Oleh Saiful Mujani
Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan kepolisian.
Kita bisa memperdebatkan apa yang dimaksud dengan “syari’ah Islam.” Lepas dari perdebatan ini, saya kira setiap Muslim punya sebuah kultur politik bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat politik (polity) yang dibangunnya, yakni Madinah, harus dijadikan acuan. Rasulullah bukn saja seorang pemimpin spiritual umat tapi juga seorang pemimpin politik. Dalam diri Nabi, dua kekuatan ini menyatu, dan Nabi dipercaya menjalankan kepemimpinan politiknya atas dasar Syari’ah.
Dengan wafatnya Nabi, kepemimpinan politik model ini seharusnya juga berakhir, karena memang tidak ada lagi Nabi setelahnya. Tapi para Sahabat sebagai pelanjut kepemimpinan umat dari Nabi telah berusaha meneruskan pola kepemimpinan ini. Sahabat bukan saja pemimpin politik tapi juga otoritas keagamaan setelah Nabi.
Dalam proses sejarah, peniruan atau pengidealan ke masa Nabi ini tidak mudah berkenan dengan semakin kompleks dan besarnya umat. Pembagian otoritas ke dalam otoritas politik kekuasaan dan otoritas kegamaan menjadi tak terhindarkan. Tapi Nabi dan Madinah di bawah kepemimpinan Nabi tetap bernilai dan menjadi orientasi dan legitimasi kekuasaan dalam perjalanan sejarah politik umat. Para pemikir Muslim yang mendukung demokrasipun tetap harus merujuk kepada kepemimpinan Nabi dan politik di bawah kepemimpinannya, misalnya dengan “mendemokrasikan” Madinah dan “mendemokrat-kan” Nabi. Ini sah saja, sebagai suatu tafsiran. Demikan halnya bagi yang menentang upaya ini. Kita umat Islam, sepertinya sudah ditakdirkan oleh sejarah supaya terus bergumul dengan persoalan ini. Pergumulan ini begitu nyata. Kita punya contoh nyata yang mencerminkan pergumulan ini: Saudi Arabia, Reublik Islam Iran, Politik Islam di Sudan, dan Rezim Taliban di Afghanistan. Semua rezim ini dengan caranya sendiri-sendiri mengklaim bertumpu pada syari’at Islam.
Tapi kita juga punya Turki, Indonesia Pasca-Suharto, Mali, Bangladesh, dan Jordania yang telah mencoba bereksperimen dengan demokrasi. Tapi, eksperimen inipun bukan perkara mudah. Tantangan besar di antaranya datang dari kelompok umat sendiri yang berorientasi pada penerapan syari’at Islam dalam kehidupan publik di mana negara bertanggungjawab atas pelaksanaannya. Tantangan ini sebagian menyumbang terhadap instabilitas demokrasi di negara-negara Muslim. Kenapa?
Demokrasi itu sendiri membutuhkan kultur politik demokrasi, yakni kultur massa mayoritas yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dibanding sistem lain. Di dalamnya ada keyakinan terhadap pluralisme politik: keyakinan bahwa keragamaan politik, teruatama yang berkaitan dengan politik yang bertumpu pada kekuatan primordial seperti agama, merupakan keniscayaan. Karena itu, tidak boleh ada kekuatan priomordial apapun untuk memaksakan dirinya menjadi dominan terhadap kekuatan primordial lain dalam wilayah publik. Kalau kultur ini lemah, di mana kekuatan primordial mayoritas menuntut menjadi kekuatan dominan dalam arena publik, maka sistem politik yang cocok untuk ini adalah non-demokrasi, misalnya saja otoritarianisme atau bahkan totalitarianisme.
Pluralisme ini terkait dengan unsur lain dari kultur demokrasi, yakni toleransi politik dan saling percaya sesama warga (interpersonal trust) dalam sebuah negara-bangsa, lepas apapun latar belakang primordialnya. Bila unsur-unsur ini lemah dalam masyarakat, maka demokrasi tidak bisa hidup dengan baik. Di dalam masyarakat Islam, baik itu yang sekarang ataupun yang menjelma dalam sejarah yang panjang, yang berkultur politik demokrasi itu hanya satu varian dari umat. Mereka membangun kultur ini di antaranya melalui penafsiran atas doktrin Islam dan melalui praktek politik umat.
Di samping itu, ada varian lain, yakni yang meyakini Syari’ah Islam, terutama yang dipraktikkan Rasulullah dan para Sahabat, sebagai landasan sistem politik terbaik bagi umat sekarang. Apa yang berlangsung di dalam umat Islam sendiri kemudian adalah pertarungan tafsir dan pelembagaan terhadapnya untuk menjadikan masing-masing tafsirnya dominan dalam sebuah masyarakat politik. Pertarungan ini memunculkan konflik kultural yang bisa jadi sehat dalam kehidupan umat, tapi bisa juga berimplikasi pada sikap dan prilaku yang tidak demokratis: kurang toleran dan kurang percaya terhadap sesama, walapun sama-sama Muslim. Bila ini yang tumbuh, maka pada gilirannya bisa berdampak pada sulitnya demokrasi terlembagakan sebagai sistem politik terbaik bagi umat. Ini sebagian menjelaskan kenapa eksperimen demokrasi di negara-negara Muslim yang telah lama berlangsung, seperti Turki dan Pakistan, tidak kunjung stabil. Sumbernya adalah interpersonal distrust yang tumbuh dari pertentangan tadi.
Di tanah air, munculnya aspirasi untuk menerapkan syari’at Islam belakang ini, harus dilihat dalam konteks demokrasi yang sedang diupayakan. Di mana-mana di dunia Muslim, gerakan “politik syari’ah” ini pada dasarnya tidak menjadikan demokrasi sebagai sarana dan tujuan politik. Seringkali politik syri’ah merupakan perlawanan terhadap demokrasi. Kecenderungan ini logis saja adanya. Sebab, gerakan politik syari’ah pada dasarnya menghendaki agar semua Muslim menjalankan syari’ah Islam seperti yang difahami oleh satu versi tertentu. Misalnya, hukum rajam, hukum potong tangan, pemberlakukan lembaga keuangan bebas bunga, dll., adalah bagian dari syari’ah. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan Muslim yang percaya bahwa hukum-hukum semacam itu bukan bagian utama dari syari’ah, dan karena itu dapat diabaikan?
Sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok dalam masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Tapi kalau sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka ia akan mengikat semua Muslim. Kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang syari’ah, mulai terancam keberadaannya.
Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan kepolisian.
Keterbatasan demokrasi ini harus disadari oleh kelompok demokrat dan kelompok politik syari’ah yang memperjuangkan aspirasi politiknya di jalur demokrasi. Demokrasi tidak akan mampu mewadahi kekuatan yang akan membunuh demokrasi itu sendiri. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar