Minggu, 07 Desember 2008

MELURUSKAN BUDAYA PEMAKNAAN HADIS-HADIS TENTANG PEREMPUAN



Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam sebuah pelatihan ulama perempuan, KH. Husein Muhammad mengungkapkan kritik terhadap teks-teks hadis Kitab Syarh 'Uqud al-Lujjayn Syekh Nawawi Banten (1230-1314H/1813-1897M). Ummi Dzikriyati, seorang muballigah muda, peserta dari Meulaboh Nanggroe Aceh Darussalam merasa sakit ketika mendengar ada teks-teks hadis yang tidak ramah perempuan dan menyatakan ketidak-setujuannya atas pengungkapan hadis-hadis tersebut. Menurutnya, teks-teks hadis seperti ini tidak perlu lagi disebarkan ke masyarakat, tidak perlu dibahas, atau diungkapkan. Termasuk dengan pola kajian kritik sekalipun. Ia menyarankan untuk langsung memperkuat masyarakat, termasuk para ulama, da'i dan muballighah dengan teks-teks hadis yang mendudukkan perempuan secara setara dengan laki-laki, memberdayakan dan memuliakan. "Ini lebih membangkitkan semangat kami", Ummi mengakhiri komentarnya terhadap presentasi KH Husein Muhammad.

Pandangan ini mewakili sebagian suara umat Islam terhadap peredaran teks-teks hadis yang tidak memberdayakan perempuan. Di samping suara lain yang tetap memilih untuk mengkaji secara kritis dan ilmiah. Kajian teks hadis, diperlukan untuk membedakan hadis yang bisa dipertanggung jawabkan dengan yang sebaliknya, dan untuk memisahkan pemahaman teks hadis yang sejalan dengan prinsip dasar Islam dari pemahaman yang mereduksi risalah utama Islam. Ilmu hadis, sejak awal dirumuskan untuk melakukan pengujian terhadap teks-teks yang tersebar sebagai hadis; sejauh mana teks tersebut bisa dipertanggung-jawabkan. Melalui pengujian ini, teks-teks hadis kemudian dipilah; ada yang shahih (benar), hasan (baik), dha'if (lemah), bahkan ada yang mawdhu' (palsu). Semua teks-teks ini telah tersebar di masyarakat sebagai teks-teks hadis.

Ulama hadis telah bekerja keras untuk melakukan pemisahan ini, sekalipun masih tetap saja banyak ulama yang masih bergantung kepada teks-teks hadis yang lemah, bahkan tidak sedikit juga yang palsu. Madzhab Hanbali, salah satu madzhab besar dalam fiqh memiliki kaidah sumber (qa'idah ushuliyyah) untuk lebih memilih hadis dha'if dari pada rasio logis (qiyas). Realitas yang seperti ini seringkali menyulitkan kita untuk menemukan semangat pemberdayaan perempuan dalam teks-teks hadis. Kitab Syarh 'Uqud al-Lujjayn, termasuk salah kitab petuah mengenai relasi suami istri yang menghimpun hadis-hadis yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Dalam analisis Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) misalnya, ada setidaknya 20 persen hadis yang tidak ada dasarnya (la ashla lahu) dari keseluruhan teks hadis yang diungkapkan dalam kitab tersebut. Ada sekitar 30 persen hadis yang lemah (dha'if) dan sisanya berkisar antara baik (hasan) dan valid (shahih).

Pengungkapan teks-teks hadis yang tidak berdasar dan yang lemah, dalam konteks relasi suami istri, merupakan interpretasi dan ijtihad dari Syekh Nawawi pada saat itu. Tidak menutup kemungkinan, ia dipengaruhi oleh pengetahuan yang berkembang dan menyebar di masyarakat. Seperti dikatakan M. Quraisy Shihab, bahwa Syekh Nawawi bisa jadi akan mengubah pandangan ijtihadnya jika ia hidup pada masa sekarang dan mengalami apa yang kita alami, serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sebagaimana kita mengikutinya. (Lihat: FK3, Kembang Setaman Perkawinan; Analisis Kritis Kitab 'Uqud al-Lujjayn, hal: xxi).

Syekh Muhammad al-Ghazali (1917-1996) termasuk salah seorang ulama al-Azhar yang mengkritik secara keras peredaran teks-teks hadis dha'if, yang hampir menyangkut berbagai tema kehidupan. Mulai dari masalah keyakinan, ibadah, juga persoalan sosial kemasyarakatan dan adat kebiasaan. Dalam kitabnya Assunnah an-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, misalnya dalam hal kebiasaan makan, ia mengkritik keras ulama yang menyebarkan teks-teks hadis mengenai larangan menggunakan pisau ketika makan, keharusan untuk duduk di atas lantai ketika makan, makan dari satu bejana secara berjama'ah dan kebaikan menggunakan tangan dari pada sendok dan garpu. Termasuk teks-teks hadis tentang perempuan, juga banyak yang dha'if dan dikritik Syekh al-Ghazali karena masih banyak disebarkan oleh para ulama. Seperti teks hadis, yang diriwayatkan Anas bin Malik ra.:

Ada seorang perempuan menjadi istri dari seorang laki-laki. Suatu saat, ayah dari perempuan itu sakit keras. Dia menghadap ke Rasulullah saw. seraya berkata: "Wahai Rasulullah ayah saya sakit keras, tetapi suami saya tidak mengizinkan saya untuk pergi merawatnya". Rasulullah saw. menjawab: "Taati suami kamu". Kemudian orang tua itu meninggal dunia. Perempuan itu sekali lagi meminta izin kepada suaminya untuk menjenguk dan menshalatinya, tetapi ia tetap tidak diizinkan. Ia sekali lagi pergi menghadap Rasulllah saw. dan dijawab: "Taati suami kamu". Ia pulang dan mengikuti perintah suaminya untuk tidak pergi menshalati jenazah ayahnya. Kemudian Nabi saw. berkata: "Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa ayah kamu, dengan taatmu kepada suamimu".

Teks hadis ini sekalipun dha'if, sering disebarkan ulama untuk melarang perempuan sama sekali untuk keluar rumah dan memintanya untuk taat pada suami secara total. Bahkan sebagian ulama meminta perempuan untuk tidak keluar sama sekali, untuk urusan apapun kecuali dalam tiga hal: keluar dari rahim ibunya, keluar pindah ke rumah suaminya, dan keluar ke liang lahatnya. Menurut al-Ghazali, ini adalah ajaran yang salah, menyesatkan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang tersebar di berbagai teks hadis lain yang sahih. Ada banyak teks hadis sahih yang mengungkapkan aktivitas perempuan pada masa Nabi, ikut hijrah ke Etiopia dan ke Madinah, pergi ke masjid, ke kebun, ke pasar, bahkan ikut berperang. Di samping teks-teks hadis lain yang mewajibkan seseorang - termasuk perempuan - untuk memiliki relasi yang baik dengan orang tua, tetangga dan juga negara. (Lihat; Muhammad al-Ghazali, Assunnah an-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, hal. 51).

Kritik Antar Teks
Dalam merespon teks-teks hadis mengenai perempuan, terutama yang terkesan berlawanan dengan semangat pemberdayaan perempuan, beberapa ulama mendekati dengan kajian kritik sanad. Dengan melihat jalur periwayatan dari mulai masa sahabat sehingga masa penulisan kitab-kitab hadis pada abad ke tiga dan ke empat hijriyah. Dari kajian inilah, pemilahan hadis-hadis palsu dan lemah dilakukan dari hadis-hadis yang baik dan valid. Tetapi tidak sedikit juga, kalangan ulama dan intelektual yang melakukan kajian antar teks. Dengan pendekatan ini, beberapa teks hadis bisa dianggap tidak shahih atau lemah, jika bertentangan dengan teks-teks lain yang lebih kuat; seperti Alquran atau teks-teks hadis lain yang lebih shahih dan lebih populer. Inilah yang disebut kritik antar teks, atau inter-tekstualitas.

Aisyah bint Abi Bakr ra., isteri tercinta Nabi Muhamnmad saw., termasuk salah seorang yang menggunakan metode kritik antar teks dalam merespon hadis yang merendahkan perempuan. Sekalipun bisa jadi hadis tersebut secara riwayat sanad adalah valid atau sahih. Seperti hadis Abi Hurairah ra. bahwa perempuan itu salah satu sumber kesialan, perempuan itu bisa membatalkan shalat seseorang jika lewat di hadapannya, perempuan yang baik akan masuk neraka hanya karena tidak memberi makan kucing peliharaannya. Contoh lagi hadis Ibn Umar ra. mengenai keharusan perempuan ketika mandi janabah untuk mengurai seluruh rambutnya yang dikepang, dan lain-lain. Teks-teks hadis ini ditolak Aisyah, dengan menghadirkan ayat-ayat Alquran dan teks-teks hadis lain yang disaksikannya sendiri.

Metode ini juga yang dipakai Riffat Hasan, seorang intelektulal muslim feminis dari Pakistan, dalam menolak beberapa teks hadis yang misoginis. Seperti teks hadis mengenai penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok. Penolakan ini didasarkan pada pernyataan Alquran yang lebih tegas, bahwa penciptaan manusia itu dari entitas yang satu (nafs wahidah), baik laki-laki maupun perempuan (QS. An-Nisa, 4: 1). Di samping karena teks-teks hadis yang terkait isu itu, berbeda satu dari yang lain secara tajam. Riffat Hasan memastikan bahwa hadis-hadis penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, pasti dipengaruhi riwayat dari orang-orang Yahudi. Atau apa yang disebut sebagai israiliyyat.

Pendekatan inter-tekstualitas ini, biasanya juga diperkuat dengan pendekatan sejarah dengan melihat latar belakang perawi para sahabat, dan latar kehidupan sosial politik dan peradaban pada masa perkembangan teks-teks hadis tersebut. Dengan pendekatan sejarah dan intertekstualitas ini, Fatima Mernissi juga menolak teks hadis kegagalan kepemimpinan perempuan, yang sangat masyhur menjadi rujukan banyak ulama dalam melarang dan mengharamkan perempuan menjadi pemimpin apapun, di rumah maupun di luar rumah.

Kita bisa mengambil contoh mengenai teks-teks hadis tentang isu penciptaan perempuan dari tulang rusuk. Perhatikan teks-teks hadis sebagai berikut:

1. Dari Abi Hazim dari Abu Hurairah, berkata Rasulullah saw., "Aku wasiatkan kalian untuk berbuat-baik terhadap perempuan karena sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya; dan jika engkau meninggalkannya, dia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat baiklah pada perempuan".(Riwayat: Bukhari).

2. Dari A'raj dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw. berkata, "Perempuan itu bagaikan tulang rusuk, jika engkau mencoba meluruskannnya, engkau akan mematahkannya. Jadi, jika engkau ingin mendapatkan keuntungan darinya, ambillah kenikmatan padanya dan kebengkokan tetap padanya".(Riwayat: Bukhari).

3. Dari Abi Hazim dari Abu Hurairah, Nabi saw. berkata, "Barang siapa yang percaya kepada Allah swt. dan hari kiamat, jangan menyakiti tetangganya dan berbuat baiklah kepada perempuan. Sesungguhnya, mereka diciptakan dari tulang rusuk, sesuatu bagian tulang yang paling bengkok. Jika engkau ingin meluruskannya, ia akan retak, dan jika engkau membiarkannya, ia tetap bengkok, oleh sebab itu, berwasiat baiklah kepada perempuan".(Riwayat: Bukhari).

4. Dari Ibn Musayyab dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, "Perempuan itu bagaikan tulang rusuk, jika engkau berusaha meluruskannya, engkau mematahkannya dan apabila engkau membiarkannya, engkau akan memperoleh keuntungan (kesenangan) darinya, dan dalam dirinya tetap masih ada kebengkokan".(Riwayat: Muslim).

5. Dari A'raj dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya perempuan itu telah diciptakan dari tulang rusuk dan engkau tidak akan bisa meluruskannya pada satu jalan. Jika engkau ingin mengambil keuntungan darinya, ambillah keuntungan padanya dan padanya masih tetap ada kebengkokan. Dan jika engkau berusaha untuk meluruskannya, engkau akan memecahkannya (meretakkannya), dan meretakkannya berarti menceraikannya". (Riwayat: Muslim).

6. Dari Abi Hazim dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, "Orang yang percaya kepada Allah dan hari akhir, jika orang itu menyaksikan beberapa persoalan, orang tersebut harus mengatakannya dengan istilah yang baik atau hati-hatilah. Berwasiatlah dengan baik terhadap perempuan sebab perempuan diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok adalah bagian yang paling atas. Jika engkau berusaha meluruskannya, engkau akan meretakkannya, dan jika engkau membiarkannya, kebengkokannya akan tetap. Oleh karena itu, berwasiat baiklah terhadap perempuan".(Riwayat Muslim).

Dengan studi antar teks, terutama pada kalimat yang diberi baris tebal, ide penciptaan perempuan dari tulang rusuk bisa ditolak. Pertama, karena satu teks dengan teks yang lain bertentangan. Kedua, karena tidak sejalan dengan pernyataan Alquran (QS, 4: 1), dan ketiga karena ide tersebut hanya cocok dengan pernyataan dalam Kitab Kejadian dari al-Kitab. Yaitu teks berikut: "Lalu Tuhan Allah membuat manusia tidur nyenyak; ketika tidur Tuhan Allah mengambil tulang rusuknya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia". (Kitab Kejadian, pasal 21-22). Artinya, ide penciptaan perempuan dari tulang rusuk adalah bukan ide dari sumber-sumber Islam, tetapi dari sumber sebelumnya (israiliyyat), yang mungkin mempengaruhi para periwayat hadis. Karena itu, ide penciptaan dari tulang rusuk sebagaimana disebut dalam sebagian teks hadis, adalah tidak valid. Dengan demikian, teks hadispun dianggap tidak valid, atau tidak sahih secara matan, bukan secara sanad. (Lihat: Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, hal. 265).

Mengapresiasi dengan Tafsir Ulang
Beberapa ulama dan pemikir lebih memilih untuk tetap menerima teks hadis yang secara sanad adalah sahih, tetapi kemudian mereka melakukan penafsiran ulang, untuk menghilangkan pemaknaan yang berlawanan dengan prinsip kesederajatan laki-laki dan perempuan. Pada teks-teks hadis penciptaan dari tulang rusuk di atas misalnya, Quraisy Shihab, Zaitunah Subhan, dan Nurjannah Islam memaknai teks tersebut tidak secara tekstual. Dengan pendekatan inter-tekstualitas yang sama, mereka memilih makna metaforis bahwa makna yang dimaksud adalah pesan terhadap kaum lelaki untuk memperlakukan perempuan secara baik, lembut dan tidak kasar.

Dalam teks yang ke-2 dan ke-4 secara jelas mengungkapkan perumpamaan bukan pernyataan mengenai penciptaan dari tulang rusuk. Dari kedua teks hadis inilah makna metaforis dikembangkan. Nurjannah Ismail, ulama perempuan dari Aceh ini menyatakan: "Pesan utama dari hadis itu, agar para suami memperlakukan istrinya dengan baik, memperbaiki kekeliruan atau kesalahan istri dengan lembut dan bijaksana, dan jangan pula dibiarkan saja istri bersalah. Kemudian Nabi memanfaatkan penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok untuk menjelaskan bahwa betapa laki-laki harus hati-hati dan bijaksana meluruskan kesalahan-kesalahan perempuan. Karena meluruskan kesalahan perempuan ibarat meluruskan tulang yang bengkok, kalau tidak hati-hati bisa menyebabkan tulang itu patah. Pada kesempatan lain, Nabi juga mengingatkan para suami untuk tidak berprilaku negatif terhadap istri, seperti menampar muka istri, menjelek-jelekkan istri, mengucilkan istri dari pergaulan di luar rumah, menceritakan rahasia istri kepada orang lain, kikir dalam memberi nafkah, dan lain-lain". (Nurjannah Ismail, hal. 268).

Menurutnya, pemaknaan seperti ini tidak bertentangan dengan ayat an-Nisa (4: 1) dan justru sejalan dengan perintah-perintah Islam yang lain. Baik yang ada pada Alquran, maupun pada teks-teks hadis. Seperti ayat wa 'asyiruhunna bil-ma'ruf (dan berbuat baiklah kamu kepada perempuan/istri), QS, an-Nisa, 4: 19 dan ayat ath-Thalaq, 65: 6, yaitu wa'tamiru bainakum bil-ma'ruf (dan musyawarahkanlah di antara kalian suami istri tentang segala sesuatu dengan cara baik). Salah satu teks hadis yang sejalan dengan pemaknaan di atas adalah teks hadis Imam at-Turmudzi: "akmalul mu'minina imanan ahsanuhum khuluqan, wa khiyarukum, khiyarukum li-nisa'ihim/ sebaik-baik orang-orang mukmin adalah mereka yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kamu adalah mereka yang berbuat baik pada istrinya". (Nurjannah Ismail, hal. 269).

Anjuran dan perintah berbuat baik ditujukan kepada kaum laki-laki, karena dalam konstruksi budaya yang patriarkhi, merekalah yang memegang kendali kehidupan perempuan. Karena itu, mereka harus diperingatkan dan diajak untuk memberikan perhatian kepada perempuan. Ini adalah upaya Nabi saw. dalam merombak struktur budaya, untuk meningkatkan derajat dan martabat perempuan dengan memerintahkan kaum laki-laki untuk berlaku baik, adil dan bijaksana kepada perempuan. Ketika masih banyak yang berpikir untuk mendidik perempuan dengan cara memukul, Nabi saw. bersikeras untuk menyatakan: "Janganlah kamu memukul perempuan", dan juga mencap mereka yang masih memukul perempuan sebagai orang-orang tidak terpilih (laysa ula'ika bi-khiyarikum). (Riwayat Abu Dawud, lihat pada: Ibn al-Atsir, Jami' al-Ushul, juz VII, hal. 330, no. Hadis: 4719).

Nabi saw. sendiri, dalam perbedaan dan pertengkaran apapun dengan para istri, sama sekali tidak pernah menggunanakan media pemukulan. Nabi saw. lebih memilih untuk memberi nasihat, keluar dari rumah, atau jika tidak bisa dipertemukan Nabi memberi pilihan kepada para istri untuk terus hidup dengannya atau berpisah dengan cara baik. (Baca QS al-Ahzab, 33: 28-29). Karena itu, secara tegas Aisyah bint Abi Bakr ra., ketika ditanya apakah Nabi saw. pernah memukul istri, ia menyatakan: "Rasulullah saw. tidak pernah sama sekali memukul perempuan, tidak juga kepada pelayan atau hamba". (Riwayat Abu Dawud, lihat Ibn al-Atsir, Jami' al-Ushul, juz XII, hal. 23-24, no. Hadis: 8780).

Untuk menanamkan nilai-nilai kesederajatan dalam konteks budaya yang patriarkhal, Nabi saw. juga mencontohkan dalam kehidupan sehari-hari di dalam rumah tangga, sebagai orang yang justru melayani istri dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga sendiri. Seperti diungkapkan Aisyah ra., "Bahwa Nabi saw. di dalam rumah melakukan kerja-kerja untuk keluarga, ketika datang waktu shalat, akan bergegas keluar untuk shalat". (Riwayat Bukhari, no. Hadis: 676). Dalam beberapa riwayat, lebih jelas disebutkan, bahwa Nabi juga di rumah mensol sandal, menjahit baju, menambal bejana, memeras susu dan melayani keluarga. (Riwayat Ibn Hibban, 5/47, no. Hadis: 5579 dan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad, no. Hadis 2579).

Kembali kepada pernyataan Ummi Dzikriyati pada awal tulisan ini, jika masyarakat masih memberikan peran yang besar pada laki-laki, mungkin tepat apa yang diusulkannya dengan mempromosikan teks-teks hadis yang memberdayakan perempuan, melalui berbagai media budaya yang ada di masyarakat. Baik petuah, khutbah, ceramah, pantun, lagu, atau yang lain. Pendekatan ini akan lebih mudah untuk mendorong terciptanya kehidupan yang lebih adil, setara, memberdayakan perempuan dan tidak menistakan perempuan. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: