Minggu, 07 Desember 2008

ALQURAN, PEREMPUAN DAN MEDIA BUDAYA


K.H. Husein Muhammad

Manusia adalah eksistensi yang diciptakan atau dibentuk oleh kebudayaan. Kebudayaan biasanya didefinisikan sebagai kompleksitas ekspresi akal-budi (intelektual/cipta), kerinduan batin (spiritualitas/rasa) dan kreatifitas (karsa) manusia dalam kehidupan. Kebudayaan dengan begitu adalah aktualisasi dari seluruh unsur yang terdapat dalam diri manusia, berjenis kelamin apa saja, dan pengalamannya dalam mengarungi kehidupan. Ekspresi, kerinduan, dan kreatifitas tersebut pada gilirannya melahirkan nilai-nilai, norma-norma, ide-ide, gagasan-gagasan, adat-istiadat atau tradisi-tradisi, karya-karya keindahan, hasrat-hasrat dan lain-lain. Secara naluriah manusia menginginkan pengalaman kebudayaannya diterima dan diikuti orang lain.

Sosialisasi kebudayaan lalu dilakukan melalui beragam media dan cara, sesuai dengan konteksnya masing-masing. Ada banyak cara yang digunakan untuk kepentingan tersebut. Misalnya melalui tutur-cerita, dongeng (termasuk mitologi), berkesenian, drama, karya sastra, pengajian dan lain-lain. Kebudayaan berkembang dalam konteks-konteks yang berubah dan berganti yang tak pernah habis. Tetapi pada dasarnya manusia adalah makhluk yang terus berproses untuk menjadi semakin baik dan menuju kepada kesempurnaan. Dan manusia sesungguhnya adalah makhluk yang merindukan keindahan.

Agama dan Budaya
Agama hadir untuk manusia dan bukan untuk Tuhan. Dia tidak membutuhkan apa-apa dan siapa-siapa. "Wa Allah Ghaniy 'an al 'Alamin". Sebelum agama diturunkan Tuhan kepada mereka melalui para utusan-Nya, manusia telah hadir dalam ruang dan waktu kebudayaan. Dengan kata lain, sebelum agama diturunkan dan dihadirkan, manusia sesungguhnya telah berkebudayaan. Kehadiran agama dalam ruang dan waktu kebudayaan manusia dimaksudkan untuk mengarahkan dan memberikan petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan, dipikirkan dan diekspresikan oleh manusia baik untuk kepentingan personalnya maupun dalam kehidupan bersamanya. Untuk hal yang sama agama juga memberikan peringatan apa yang seharusnya tidak dilakukan mereka. Alquran menyatakan dirinya sebagai : "hudan li al Naas wa Bayyinat min al Huda wa al Furqan". Agama menawarkan petunjuk jalan yang bisa dipilih manusia berikut konsekuensi-konsekuensi yang harus diterima masing-masing. Agama, untuk hal ini, selalu membuat dua macam petunjuk normatif : norma universal dan norma kontekstual.

Norma universal adalah nilai-nilai yang berlaku mondial dan melampaui ruang dan waktu. Nilai-nilai ini sesungguhnya merupakan kehendak nurani semua orang di manapun dan kapan saja. Ia adalah norma-norma asasi dan melekat pada setiap orang. Beberapa diantaranya adalah kesetaraan, kebebasan, keadilan, persaudaraan, kehormatan (martabat) dan cinta. Norma-norma ini merupakan dasar yang dituntut oleh semua kebudayaan manusia. Karena itu ia menjadi milik semua orang, semua jenis kelamin, semua bangsa dan semua keyakinan. Sementara norma kontekstual adalah pandangan-pandangan, tradisi-tradisi dan aturan-aturan tertentu yang dibuat untuk memenuhi kehendak kebudayaan dan kehendak sosial tertentu. Keunggulan intelektual laki-laki atas perempuan, sebagai contoh, adalah norma kontekstual. Ia bukan norma yang melekat pada setiap laki-laki atas setiap perempuan. Oleh karena demikian, norma-norma ini tidak selalu sama untuk semua kebudayaan manusia. Ia juga tidak selalu ajeg, tetapi mengalami proses yang terus menerus untuk menjadi sempurna. Inilah yang saya kira disebut dengan norma-norma budaya atau kebudayaan.

Norma-norma kebudayaan tersebut pada gilirannya menjadi ajang interpretasi para sarjana muslim dari zaman ke zaman dan satu tempat ke tempat yang lain dalam perspektif yang berbeda-beda. Interpretasi-interpretasi mereka berbeda-beda, karena ruang dan zaman mereka yang berbeda. Faruq Abu Zaid, dalam "Al Syari'ah al Islamiyyah Baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin" mengatakan bahwa keberagaman interpretasi tersebut merupakan refleksi, apresiasi dan ekspresi kebudayaan masing-masing.

Media-Media Kebudayaan
Adalah menarik, bahwa Alquran menuturkan pesan-pesannya melalui media bahasa sastra, meskipun Alquran sendiri lebih dari sebuah karya sastra. Alquran adalah Mu'jizat abadi. Sebuah karya yang tidak bisa dilawan oleh siapapun. Di dalamnya sarat dengan bahasa majaz (metafora), kinayah, tamtsil (perumpamaan) dan lain-lain. Misalnya : "Hunna Libasun Lakum wa antum Libasun Lahunn" (Istri-istrimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka). Atau "fa al Aana Basyiruhunna" (maka mubasyarahlah kamu dengan isterimu". "Al Mubasyarah" secara literal berarti "bersentuhan kulit". Tetapi maksudnya adalah "hubungan intim". Ungkapan-ungkapan sensualitas dituturkan dengan bahasa yang sopan. Betapa indahnya bahasa yang digunakan kitab suci ini. Kita sama sekali tidak menemukan di dalamnya kata-kata vulgar yang jorok atau kasar. Penuturan melalui media bahasa sastra seperti itu sejalan dengan budaya Arab ketika itu. Dan Alquran selalu menciptakan sastra yang kreatif dan inovatif sekaligus menyentuh relung-relung nurani dan akal pikiran. Sastra adalah media di mana manusia mengungkapkan cita-cita, ekspektasi, impian-impian, bahkan keluh kesah dan kerinduannya melalui simbol-simbol, isyarat-isyarat dan instrumen-instrumen budaya lainnya.

Alquran juga menuturkan banyak sekali kisah-kisah para Nabi dan kebudayaan umat manusia masa lalu. Kisah-kisah ini tidak semata-mata dimaksudkan sebagai cerita dan ungkapan sejarah perjalanan manusia, melainkan mengandung tujuan-tujuan, pesan-pesan dan norma-norma kemanusiaan universal. Dalam beberapa ayat tentang kisah-kisah ini, Tuhan mengakhirinya dengan pernyataan bahwa kisah-kisah ini merupakan bahan pemikiran dan pelajaran bagi manusia: "Inna fi Dzalika La'ibrah li Uli al Albab". Inilah sesungguhnya yang paling utama dari seluruh kisah-kisah dalam Alquran. Cara demikian dipandang paling efektif untuk mempengaruhi dan menyentuh kesadaran audiens akan pesan-pesan yang dikandungnya. Penggunaan media seperi ini bukan hanya menarik bagi masyarakat pada masa Nabi, tetapi juga dalam semua kebudayaan manusia. Kita misalnya membaca karya sastra filsafat "Hay bin Yaqazhan" yang ditulis oleh Ibnu Thufail, sastra tragedi : "Oedipus" atau "Antigon" oleh Sophokles, epik kepahlawanan dari Persia, seperti "Shah Nameh", oleh Firdausi, dan lain-lain. Terdapat ribuan karya sastra kemanusiaan yang telah ditulis orang dari berbagai belahan dunia.

Dalam perjalanannya, para sarjana muslim mengembangkan metode sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan Alquran dengan media yang lain, tidak hanya melalui media sastra-naratif, melainkan juga dalam bentuk sastra puisi yang disusun dengan ritme-ritme tertentu yang beragam dan bisa dinyanyikan dengan aneka langgam pula. Kita mengenal dalam tradisi kaum muslimin Indonesia, misalnya, sejarah hidup Nabi Muhammad dinyanyikan kaum muslimin dengan berbagai langgam. Al Barzanji misalnya atau al Bushairi melalui Qasidah Burdah-nya. W.S.Rendra, konon, menjadi muslim gara-gara mendengar karya puisi al Bushairi yang indah itu. Media seni menyanyi seperti ini seringkali memberikan efek mendalam pada audiennya.

Media budaya dengan beragam jenisnya, adalah cara paling manis, paling indah dan paling manusiawi dalam upaya mengembangkan kompleksitas eksistensi manusia. Keberadaannya menyentuh ruang-ruang paling dalam dan menggetarkan nalar kognitif manusia.

Perempuan dalam Media budaya
Dalam berbagai kebudayaan, perempuan lebih banyak dipandang dan dicitrakan sebagai ciptaan Tuhan yang rendah, bahkan acapkali disamakan dengan setan. Pandangan dan citra ini muncul dalam banyak karya sastra narasi prosais maupun puitis. Dalam sebuah Syair Arab masa lalu, misalnya dituturkan :

"Inna al Nisa Syayathin Khuliqna Lana.
Na'udzu Billah min Syarr al Syayathin"

(Perempuan adalah setan-setan yang diciptakan untuk kami.
Dan kami mohon lindungan Tuhan dari para setan-setan itu).

Perempuan juga digambarkan sebagai eksistensi yang membawa sial. Kejatuhan nabi Adam dari surga, misalnya, dianggap sebagai ulah perempuan, Hawa. Dalam sebuah dialog antara Tuhan dengan Adam, konon, Tuhan bertanya : "Mengapa kamu jadi begitu, Adam?". Adam menjawab :"Ini gara-gara Hawa, wahai Tuhan". "Jika begitu, biar Aku jadikan dia (Hawa) menstruasi saban bulan, Aku bikin dia bodoh, dan Aku bikin dia menderita ketika hamil dan melahirkan". Ini adalah cerita mitologi yang dikembangkan dalam kebudayaan manusia untuk menjustifikasi peradaban patriarkhis yang menimpakan seluruh kesalahan laki-laki kepada perempuan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan pernyataan Alquran bahwa seseorang tidak bisa membebankan kesalahan dirinya kepada orang lain. Masing-masing harus bertanggungjawab atas perbuatannya.

Pada saat yang sama perempuan adalah eksistensi yang bukan hanya dapat dipermainkan untuk hasrat-hasrat seksual dan kekuasaan laki-laki, tetapi juga tempat pelampiasan kemarahan dan emosi-emosi destruktif lainnya. Baca misalnya novel-novel Nawal el Sa'dawi. Gambaran tentang perempuan seperti itu juga muncul dalam karya-karya nyanyian. Ismail Marzuki, misalnya, mengekspresikan realitas budaya patriarkhis tersebut dalam nyanyian yang sangat populer : "Sabda Alam".

Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu

Seorang perempuan penyair : Aliyyah al Ji'ar mengungkapkan dalam "Qasidah" nya yang berjudul "Ibnah al Islam"(putri Islam) :

Fi al Jahiliyyah Kuntu Kamman Muhmala
Wa Unutsati 'Arun Tasir Wara-iya
Ahya Mudhayya'ah al Huquq Dzalilah
In Lam Yaidni fi al Thufulati Aliya

( Ketika Jahiliah, aku adalah entitas yang tak berharga
Identitas keperempuananku adalah cacat
Hidupku tanpa hak apapun,
aku disia-siakan, aku direndahkan
Kalau tidak, aku ditimbun tanah ketika bayi)

Transformasi melalui Media Budaya
Demikianlah, kebudayaan manusia hampir di segala zaman dan di segala ruang memposisikan perempuan. Ini jauh berbeda dengan pesan-pesan Islam sebagaimana diungkapkan Alquran. Petunjuk-petunjuk Alquran memperlihatkan pesan-pesan transformatif yang diungkapkannya melalui bahasa budaya di mana ia diturunkan. Posisi perempuan yang direndahkan oleh kebudayaan Arabia, disindir, dikritik dan diarahkan ke posisi yang lebih baik dan terhormat. Dalam banyak ayat perempuan bahkan diposisikan sama dengan laki-laki baik untuk menjalankan kewajiban-kewajiban individualnya maupun sosialnya. Misalnya :"Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, hendaklah saling bekerjasama untuk menyerukan kebaikan dan menolak keburukan". Atau "Laki-laki atau perempuan yang beriman dan bekerja untuk mencapai kebaikan pasti akan diberikan kehidupan yang baik".

Satu hal yang menarik, Alquran mengungkapkan kisah seorang perempuan yang sukses memimpin rakyatnya. Para ahli tafsir menyebut nama perempuan tersebut sebagai Balqis, seorang Ratu dari negeri Saba, Yaman. Kesuksesannya memimpin negara dikemukakan Alquran dengan menuturkan pribadinya yang rasional dan tindakannya yang menghargai pikiran dan pendapat orang lain. Ketika Sulaiman, seorang Raja sekaligus Nabi itu mengajaknya mengesakan Tuhan, dia mengatakan : "Berikan pendapatmu mengenai ajakan ini. Aku tidak dapat membuat keputusan sendiri tanpa kalian". Kisah ini memperlihatkan kepada kita sebuah contoh bahwa perempuan mampu menjadi kepala pemerintahan dan bahwa keberhasilan memimpin sebuah bangsa tidak didasarkan atas jenis kelamin tertentu, melainkan pada bentuk mekanisme apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Pernyataan sang Ratu tersebut menunjukkan bahwa dia menggunakan mekanisme "syura" atau demokrasi. Ini sebuah mekanisme normatif universal yang seharusnya melandasi setiap pengambilan kebijakan publik/politik.

Meski demikian, informasi Alquran tersebut seringkali diabaikan oleh banyak kebudayaan. Banyak pandangan yang bahkan mengingkari kemampuan perempuan memimpin sebuah komunitas apalagi sebuah bangsa. Berbeda dengan pandangan mainstream, Ibnu Arabi adalah seorang sufi terbesar yang memberikan apresiasi yang sangat tinggi pada perempuan. Dalam karya agungnya "Al Futuhat al Makiyyah" misalnya, dia mengungkapkan pandangannya yang mendahului zamannya :

Inna al Nisa Syaqa-iq al Dzukran
Fi 'alam al Arwah wa al Abdan
Wa al Hukm Muttahid al Wujud 'alaihima
Wa Huwa al Mu'abbar 'anhu bi al Insan
Wa Tafarraqa 'anhu bi amrin 'Aridhi
Fashl al Inats bihi min al Dzukrani

(Perempuan adalah belahan laki-laki
Di alam ruh dan dalam tubuh wadag
Keduanya satu dalam eksistensi ; sang manusia
Perbedaan mereka adalah aksiden
Keduanya dibedakan oleh budaya)

Raja para penyair Arab: Ahmad Syauqi dan Penyair Nil ; Hafiz Ibrahim menampilkan puisi-puisi yang menguak fakta-fakta sejarah masa lampau di mana begitu banyak perempuan-perempuan Islam tampil ke panggung sejarah peradaban manusia. Salah satu puisi Ahmad Syauqi sudah dimuat dalam Swara Perempuan edisi : "Ulama Perempuan".

Memperjuangkan Kesetaraan melalui Media Budaya
Di atas landasan pesan-pesan normatif universal Alquran tersebut, sudah saatnya perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan manusia, laki-laki dan perempuan, dilanjutkan melalui beragam cara yang mungkin. Di samping melalui karya-karya akademis dan dialog-dialog kebudayaan dalam arti luas, ia juga bisa melalui media budaya dalam arti seni, dongeng-dongeng dan karya sastra, baik sastra prosaik maupun puitis dan syair-syair. Media sastra yang disebut terakhir ini barangkali paling menarik banyak orang dan efektif. Apalagi jika kemudian dibuat komposisi untuk musik yang indah, seperti yang sudah dirintis oleh kolaborasi Rahima dan Fahmina Institute dalam karya mereka berjudul : "Shalawat Keadilan".

Seni musik adalah kreasi kebudayaan yang paling universal. Ia dinikmati oleh semua orang di muka bumi ini, bahkan kadang digilai oleh sebagian orang. Karya seni musik, juga seni budaya yang lain, sanggup menyatukan keretakan dan keterpecahan manusia akibat perbedaan-perbedaan politik, ideologi, etnisitas dan lain-lain. Konon, bangsa-bangsa Arab di Timur Tengah, termasuk Israel, mampu melupakan permusuhan dan perbedaan-perbedaannya ketika Ummi Kutsum tampil dalam setiap pagelaran konsernya. Ummi Kultsum adalah penyanyi legendaris Mesir yang tetap dicintai bangsa Arab sampai hari ini. "Al Athlal" (puing-puing) adalah salah satu nyanyian Ummi Kultsum yang diperdengarkan pada saat perjanjian Camp David, yang menandai berakhirnya perang Mesir dan Israel.

Pada masa lampau, penyebaran Islam melalui folk musik menjadi media paling efektif. Satu tokoh penyebar Islam di Nusantara yang menggunakan media ini adalah Sunan Kalijaga. Lagu "Tombo Ati" yang kini terkenal melalui suara Opiek, konon adalah salah satu gubahannya. Lagu ini sudah lama dihafal oleh rakyat di pedesaan dan disenandungkan di mushalla-mushalla menjelang shalat. Begitu juga lagu "Lir Ilir" yang dipopulerkan oleh Emha Ainun Najib. Ini adalah karya sastra filsafat yang dialirkan dengan manis dan mampu merubah bangunan budaya Jawa yang politeistik menjadi Tauhid dan menjunjung moralitas luhur.

Fakta-fakta di atas menunjukkan dengan jelas bahwa seni musik merupakan media yang sangat efektif dalam mempengaruhi masyarakat dan mengubah tradisi. Saya kira tidak seorangpun meragukan hal ini. Dengan begitu, saya kira para aktivis perempuan sudah saatnya mengambil seni musik dan media budaya rakyat yang lain sebagai alat dan instrumen alternatif untuk memperjuangkan cita-citanya; membangun peradaban yang adil, tanpa diskriminasi, tanpa kekerasan dan ramah terhadap siapa saja; laki-laki dan perempuan. Semoga.

Husein Muhammadssssss
Cirebon, 29 Pebruari 2008ssssss

Tidak ada komentar: