Ide Pak Masdar tentang perluasan waktu haji menarik di diskusikan lebih lanjut. Menarik, karena ini menyangkut bagian dari rekonstruksi wacana keagamaan yang established dan diyakini kebenarannya selama ini. Rekonstruksi, sebab berusaha melakukan terobosan baru, dengan menggagas perubahan waktu haji, dengan mengembalikannya pada waktu semula yakni tiga bulan; Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah, sebagaimana di yakini jumhur ulama’. Gagasan ini berawal dari kerisauan Pak Masdar melihat praktek haji yang selalu menimbulkan korban nyawa jam’ah dalam jumlah yang tidak sedikit. Akan tetapi, seperti yang kita lihat, ide ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Bahkan, lebih banyak yang menentang, karena di anggap menyalahi praktek yang dilakukan Rasulullah, walaupun, dengan nada apologi oleh pak Masdar hal tersebut tidak harus menutup kebolehan haji pada waktu yang lain. Artinya, apa yang di kerjakan Rasul, itu hanya alternatif waktu dari yang tiga bulan di atas. Ia tidak bersifat paten, karena perintah mengikuti Rasul itu dalam bentuk praktek melakukan haji, bukan soal waktu. Masalah waktu haji harus mengacu pada tiga bulan di atas seperti di sampaikan Al-Qur’an., al- hajju asyhur ma’lumat. Lebih lanjut, Pak Masdar menyampaikan bahwa kesepakatan ulama’ terhadap waktu haji itu sebatas penalaran atau ijtihad. Karena ijtihad, otomatis ia tidak berlaku sepanjang zaman, dan boleh di adakan ijtihad baru, mungkin seperti usulan Pak Masdar tersebut. Tetapi, mengapa gagasan ini kurang di terima?. Ada dua alasan untuk mengungkapkannya. Pertama gagasan itu, sesungguhnya masuk pada wilayah ijtihad. Apa yang disampaikan Pak Masdar tidak lebih seperti apa yang ia kritik pada ulama’ yang berijma’ pada waktu haji, yang juga bagian dari ijtihad. Walau demikian ijma’ ulama’ memiliki landasan rasional-teologis, yang dapat diterima khalayak komunitas umat Islam, yaitu praktek Rasul. Praktek haji yang dilakukan Rasul inilah yang kemudian menjadi takhsis dari konteks kalimat haji dalam al-Qur’an yang bersifat ‘am. Karena, seperti dalam kaidah ushul, bahwa lafadz yang ‘am tidak dapat di amalkan sebelum di ketahui yang mentakhsisnya. Dari sini, sebenarnya kedua pendapat itu adalah sama, yakni berpijak pada nalar. Tetapi, yang jadi persoalan yang di perdebatkan ialah apakah praktek Rasul itu bersifat mengikat atau bisa fleksibel dengan mengacu pada konteks keluwesan waktu haji dalam ayat? Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa praktek Rasul adalah mengikat dan tidak boleh di rubah, sedang pak Masdar justru sebaliknya, itu hanyalah alternatif, dan bisa di perluas dengan pertimbangan makna ayat secara umum. Tetapi alasan Pak Masdar, sekali lagi, nampak kurang di terima . Sebab itu, perlu dijelaskan alasan yang lebih argumentatif dengan landasan hukum yang bisa di pertangungjawabkan. Minimal, menggunakan pendekatan perangkat ilmu-ilmu keislaman dalam metode menafsirkan al-Qur’an seperti metode ilmu tafsir, balaghah, ilmu bayan atau yang lain, seperti ijma’ ulama’ dengan ushul fiqh-nya. Karena, jika sekedar berkutat dengan argumen-argumen logika, tanpa metode yang konkrit, sulit ide itu akan di terima oleh masyarakat muslim, sebab telah adanya aturan-aturan baku tentang interpretasi al-Qur’an, yang secara tak langsung di amini mayoritas umat muslim saat ini. Ini penting, guna menjembatani sikap kompromistis antara pemahaman teks al-Qur’an dengan praktek haji Rasul, yang terkesan kontradiktif secara dhohir. Kedua, Pak Masdar tidak mengekspolarasi dengan jelas mengapa Rasul melaksanakan haji pada bulan Dzulhijjah. Ia sama sekali tidak menyinggung sisi antropoogis-sosiologis ini. Yang di persoalkan hanya sebatas interpretasi teks, dan tidak berusaha lebih menukik pada persoalan yang lebih subtantif, yakni kondisi sosial. Artinya, tentu ada alasan tersendiri, mengapa Rasul mengerjakan pada waktu itu, apa latar belakang dan hubungannya dengan situasi masyarakat, sehingga pijakan argumen rasionalnya bisa lebih valid jika di kaitkan dengan persolan konteks. Sebab teks - mengutip Hassan Hanafi - tidak akan lepas dari respon sosial. Teks selalu berdialektika dengan konteks, dan teks tidak akan berdiri sendiri tanpa situasi yang mempengaruhi. Karena itu menjadi sangat penting agar teks tidak dilepaskan begitu saja saat ia pertama kali menyapa konstituennya. Nah, jika Pak Masdar mampu menjelaskan konteks tersebut secara terinci dan valid, besar kemungkinan pendapatnya lambat laun akan lebih di terima masyarakat, sebab walaupun terjadi ijma’ di antara ulama’ mengenai waktu haji, aspek ini nampaknya belum terjamah dengan kajian sistematis dan komprehensif. Apalagi, seperti di tuturkan oleh Muhammad Zakaria dalam aujazal masalaik ila muwathho’ al-malik, bahwa Abu Bakar pernah juga berhaji pada bulan Dzulqo’dah, sebelum Rasul melaksanakannya. Yang lebih mengejutkan adalah dalam Shohih Bukhori Bab Haji, kitab hadis dengan rangking tertinggi setelah al-Qur’an, tidak di jumpai penyataan bahwa waktu haji adalah tiga bulan seperti yang di sepakati, tetapi itu adalah qoul yang bermula dari Ibnu Umar, yang lalu di kutip mayoritas ulama’. Jadi benarkah bahwa waktu haji adalah tiga bulan, ini masih jadi pertanyaan juga, di samping dua hal di atas. Alangkah eloknya, jika Pak Masdar, mampu menjawab beberapa pertanyaan ini dengan baik, sehingga wacana yang di tawarkan, dengan alasan kemanusiaan dan ketenangan ibadah haji, dapat di terima, lalu di praktekkan oleh umat Islam. Saya sendiri akan setuju, jika Pak Masdar bisa menjawab pertanyaan itu dengan baik. Bagaimana Pak Masdar?
-----
kepada sdr bram
mengutip tulisan anda “ saya tangkap di ayat itu, kalau orang beriman pada Allah dan hari akhir dan berbuat baik, maka Allah menjaminnya di dunia dan di akhirat. simpel dan tidak khusus untuk yang beragama islam”, saya jadi khawatir jika pemikiran ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka nampaknya tidak perlu lagi yang namanya ritual-ritual dalam beribadah. bukankah begitu pendapat sdr bram? karena di situ juga kan tidak tertulis bahwa kita diharuskan shalat dan puasa. bagaimana dengan orang yang selalu berbuat baik tetapi juga selalu meniggalkan kewajiban shalat? bagaimana dengan orang yang selalu berbuat baik tetapi tidak pernah mau puasa di bulan ramadhan? bagaimana dengan kewajiban kita sebagai umat Allah untuk beribadah kepada-Nya? jikalau memang semua agama dianggap sama dan benar, apakah berani anda meninggalkan agama islam dan menganut agama lain yang menurut anda juga benar? bagaimana dengan hukum murtad? banyak perbedaan diantara agama-agama yang ada di dunia, danjuga banyak perbedaan aturan yang terdapat didalamnya. umat kristiani membolehkan makan daging babi dan meminum anggur sedangkan bagi umat islam dua benda tersebut haram untuk di konsumsi. jika kita tidak yakin dengan kebenaran agama yang kita anut (dalam hal ini saya seorang muslim yang percaya hanya kepada Allah SWT), untuk apa kita tetap beragama? bukankah lebih baik mencari atau menganut agama yang benar2 kita percaya dan kita patuh terhadap aturan2 yang ada di dalam agama tersebut? saya hanya ingin mengingatkan untuk kita lebih berhati-hati dalam bersikap terutama dalam hal-hal prinsip mengenai perbedaan-perbedaan agama.
wasalam
junaidi
Saudara Rifki,
Anda memberi ilustrasi yang sangat tepat mengenai apa yang saya ragukan dalam hadis. Lihatlah ini, bahkan dengan imel yang tertulispun, Anda salah menangkap apa yang saya maksud.
Saya tidak pernah menganggap tidak perlu mengikuti contoh Rasul. Jauh dari itu. Namun, sahabat-sahabat Rasul yang mencatati, mengobservasi dan mencontoh amalan-amalan beliau saja berbeda-beda pendapat. Saking bedanya sampai berbunuhan, bukan? Jadi kalau kita mau memakai catatan-catatan itu, pakailah, tetapi jangan dianggep panduan yang tercetak di batu dan mutlak benar, melainkan dianggep jurnalisme primitif saja.
Soal jaminan buat penganut agama lain selain Islam, bukan saya yang menjamin melainkan Allah. Jaminan itu tertera di Al-Baqarah 62 dan dengan redaksi yang sangat mirip, juga diulang di Al-Ma’idah 69. Di Al-Qur’an saya ayatnya pendek, gak ada embel-embel penjelasan bahwa ini khusus Yahudi yang ummatnya Musa atau Kristen jaman Isa Al-Masih. Bahkan ada disebut agama yang gak begitu populer dan mungkin sekarang sudah punah, Sabian. Mungkin Anda punya Al-Qur’an lain yang memakai penjelasan seperti Anda kutip?
Saya tangkap di ayat itu, kalau orang beriman pada Allah dan hari akhir dan berbuat baik, maka Allah menjaminnya di dunia dan di akhirat. Simpel dan tidak khusus untuk yang beragama Islam.
Tak mungkinkah seorang budhis, Islam dalam Budhanya? Kristen Islam dalam Kristennya? Seperti juga muslim mesti Islam dalam hidupnya?
Salam
Bram
Coba yang masih “agak percaya” sama “fatwa"nya P. Masdar ini untuk membaca lengkap hadits “Al hajju ‘arafah”. Masak sih menunjukkan aktivitas saja? Gak salah tuh? padahal jelas ada kandungan waktu di situ. Kata P. Masdar orang masih belum mau fatwa ini soalnya mungkin masih malu-malu. Pak, bukannya malu fatwa, tapi malu kalau hafal haditsnya sepotong-potong.
Lagian udah ngaku dalil haditsnya negatif, kok berani fatwa. Ingat, resikonya besar lo. Trus kayaknya perlu lagi dilihat tafsir “al hajju asyhurun ma’lumat”. Berani kharqul ujma’ nih?
Menanggapi “Fatwa” Ustadz Masdar
Oleh Fathur Rahman *)
Sudah diyakini umat Islam bahwa haji yang sah hanya dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan oleh agama. Namun, kita menemukan pemahaman “lain” yang mengatakan bahwa rukun Islam ke-5 tersebut bisa dan sah dilaksanakan sepanjang waktu tiga bulan. Pandangan ini, didasarkan pada firman Allah “al-haj asyhurun ma’lumat” (waktu haji itu adalah beberapa bulan yang diketahui). Jadi bukan beberapa hari. Bahwa sekarang dipersempit menjadi hanya lima hari, menurut pendapat ini, itu disebabakan praktik Rasulullah yang berhaji hanya sekali dan kebetulan pada hari-hari itu (9-13 Zulhijjah).
Adapun hadits “al hajj ‘Arafah” (haji itu adalah wukuf di Arafah) diartikan bahwa inti haji itu adalah wukuf di Padang Arafah. Tidak meununjukkan waktu pada hari Arafah. Hadits hanya berbicara tentang aktivitas, bukan berbicara soal tempat.
Pendapat tersebut diangkat dalam sebuah tulisan, yang lalu di-follow up-i JIL dengan wawancara antara saudara Ulil Abshar Abdallah selaku koordinator JIL dengan pemilik “fatwa”, Ustadz Masdar Farid Mas`udi, seorang tokoh NU, organisasi yang semenjak dulu sudah terpancang di benak saya akan keteguhan anggotanya dalam memegang ajaran salaf shalih. Dan saya menyangka Ustadz Masdar juga begitu karena beliau seorang tokoh dari organisasi tersebut.
Agama Islam yang sudah kita anut ini diturunkan oleh Allah kepada nabinya, Muhammad SAW, mencakup berbagai macam hukum yang bertujuan untuk memberikan kebahagiaan dan kedamaian bagi umatnya. Karena agamalah inti kehidupan. Tanpa agama kehidupan tiada arti dan makna. Islam adalah agama yang diridlai Allah. Barang siapa yang beragama selain Islam tidak akan diterima oleh Allah. Islam telah sempurna dengan mengandung segala macam hukum dalam berbagai macam aspek kehidupan dengan berpulangnya Rasulullah ke Rahmatullah. Sebagai ajaran yang universal dan fleksibel, atau dalam istilah lain alhanifiyyatu as samhah yang mengandung makna “ad dinu yusrun”.
Dalam ajaran Islam, ibadah terbagi menjadi dua bagian: ibadah yang bersifat ‘‘aziimah dan rukhsah. ‘Azimah adalah keadaan di mana seseorang diminta untuk melakukan sebuah amalan menurut kriteria yang sudah dibakukan oleh agama. Dilarang bagi umat untuk membuat suatu teori baru yang berseberangan dengan teori tadi.
Adapun rukhsah adalah perbuatan yang mana syariat sendiri telah membuka solusi-solusi bagi pemeluknya dan memberi keringanan-keringanan tertentu kala mereka menemukan hal-hal yang cukup berat untuk dilakukan.
Merujuk pada apa yang sudah disimpulkan Ustadz Masdar tentang bisanya perpanjangan pelaksanaan haji dari waktu yang ada dan boleh melaksanakanya di waktu-waktu lain selain waktu-waktu yang sudah di sepakati para ulama dari zaman dulu sampai sekarang dengan kendala-kendala tertentu dan masyaqqah (kesulitan) yang begitu berat bagi jamaah haji, adalah bukan lagi menyinggung masalah rukhsah yang beliau dengung-dengungkan sebelumnya. Namun sudah menyerempet ke bentuk amalan yang pertama, yaitu ‘azimah.
Amalan rukhsah yang berlandaskan masyaqqah bisa dilakukan saat tidak ada ta’arudl (kontradiksi) antara nash hukum dan masyaqqah tadi. Tapi kalau terjadi benturan antara nash dan masyaqqah maka tidak ada keringanan hukum (lihat Kitab Asybah wa an Nadza`ir oleh Ibnu Nujaim al Mashri I/117 ).
Kita bisa mengambil rukhsah jika telah terpenuhi syarat-syaratnya. Rukhsah bisa dilakukan kalau perbuatan tadi bersifat juz-i (bagian tertentu), bukan kulli (menyeluruh). Sudah menjadi kesepakatan para pakar Ushul Fikih kalau terjadi pergesekan antara hukum kulli dan juz-i maka yang dimenangkan adalah hukum kulli. Karena hukum kulli bersumber dari maslahat kulliyah, lain dengan hukum juz-i yang bersumber dari maslahat juz-iyyah. Karena tatanan kehidupan dunia tidak manjadi rancu dengan dibatalkannya suatu maslahat juz-iyyah, lain halnya dengan maslahat kulliyah (lihat Kitab Usul Fiqih al Khudlari: 71).
Dengan berdalil nash Alquran al hajju asyhurun ma`lumat (QS al Baqarah :197), beserta penafsiran yang dipahaminya, sampailah Ustadz Masdar pada kesimpulan tadi. Padahal kalau kita kembalikan nash ini ke sebab turunnya (asbabu an nuzul) sekaligus penafsiran-penafsiran para sahabat dan ulama setelahnya, tidak ada satupun komentar yang mengatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan waktu haji dan prosesinya dengan berulang-ulang.
Malah Imam Ibnu Hazm mengeluarkan pendapat, “sudah menjadi ijma` para ulama bahwa ayat itu hanya menunjukan waktu dibolehkannya ihram (niat) haji” (lihat Maratibul Ijma` hal 42). Karena haji hanya bisa dilakukan sekali dalam satu tahun dan kebolehannyapun terkhususkan pada bulan-bulan dan waktu-waktu tertentu yang sudah masyhur. Lain hal nya dengan umrah, kapan saja bisa dilakukan.
Kemakluman itu sendiri bersumber dari Rasulullah yang dituangkan dalam prosesi hajinya. Jelaslah dengan gamblang tanpa boleh diubah, baik dimajukan atau dimundurkan (lihat Tafsir Fakhru ar Razi: III/173). Tidak seperti yang sudah di katakan Ustadz Masdar. Saya kira beliau telah kelewatan sampai berseberangan dengan ijma` ulama.
Dan penafsiran dan pemahaman Ustadz Masdar tentang al hajju Arafah perlu ditinjau ulang. Apalagi jika sampai menganggap penafsirannya lebih pas dan yang sudah di ambil oleh para ulama dari zaman sahabat sampai saat ini dianggap kurang pas dan bersumber dari pemahaman yang sempit. Karena apa yang sudah diambil dan dipahami para ulama bersumber dari penafsiran dan pemahaman hasil jelajah teks Al-Quran dan Al-Hadits yang bersambung sampai ke Rasulullah, dari generasi ke generasi. Atau dalam kata lain disebut dengan sanad yang bersambung.
Apa yang dikatakan Ustadz Masdar merupakan hal baru yang saya atau umat Islam lainpun tidak tahu dari mana dan sejauh mana penafsiran ini diambil dan bisa dipertanggungjawabkan. Apakah punya sanad khusus yang bersambung sampai asal dan sumbernya? Apakah dari sekian ribu ulama dari zaman dulu sampai sekarang sekitar 1400 tahun tidak ada satupun yang tahu dengan pasti akan tafsiran ayat dan hadits tersebut? Dan dengan pemahaman mereka seperti ini menunjukan akan kesempitan pemahaman mereka?
Kalau Ustadz Masdar sedikit lebih teliti dan mendetail dengan meneruskan potongan hadits tadi lalu diperhatikan dengan seksama maka bisa diketahui sampai mana prosentase benar dan salahnya penafsirannya.
Hadits lengkapnya: “Haji adalah wukuf di Arafah, barang siapa yang tidak mendapatkan walau sebagian dari Arafah maka hajinya tidak sah”. Lalu dalam potongan berikutnya, “barang siapa yang datang ke padang Arafah sebelum fajar pada malam hari idun nahr (idul adlha) maka dia telah mendapatkan Arafah dan sah hajinya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, diriwayakan dari sahabat Abdurrahman bin Ya`mur). Imam Nawawi berkata, “hadits ini shahih” (lihat Majmu` Juz 8 hal ).
Dalam riwayat Imam Abu Dawud: 1947, “al hajju al hajju yaumu Arafah” (inti haji adalah wukuf pada hari Arafah). Kalau kita perhatikan kembali hadits-hadits tersebut maka akan kita dapatkan dalil sharih tata cara wukuf di Arafah. Bagaimana kita mengartikan sabda Rasul: “Barang siapa yang datang ke Arafah (tempat) sebelum fajar pada malam hari Idul Adha (waktu) maka hajinya sah“. Di sini dijelaskan waktu wukuf dan tempatnya. Mafhum mukholafah nya atau kebalikan dari itu, kalau ada yang melakukan aktifitas wukuf selain pada waktu yang ditentukan Rasul maka itu jelas-jelas manyalahi hadits dan tidak sah. Terlebih kalau kita lihat hadits riwayat Imam Abu Dawud, di situ tersebut dengan jelas kapan wukuf di laksanakan.
Imam Tirmidzi berkata: Hadits Abdurrahman bin Ya`mur lah yang menjadi landasan kapan bisa dikatakan sah atau tidak wukuf seseorang di Arafah (lihat Nailul Author Imam asy Syaukani: I/136).
Keberadaan hadits ini tidak menafikan ayat sebelumnya, itulah yang dikatakan para ulama. Lalu diambillah kesimpulan dengan pengamalan yang sudah berjalan dalam jangka waktu yang begitu panjang.
Namun kalau bentuk pengamalan dari nash Alquran dan Hadits tadi seperti yang dipahami oleh Ustadz Masdar, saya kira ini adalah salah satu bentuk kerancuan pemahaman seseorang terhadap nash Alquran dan Hadits. Karena berpegang teguh pada kekuatan akal tanpa mempedulikan asal atau sumber nash, adalah satu perkataan yang cukup serius untuk ditanggapi. Apalagi sampai mengatakan bahwa pemahaman yang sudah ada dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap salah satu ayat Alquran (lihat lagi wawancaranya dengan Ulil). Mengingat ittifaq (kesepakatan) ulama bahwa barang siapa yang mengingkari salah satu ayat Alquran hukumnya seperti orang mengingkari keberadaan Alquran itu sendiri, dan bagaimana hukum orang mengingkari Alquran? Padahal mengimani Alquran dan kitab-kitab sebelumnya adalah termasuk rukun iman.
Kalau memang benar seperti itu, berapa juta umat Islam yang mengingkari ayat tersebut? Sementara Ustadz Masdar mengatakan bahwa pengamalan haji sekarang dengan pembatasan waktu wukuf di Arafah pada waktu dan tempat yang sudah disepakati para ulama adalah bentuk pengingkaran terhadap salah satu ayat Alquran. Dia lupa bahwa Rasul sendiri dengan sharih telah membatasi waktu tersebut seperti dalam HR Abu Dawud tadi. Apakah pembatasan nabi bisa diartikan sebagai bentuk pengingkaan terhadap ayat juga? Ma`adzallah.
Dari sisi lain, Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa sudah menjadi ijma` (konsensus) para ulama bahwa wukuf berada pada tanggal 9 Dzul Hijjah, yaitu hari Arafah (lihat Maratibul Ijma`: hal 45).
Kalaupun Ustadz Masdar mengatakan bahwa pelaksanaan haji yang dianut umat Islam dari dulu sampai sekarang lebih dikarenakan tunduk terhadap tradisi, dan tradisi itu dogma, saya kira bukan begitu. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan tradisi. Tapi merupakan syariat yang harus dipatuhi dengan berdasarkan dalil. Dan di sana terdapat dalil-dalil sharih dan jelas bagai matahari di siang bolong. Baik itu dari Alquran, hadits shahih dan juga ijma` ulama.
Menyinggung hadits “li takkhudzu ‘anni manaa sikakum“ (HR Bukhari), Ustadz Masdar berpendapat bahwa hadits ini hanya sebagai rujukan tata cara haji yang menyangkut syarat-syarat dan rukun-rukunnya saja. Tanpa ada kekuatan untuk berbicara dengan bahasa yang lantang akan prosesi haji Rasulullah secara utuh dari segala sisi dan arahnya.
Kalau kita cermati kembali akan makna syarat dan rukun suatu ibadah maka ini tidak bisa terlepas dari suatu masa dan tata ruang suatu perbuatan. Saya ambil missal pelaksanaan shalat. Allah berfirman (yang artinya), “dan tegakkanlah shalat”. Di sini Allah memberi perintah suatu ibadah tanpa dibarengi tata cara pelaksanaannya. Akan tetapi di lain pihak nabi bersabda “shalluu kamaa ro-aitumuuni usholli“ (sholatlah kamu seperti kalian melihat shalatku). Bagaimana kita bisa memahami perintah Allah berupa shalat kalau tidak ada contohnya?
Di sini kita perlu bertanya bagaimana kita mengambil cara shalat tadi. Apakah cukup rakaatnya saja? Lalu, dengan ijtihad, shalat bisa di lakukan seenak dan semau kita? Atau waktunya saja, dengan tidak menghiraukan segala sesuatu yang berkaitan dengan dzatnya shalat itu sendiri? Saya kira tidak ada satu pun orang di dunia ini yang mempunyai kesimpulan seperti itu.
Dengan sabda Rasul tadi kita langsung bisa memahami dan mengetahui bagaimana kita menegakkan shalat.
Nah, bagaimana kaitannya dengan permasalahan yang sedang diangkat Ustadz Masdar ke permukaan ini? Kita katakan bahwa antara shalat dan haji tidak ada perbedaan karena keduanya adalah rukun Islam yang harus diyakini. Seperti shalat, masalah haji dijelaskan dengan dalil qurani yang bersifat mutlaq, “wa`atimmul hajja wal umrota lillah“, “walillahi ‘alannasi hijjul baiti“, “al hajju asyhurun ma`lumat“.
Kenapa orang niat haji harus dari batasan-batasan tempat (miqat) yang sudah disebutkan Rasullulah? Kenapa thawaf harus 7 kali, begitu juga sa`i? Kenapa Rasulullah harus wukuf di Arafah, kan itu daerah gersang dan panas? Tidakkah Rasulullah mampu untuk berijtihad mencari tempat wukuf yang lebih rindang dan lebih segar? Bisa saja orang berdalih begitu, toh dalam teks-teks Alquran tadi sama sekali tidak disebutkan permasalahan-permaslahan tersebut?
Dengan demikian, di mana kedudukan Rasulullah beserta segala tata kehidupannya, mulai perkataan, perbuatan dan persetujuannya? Maka hadits “khudzu ‘anni mana sikamum“ menjawab semua itu dengan jelas dan gamblang. Ulama Ushul Fikih sepakat bahwa perbuatan nabi yang bertujuan untuk memberi penjelasan kepada umatnya tentang amalan yang bersifat wajib maka perbuatan tadi wajib untuk diikuti (Al-Ihkam lil`Amidi: I/135). Inilah yang dipahami sahabat Ibnu Umar r.a kala ditanya salah satu permasalahan haji (lihat Qurtubhi: II)
Jadi praktek haji Rasulullah pada hari-hari dan waktu-waktu tertentu tadi, walau hanya satu kali saja, bukan sebagai kebetulan yang berawal dari ketidaksengajaan atau berlandaskan ketidaktahuan. Namun merupakan syareat yang sudah diturunkan oleh Allah kepada nabi yang tidak berbicara dengan nafsu, namun dengan wahyu Allah (wa maa yantiqu ‘anil hawaa inhuwa illa wahyun yuuhaa).
*) Penulis adalah peserta program Pasca Sarjana Universitas Al Ahgaff Hadramaut Yaman.
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)