Minggu, 31 Mei 2009

Buku IlusiNegara Islam

Preface/Prolog: MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif
Pengantar Editor: MUSUH DALAM SELIMUT
KH. Abdurrahman Wahid
Bab I: Studi Ge­rakan Islam Transnasional dan Kaki Tangannya di Indonesia
Bab II: Infiltrasi Ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin di Indonesia
Bab III: Ideolo­gi dan Agenda Ge­rakan Garis Keras di Indonesia
Bab IV: Infiltrasi Agen-agen Garis Keras terhadap Islam Indonesia
Bab V: Kesimpulan dan Rekomendasi
Epilog: BELAJAR TANPA AKHIR
KH. A. Mustofa Bisri
Lampiran 1: Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah No. 149/KEP/I.0/B/2006, untuk membersihkan Muhammadiyah dari Partai Ke­adilan Se­jahte­ra (PKS)
Lampiran 2: Dokumen Penolakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terhadap Ideolo­gi dan Ge­rakan Ekstremis Transnasio­nal
Daftar Bibliografi: Daftar Bibliografi

Bumi antara Bencana dan Kemakmuran


Prof Dr Sukendar Asikin
(Guru Besar Geologi ITB)

Teori tektonik lempeng merupakan suatu teori baru yang sangat berkembang. Dalam teori ini, kulit bumi digambarkan terdiri atas kepingan-kepingan atau 'lempeng-lempeng' batuan atau litosfir, yang dapat bergerak satu terhadap lainnya dengan arah dan kecepatan yang berubah-ubah sepanjang zaman Astenosfir (upper mantle) yang bersifat semiplastis menghasilkan sel-sel arus konveksi yang dapat menggerakkan lempeng-lempeng kulit bumi yang terdiri atas batuan yang bersifat kaku. Sel-sel arus konveksi itulah yang merupakan mesin yang menciptakan sejumlah energi yang terkumpul dalam kulit bumi.

Energi akan terkumpul di tempat-tempat yang menyebabkan dua lempeng kulit bumi selalu bertemu atau berbenturan. Akibat dari benturan tersebut, batuan akan mengalami tegangan dari waktu ke waktu serta mengalami gesekan satu dengan lainnya yang mengakibatkan sebagian dari batuan itu akan leleh, lebur, dan membentuk massa yang leleh pijar yang disebut magma.

Gaya yang membangun energi dalam kulit bumi dinamakan gaya tektonik. Energi yang terkumpul dalam kulit bumi (batuan) itu sewaktu-waktu dapat terlepas. Karena, batuan yang menahannya sudah tidak mampu dan berwujud sebagai letusan gunung api akibat energi yang terkumpul dalam magma mendesak ke atas dan menyembur keluar.

Lepasnya energi yang umumnya terjadi secara tiba-tiba juga dapat disebabkan patahnya batuan (kulit bumi) akibat sudah tidak mampu lagi menahan tegangan. Patahnya batuan yang disertai dengan pergeseran akan disertai dengan munculnya gempa bumi.

Gaya tektonik yang bekerja dalam kulit bumi juga bertanggung jawab terhadap pembentukan cekungan-cekungan pengendapan akibat lenturnya kulit bumi. Kemudian, itu akan diisi dengan endapan-endapan sedimen yang dalam waktu lama akan menghimpun lapisan-lapisan batuan yang sangat tebal. Cekungan-cekungan seperti itu dikenal sebagai tempat-tempat terbentuknya sumber daya alam hidrokarbon (minyak dan gas bumi).

Kedudukan Pulau Jawa dalam tatanan tektonik yang berada di bagian tepi zona pertemuan antara dua lempeng litosfir, yaitu lempeng India-Auatralia yang bergeser ke utara dan lempeng Sunda di utaranya, menghasilan zona yang terdiri atas gunung api aktif dan sejumlah patahan, baik yang aktif maupun yang berpotensi aktif.

Sudah dapat dipastikan bahwa cekungan tersebut secara tektonis berada di suatu zona yang masih tektonik aktif yang dicirikan oleh lokasinya yang berada di belakang deretan gunung api yang masih aktif (Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Lawu, Gunung Wilis, dan sebagai).

Dalam ilmu tektonik, fenomena-fenomena alam yang berwujud sebagai gempa bumi, vulkanisme, atau meningkatnya kegiatan gunung api ditafsirkan sebagai respons dari gerak-gerak lempeng kulit bumi. Lempeng-Lempeng kulit bumi dimotori oleh sel-sel arus konveksi dalam astenisfir yang bergerak terus dengan kecepatan yang berbeda-beda.

Lempeng India-Australia terlihat bergeser ke utara, kemudian berbenturan dan menyusup di bawah Asia Tenggara. Zona di tempat-tempat di mana dua lempeng saling bertemu dan berbenturan akan merupakan tempat-tempat terjadinya pelenturan (deformasi) kulit bumi yang disertai oleh penghimpunan energi yang sewaktu-waktu dapat dilepas sebagai gempa bumi, vulkanisme, pembentukan cekungan, dan pegunungan. Cekungan yang berada di belakang jalur gunung api akan terus menurun selama gerak tektonik benturan terjadi. Kemudian, itu akan diisi oleh sedimen-sedimen yang berasal dari pengikisan pegunungan yang terus terangkat serta produk gunung api yang aktif yang secara berkala memuntahkan bahannya dan diangkut oleh sungai-sungai yang bermuara di-cekungan. Pengisian cekungan yang berlangsung cepat itu akan menambah tekanan pada cekungan yang berakibat ikut mendorong turunnya cekungan tersebut.

Pengisian cekungan yang cepat serta tekanan gaya tektonik mendorong lapisan batuan yang tebal yang bersifat lentur, seperti lempung, untuk naik ke atas melalui celah-celah dalam batuan yang berupa patahan-patahan. Fenomena seperti itu disebut gejala diapir. Apabila diapir-diapir seperti itu berhasil mencapai permukaan bumi, gejalanya dinamakan ekstrusi lumpur atau mud extrusion. Jika sifatnya yang agak kental sehingga membentuk kerucut seperti gunung api, itu dinamakan gunung (api) lumpur atau mudvolcano.

Pulau Jawa yang merupakan bagian dari zona (jalur) deformasi akibat pertemuan antara dua lempeng kulit bumi (litosfir), yaitu lempeng India-Australia yang bergeser ke utara dengan kecepatan 6.5 cm per tahun dengan lempeng Asia Tenggara (atau lempeng Sunda), akan mengalami tekanan gaya tektonik yang menyebabkan terkumpulnya sejumlah energi yang sewaktu-waktu dapat terbebas dalam bentuk gempa bumi, letusan, atau meningkatnya kegiatan gunung api serta pelenturan isi cekungan sehingga terlipat atau terpatahkan. Dalam kondisi tertentu, itu dapat memeras dan mendorong lapisan yang bersifat lentur ke atas permukaan dan membentuk aliran (ekstrusi) lumpur atau gunung lumpur.

Pada bulan Mei 2006, kita dikejutkan oleh terjadinya gempa bumi yang melanda Kota Yogyakarta. Padahal, sebelumnya, pada 2004 dan 2005, terjadi gempa bumi di Aceh dan Pulau Nias yang menimbulkan bencana tsunami yang menelan korban jiwa yang besar. Gempa bumi yang memorak-porandakan Kota Yogyakarta juga diikuti oleh menyembur dan mengalirnya lumpur di Sidoarjo di lokasi beberapa ratus meter dari lokasi pengeboran sumur Banjar Panji-1. Pada bulan itu, juga dilaporkan terjadinya peningkatan kegiatan Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Semeru di Jawa Timur. Bencana alam geologi dalam rentang waktu dua tahun tersebut (dalam hitungan waktu geologi adalah dianggap bersamaan) terjadi dalam zona pertemuan antara lempeng India-Australia dan lempeng Sunda.

Meningkatnya intensitas tektonik pada waktu itu telah menimbulkan bencana geologi gempa bumi, kegiatan gunung api, dan deformasi dalam cekungan pengendapan yang terletak di belakang busur gunung api. Untuk jenis cekungan yang mempunyai kondisi struktur dan proses sedimentasi yang khusus, itu dapat menimbulkan terjadinya bencana keluarnya lumpur diaper atau gunung lumpur.

Bumi yang resah memang merupakan sumber bencana. Namun, di balik itu, keluarnya bahan-bahan dari dalam perut bumi telah membuat wilayah di sekitarnya menjadi subur. Di bidang keilmuan (kebumian), para ilmuwan dapat mengetahui misteri apa yang ada dalam bumi serta bagaimana menghindari terjadinya bencana. Para peneliti juga mampu mengetahui bahan-bahan berasal dari dalam bumi yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran.

Keluarnya aliran lumpur di Sidoarjo yang telah berlangsung tiga tahun merupakan bencana alam geologi yang harus diterima dan diprediksi masih akan terus berlangsung. Dengan jumlah material yang demikian besarnya, mungkinkah di masa yang akan datang dapat memberikan manfaat bagi umat manusia. Ini merupakan tantangan bagi para peneliti untuk memulai meneliti manfaat dari bahan yang keluar dari perut bumi ini.

(-)

Fikih dan Tuntutan Zaman


Danang Kuncoro Wicaksono
(Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Suriah 2008-2009)

Dewasa ini, Fikih Islam selalu mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari beberapa kalangan. Ia sering dijadikan objek yang seolah-olah 'diperkosa' sedemikian rupa demi memuaskan nafsu dan kepentingan kelompok tertentu. Ada yang ingin merombaknya secara total, bahkan menghapusnya sama sekali karena dianggap tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman. Kalangan ini biasanya merasa minder dan rendah diri dengan agamanya sendiri sehingga merasa malu menyandang predikat Muslim, karena telah tersilaukan oleh peradaban Barat yang menurutnya lebih layak menjawab tuntutan zaman.

Ada pula yang ingin mempersempit koridor syariat yang sebenarnya sangat luas, sehingga menciptakan image bahwa Islam adalah ajaran yang sempit, kaku, jumud, dan tidak dinamis. Kalangan ini biasanya terlalu bersemangat dalam beragama namun tidak memiliki bekal ilmu yang cukup, sehingga seringkali berijtihad dan beristinbath tanpa kaidah. Atau, memiliki pengetahuan yang cukup tapi tidak memiliki metode yang tepat dalam menyampaikannya sehingga alih-alih memberikan pencerahan justru menimbulkan kesalahpahaman. Atau, bisa juga disebabkan oleh fanatisme kelompok, mazhab, atau ulama tertentu sehingga mengabaikan pendapat ulama lain. Ada yang terlalu tekstual dalam menafsirkan teks-teks yang ada sehingga menimbulkan asumsi bangkitnya kembali mazhab Zhahiriyah Modern. Namun, ada pula yang terlalu kontekstual sehingga menabrak batas-batas yang telah ditetapkan oleh para ulama, sehingga keblinger dan kebablasan. Lalu, bagaimana kita menyikapi semua itu?

Fikih sebagai suatu komponen terpenting dalam syariat Islam merupakan sekumpulan intisari hukum-hukum syariat yang bersifat praktis, yang telah diekstrak oleh para ulama mujtahidin dari sumber-sumbernya yang terperinci. Sejak dahulu para ulama sangat intensif memperhatikan permasalahan-permasalahan yang muncul di zaman mereka lalu mencari hukum yang sesuai dengan Alquran dan sunah, tentunya dengan kaidah-kaidah baku yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fikih, kemudian menulisnya dalam kitab-kitab mereka. Berbagai aktivitas ijtihad pun marak berlangsung dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Sehingga, tak mengherankan jika pada era kodifikasi kitab-kitab fikih, banyak terjadi silang pendapat di antara ulama. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Dr Musthafa Sa'id Al-Khin dalam kitabnya, Atsarul Ikhtilaf fi Al-Qawa'id Al-Ushuliyah, yaitu perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam tataran kaidah ushuliyah yang kemudian berimplikasi munculnya perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil yang dijadikan sebagai sandaran dalam beristinbath. Dari situlah akhirnya timbul perbedaan para ulama dalam memutuskan hukum fikih.

Hingga saat ini, sudah terlalu banyak kitab fikih yang ditulis oleh para ulama dan dikaji secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Berbagai madrasah fiqhiyah maupun ushuliyah pun akhirnya banyak bermunculan. Fatwa-fatwa terkait dengan persoalan-persoalan kontemporer yang belum pernah terjadi di zaman dahulu seperti hukum cloning manusia, credit card, dan semisalnya pun telah banyak ditulis oleh para ulama di zaman ini.

Begitulah seterusnya, fikih selalu menjadi pembahasan yang selalu hangat dan tak pernah basi. Setiap muncul permasalahan baru, selalu muncul pula para ulama yang berjuang dan berusaha keras untuk mencarikan hukum sehingga menjadikan Islam sebagai sebuah undang-undang yang selalu up to date. Perbedaan yang terjadi di antara para ulama merupakan hal yang wajar selama hukum-hukum yang dihasilkan berdasarkan pada dalil-dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Perbedaan tersebut tidak seharusnya menjadikan para pengikut ulama tertentu saling menghujat satu sama lain. Justru sebaliknya, adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama seharusnya dapat membuktikan betapa Islam sangat kaya dengan pilihan solusi yang ditawarkan dan perbedaan yang terjadi merupakan manifestasi rahmat bagi seluruh umat.

Adapun tuduhan beberapa kalangan yang mengatakan bahwa fikih Islam belum bisa menjawab persoalan umat merupakan tuduhan yang sangat tidak berdasar. Realita yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Munculnya cabang-cabang Syariah dalam bank-bank konvensional di beberapa negara Eropa menunjukkan bahwa Islam merupakan solusi yang jitu bagi krisis yang tengah melanda umat manusia. Begitu juga undang-undang Ahwal Syakhsiyah yang mendapat pujian para ahli perundang-undangan dunia seperti Gustave Lebon, membuktikan bahwa Islam adalah aturan yang tepat dan sesuai dengan fitrah manusia.

Materi Qodhoya Fiqhiyah Muashiroh (Contemporary Islamic Issues) pun kini telah menjadi mata kuliah tetap (muqorror) yang diajarkan di universitas-universitas Islam di Timur Tengah. Para ulama kontemporer seperti Dr M Sa'id Ramadhan Buthi, Dr Yusuf Qaradhawi, Dr Wahbah Zuhaili, dan lain-lain merupakan para ulama garda terdepan yang tak pernah lelah menjawab persoalan-persoalan umat yang muncul belakangan ini. Mereka adalah orang-orang yang paling berjasa di zaman ini dalam rangka menjaga orisinalitas dan relevansi Islam di setiap zaman. Ulama-ulama seperti merekalah yang akan mempertahankan kemurnian Islam ini dari segala macam bentuk penyelewengan, dan akan senantiasa ada di setiap zaman. Bahkan, dalam sebuah hadis disebutkan bahwa setiap seratus tahun sekali akan muncul para ulama yang memurnikan (tajdid) ajaran Islam. Semua ini menunjukkan bahwa aktivitas ekstraksi hukum (istinbath al-ahkam) dari sumber-sumbernya yang masih asli terkait dengan permasalahan-permasalahan baru yang muncul di setiap masa masih dan akan terus berlanjut.

Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi kita semua, 'Siapakah yang akan meneruskan perjuangan para ulama itu di masa mendatang? Siapakah yang akan memberikan fatwa-fatwa bagi umat terkait dengan persoalan yang muncul di masa yang akan datang?' Siapa lagi jika bukan kita sebagai generasi penerus yang saat ini sedang berguru kepada mereka yang akan meneruskan perjuangan mereka di masa depan ketika mereka telah tiada. Mereka takkan lama lagi akan pergi meninggalkan kita semua di dunia ini. Akankah kita terus berangan-angan sambil berkata, ''Andaikan Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad masih hidup di zaman ini, tentu mereka akan menjawab semua persoalan umat yang semakin kompleks di zaman ini.''

Namun, angan-angan saja tidak akan mendatangkan solusi tanpa dibarengi dengan usaha yang keras dan sungguh-sungguh dalam rangka menggali kekayaan khazanah Islam yang masih terpendam di dalam lautan kitab dan pemikiran para ulama yang saat ini masih hidup. Oleh karena itu, tidak ada jalan lagi bagi kita selain menimba dan terus menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari para ulama yang masih hidup di zaman ini sebagai bekal kita untuk menghadapi masa depan yang permasalahannya semakin kompleks dan membutuhkan ulama-ulama brilian seperti mereka untuk mampu menyelesaikan problematika yang muncul. Andaikan boleh berangan-angan seperti di atas, mengapa tidak sekaligus berangan-angan, ''Seandainya Rasulullah masih hidup di zaman ini?'' Wallahu 'alam bis shawab.

(-)

Facebook vs Fatwa Haram



Zainal Alimuslim Hidayat
(Analis di Fakultas Ilmu Komputer UI)

Facebook akhirnya menuai kontroversi. Situs yang sangat digemari terutama oleh kalangan muda ini difatwakan haram. Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPP) se-Jawa Timur mengharamkan penggunaan jejaring sosial seperti friendster dan facebook yang berlebihan (Republika Online, 23/5). Fatwa ini cukup mengentak di kalangan facebookers Tetapi, bisa jadi fatwa haram ini tidak akan banyak pengaruhnya. Seperti dalam kasus golput, di mana justru semakin membengkak jumlahnya meski sudah difatwakan haram. Mengapa?

Jumlah pengguna facebook saat ini sudah sangat menggurita. Lebih dari 225 juta orang menjadi warga setia facebook hingga Mei 2009. Pertumbuhan tersebut, terutama ditopang pesatnya pengguna dari luar Amerika Serikat. Di Chili dan Turki, facebook bahkan dilaporkan sangat digdaya. Sebanyak 76 persen dan 66 persen pengguna internet di kedua negara adalah warga ''republik facebook''. Bagaimana di negara kita? Sebanyak 17,78 persen (2,3 juta) dari total pengguna internet juga tergila-gila dengan situs ciptaan Mark Zuckerberg itu. Padahal, awal tahun ini pengguna facebook baru sekitar 1 juta.

Keunggulan facebook terutama karena kemampuannya yang memungkinkan orang untuk saling berkomunikasi, mencari dan berbagi informasi, secara efisien. Dalam ideal Mark Zuckerberg, sang penemu facebook, situs rekaannya tersebut merupakan sebuah peranti sosial (social utility). Situs ini menjadi tempat favorit untuk bernostalgia dengan teman lama, tetapi juga ampuh untuk membangun jaringan pertemanan baru.

Di facebook, seorang pengguna memiliki 'kedaulatan' dengan siapa saja mereka berteman dan siapa boleh mengakses informasi tentang dirinya. Facebook sangat digilai karena menjadi ajang narsis yang nyaris sempurna. Jutaan foto diunggah ke situs ini setiap hariya. Selain itu, faktor lain yang penting dicatat, facebook digemari karena situs ini relatif nyaman, sehat, dan mudah digunakan (user friendly). Situs ini galak terhadap pornografi dan tidak terlampau eksesif menampilkan iklan.

Jika menilik sejarahnya, facebook dikembangkan oleh sejumlah mahasiswa Universitas Harvard dan awalnya hanya menerima keanggotaan dari kalangan pelajar dan mahasiswa di AS. Dalam tempo singkat facebook sukses ''merevolusi'' kehidupan kampus. Facebook, pesta, dan cinta; Tiga kata yang kemudian tak bisa dipisahkan. Lewat fitur grup, mahasiswa saling mengundang (invite) menghadiri pesta yang tentu saja lengkap dengan minuman keras. The Crimson, koran di Harvard, banyak melaporkan, polisi dibuat sibuk dengan membanjirnya acara pesta.

Dibandingkan dengan situs sejenisnya, facebook juga memiliki fitur yang memungkinkan seorang pengguna ''mengobral'' status cinta mereka ke teman-teman di dalam jaringannya. Ajakan kencan (seks) yang agresif kerap dikeluhkan dan menjadi alasan mengapa sebagian mahasiswa membenci facebook.

Kini, setelah go international, facebook dibuat sedemikian rupa agar membuat semua orang merasa nyaman berlama-lama di dalamnya. Dengan fitur-fitur yang terus disempurnakan, facebook memang akan semakin memikat banyak orang, termasuk generasi tua. Apalagi, fitur tersebut sebagiannya menjadi substitusi perangkat online lain seperti e-mail, blog, album foto, dan chatting room. Dan, facebook sangat agresif dalam menambah fitur baru tersebut.

Kecanduan facebook dan situs sejenis memang menyisakan sejumlah persoalan. Pada individu, facebook bisa menimbulkan kecanduan pada penggunanya. Di kalangan pelajar, facebook diduga telah mengalahkan waktu untuk belajar. Studi yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Ohio menyimpulkan, pelajar yang mengunjungi facebook secara rutin lebih buruk hasil tesnya di sekolah (Cnet.com, 12/4/2009). Entah karena alasan seperti ini, Universitas Indonesia sejak pertengahan Mei 2009 mulai membatasi akses mahasiswa, dan facebook hanya bisa diakses selepas jam 4 sore.

Facebook juga sering didakwa berperan menurunkan produktivitas. Sebuah kalkulasi meyebutkan, dengan rata-rata seorang pekerja 'nongkrong' di facebook selama satu jam sehari, Australia kehilangan 5 miliar dolar AS pada 2007. Atas dasar ini, banyak kantor ramai-ramai menutup akses ke situs tersebut pada jam efektif kerja.

Namun, apakah karena dampak seperti tadi facebook lantas diharamkan? Studi lebih baru justru menyimpulkan sebaliknya. Dr Brent Coker dari Universitas Meulbourne, menemukan bahwa pekerja yang berselancar di internet untuk sekadar rekreasi pada jam kantor (Workplace Internet Leisure Browsing) lebih produktif ketimbang yang tidak melakukannya. Tak heran, jika banyak pihak di negeri ini keberatan terhadap fatwa haram dengan alasan facebook masih lebih banyak manfaat daripada mudaratnya.

Tantangan beragama
Tumbuhnya generasi digital merupakan tantangan besar bagi institusi agama. Selama ini, siaran televisi dan menjamurnya pusat belanja (mal) sudah cukup membuat agama 'tersisih'. Menonton dan berbelanja bahkan sudah seperti ritual; lebih khusyuk dilakukan serta punya alokasi waktu khusus yang lebih panjang ketimbang ibadah. Kini, dengan kecenderungan makin murahnya koneksi internet dan beragamnya perangkat untuk mengaksesnya, kompetisi antara agama vs teknologi menjadi semakin keras. Nasib agama pun bisa jadi akan kian tersisih.

Dalam kasus facebook, akrab dengan situs tersebut berarti sangat menyita waktu (time consuming). Bagi banyak remaja, berlebihan menggunakan facebook potensial mengabaikan tugas belajar mereka, termasuk kewajiban mendalami agama. Namun, dari sisi pengaruh buruk, dampak televisi masih jauh lebih kuat. Di facebook kendali ada pada pengguna, sementara televisi menjejali penonton dengan tayangan yang sering kali tidak mendidik dan tidak sesuai dengan usianya.

Sudah menjadi tugas pokok ulama membimbing umatnya--terlebih generasi muda--ke jalan yang benar. Konon, fatwa haram muncul karena semakin banyaknya santri yang 'tersihir' canggihnya situs jejaring sosial di internet. Tentu saja, sesuatu perilaku yang berlebihan dan melalaikan, tidak selaras dengan ajaran agama. Dalam konteks seperti ini, fatwa dan respons para kiai dapat dipahami.

Tetapi, setidaknya terdapat dua hal yang lebih mendesak dilakukan ketimbang pendekatan fatwa.

Pertama, perlunya menanamkan kesadaran berteknologi yang sehat pada generasi yang tumbuh di era digital. Sering kali akar persolaannya bukan pada teknologi, tetapi lebih pada persoalan manajerial (managerial problem). Yaitu, rendahnya kemampuan membagi waktu dan membuat skala prioritas. Oleh karena itu, kampanye internet sehat perlu diintensifkan, termasuk harus pula menyentuh kalangan pesantren dan disisipkan dalam kurikulum sekolah-sekolah agama.

Kedua, harus dihindari kesan seolah-olah agama memusuhi teknologi. Sebaliknya, agama harus diarahkan untuk mendorong rasa ingin tahu (curiousity) dan menumbuhkan kreativitas generasi muda. Penting digarisbawahi, facebook adalah produk teknologi hasil kreasi remaja usia 20 tahun.

Alhasil, saat ini umat Islam perlu lebih banyak memproduksi teknologi ketimbang menghasilkan fatwa. Teknologi yang tumbuh dari dalam tentu akan lebih memahami dan berkesesuaian dengan budaya dan keyakinan sebagai Muslim. Inilah tantangan sesungguhnya di era digital.

Gerakan Transnasional dan Tanggung Jawabnya



Zainal Abidin Bagir
(Pengajar Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana UGM)


Kontroversi penerbitan buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia beserta protes sebagian peneliti yang pernah terlibat di dalamnya (Republika, 26 Mei 1009) memang cukup runyam. Kerunyaman menjadi makin rumit karena ada yang memanfaatkan buku ini untuk menunjukkan bahaya 'Islam garis keras' di Indonesia, sementara yang lain memanfaatkan protes sebagian peneliti itu untuk menyerang kredibilitas kelompok yang disimplifikasi sebagai 'Muslim liberal'.

Tapi, kalau mau sedikit berterus terang, mungkin kerunyaman ini bisa mulai diurai dan kontroversi ini memberikan banyak pelajaran penting. Setidaknya, kita bisa melihat dua hal yang terpisah, namun juga bisa terkait di sini: mengenai gerakan transnasional yang menjadi isu utama buku ini dan kualitas penelitian yang dikeluhkan para peneliti itu.

Dalam Ilusi Negara Islam, sifat transnasional dengan tepat dilekatkan pada beberapa organisasi Islam yang disebut sebagai gerakan garis keras. Kritiknya tentu adalah pada 'garis keras'-nya. Sifat transnasional dilekatkan pada gerakan tersebut untuk menunjukkan bahwa ini adalah isu besar dan serius. Bahkan, karena melibatkan dana asing, besar kemungkinan agendanya adalah agenda asing yang tak relevan dengan lokalitas Indonesia dan dianggap mengancam Indonesia. Menarik bahwa Hizbut Tahrir Indonesia, yang menjadi salah satu tertuduh utama di buku itu, tidak menampik tuduhan transnasional itu. Bahkan, mereka meneguhkannya: bukahkah watak Islam sendiri adalah transnasional? Jadi, apa yang salah? Beberapa peneliti yang merasa namanya dicatut untuk kepentingan buku ini sesugguhnya juga secara implisit menisbahkan ke-transnasional-an upaya melawan gerakan Islam garis keras itu. Mereka menyebut campur tangan terlalu jauh pihak LibForAll dari Amerika Serikat yang mendanai penelitian dan penerbitan buku ini sebagai salah satu sumber pelanggaran etis pencatutan nama mereka. Ini terlepas dari penegasan mereka tentang kekhawatiran yang sama pada tumbuh berkembangnya kelompok-kelompok garis keras itu.

Di era globalisasi ini, ke-transnasional-an tak bisa dihindari. Dan, sebetulnya, sama sekali tak punya konotasi negatif, justru sebagian besar positif. Semua gerakan demokratisasi ataupun anti-demokrasi, gerakan lingkungan dan gerakan perempuan, gerakan fundamentalis ataupun pluralis yang ada dalam Islam, agama-agama lain, atau yang tak membawa label agama makin kuat dan bersaing melampaui batas-batas negara.

Ide Khilafah atau Kristen Pantekosta dan hak asasi manusia atau kesetaraan gender terlalu besar untuk bisa dibatasi oleh batas-batas negara. Gerakan transnasional pun, jika berhasil, dampaknya bisa sangat signifikan. Keberhasilan gerakan kemerdekaan Timor Timur, misalnya, bukan hanya merupakan hasil tekanan negara-negara besar, tapi juga gerakan masyarakat sipil transnasional yang menjadikan isu lokal itu terlihat dalam dunia internasional. Karena dampak ide atau gerakan dalam suatu komunitas bisa mengenai komunitas lain, itu sah saja jika orang atau kelompok asing punya kepedulian.

Berkat kebebasan yang muncul mengikuti Reformasi 1998, ladang Indonesia pun menjadi makin subur dan menyatu dengan dunia internasional sehingga menjadi lahan persaingan beragam kelompok itu. Jika transnasionalitas tak terelakkan, lalu apa persoalannya? Ini menjadi persoalan jika pohon dari luar hendak ditanam di lahan sendiri secara paksa. Ide bisa datang dari mana saja. Penting diakui bahwa tanah kita bukanlah tanah ideal yang tak bisa diperkaya lagi. Namun, memang tak selalu jelas perubahan mana yang akan membawa perbaikan atau justru merusak identitas (baik itu identitas 'Islam Indonesia, Islam yang murni/sebenarnya', maupun yang lain). Identitas pun sebetulnya sifatnya cair, tak statis, serta bisa bahkan selalu berubah kandungannya demi pencapaian apa yang dianggap ideal. Yang lalu menjadi persoalan tampaknya adalah autentisitas dan integritas. Di sini, isunya bisa terkait dengan persoalan sumber dana. Dana asing menjadi buruk jika itu mengorbankan autentisitas dan integritas. Secara lebih konkret, persoalannya adalah akuntabilitas. Untuk sebuah penelitian, seperti buku Ilusi Negara Islam (yang sesungguhnya cukup serius karena berasal dari penelitian dua tahun), akuntabilitas salah satunya terletak pada pertanggungjawaban akademik, pertanggungjawaban atas klaim-klaim yang dibuat, atau pengakuan karya seperti yang disinggung para pemrotes.

Jika penelitian menjadi jalan untuk advokasi (sekali lagi, baik itu untuk suatu Islam moderat, penerapan syariah, maupun kesetaraan gender), advokasi yang bertanggung jawab adalah yang berdasar pada pengetahuan terbaik yang kita miliki. Sementara itu, kebenaran mungkin tak tercapai oleh manusia, dugaan atau prasangka justru bisa menyesatkan lebih jauh dari pencapaian pengetahuan yang baik.

Barangkali, hal ini terlalu dasar untuk diungkapkan. Tapi, tak ada salahnya mengingat bahwa pengetahuan kita tak menjamin 'saya sudah tahu apa yang baik untuk masyarakat' meskipun pengetahuan itu bersumber dari pengalaman lapangan puluhan tahun atau dari kitab yang diwahyukan. Selalu ada penafsiran, lalu penafsiran atas pengalaman empiris ataupun atas wahyu selalu tak sempurna.

Setelah soal pencarian pengetahuan terbaik, akuntabilitas juga menyangkut pertanyaan lain: kepada siapakah pengembangan suatu gagasan dipertanggungjawabkan? Pertanggungjawaban utama setiap (gagasan untuk) gerakan sosial selayaknyalah kepada masyarakatnya sendiri, bukan kelompok atau organisasi lain, termasuk penyandang dana. Sekali lagi, mungkin ini hal yang klise atau terlalu remeh untuk dikatakan, tapi selalu penting diulang untuk menginterogasi diri sendiri.

Dengan demikian, kiranya sah-sah saja kelompok 'Muslim liberal', garis keras, HTI, Ahmadiyah, aktivis lingkungan, aktivis HAM, atau gerakan perempuan menjadi suatu gerakan transnasional dan menerima (atau memberikan) dana dari barat, timur, utara, atau selatan.

Persoalannya adalah akuntabilitas yang menjadi salah satu isyarat untuk autentisitas dan integritas. Jika kelompok-kelompok itu sungguh serius dengan apa yang diperjuangkannya, autentisitas dan integritas adalah urusan yang sangat penting. Kiranya, perlu kita akui bahwa setiap kelompok dalam ruang publik punya agenda dan kepentingannya sendiri. Akan lebih baik jika semua pelakunya bersaing secara fair, berlomba-lomba untuk kebaikan, bukan saling menjatuhkan. Ruang publik bebas Indonesia masa ini ada karena pengorbanan yang mahal sehingga perlu sungguh-sungguh dijaga. Termasuk, tugas penjagaan adalah menghindari insinuasi demi delegitimasi. Karena, ini hanya akan mencemari udara kebebasan yang sehat.

Bukankah perbedaan adalah sumber rahmat yang dapat saling memperkaya? Tugas utama menjaga ruang kebebasan itu memungkinan munculnya perbedaan garis keras, liberal, moderat, atau apa pun ada pada semua yang hidup di dalamnya, yang menghirup udara kebebasan itu. Fatwa, selebaran, atau hasil penelitian semuanya punya tanggung jawab yang sama.

(-)

Jumat, 29 Mei 2009

Lagi, Soal Islam dan Demokrasi

Oleh: Azyumardi Azra

Menjelang Pemilu Pilpres 8 Juli 2009, cukup banyak organisasi massa Islam yang menyelenggarakan berbagai pertemuan, rapat kerja, dan semacamnya. Sebagiannya melaksanakan acara-acara tersebut karena memang sudah menjadi jadwal sejak semula. Tetapi, mungkin ada juga yang diselenggarakan dalam rangka menyongsong atau menyikapi pilpres. Meski ormas-ormas seyogianya tidak terlibat politik praktis, pada kenyataannya para anggota ormas mengharapkan semacam 'arahan' dari organisasi mereka. Meski, keputusan tentang siapa pasangan capres-cawapres yang bakal mereka contreng akhirnya tergantung pada diri masing-masing.

Dalam konteks itu, saya beruntung mendapat undangan untuk menyampaikan makalah pada Sidang Dewan Tafkir Persis (Persatuan Islam), pekan lalu. Topik yang dibicarakan menyangkut hubungan Islam dengan demokrasi: mengapa umat Islam Indonesia dapat menerima demokrasi, kemudian tak kurang pentingnya tentang efektivitas sistem politik demokrasi dalam memajukan umat, bangsa, dan negara secara keseluruhan.

Tema tentang Islam dan demokrasi jelas bukan hal baru. Bahkan, itu selalu dibicarakan, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Seperti pernyataan seorang peserta Sidang Dewan Tafkir, pembicaraan tentang ini mengisyaratkan seolah-olah tidak ada kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Karena itu, terjadi stigmatisasi di kalangan masyarakat internasional bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, khususnya menyangkut hal 'kedaulatan rakyat' dalam demokrasi dengan apa yang sering disebut sebagai 'kedaulatan Tuhan' (hakimiyyah Allah).

Bahwa tidak ada rumusan perinci tentang sistem politik yang dapat diterapkan umat Islam dalam Alquran telah menjadi semacam kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama fikih siyasah (politik). Sebaliknya, terdapat beberapa prinsip pokok dalam Alquran yang dapat menjadi landasan bagi penerimaan demokrasi dalam Islam, misalnya syura (musyawarah, baik melalui representasi pada lembaga legislatif maupun eksekutif atau secara langsung); almusawa (kesetaraan); al-'adalah (keadilan); akuntabilitas publik (ra'iyah); dan seterusnya.

Atas dasar prinsip-prinsip ini, penerimaan demokrasi melalui kerangka fikih siyasah di atas tidak dilihat mengurangi 'kedaulatan Tuhan'.

Kedaulatan Allah terhadap makhluknya merupakan sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Allah tetap Mahakuasa vis-à-vis makhluknya meski ada 'kedaulatan rakyat' yang diwujudkan melalui sistem politik demokrasi. Karena itu, kedua bentuk kedaulatan--yang sebenarnya tidak sebanding--tak perlu dipertentangkan.

Atas dasar kerangka itulah, para pemimpin umat Muslim umumnya dapat menerima demokrasi, khususnya di Indonesia, sejak negara ini memaklumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Memang, dalam perjalanannya, terdapat pemikiran dan gerakan--termasuk bersenjata--yang ingin mengganti demokrasi dan bahkan Pancasila dengan teokrasi Islam, tetapi mengalami kegagalan.

Dalam perjalanannya pula, demokrasi di Indonesia sejak dulu sampai sekarang ini pada praktiknya tidak selalu dapat menjadi sistem politik yang efektif. Karena itu, seperti dikemukakan seorang peserta perempuan dalam Sidang Dewan Tafkir Persis, demokrasi kita belum bisa mengharapkan hasil konkret demokrasi, misalnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, sering terlihat demokrasi berubah menjadi democrazy.

Kita bersyukur, gejala democrazy itu tidak terjadi dalam skala yang mencemaskan pada masa prapileg dan pascapileg yang lalu meski banyak komplain, laporan, dan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi karena DPT yang kacau, politik uang, penghilangan dan pengelembungan suara, dan seterusnya. Pilpres mendatang menjadi ujian, apakah pemilu dapat berjalan lebih baik sehingga bangsa dan negara ini terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Dalam konteks itu, ormas-ormas--khususnya yang berbasiskan keagamaan--dapat memainkan peran penting dalam mengawal penerapan demokrasi lebih baik. Salah satunya adalah memberikan sosialisasi kepada para anggotanya tentang perlu kepatuhan pada hukum dan keadaban publik dalam demokrasi.

Demokrasi tidak bisa berjalan baik tanpa penghormatan dan kepatuhan kepada tatanan hukum--hal itu tentu saja juga sangat diajarkan Islam. Demokrasi juga dapat menjadi kacau balau tanpa keadaban publik (public civility), yaitu sikap dan perilaku yang berlandaskan adab, akhlak, etika, dan moralitas. Politik dan demokrasi tanpa keadaban publik seperti itu dapat berujung pada kekacauan. Dan, ormas-ormas Islam dengan pengaruh dan daya tekannya yang kuat dapat kian memperkuat perannya dalam bidang-bidang ini.



Ralat Resonansi

Dalam resonansi Rabu (27/5), yang ditulis Asro Kamal Rokan, ada naskah yang tak termuat sehingga mengaburkan isi dari tulisan itu. Berikut kutipan naskah yang tidak termuat tersebut.

Melalui tulisannya di The International Herald Tribune, 10 Februari 2006, SBY menilai karikatur itu dapat dianggap sebagai serangan langsung pada umat Islam. Ini juga berakibat buruk bagi demokrasi. Pesan yang disampaikan karikatur itu kepada komunitas Islam menjadi membingungkan: demokrasi menyebabkan pelecehan terhadap Islam.
Syekh Yusuf Al Qardhawi beralasan berharap pada Indonesia. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar jika demokrasi ini berjalan baik, kesejahteraan rakyat meningkat--peran Indonesia semakin penting dan bahkan model tentang Islam yang indah: rahmatan lil alamin.
Dan, siang itu di Hotel Mount Nelson, Cape Town, Afrika Selatan, 16 Maret 2006 lalu, dalam diskusi terbatas tentang dunia Islam, Presiden SBY berkeyakinan Indonesia dapat memainkan peran aktif memperkuat hubungan Barat dan dunia Islam, untuk dunia yang damai, dunia yang lebih indah, tanpa kecurigaan.
Siang itu, setelah berziarah di makam Syekh Yusuf, pahlawan nasional asal Makkasar, cuaca di Cape Town cerah.

Redaksi mohon maaf atas kekeliruan ini. wasalam

(-)

Fikih dan Tuntutan Zaman

Danang Kuncoro Wicaksono
(Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Suriah 2008-2009)

Dewasa ini, Fikih Islam selalu mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari beberapa kalangan. Ia sering dijadikan objek yang seolah-olah 'diperkosa' sedemikian rupa demi memuaskan nafsu dan kepentingan kelompok tertentu. Ada yang ingin merombaknya secara total, bahkan menghapusnya sama sekali karena dianggap tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman. Kalangan ini biasanya merasa minder dan rendah diri dengan agamanya sendiri sehingga merasa malu menyandang predikat Muslim, karena telah tersilaukan oleh peradaban Barat yang menurutnya lebih layak menjawab tuntutan zaman.

Ada pula yang ingin mempersempit koridor syariat yang sebenarnya sangat luas, sehingga menciptakan image bahwa Islam adalah ajaran yang sempit, kaku, jumud, dan tidak dinamis. Kalangan ini biasanya terlalu bersemangat dalam beragama namun tidak memiliki bekal ilmu yang cukup, sehingga seringkali berijtihad dan beristinbath tanpa kaidah. Atau, memiliki pengetahuan yang cukup tapi tidak memiliki metode yang tepat dalam menyampaikannya sehingga alih-alih memberikan pencerahan justru menimbulkan kesalahpahaman. Atau, bisa juga disebabkan oleh fanatisme kelompok, mazhab, atau ulama tertentu sehingga mengabaikan pendapat ulama lain. Ada yang terlalu tekstual dalam menafsirkan teks-teks yang ada sehingga menimbulkan asumsi bangkitnya kembali mazhab Zhahiriyah Modern. Namun, ada pula yang terlalu kontekstual sehingga menabrak batas-batas yang telah ditetapkan oleh para ulama, sehingga keblinger dan kebablasan. Lalu, bagaimana kita menyikapi semua itu?

Fikih sebagai suatu komponen terpenting dalam syariat Islam merupakan sekumpulan intisari hukum-hukum syariat yang bersifat praktis, yang telah diekstrak oleh para ulama mujtahidin dari sumber-sumbernya yang terperinci. Sejak dahulu para ulama sangat intensif memperhatikan permasalahan-permasalahan yang muncul di zaman mereka lalu mencari hukum yang sesuai dengan Alquran dan sunah, tentunya dengan kaidah-kaidah baku yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fikih, kemudian menulisnya dalam kitab-kitab mereka. Berbagai aktivitas ijtihad pun marak berlangsung dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Sehingga, tak mengherankan jika pada era kodifikasi kitab-kitab fikih, banyak terjadi silang pendapat di antara ulama. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Dr Musthafa Sa'id Al-Khin dalam kitabnya, Atsarul Ikhtilaf fi Al-Qawa'id Al-Ushuliyah, yaitu perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam tataran kaidah ushuliyah yang kemudian berimplikasi munculnya perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil yang dijadikan sebagai sandaran dalam beristinbath. Dari situlah akhirnya timbul perbedaan para ulama dalam memutuskan hukum fikih.

Hingga saat ini, sudah terlalu banyak kitab fikih yang ditulis oleh para ulama dan dikaji secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Berbagai madrasah fiqhiyah maupun ushuliyah pun akhirnya banyak bermunculan. Fatwa-fatwa terkait dengan persoalan-persoalan kontemporer yang belum pernah terjadi di zaman dahulu seperti hukum cloning manusia, credit card, dan semisalnya pun telah banyak ditulis oleh para ulama di zaman ini.

Begitulah seterusnya, fikih selalu menjadi pembahasan yang selalu hangat dan tak pernah basi. Setiap muncul permasalahan baru, selalu muncul pula para ulama yang berjuang dan berusaha keras untuk mencarikan hukum sehingga menjadikan Islam sebagai sebuah undang-undang yang selalu up to date. Perbedaan yang terjadi di antara para ulama merupakan hal yang wajar selama hukum-hukum yang dihasilkan berdasarkan pada dalil-dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Perbedaan tersebut tidak seharusnya menjadikan para pengikut ulama tertentu saling menghujat satu sama lain. Justru sebaliknya, adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama seharusnya dapat membuktikan betapa Islam sangat kaya dengan pilihan solusi yang ditawarkan dan perbedaan yang terjadi merupakan manifestasi rahmat bagi seluruh umat.

Adapun tuduhan beberapa kalangan yang mengatakan bahwa fikih Islam belum bisa menjawab persoalan umat merupakan tuduhan yang sangat tidak berdasar. Realita yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Munculnya cabang-cabang Syariah dalam bank-bank konvensional di beberapa negara Eropa menunjukkan bahwa Islam merupakan solusi yang jitu bagi krisis yang tengah melanda umat manusia. Begitu juga undang-undang Ahwal Syakhsiyah yang mendapat pujian para ahli perundang-undangan dunia seperti Gustave Lebon, membuktikan bahwa Islam adalah aturan yang tepat dan sesuai dengan fitrah manusia.

Materi Qodhoya Fiqhiyah Muashiroh (Contemporary Islamic Issues) pun kini telah menjadi mata kuliah tetap (muqorror) yang diajarkan di universitas-universitas Islam di Timur Tengah. Para ulama kontemporer seperti Dr M Sa'id Ramadhan Buthi, Dr Yusuf Qaradhawi, Dr Wahbah Zuhaili, dan lain-lain merupakan para ulama garda terdepan yang tak pernah lelah menjawab persoalan-persoalan umat yang muncul belakangan ini. Mereka adalah orang-orang yang paling berjasa di zaman ini dalam rangka menjaga orisinalitas dan relevansi Islam di setiap zaman. Ulama-ulama seperti merekalah yang akan mempertahankan kemurnian Islam ini dari segala macam bentuk penyelewengan, dan akan senantiasa ada di setiap zaman. Bahkan, dalam sebuah hadis disebutkan bahwa setiap seratus tahun sekali akan muncul para ulama yang memurnikan (tajdid) ajaran Islam. Semua ini menunjukkan bahwa aktivitas ekstraksi hukum (istinbath al-ahkam) dari sumber-sumbernya yang masih asli terkait dengan permasalahan-permasalahan baru yang muncul di setiap masa masih dan akan terus berlanjut.

Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi kita semua, 'Siapakah yang akan meneruskan perjuangan para ulama itu di masa mendatang? Siapakah yang akan memberikan fatwa-fatwa bagi umat terkait dengan persoalan yang muncul di masa yang akan datang?' Siapa lagi jika bukan kita sebagai generasi penerus yang saat ini sedang berguru kepada mereka yang akan meneruskan perjuangan mereka di masa depan ketika mereka telah tiada. Mereka takkan lama lagi akan pergi meninggalkan kita semua di dunia ini. Akankah kita terus berangan-angan sambil berkata, ''Andaikan Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad masih hidup di zaman ini, tentu mereka akan menjawab semua persoalan umat yang semakin kompleks di zaman ini.''

Namun, angan-angan saja tidak akan mendatangkan solusi tanpa dibarengi dengan usaha yang keras dan sungguh-sungguh dalam rangka menggali kekayaan khazanah Islam yang masih terpendam di dalam lautan kitab dan pemikiran para ulama yang saat ini masih hidup. Oleh karena itu, tidak ada jalan lagi bagi kita selain menimba dan terus menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari para ulama yang masih hidup di zaman ini sebagai bekal kita untuk menghadapi masa depan yang permasalahannya semakin kompleks dan membutuhkan ulama-ulama brilian seperti mereka untuk mampu menyelesaikan problematika yang muncul. Andaikan boleh berangan-angan seperti di atas, mengapa tidak sekaligus berangan-angan, ''Seandainya Rasulullah masih hidup di zaman ini?'' Wallahu 'alam bis shawab.

Selasa, 12 Mei 2009

Islam dan Pengembangan SDA Untuk Kesejahteraan Bangsa


Catatan Seorang Santri Sebagai Kado Untuk WOC-CTI Summit di Manado
By H. Hasminto Yusuf, Lc


Islam dan Pengembangan SDA Untuk Kesejahteraan Bangsa


Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki sumberdaya alam (SDA) yang diperbaharui maupun tidak diperbaharui melimpah. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui seperti hutan, ikan, tanaman perkebunan dan seterusnya. Sementara, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui berupa mineral, barang tambang (batubara dan emas), minyak dan gas. Sayangnya, SDA tersebut tidak mampu memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Apakah ada kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga saat ini hampir semua sumberdaya tersebut dikelola dan dikendalikan asing? Hampir setiap hari di media massa koran maupun televisi kita kerap mendengar berita illegal logging, illegal fishing maupun illegal mining. Kita sebagai pemilik sah sumberdaya itu hanya menjadi ”penonton” di rumah sendiri. Kita pun lupa bahwa sekitar 90 % penduduk negeri ini beragama Islam yang praktis tidak mendapatkan apapun dari praktek pengelolaan SDA semacam itu.

Perspektif Konvensional
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki kekayaan SDA melimpah secara teoritis harus berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat. Semakin melimpah SDA, akan semakin makmur bagi penduduknya. Faktanya, data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menyebutkan bahwa 69.957 desa di Indonesia (PODES, 2006) sekitar 45,2 % termasuk kategori desa tertinggal. Dari jumlah penduduk miskin yang mencapai 42,4 juta (BPS, 2006) sekitar 68,4 % berada di pedesaan. Mengapa kondisi asimetris bisa terjadi padahal kita memiliki SDA yang melimpah?

Dalam kepustakaan ekonomi sumberdaya ”konvensional” dinyatakan bahwa kepemilikan (property right) atas SDA dikelompokkan (Tietenberg, 1992); (i) kepemilikan pribadi (private property right); (ii) kepemilikan bersama (common property right), dan (iii) kepemilikan negara (state property right). Hampir 90 % pengelolaan SDA di Indonesia masuk kategori kepemilikan pribadi yang dalam hal ini direpresentasikan perusahaan multinasional (multinational corporation). Saat ini tidak ada lagi aturan yang membatasi mana barang publik (publik goods), mana milik pribadi dan mana yang diatur negara. Dalam bidang pertambangan minyak dan Gas pemiliknya Exxon Mobile, Shell, dan Total E & P.

Sementara, dalam bidang pertambangan mineral (tembaga, emas dan batubara) pemiliknya Freepot, Newmont, Kalimantan Prima Coal (KPC). Dalam bidang perkebunan perusahaan-perusahaan Malaysia menguasai 90 % perkebunan Sawit di Sumatera dan Kalimantan. Sumberdaya air yang menjadi barang publik pengelolaannya pun sekarang dilakukan perusahaan-perusahaan asing yang awalnya berkedok proyek Water Resources Sector Adjustement Loan (Watsal) dari Bank Dunia. Bukan hanya itu, operasi penangkapan ikan di perairan Indonesia banyak dilakukan kapal asing bertonase besar. Parahnya lagi pemerintah justru membuat peraturan perundangan yang menjustifikasi pihak-pihak asing dalam menguasai SDA seperti UU MIGAS, UU Sumberdaya Air, UU Penanaman Modal Asing, UU Perikanan, UU Perkebunan, dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dst. Kondisi ini sebenarnya kontradiktif dengan UUD 1945 pasal 33 dimana ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ”dikuasai” oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Semangat konstitusi jelas membenarkan adanya kepemilikan negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti sumberdaya air, tanah, minyak dan gas, mineral serta lautan dan biotanya.

Perspektif Islam
Islam sebagai agama ”wahyu” juga mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan SDA. Jenis kepemilikan atas SDA terdiri dari (i) kepemilikan individu (mikl fardhiyah); (ii) kepemilikan umum (milk ’ammah) dan, kepemilikan negara (milk daullah) (Solihin, 2007). Terminologi konsep kepemilikan dalam Islam ini memang tidak berbeda dengan konsep ekonomi sumberdaya konvensional. Akan tetapi, secara substansi dan implementasi konsep kepemilikan (property right) menurut ajaran Islam berbeda signifikan. Islam mengakui kepemilikan individu/swasta akan tetapi tidak boleh memilikinya.

Pemanfataannya pun hanya diperbolehkan pada batas tertentu agar tidak menimbulkan kerusakan atas SDA (Ar Rum : 41). Berkebalikan dengan konsep ekonomi liberal yang bukan sekadar menguasai, akan tetapi boleh mengeksplotasi tanpa batas bahkan memperjualbelikan dengan pihak lain dengan mengabaikan negara pemiliknya. Islam juga mengakui kepemilikan umum/bersama seperti barang tambang, tanah, sumber air (sungai, mata air), lautan dan biotanya (An Nahl, : 14) dan seterusnya yang juga ada batasan dalam pemanfaatannya. Islam mencontohkan bagaimana Nabi Saleh AS melakukan ”reforma agraria” atas tanah, padang-padang rumput, dan sumber air (oase) yang saat itu hanya dikuasai oleh sembilan keluarga dari kaum Tsamud yang mewarisi kebudayaan kaum Ad (suku pengembala) (Al Ar’af : 73). Reforma agraria tersebut mengakibatkan sumberdaya tersebut berubah kepemilikan dari individu (keluarga) menjadi milik bersama (common property right) (Zia Ul Haq, 1987).

Peran Negara
Jika kita transformasikan nilai ajaran Islam dalam konteks kekinian, peran negara yang pemimpinnya sebagai pengemban amanah rakyat harus mampu mengelola/mengendalikan dan memanfaatkan SDA demi mensejahterakan rakyatnya. Dalam perspektif ini substansi pasal 33 UUD 1945 jelas sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam. Akan tetapi, mengapa Negara sebagai intitusi tertinggi yang berperan dalam mengelola/mengendalikan dan memanfaatkan SDA justru ”mengabaikan” dengan amanat konstitusi? Parahnya, lagi negara justru memproduksi peraturan-perundangan yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.

Kita tidak perlu mengkaitkan dulu dengan ajaran Islam yang notabene dianut 90 % penduduk negara ini. Konstitusi yang jelas–jelas menentang penguasaan asing, kepemilikan individu yang tak terbatas (baca : UU Penanaman Modal) atas barang publik (public goods) yang menyangkut hajat hidup orang banyak justru diperbolehkan. Apakah hal ini merupakan bentuk baru dari kegagalan pemerintah (government failure) dalam mengelola SDA? Atau, memang kita sudah terjebak dalam arus neo-liberalisme yang ”memaksa” negara mengorbankan rakyatnya demi kepentingan sekelompok elita dan pihak asing yang menguasai aset ekonomi global?

Islam dengan Al Qur’an dan Al Hadist sebagai pedoman pokoknya tidak sekadar memuat teks-teks normatif saja. Melainkan, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mampu mentransformasikannya model pengelolaan SDA sekalipun tidak disebutkan bersumber dari keduanya. Ada beberapa yang dapat disebutkan di Indonesia antara lain (i) Model kelembagaan Panglima Laot yang mengatur perikanan laut di Aceh menurut sejarahnya bersumber dari filosofih ajaran Islam pada masa Kesultanan Aceh Darussalam (Saharuddin, 2006); (ii) Sama halnya dengan kelembagaan ”Sasi” yang mengatur penangkapan sumberdaya ikan secara komunal (Ikan Lompa dan Lola) juga dibangun atas nilai-nilai ajaran Islam di Maluku sejak dulu sampai kini; (iii) Penutupan perairan semacam situ yang kenal sebagai ”Lebaklebung” di Minangkabau juga bernapaskan ajaran Islam (Beckmann et all, 2001), dan (iv) Di wilayah Kesultanan Buton yang pada masanya sudah menerapkan syariat Islam dalam mengatur sistem penguasaan tanah, penangkapan ikan di laut, dan hukum tawan karang bagi kapal asing yang terdampar di perairan Buton.

Model-model pengelolaan SDA tersebut yang kerap disebut kearifan lokal yang sejatinya mengandung mentranformasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam yang hakiki karena (i) dalam mengelola SDA ada aturan pengelolaan dan pemanfaatan (ii) adanya pengakuan kepemilikan inividu maupun publik/umum, tetapi pemanfaataannya terbatas karena harus ada jaminan keberlanjutan pada masa datang (sustainability), dan (iii) negara yang waktu itu direpresentasikan sebagai ”kesultanan” maupun ”kerajaan” bukan pemilik SDA, melainkan berperan mengatur dan mengendalikan pemanfaatannya sehingga memakmurkan rakyatnya. Awal tergerusnya nilai-nilai Islam transformatif ini akibat kolonialisme dengan idiologi kapitalisme/lebralisme-nya dengan semboyan gold, gospel dan glory. Sementara di masa kini, penjajahannya bersifat ekonomi (utang luar negeri dan liberalisasi perdagangan) tetap dengan idiologi kapitalisme/neo-liberalismenya.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia harus mulai membangun paradigma-paradigma transformatif berbasiskan agama khususnya Islam dalam mengelola SDA agar pemanfaatannya berkelanjutan. Tanpa itu, eksploitasi atas SDA oleh pihak asing maupun para kapitalis akan semakin merajalela. Rakyat akhirnya menjadi korban dengan dalih pembangunan (developmentalisme). Akhirul Kalam, Selamat atas terselenggaranya WOC-CTI Summit di Manado. Wallahu alam bisawab/taq