Penulis: Dr. Rumadi
Halaman: 382+ XVIII
Penerbit: Fahmina Institute, 2008
Oleh Ahmad Suaedy *
Ketika mendeskripsikan elan di balik kembalinya NU ke Khittah 1926 yang dicetuskan pada Muktamar ke-27 di Situnbondo 1984, Prof. Martin van Bruinessen, pengamat Islam asal Belanda menyatakan bahwa, di saat gerakan-gerakan Islam di hampir seluruh dunia mendeklarasikan kembali kepada Al-Quran dan Hadits -ada semacam “demam Alquran dan Hadits”- sebagai basis perjuangannya, maka kalangan NU justru kembali ke Khittah (garis perjuangan) NU sendiri tahun 1926.
Begitu jauhnya rentang tradisi yang diusung oleh gerakan-gerakan Islam lain yang umumnya mengklaim diri sebagai gerakan modern, mendekati 14 abad jauhnya. Maka komunitas pesantren atau NU hanya menoleh pada tradisi yang sangat pendek dibandingkan dengan rentang tradisi kelompok lain, yaitu hanya sekitar setengah abad saja. Ini pun sepintas tidak ada kaitannya dengan awal berdirinya Islam, karena sepenuhnya dalam konteks Indonesia. Indonesia di tahun 1926.
Saya kira, Martin dalam tulisannya itu sedang mencoba mendefinisikan basis tradisi yang dibangun oleh gerakan NU yang berbasis pesantren ini. Dari sini jelas dimana perbedaan NU dengan gerakan-gerakan Islam lain, yaitu definisi tentang tradisi yang dimilikinya. Meskipun NU jelas sebagai organisasi keagamaan Islam, dan mendeklarasikan sebagai “Islam ala ahlussunnah wal jamaah,” tetapi ciri keislaman itu tetap berkonteks Indonesia, tempat gerakan NU dibangun dan berlangsung.
Beberapa konteks
Ada beberapa konteks di tahun-tahun 1920an ketika NU didirikan. Secara eksternal, di satu pihak sedang terjadi pergolakan nasionalisme Indonesia untuk merdeka dari penjajahan, dimana gerakan-gerakan Islam, termasuk kalangan pesantren, ikut terlibat di dalamnya. Di sisi lain, sedang terjadi arus wahabisme dan arabisme yang kuat berkaitan terjadi rivalitas antara raja Ibn Saud di Saudi Arabia dan Raja Faruq di Mesir untuk memperebutkan kepemimpinan dunia Islam menggantikan Turki Utsmani yang runtuh akibat agresi Barat ke dunia Timur.
Raja Saudi yang berhaluan wahaby tidak hanya hendak menarik Islam di seluruh dunia untuk ikut dalam barisannya melainkan juga menyebarkan teror intensif terhadap tradisi Islam lokal atau Islam tradisional, seperti terjadi di Saudi sendiri dengan memberantas Islam tradisional, seperti gerakan tasawuf dan tarekat, bermazhab serta tradisi lokal lainnya. Karena itulah Saudi menanamkan gerakan Islam khas wahaby di Indonesia dengan misi memberantas apa yang ketika itu terkenal dengan TBC (Tahayyul, Bid’ah dan Churofat). Praktis, tradisi Islam lokal atau Islam tradisional Indonesia yang berbasis di pesantren dan para ulama atau kiai lokal menjadi sasaran para misionaris wahabisme tersebut.
Ketika kerajaan Saudi mengadakan Konferensi Internasional untuk mengukuhkan kepemimpinan internasionalnya itu, Islam tradisional yang berbabis pesantren tidak diikutkan karena dianggap tidak sealiran dengan wahaby atau lebih terus terang, sesungguhnya tradisi yang berbasis Indonesia dianggap Islamnya tidak sempurna sebagaimana wahaby. Hanya jaringan Wahaby Indonesia yang diundang dalam konferensi itu. Inilah yang mendorong Islam tradisional mengorganisir diri yang kemudian menjadi –dulu-- Nahdlatul Oelama (NO).
Di sini lain, secara internal, sebagaimana dipresentasikan oleh Gus Dur sebagai “subkultur,” maka Islam pesantren atau Islam tradisional memiliki cirinya sendiri, terutama dalam lingkungan sosial dan struktur masyarakat pesantren, serta nilai-nilai moralitas yang bersumber terutama dari kitab kuning, dan juga metodologi dalam analisis atas realitas untuk merespon perubahan. Inilah yang menjadi ukuran seluruh respon kalangan pesantren dan NU terhadap perubahan sosial dan politik di luarnya. Karena itulah, tidak heran jika NU memiliki ciri tersendiri dalam berbagai momen sejarah dalam rangka menanggapi perubahan sosial tersebut.
Tidak heran pula, jika para pengkaji ilmu politik yang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang tradisi pesantren dan NU, kehilangan orientasi dan frustasi ketika melihat respon NU terhadap perubahan sosial ini, karena tidak mengikuti pola baku dalam ilmu politik. Dalam psikologi seperti itulah, saya kira ketika Dr. Bachtiar Effendy dalam disertasinya mendefinisikan pola NU merespon perubahan sosial politik ini dengan mengatakan bahwa NU dikatakannya sebagai oportunis, hanya karena tidak ada standar baku ilmu politik untuk mengategorikannya.
Kosmologi
Dalam kosmologi NU dan pesantren, berbeda dengan gerakan Islam lain, boleh saya katakan bahwa pusat Islam bukanlah Timur Tengah atau apalagi Saudi Arabia, melainkan Indonesia atau Jawa. Sumber-sumber nilai dan pengetahuan seperti kitab kuning baru berbunyi dalam realitas sosial setelah ditempatkan dalam konteks Indonesia. Jadi, secara historis NU tidak pernah menjadi “sub” dari gerakan Islam di Timur Tengah atau dimanapun di dunia.
Hendak dikatakan di sini bahwa tradisi dalam NU dan pesantren tidak bisa disamakan begitu saja dengan tradisi gerakan Islam lainnya di belahan dunia lain, bahkan dalam gerakan Islam yang menyebut diri ahlusunnah wal jamaah sekali pun, termasuk di Indonesia. Sehingga istilah “post-tradisionalisme Islam” dalam disertasi Dr. Rumadi ini, menurut saya, harus serta merta dilihat dalam tradisi atau tradisionalisme NU dan pesantren, dan bukan tradisionalisme Islam di tempat atau organisasi lain.
Kritik Gus Dur dalam buku ini terhadap istilah post-tradisionalisme Islam yang digunakan di dalam buku ini, di satu pihak masuk akal karena post-tradisionalisme Islam memberi berbagai kemungkinan dan tidak hanya dalam pengertian kritik terhadap tradisi0nalisme itu sendiri, melainkan bisa, meminjam istilah Gus Dur sendiri di dalam tulisannya yang lain, berupa “retradisionalisme”. Artinya terjadi pengukuhan lebih keras dan sempit terhadap tradisionalisme itu sendiri. Jadi, tesis maupun antitesisnya bisa diberi julukan sama.
Namun, Dr. Rumadi dalam buku ini telah mengambil sikap sejak awal atas istilah yang dipakainya, yaitu dalam bahasa saya sendiri, sebuah gerakan pencarian pemikiran progresif atas perubaahn sosial yang berbasis pada tradisi pesantren dan NU yang dimilikinya. Dengan demikian munculnya kemungkinan lain dari kritik Gus Dur harus diberi istilah lain, mungkin lebih tepat “retradisionalisme” atau “retradisionalisasi” dan bukan “post-tradisionalisme.”
Nasionalisme
Dengan latar belakang demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa lahirnya gerakan NU merupakan bagian dari pergulatan nasionalisme Indonesia, yaitu kemerdekaan negara republik Indonesia dari penjajahan dan terbangunnya bangsa Indonesia. Bersamaan dengan itu juga terbangun semacam definisi hubungan agama, bangsa dan negara dalam Islam khas NU. Seluruh definisi tersebut bisa dikaji dalam dinamika komunitas tradisional pesantren dan NU dalam merespon dinamika sosial politik ketika itu dan bukan hanya justeru dari karya-karya intelektual aktivis NU semata.
Dari kajian itu, misalnya, ditemukan bagaimana komunitas NU mendefinisikan kekuasaan, negara dan bangsa. Menurut catatan AndrĂ„“e Feillard, pada Muktamar NU tahun 1938 di Menes, Banten, ada dua pertanyaan searah yang jawabannya saling kontradiksi. Pertanyaan pertama adalah bahwa penjajah Belanda menawari NU untuk masuk menjadi anggota Volskraad, dengan itu maka NU akan menjadi bagian dari struktur kekuasaan dan pemerintahan Belanda di Hindia-Belanda. Namun ketika diadakan voting, hasilnya 54 menolak dan 4 setuju masuk Volksraad. Jadi NU menolak masuk lembaga perwakilan rakyat versi penjajah itu.
Pertanyaan kedua adalah, apakah Hindia-Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar? Jawabannya adalah wajib karena Hindia-Belanda, menurut hasil Muktamar itu, merupakan dar al-islam. Yaitu, kawasan yang mayoritas penduduknya pemeluk Islam, pernah dikuasai kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam tidak dibatasi dan dilarang untuk menjalankan ibadahnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa, keikutsertaan NU dalam Volksraad adalah masalah politik dan kekuasaan, oleh karena itu bisa ditolak dan bisa juga diterima seandainya hasil voting itu menghasilkan sebaliknya. Tetapi masalah kawasan Hindia-Blanda adalah masalah negara dan bangsa, karena itu harus dipertahankan dengan basis argumen Islam.
Dalam konteks inilah bisa dipahami ketika KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar PBNU mengeluarkan fatwa “resolusi jihad”pada tahun 1945 yang mewajibkan kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia sebagai wajib ‘ain dalam jarak tertentu dari Surabaya yang sedang berperang untuk mempertahankan kemerdekaan. Dari fakta demikian, tidak heran pula jika komunitas NU tampak lebih bisa menerima penjajah Balanda dalam konteks negara-bangsa ketimbang Islam aliran wahaby yang terus menerus menghardik mereka dengan tuduhan musyrik, kafir dan TBC yang merupakan semacam pemaksaan arabisasi.
Hendak diberi catatan atas disertasi ini bahwa keterkaitan yang erat antara berdirinya NU dan proses terbangunnya negara-bangsa Indonesia, maka pergulatan itu pun menjadi bagian dari tradisi NU itu sendiri. Artinya gugatan Gus Dur atas disertasi ini mengenai kenyataan historis pergulatan kaum santri dan komunitas lain dalam dinamika sosial politik di awal-awal kebangkitan nasionalisme Indonesia itu semestinya menjadi bagian dari kajian post-tradisionalisme Islam dalam komunitas NU juga. Meski demikian, sebagai sebuah disertasi, bisa dipahami bahwa pembatasan atas rentang waktu dan luasan kajian harus dilakukan oleh Dr. Rumadi. Topik itu mungkin akan menjadi kajian tersendiri nantinya.
Evolusi
Begitu juga topik-topik yang menjadi perhatian gerakan pemikiran post-tradisionalisme tidak terlepas dari perubahan yang sedang terjadi pada level negara dan bangsa Indonesia. Jika kita kaji lebih mendalam maka kajian-kajian topikal itu memiliki konteksnya masing-masing. Kajian tentang demokrasi, civil society dan HAM, mislanya, lebih banyak berkembang di masa otoritarianisme Orde Baru, dan bahkan ketika itu dilakukan secara “undergorund.” Sementara saat ini, topik-topik itu lebih menjadi gerakan praksis ketimbang sebagai gerakan pemikiran.
Sementara masalah hak-hak perempuan, korupsi, dan hak-hak minoritas muncul menjadi pergulatan intensif saat ini, sehubungan dengan kian derasnya arus fundamentalisme yang anti kesetaraan perempuan dan anti pluralisme dan multikulturalisme serta maraknya korupsi sejak Orde Baru. Dengan kata lain, evolusi pemikiran psot-tradisionalisme Islam mengikuti arus perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Karena itu, sesungguhnya di luar itu semua, masih ada sejumlah isu yang belum terangkum dalam disertasi ini, misalnya gerakan tentang pertanian, lingkungan, pengelolaan seumber daya alam dan tradisi lokal. Semua ini menanti sebuah karya lanjutan berikutnya.[]
*Direktur Eksekutif the WAHID Institute Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar