Komaruddin Hidayat
Menurut Thomas Hobbes, banyak orang berebut kekuasaan dengan motif untuk memenuhi tuntutan bermegah diri (self-glory). Dorongan ini, sebagaimana ditulis dalam Leviathan, bersifat laten dan ada dalam bawah sadar sehingga seseorang akan berusaha dengan cara apa pun untuk mendapatkannya meski harus membayar mahal, bahkan kalau perlu dengan perang atau membinasakan yang lain.
Teori itu sungguh berbeda dari ajaran para rasul Tuhan yang menempatkan kekuasaan hanya sebagai instrumen untuk mengabdi dan melayani masyarakat sehingga yang lebih substansial dan fungsional bukan untuk berkuasa, tetapi untuk memimpin dan membimbing rakyat. Para rasul Tuhan telah memberi contoh dan meletakkan fondasi dalam sejarah politik dan perubahan sosial bahwa memimpin itu berkurban.
Mereka memimpin dengan hati, keteladanan, dan panduan moral agung sehingga para pengikutnya menerima dan meyakininya dengan nalar sehat dan nurani sehingga melahirkan kesetiaan pada cita-cita besar yang diperjuangkan, bukan semata pada figurnya. Karena itu, meski para rasul Tuhan itu telah tiada, pengikutnya masih setia meneruskan perjuangannya.
Keteladanan para rasul Tuhan itu telah menginspirasi banyak pemimpin dunia sehingga mereka telah memperkaya peradaban manusia dan riwayat hidupnya selalu memancarkan pesan optimisme saat kapal sejarah diterpa turbulensi. Mereka tidak saja mengajak untuk membangun peradaban di muka bumi, tetapi ajarannya melampaui batas sejarah (transhistoris) menjangkau kehidupan ruhani yang bersifat abadi karena hakikatnya manusia tercipta untuk hidup abadi. Figur-figur penggubah sejarah sebuah bangsa semacam Gandhi, Ayatullah Khomaini, dan Nelson Mandela adalah penggerak perubahan politik yang hidupnya amat sederhana. Mereka terinspirasi nilai-nilai luhur agama dan terpanggil untuk membela rakyatnya dari penindasan politik, ekonomi, dan pendidikan.
Demikian halnya yang dicontohkan Nabi Ibrahim dan keturunannya yang melahirkan sosok Musa, Isa (Yesus), dan Muhammad, yang ketiganya merupakan tokoh sejarah yang telah menginspirasi para pemimpin dunia untuk membangun peradaban dengan semangat pengabdian dan pengurbanan, bukan menempatkan kekuasaan sebagai tujuan untuk meraih self-glory dan mengakumulasi kekayaan.
Semangat pengurbanan
Ingatan kolektif kita masih segar bahwa kedaulatan Indonesia ini diraih karena pengurbanan tak ternilai oleh para pejuang yang mendahului kita. Kemerdekaan Indonesia bukan didapat cuma-cuma sebagai hadiah pihak asing. Para pejuang itu terpanggil berkurban dan menghadang segala risiko karena panggilan suci demi mengangkat harkat sesama anak bangsa. Mereka sadar, anugerah dan amanat hidup ini akan bermakna hanya saat diisi amal kebajikan yang mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain. Para pejuang itu yakin, jalan terbaik untuk mensyukuri karunia Tuhan adalah dengan meringankan penderitaan sesama hamba Tuhan.
Kata kurban, seakar dengan kata karib, berarti upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya pada Tuhan, lalu Tuhan menjawab bahwa kalau seorang hamba ingin dekat dengan-Nya, dekatilah mereka yang hidupnya merana dan membutuhkan pertolongan. Karena itu, siapa pun yang melakukan pengurbanan yang sampai pada Tuhan adalah niat dan catatan amal kebaikannya, sementara wujud pengurbanannya harus dirasakan oleh mereka yang menderita dan memerlukan pertolongan.
Semangat pengurbanan inilah yang juga melekat pada diri rasul Tuhan dan telah menginspirasi para pejuang kemerdekaan di muka bumi. Panggilan dan dorongan untuk menyumbangkan yang terbaik bagi hidupnya membuat tidak sempat berpikir untuk hidup mewah bergelimang harta. Kekayaan mereka adalah deposito kebaikan yang tersimpan dalam hati rakyat yang menjadi penyangga dalam perjuangannya dan menjadi penghubung kasih antara pemimpin dan pengikutnya. Mereka menaklukkan dan mengendalikan massanya bukan dengan kekuatan uang dan legalitas jabatan, tetapi dengan kekuatan cinta, cita-cita mulia, dan integritasnya.
Saat ini Indonesia amat menanti tampilnya pemimpin yang maju karena panggilan mulia dan siap berkurban, bukannya pencari pekerjaan, popularitas, dan sekadar meramaikan demokrasi serta mengisi waktu senggang setelah memasuki pensiun. Kita memerlukan presiden yang bisa membuat terobosan dari suasana mandek dan limbung, yaitu presiden yang memenuhi kebutuhan three in one, yang mampu membangun kebanggaan berbangsa yang dimotori Bung Karno, menyejahterakan rakyat yang dibayangkan Pak Harto, dan memajukan pendidikan dan peradaban yang menjadi tantangan berat di era global ini.
Kita pantas bangga pada para pejuang bangsa yang telah mengurbankan jiwa, raga, dan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka bahkan pernah menjadi penghuni tahanan karena memegang prinsip dan tidak mau berdamai dengan penguasa sehingga penjara banyak diisi putra terbaik bangsa. Namun, sungguh membuat sedih setelah merdeka kita menyaksikan banyak rumah tahanan dihuni pejabat tinggi negara dan politisi yang terbukti korupsi serta pengedar dan pemakai narkoba.
Menihilkan ego
Alih-alih berkurban untuk bangsa dan masyarakat, di antara politisi dan pejabat negara justru sepak terjangnya telah mengurbankan rakyat demi mendapatkan self-glory. Bahkan, kemuliaan agama pun dimanipulasi dan dikurbankan. Setiap datang idhul qurban, siapa pun orang yang sedang atau sudah berhaji diajak melakukan dialog imajiner dengan Nabi Ibrahim, nabi agung dari ketiga agama besar dunia, bahwa untuk meraih pembebasan diri (self liberation) dan derajat kemuliaan, seseorang harus berani menekan egonya serendah mungkin sampai ke titik nadir.
Proses dan tindakan untuk menihilkan ego ini secara dramatis ditandai dengan kesanggupan, keberanian, dan tekad Ibrahim menjalankan perintah Tuhan untuk menyembelih anak kandungnya yang kelahirannya telah lama dinanti-nantikan.
Bayangkan, kekayaan apa yang lebih berharga ketimbang anak? Spirit Ibrahim inilah yang mestinya menjiwai para pemimpin bangsa yang mayoritas pernah berhaji, yaitu spirit dan tekad berkurban demi memenuhi panggilan Tuhan yang wujudnya adalah pembelaan dan layanan buat manusia, terutama fakir dan miskin.
Itulah salah satu rahasia mengapa perintah haji jatuh pada urutan kelima mengingat puncak dan buah dari keberagamaan seseorang adalah berbuat ihsan, yaitu kesediaan berkurban untuk meringankan beban hidup orang lain. Dan, ini paralel dengan Pancasila, bahwa muara dari lima sila adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sila pertama adalah ketuhanan paralel dengan rukun Islam pertama, yaitu syahadat, diakhiri dengan haji dan sila keadilan sosial.
Jadi, muara dari keimanan dan kehidupan berpolitik adalah bagaimana menyejahterakan rakyat. Apakah para politisi yang begitu bersemangat benar-benar menghayati ajaran agamanya serta Pancasila, lihat saja komitmen mereka dalam berkurban untuk kepentingan bangsa dan masyarakat.
Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar