuh.

Kadang hingga dini hari, JK belum juga istirahat karena masih harus rapat, menyusun strategi, dan menghitung kekurangan dan kekuatan secara cermat. Padahal, pagi buta ia dan timnya masih harus berangkat lagi ke penjuru Nusantara yang dicita- citakannya senantiasa menyatu dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak tercabik-cabik konflik akibat ketidakadilan. Harmonis dalam taraf kesejahteraan rakyatnya. Berdiri sama tegak dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini.

Betapa lelah JK memperjuangkan misinya yang mulia dan terhormat itu. Bukan ambisi kekuasaannya, apalagi keserakahannya mengejar takhta dan harta. ”Eeh kalian harus tahu. Saya, walaupun tidak duduk di sini, di mana pun saya kelak, kalau bisa berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara ini, itu sudah sangat membahagiakan saya,” kata JK dalam suatu perbincangan di ruang kerjanya.

Ia sudah cukup kaya raya untuk hidup tenang pada masa tua. Selama 40 tahun lebih jadi pengusaha, sudah cukuplah uangnya untuk membiayai kegiatan apa saja yang hendak dilakukannya. ”Kita jalan-jalan saja, tanpa protokol, tanpa ajudan, dan pengawal serta pengamanan,” katanya kepada saya dalam suatu percakapan tengah malam di rumah jabatan ketika perhitungan perolehan suara JK dan rivalnya makin timpang. ”Baik, Pak. Nanti saya jadi ajudan Bapak,” kata saya, dan dia tertawa lebar.

Kubu JK-Wiranto bukan tak berduka. Mereka kalah telak. Sangat jauh melenceng dari kalkulasi semula. Tetapi JK tak larut dalam kesedihan berkepanjangan. Seorang putrinya menyatakan, ”Kami semua bersedih. Tetapi kami malu sama Bapak (JK) karena dia tidak pernah bersedih, selalu menampakkan ketegarannya menghadapi kenyataan ini.”

”Kita semua sudah bekerja keras. Allah yang Mahatahu. Allah yang mengatur dan menentukan semua ini,” kata JK.

JK memang ora sare. Tidurnya yang banyak justru ketika dalam penerbangan. Gusti Allah juga ora sare. Dia bersama JK, setiap saat, dalam penerbangan dan cuaca yang sangat buruk dan menakutkan sekalipun. Hasil kerja keras JK tidak sesuai harapannya. Dia terima semua itu sebagai takdir. Dia telah berjuang dan berupaya keras untuk menjemput takdirnya.

Sejauh yang teramati secara cermat, baru dalam pemilu kali ini terjadi semua ormas Islam bersatu padu mendukung satu orang, yakni JK. Namun, seperti dikatakan banyak orang, seolah ada pula tangan jahat turut campur sehingga hasilnya sangat mencengangkan. Ada yang mengatakan, perolehan suara JK-Wiranto tidak masuk akal. Ada pengkhianatan dan kecurangan.

Namun, biarlah, Gusti Allah pasti ora sare.

Kita berharap, dengan segala pengalaman bisnisnya, memimpin Golkar dan menjadi wakil presiden yang dinamis, penuh terobosan, nyaris tak tidur untuk bekerja keras dan tulus, tetap ora sare mengoreksi hal-hal yang salah, curang, dan berbagai ketidakadilan lainnya di negeri ini.

Idul Fitri dan Asketisme Sosial


Sabtu, 19 September 2009 | 02:51 WIB

Oleh HM Amin Abdullah

Salah satu hari besar Islam yang paling fenomenal dan monumental adalah Idul Fitri. Secara asketis, Idul Fitri sering disebut sebagai momen penyucian diri kembali pada sifat fitri setiap manusia.

Namun, perayaan yang bersifat masif, serentak, dan penuh sukacita itu justru telah menggeser Idul Fitri dari makna transendennya. Di sini, Idul Fitri tidak lagi bermakna perayaan kemenangan dari ritual olah batin dan fisik sebagai laku asketis selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Idul Fitri telah masuk perangkap semiotika dalam berbagai dimensi kehidupan sosial dan kebudayaan kontemporer.

Secara sosial, Idul Fitri merupakan saat paling ditunggu-tunggu setiap orang, bahkan oleh narapidana yang berharap mendapat remisi. Idul Fitri juga mampu menggerakkan arus besar migrasi masyarakat urban, bahkan perputaran keuangan saat mudik, berlangsung secara masif sebagai suatu ritual sosial.

Tidak hanya itu, secara subtil Idul Fitri mampu mendorong pejabat membuka hati dan pintu rumahnya untuk saling memberi maaf kepada sesama dan kaum papa, dan kini menjadi tren silaturahim massal. Sedangkan dalam kebudayaan kontemporer, Idul Fitri menjadi ajang munculnya berbagai kebudayaan populer melalui penampakan tren busana yang selalu berganti setiap Lebaran atau hadirnya berbagai ragam musik dan jenis hiburan religius.

Pendek kata, Idul Fitri bukan saja sarat makna asketistik-spiritualistik yang bersifat transenden, tetapi benar-benar tumpah dalam bentangan luas fenomena sosial. Meski demikian, justru di sinilah letak paradoks makna Idul Fitri. Jika secara asketis Idul Fitri bermakna penyucian diri yang dirayakan setiap tahun, mengapa bangsa yang mayoritas berpenduduk Muslim ini belum beranjak ke arah penyucian diri sebagai sebuah bangsa?

Nafsu libidinal

Sebagai bangsa yang religius secara jujur harus mengakui, segala dimensi kehidupan kita masih menunjukkan nafsu libidinal yang tinggi terhadap segala bentuk kebutuhan materiil dan imateriil. Dalam sektor politik misalnya, nafsu libidinal imateriil itu mewujud dalam praktik pencitraan atau pembentukan pesona tiada henti sehingga yang tersaji hanya kepalsuan-kepalsuan. Demikian juga dalam sektor sosial. Nafsu libidinal menampakkan bentuknya dalam konsumsi gengsi dan corak mode tingkat tinggi sehingga mampu menstrukturisasi kelas masyarakat.

Sementara dalam sektor agama, nafsu libidinal justru gamblang terlihat dalam berbagai simulasi religius sehingga yang muncul adalah spiritualisme artifisial yang semu penuh kepura-puraan. Puncak nafsu libidinal material secara nyata dapat dilihat dalam berbagai praktik korupsi yang belakangan kian merajalela menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nafsu libidinal seakan menyumbat saraf sensitivitas sosial kita. Kita tidak lagi menjadi peka terhadap penderitaan orang lain seperti fakir miskin, korban gempa, atau siapa pun yang kurang beruntung pada perayaan Idul Fitri tahun ini. Kepedulian terhadap sesama seakan selesai dan berhenti seiring ditunaikannya kewajiban membayar zakat fitrah pada malam Idul Fitri. Kesalehan individual yang dibentuk dalam Ramadhan tidak meluber dalam bentuk kesalehan sosial.

Padahal, kesalehan individual seharusnya berdiri sebangun dengan kesalehan sosial. Ketimpangan itu dimungkinkan terjadi karena puasa yang dijalankan bersifat seremonial religius sebatas menahan haus dan lapar. Jika benar, mungkin tepat sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga, karena intisari dan hikmah puasa belum menyentuh kesadaran paling dalam umat dan belum mampu membentuk pribadi manusia beragama/beriman yang matang, utuh, tangguh, yang dapat mempertautkan kesalehan individu, kesalehan sosial, dan kesalehan lingkungan dalam kehidupan luas.

Ritus peralihan

Falsafah ibadah puasa menegaskan perlunya dilakukan ”turun mesin” kejiwaan selama sebulan dalam setiap tahun. ”Turun mesin” merupakan proses meneliti, memeriksa onderdil dan hal-hal yang rusak, serta memperbaiki total.

Saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua harus transparan, akuntabel, rela diperiksa, dikoreksi, dan diperbaiki. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per satu lalu dilakukan perbaikan.

Karena itu, kegunaan praktis ibadah puasa adalah sebagai titik balik perubahan dan ritus peralihan. Berubah dan beralih dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik sehingga terbentuk kepribadian yang memiliki cara pandang yang inspiratif (membawa ide-ide segar), inovatif (mampu memperbaiki dan memperbarui), kreatif (mampu menciptakan pilihan baru), dan transformatif (dapat mengubah) dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Di sinilah makna keberagamaan yang sehat mewujud karena memiliki kemampuan membawa perubahan hidup yang dinamis, menggugah, dan imperatif.

Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, pandangan dunia, dan etos keagamaan baru setelah mengalami turun mesin sebulan adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkan ibadah puasa. Laisa al-’id liman labisa al-jadid, wa lakinna al-’idu liman taqwa hu yazid (Hari raya Idul Fitri bukan bagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang-orang yang takwanya bertambah). Yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan, semangat, dan etos untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial-kemasyarakatan, sosial-politik, berbangsa dan bernegara dengan landasan keagamaan yang otentik.

Nilai-nilai yang mendasar dan tujuan pokok ini sering tidak tampak di permukaan karena tertindih semangat dan sibuknya orang menyiapkan hal-hal terkait puasa berupa sahur dan berbuka pada bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar’iy ibadah puasa, umat Islam selalu dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan sehari-hari dalam masa sebelas bulan mendatang.

HM Amin Abdullah Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Idul Fitri, Berpaling kepada Kaum Miskin


Sabtu, 19 September 2009 | 02:33 WIB

Oleh Paulinus Yan Olla

Menjelang berakhirnya bulan suci Ramadhan, Vatikan dalam tujuh butir pesan mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri.

Selain itu, Vatikan juga mengajak umat Islam dan Kristiani di seluruh dunia untuk berjuang mengatasi kemiskinan (Pontifical Council for Inter-religious Dialogue, Message for the End of Ramadan, 11 September 2009).

Dalam rangka perayaan sebuah pesta, ajakan itu terasa janggal, tetapi ia menjadi rambu peringatan bagi umat beragama. Pesan tersiratnya, hari sepenting Idul Fitri hendaknya tidak disempitkan maknanya sebatas berbagai perayaan superfisial sehingga akan hilang pengaruhnya pada kehidupan ketika pesta berakhir.

Tindakan membersihkan para pengemis dan menghukum mereka yang membantu orang miskin di jalan-jalan di kota Jakarta pada bulan Ramadhan, yang mendapat pemberitaan internasional, patut menjadi bahan permenungan dan evaluasi etis (The New York Times, 5/9). Di mana pun kaum miskin selalu menjadi gangguan. Kemiskinan menjadi gugatan bagi penguasa yang mengklaim kesuksesan program pemerintahannya. Ia mempertanyakan pula kedalaman solidaritas kaum humanis.

Kemiskinan

Bagi umat beragama, wajah orang miskin menantang dan mengundang jawaban iman. Kemiskinan sejatinya menampilkan tidak hanya soal sosial-politis atau sekadar masalah ketertiban umum, tetapi menyentuh martabat manusia yang ternoda.

”Ia merendahkan martabatnya dan tidak jarang menjadi penyebab keterasingan, kemarahan, bahkan kebencian dan hasrat untuk membalas dendam,” lanjut pesan Ramadhan Vatikan.

Ketika agama-agama dituduh menjadi sumber lahirnya kekerasan dan terorisme, ajakan untuk berpaling kepada kaum miskin menyodorkan babak baru relasi Kristen dan Islam ke tingkat yang lebih dalam (pesan no 7). Dialog kedua agama diarahkan dan ditingkatkan kualitasnya untuk menanggapi aneka masalah kemanusiaan (kemiskinan) yang paling mendesak dan kini membelenggu dunia.

Arah ini sejalan pemikiran filsuf-pembaru Muslim, Muhammad Iqbal (1877-1938), yang yakin, Al Quran adalah kitab yang mengutamakan perbuatan daripada gagasan. Menurut dia, perbuatanlah yang membentuk esensi dan bobot manusia (Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam). Dalam kerangka pemikiran demikian, kualitas keimanan kaum beragama harus ditampakkan dan diuji dalam perbuatan yang memihak mereka yang miskin, terabaikan.

Kemiskinan menjadi tantangan keagamaan karena perhatian terhadap kaum miskin ada pada jantung ajaran agama-agama. Perhatian, bela rasa, dan bantuan tanpa pamrih terhadap kaum miskin menjadi bukti hidup kasih Allah, sebab itulah yang menjadi kehendak-Nya.

Bila diyakini, bumi dan isinya untuk semua orang, maka di sana ada tuntutan etis, tidak seorang pun boleh dibiarkan tanpa bantuan dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup layak sebagai manusia. Oleh negara, kaum miskin hendaknya tidak hanya dilihat sebagai beban, tetapi sebagai sumber kekayaan.

Pengentasan orang miskin perlu menghindarkan berbagai kebijakan yang hanya menjadikan kaum miskin sebagai obyek. Begitupun makanan dan minuman jangan hanya dilihat sebagai kebutuhan dasar, tetapi terutama sebagai ”hak-hak dasar manusia” (Benediktus XVI, Lettera all’onorevole Silvio Berlusconi, in occasione del G-8, 1/7, 2009).

Indonesia

Di Indonesia, kemiskinan tahun 2009 berkisar 15,42 persen. Artinya, ada 34,96 juta orang Indonesia hidup melarat dan perlu pemberdayaan (Kompas, 6/4). Situasi ini harus diubah dengan memerhatikan suara-suara yang nyaring mengingatkan, menghadapi krisis ekonomi global diperlukan sistem ekonomi baru. Kebaruannya terletak dalam tuntutan agar ekonomi tidak dijalankan hanya berdasar hukum ekonomis. Krisis ekonomi global menunjukkan, ekonomi memerlukan prinsip-prinsip etis karena ia sendiri tidak mampu menjawab aneka masalah etis yang dimunculkannya.

Dialog keagamaan untuk mengentaskan orang miskin jelas sebuah agenda yang muncul dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan tantangan keagamaan dan etis. Tantangan untuk berpaling kepada kaum miskin pada hari Idul Fitri kiranya perlu membangkitkan kaum beragama tekad membebaskan kaum miskin dari perbudakan atas kemanusiaannya.

Sumbangan kaum beragama dalam mengatasi kemiskinan bersumber kekayaan nilai-nilai etis. Agama-agama diharapkan menjalin solidaritas global, misalnya dengan penerapan ”kode etik bersama” yang norma-normanya menghormati martabat manusia yang terluka oleh kemiskinan. Kaum beragama dipanggil merintis jalan etis agar tercipta kondisi sosial-kultural dan politis yang memungkinkan kaum miskin bertanggung jawab kepada diri sendiri.

Jalan itu masih panjang karena di negeri ini masih diperlukan hukum yang prokeadilan, politisi yang tidak mudah tergiur korupsi, dan masih dinantikan pejabat-negarawan yang tidak mengkhianati kaum miskin karena putusan-putusannya berlandaskan nilai-nilai etis prorakyat. Selamat Idul Fitri.

Paulinus Yan Olla MSF Rohaniwan; Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma; Bekerja dalam Dewan Kongregasi MSF di Roma, Italia

Minggu, 13 September 2009

Kolom Adian Husaini, M.A: Ketika Dosen Syariah Merusak Syariah

Kolom Adian Husaini, M.A: Ketika Dosen Syariah Merusak Syariah: "Ketika Dosen Syariah Merusak Syariah"

Kolom Adian Husaini, M.A: Negara Islam atau Negara Sekular ?

Kolom Adian Husaini, M.A: Negara Islam atau Negara Sekular ?: "Negara Islam atau Negara Sekular ?"

Kolom Adian Husaini, M.A: Jangan Memfitnah Buya HAMKA

Kolom Adian Husaini, M.A: Jangan Memfitnah Buya HAMKA: "Jangan Memfitnah Buya HAMKA"

Kolom Adian Husaini, M.A: Seminar Tentang Islam Liberal di Malaysia

Kolom Adian Husaini, M.A: Seminar Tentang Islam Liberal di Malaysia: "Seminar Tentang Islam Liberal di Malaysia"

Kolom Adian Husaini, M.A: Ada Apa dengan Syafii Maarif ?

Kolom Adian Husaini, M.A: Ada Apa dengan Syafii Maarif ?: "Ada Apa dengan Syafii Maarif ?"

Kolom Adian Husaini, M.A: Pornografi dan Liberalisme

Kolom Adian Husaini, M.A: Pornografi dan Liberalisme: "Pornografi dan Liberalisme"

Kolom Adian Husaini, M.A: Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Qur’an

Kolom Adian Husaini, M.A: Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Qur’an: "Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Qur’an"

Kolom Adian Husaini, M.A: Rusak atau tidaknya Agama Islam, Lihatlah Ulamanya....

Kolom Adian Husaini, M.A: Rusak atau tidaknya Agama Islam, Lihatlah Ulamanya....: "Rusak atau tidaknya Agama Islam, Lihatlah Ulamanya...."

Kolom Adian Husaini, M.A: Mengajak Jalaluddin Rakhmat Bertobat

Kolom Adian Husaini, M.A: Mengajak Jalaluddin Rakhmat Bertobat: "Mengajak Jalaluddin Rakhmat Bertobat"

Sabtu, 12 September 2009

KOMPAS cetak - Islam (di) Indonesia

KOMPAS cetak - Islam (di) Indonesia: "Islam (di) Indonesia

Jumat, 11 September 2009 | 04:57 WIB

Masdar F Mas’udi

Di negeri ini, Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai negara-bangsa ibarat jiwa dan raga. Keduanya membentuk satu entitas Islam Indonesia, bukan sekadar Islam di Indonesia.

Demikian pula Muslim yang hidup di Nusantara ini pada dasarnya telah menjadi Muslim Indonesia, bukan sekadar pemeluk agama Islam yang menumpang hidup atau indekos di Indonesia."