Sabtu, 06 Desember 2008

Fatwa-Fatwa yang Menghebohkan


Oleh Ulil Abshar Abdalla

Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang terpusat yang menentukan kata putus dalam segala hal yang berurusan dengan soal agama. Dalam Islam tak dikenal lembaga terpusat yang bisa memaksakan satu pendapat kepada seluruh umat. Sebuah fatwa, meskipun dikeluarkan oleh ratusan atau (bahkan) ribuan ulama, tetap saja hanyalah sebuah pendapat saja. Umat boleh mengikuti, boleh pula mengabaikan. Sebuah fatwa bisa ditentang oleh fatwa lain.

KERAPKALI kita membaca fatwa-fatwa yang menghebohkan. Beberapa hari lalu, ulama di Malaysia mengharamkan yoga. Sebagian besar ulama Saudi hingga sekarang mengharamkan perempuan untuk menyetir mobil. Beberapa ulama Saudi juga melarang perempuan memakai “bra” karena hal itu bisa menipu laki-laki, seolah-olah dia memiliki payudara yang besar, padahal belum tentu demikian, dan karena itu bisa dianggap sebagai menipu.

Begitu juga perempuan diharaman memakai sepatu dengan hak tinggi, lagi-lagi dengan alasan penipuan: dengan sepatu berhak tinggi, perempuan tampak lebih
tinggi dari aslinya, dan itu menipu. Dalam hati saya berkata: kalau diterus-teruskan, perempuan juga dilarang berhias, karena bisa menipu pula—dia tampak lebih cantik dari aslinya, dan itu menipu laki-laki.

April 2007, sebuah fatwa yang menghebohkan muncul dari Mesir. Dr. Ezzat Atiyyah, kepala Jurusan Hadis di Fakultas Usuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo,
berpendapat bahwa seorang karyawan yang bekerja di ruangan tertutup dan berduaan dengan seorang karyawati lain yang bukan “mahram”, boleh menetek dari perempuan itu untuk menghindari larangan khalwat. Dengan menetek dari perempuan itu, karyawan tersebut berubah status menjadi seorang anak dari perempuan tersebut, dan dengan demikian keduanya boleh ber-khalwat.

Fatwa ini didasarkan kepada sebuah hadis yang sahih. Orang-orang terperangah mendengar fatwa itu. Akibat fatwa ini, Dr. Ezzat dipecat oleh pihak universitas
Al-Azhar, karena dalam penilaian yang terakhir itu, fatwa tersebut menyebabkan kebingungan dalam masyarakat, dan menjadikan Islam sebagai bahan olok-olok di mata orang luar Islam.

Di Indonesia sendiri, sejumlah fatwa heboh juga kerapkali kita jumpai dari waktu ke waktu. Hingga sekarang, Majlis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen.

BAGAIMANA kita, sebagai umat Islam, menghadapi fatwa-fatwa heboh seperti ini? Pertama-tama, yang harus dipahami oleh umat Islam, dan juga umat lain yang hendak memahami dinamika internal dalam umat Islam, apa yang disebut sebagai fatwa bukanlah semacam surat ensiklik dari Vatikan yang harus ditaati oleh seluruh umat.

Berbeda dengan agama Katolik, Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang terpusat yang menentukan kata putus dalam segala hal yang berurusan dengan soal agama. Dalam Islam tak dikenal lembaga terpusat yang bisa memaksakan satu pendapat kepada seluruh umat. Sebuah fatwa, meskipun dikeluarkan oleh ratusan atau (bahkan) ribuan ulama, tetap saja hanyalah sebuah pendapat saja. Umat boleh mengikuti, boleh pula mengabaikan. Sebuah fatwa bisa ditentang oleh fatwa lain.

Dalam hal ini, Islam lebih mirip dengan agama Protestan, meskipun tidak seluruhnya persis. Baik dalam Islam dan Protestan tak dikenal lembaga terpusat
yang bisa menjadi otoritas terakhir yang memutus segala hal berkenaan dengan agama dan keputusan itu mengikat umat.

Setiap tahun, ratusan, bahkan ribuan fatwa, muncul dari ulama di berbagai belahan dunia Islam. Ada fatwa yang resmi, ada fatwa “partikulir”. Ada fatwa kolektif, ada fatwa individual. Umumnya fatwa-fatwa itu tidak menarik perhatian publik karena tidak mengenai masalah yang sensitif dan tidak diliput oleh media. Ada kecenderungan dalam umat Islam untuk selalu bertanya kepada seorang ulama tentang status hukum semua hal yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Istilah fatwa tentu mempunyai batasan, sehingga tidak bisa diterapkan kepada semua jenis pendapat. Fatwa biasanya dipakai untuk menyebut sebuah pendapat yang berkenaan dengan status hukum suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang Muslim. Oleh karena itu, fatwa umumnya dipakai dalam konteks pendapat yang berkenaan dengan hukum Islam atau fikih. Dengan demikian, pendapat seorang sarjana filsafat Islam tentang suatu isu tertentu dalam disiplin filsafat Islam tidak bisa disebut sebagai fatwa dalam pengertian yang “teknis” dari istilah itu.

Bagaimana sebuah fatwa lahir? Prosesnya sangat sederhana, meskipun dalam praktek tentu tidak sesederhana seperti saya gambarkan ini. Fatwa lahir melalui proses berikut ini. Jika seorang ulama ditanya, apa kata hukum Islam mengenai kasus A atau B, dia akan mencari teks atau ketentuan dalam Quran atau hadis yang berkenaan dengan kasus itu. Jika terdapat jawaban dalam kedua sumber itu, maka biasanya dia akan memakai ketetapan yang ada.

Jika ada kasus yang baru sama sekali sehingga tak ada keterangan apapun mengenainya baik dalam Quran atau hadis, maka proses yang biasa dilakukan oleh seorang mufti atau ulama pembuat fatwa adalah ber-ijtihad atau menalar. Ada banyak prosedur dalam ijtihad yang tak usah saya sebutkan di sini. sebagian besar kasus yang muncul saat ini tidak ada ketentuannya dalam Quran dan sunnah, sehingga ulama harus melakukan ijtihad sendiri untuk menentukan hukumnya.

Contoh yang sangat baik adalah masalah yoga yang diharamkan oleh para ulama dari Malaysia itu. Jelas dalam Quran dan sunnah tak ada ketentuan yang eksplisit tentang haramnya yoga. Jika pada akhirnya ulama Malaysia memutuskan bahwa yoga haram dipraktekkan oleh umat Islam, maka pendapat itu adalah hasil penalaran ulama sendiri. Tentu bukan penalaran yang bergerak bebas; sudah tentu para ulama itu mendasarkan penalarannya atas ketentuan-ketentuan umum dalam Quran dan sunnah.

Tetapi ulama yang lain, dengan memakai ketentuan-ketentuan umum serupa, bisa datang dengan pendapat lain yang berbeda. Bukan saja itu, ulama yang sama bisa memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam soal yang sama. Ini bisa kita baca dalam buku-buku fikih perbandingan mazhab di mana sering kita jumpai pendapat yang berbeda-beda dari Imam Syafii (pendiri mazhab Syafii yang banyak diikuti di Asia Tenggara) atau Imam Malik (pendiri mazhab Maliki yang banyak diikuti di Afrika Utara) mengenai masalah yang sama.

Meskipun para ulama fikih mengatakan bahwa ijithad dalam Islam diikat oleh metode dan prosedur tertentu yang kurang lebih baku, tetapi jelas hasil ijtihad
seorang ulama sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor di luar pertimbangan agama. ”Mind-set”, paradigma berpikir dan kecenderungan intelektual ulama bersangkutan juga menentukan hasil akhir dari suatu ijtihad. Bahkan latar belakang sosial-budaya dari ulama itu juga ikut mewarnai proses berijtihad yang ia lakukan.

Jangan pula dilupakan, kedudukan sosial ulama juga ikut mewarnai pendapat dan fatwa seseorang. Ulama yang berada dan dekat dengan kekuasaan boleh jadi
mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan ulama yang ada di luar atau malah anti-kekuasaan.

Kelemahan praktek ijtihad yang berlangsung di kalangan ulama Islam selama ini adalah bahwa seolah-olah proses ijithad melulu dituntun dan dikendalikan oleh
metode ijtihad yang ada, tanpa adanya pengaruh eksternal; seolah-olah seorang ulama adalah subyek otonom yang berada di luar jejaring kepentingan sosial yang bekerja dalam masyarakat.

Menurut saya, asumsi seperti ini berbahaya karena mengandaikan ulama tidak mewakili kepentingan kelompok sosial tertentu; seolah-olah ulama adalah mewakili “suara Tuhan” yang berada di atas semua kepentingan sosial yang ada.

Dengan melihat proses fatwa seperti itu, saya berharap kita bisa menempatkan fatwa secara proporsional. Apa yang disebut sebagai fatwa adalah tak lebih dari
“legal opinion”, pendapat hukum. Fatwa mengenai kasus tertentu tidak berarti langsung menjadi kata pamungkas dalam kasus tersebut, sebab ulama atau sarjana lain bisa memiliki pendapat yang berbeda.

Keadaannya persis seperti saat anda datang ke dokter lalu meminta pendapatnya tentang suatu penyakit yang anda derita. Pendapat dokter tersebut tentu bukanlah kata akhir, sebab anda bisa datang ke dokter lain untuk meminta “pendapat kedua”, atau malah ketiga, keempat, dan seterusnya. Makin banyak informasi yang anda punyai tentang penyakit yang anda derita, makin baik. Meskipun anda bisa saja memutuskan untuk percaya saja pada pendapat dari dokter pertama.

ISU yang penting untuk saya tekankan di sini adalah bahwa “konsumen” juga memiliki haknya sendiri untuk menimbang-nimbang sebuah pendapat yang ia peroleh, entah dari seorang dokter atau seorang ulama. Aspek peranan “konsumen” inilah yang menurut saya kurang banyak dilihat dalam studi mengenai fatwa selama ini. Ada semacam asumsi bahwa begitu fatwa dikeluarkan oleh seorang ulama atau lembaga tertentu, maka dengan sendirinya umat akan mengikuti saja fatwa itu.Umat diandaikan sebagai obyek pasif yang harus menaati saja kata ulama, sebab apa yang dikatakan oleh ulama adalah kelanjutan saja dari “firman Tuhan”.

Ketika geraja Vatikan mengeluarkan larangan untuk memakai kondom, belum tentu larangan itu diikuti oleh umatnya, dan belum tentu juga semua umat Katolik
sepakat bahwa larangan itu masuk akal dan sesuai dengan ajaran Alkitab.

Hal serupa juga terjadi dalam tubuh umat Islam. Karena sebuah fatwa bukanlah hukum yang mengikat, dan oleh karena sebuah fatwa juga bukan merupakan kata putus dalam sebuah kasus, maka fatwa tidak bisa kita jadikan sebagai semacam indeks untuk melihat dan membaca kecenderungan prilaku umat. Umat bisa saja menanggapi fatwa tertentu secara skeptis karena dianggap tidak masuk akal.

Contoh terbaik adalah soal bunga bank. Meskipun MUI mengatakan bahwa bunga bank haram, tetapi banyak umat Islam yang tidak mengikuti fatwa itu. Mereka tidak mengikuti fatwa itu buka karena tak tahu atau tahu tetapi tak mau mengikuti. Mereka “membangkang” terhadap fatwa MUI itu sebab ada ulama lain yang berpendapat bahwa bunga bank seperti dipraktekkan oleh perbankan modern tidaklah masuk dalam kategori riba yang dilarang oleh agama.

Dengan kata lain, umat bukanlah obyek pasif yang menerima fatwa apa adanya tanpa berpikir kritis. Tantangan umat Islam ke depan adalah bagaimana terus-menerus memberdayakan umat, bukan saja secara ekonomi (itu juga penting), tetapi juga dalam aspek berpikir sehingga daya kritis mereka terus meningkat dan dengan demikian dapat menilai fatwa-fatwa ulama secara lebih jeli dan hati-hati. Pendapat ulama jelas bukan pendapat suci yang tak bisa “diinterogasi” secara kritis.

Tidak semua orang kompeten untuk mengeluarkan sebuah fatwa. Tetapi setiap orang berhak menilai apakah sebuah fatwa masuk akal atau tidak, apalagi jika fatwa itu menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Keadaanya tidak beda dengan produk hukum sekuler biasa: anda tak perlu menjadi sarjana hukum untuk menilai apakah suatu produk hukum tertentu masuk akal atau tidak. Begitu juga, anda tak perlu menjadi seorang ahli hukum Islam untuk menilai apakah sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh ulama atau lembaga ulama tertentu masuk akal atau tidak.

Jangan terkecoh dengan sebuah fatwa yang mengandung catatan kaki panjang yang memuat puluhan ayat atau hadis. Contoh yang sangat bagus adalah pendapat Ibn Taymiyah yang pernah saya tulis sebelumnya. Berdasarkan sebuah hadis tertentu yang sangat sahih, Ibn Taymiyah mengatakan bahwa dalam Islam bangsa Arab mempunyai bangsa yang lebih unggul ketimbang bangsa lain. Bagi Ibn Taymiyah, itulah doktrin Sunni. Pendapat Ibn Taymiyah itu, walaupun disokong oleh ratusan hadis sekalipun, jelas tak masuk akal, dan “counter intuitive”.

Dengan kata lain, cara terbaik yang dapat membantu orang-orang awam di bidang hukum Islam untuk menilai sebuah fatwa adalah akal sehat. Itulah modal mental paling berharga yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Dengan akal sehat, anda bisa menilai sendiri apakah fatwa tentang haramnya mengucapkan selamat natal atau yoga masuk akal atau tidak. Sudah tentu, dengan akal sehat, orang bisa sampai pada pendapat yang berbeda-beda. Itu hal yang lumrah saja. Perbedaan adalah hal yang biasa dan tentu alamiah. Tinggal bagaimana kita mengelola perbedaan itu secara sehat.

Tetapi memberangus perbedaan dengan alasan bahwa pendapat tertentu bertentangan dengan “fatwa” dari seorang atau lembada ulama dan karena itu sesat, jelas tak masuk akal dan kontradiktif dengan hukum masyarakat.[]

Tidak ada komentar: