Herry Nurdi
(penulis, wartawan)
Sebulan pascaperistiwa 11 September 2001, majalah Time menurunkan laporan utama tentang jaringan Alqaidah dengan judul Inside Al Qaeda Bin Laden's Web of Terror. Majalah ini, mendaftar Indonesia sebagai salah satu lokasi jaringan ini berada. Dua organisasi Islam dimasukkan namanya sebagai kepanjangan tangan Alqaidah di Indonesia. Kedua organisasi tersebut adalah Laskar Jihad dan Front Pembela Islam (FPI).
Kedua organisasi ini dikaitkan karena beberapa aktivitasnya. FPI ditandai dengan kegiatannya melakukan sweeping pada warga negara asing, terutama warga Amerika di Jakarta. Sedangkan, Laskar Jihad dikaitkan karena aktivitas gerakannya yang dipimpin oleh Ja'far Umar Thalib ini, dalam Jihad Ambon. Apalagi, diketahui bahwa Ja'far Umar Thalib adalah salah satu alumnus Afghanistan, orang-orang Indonesia yang pernah turut berperang di Afghanistan melawan Uni Soviet.
Tapi ternyata, peta ini tak bertahan lama. Baik FPI dan Laskar Jihad memang tak memiliki hubungan dalam network Alqaidah. Peta baru digelar, dengan mengaitkan gerakan Islam tua di Indonesia, seperti Darul Islam, sebagai akar terorisme di negeri Khatulistiwa. Laporan pertama kali yang menyebut nama organisasi Darul Islam adalah Dr Zachary Abuza, dari Departemen Political Science dan Hubungan Internasional, Simmons College. Laporan yang disusun oleh Zhachary Abuza beredar pada 6 Agustus 2002. Dan setelah itu, banyak nama lain yang bermunculan. Sebut saja, Rohan Gunaratna dengan Inside al Qaeda Global Network of Terror. Kemudian ada The Seed of Terror yang disusun oleh Maria A Ressa, kepala biro CNN di Jakarta. Dan yang terakhir muncul, dan sangat kuat merangkai keterkaitan Darul Islam sebagai akar terorisme di Indonesia adalah buku berjudul The Second Front yang ditulis oleh Ken Conboy.
Ken Conboy menulis The Second Front yang ia beri subjudul Inside Asia's Most Dangerous Teroris Network. Dan di buku ini, Ken Conboy memereteli dan menyusun logika tentang keterlibatan Darul Islam dalam proses kelahiran Jemaah Islamiyah.
Bahkan, setelah halaman 116, dalam bukunya Ken Conboy menyusun foto-foto tokoh yang seolah hendak bercerita secara kronologis. Paling atas ada Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, lalu turun sedikit ada Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir. Lalu ada gambar peta lokasi Abdul Rasul Sayyaf di perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Bahkan di halaman berikutnya, secara provokatif disusun di halaman yang sama foto Abdul Rahim Ayyub yang disebut-sebut pimpinan Mantiqi IV di wilayah Australia sedang duduk bareng dengan Abu Bakar Ba'asyir.
Meski begitu, tampaknya nama yang paling populer dalam urusan laporan jaringan terorisme ini tak ada yang mengalahkan nama Sidney Jones, koordinator Internasional Crisis Group. Sidney Jones begitu gencar mengatakan Darul Islam (DI) yang menjadi mata rantai paling besar gerakan terorisme di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan Tempo, Sidney menerangkan bahwa muncul jaringan bermacam-macam dari DI. Mulai dari Jemaah Islamiyah (Jl), Laskar Jundullah di Makassar, dan Mujahidin Kayamanya. Bahkan KW 9 yang dipimpin oleh Abu Totok alias Panji Gumilang yang juga Pimpinan Al Zaytun, telah disebut oleh Sidney Jones.
Menyebut nama Darul Islam, bukan sembarangan dampaknya. Sebab, seperti pukat harimau, jika Darul Islam disebut, nyaris semua gerakan Islam bisa terjaring dan kena sasaran. Karena, tidak berlebihan jika disebut Darul Islam adalah akar dari seluruh gerakan Islam di Indonesia.
Jika Darul Islam telah disebut, semua organisasi Islam di Indonesia bisa jadi terkena. Salah satu contohnya adalah ketika dalam laporannya, ICG menyebut nama Abu Jihad. Abu Jihad ini adalah anggota DI generasi Daud Bereueh. Sedangkan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir dianggap tokoh DI di Jawa Tengah. Darul Islam tidak ada hubungannya dengan Jemaah Islamiyah. DI ada di masa lalu. Sama sekali tak ada hubungannya dengan Jl.
Kini, muncul penamaan baru: Wahabi. Tak hanya Wahabi, tapi juga Ikhwanul Muslimin telah disebut-sebut. Konon keduanya, Wahabi dan Ikhwanul Muslimin telah 'melangsungkan' perkawinan silang yang melahirkan anak-anak dengan ideologi sekeras batu dan perilaku gerakan yang militan.
Wahabi sebenarnya bukan istilah baku dalam sumber-sumber rujukan Islam. Wahabi adalah penyebutan sebuah gerakan yang didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at Tamimi al Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M). Tokoh ini lahir di Uyainah, belajar Islam dari sumber terpercaya, hafal Alquran pada usia 10 tahun dan dapat bermazhab Hambali.
Pada zamannya, beliau berhadapan dengan masyarakat yang mengalami kemunduran dan kerancuan akidah Islam. Kehidupan umat Islam nyaris dibelenggu dengan warna dan aroma syirik serta takhayul. Kuburan disembah dan dijadikan tempat berdoa. Kemusyrikan menjadi gejala. Bahkan, dukun serta peramal memainkan peranan penting di tengah kehidupan sosial.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melakukan dakwah untuk membersihkan akidah dan memurnikan tauhid. Beliau mengajak umat membersihkan kesadaran dan memperbaiki akidahnya. Dan untuk itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menulis sebuah risalah pendek yang berjudul Kitabut Tauhid yang hingga kini masih menjadi rujukan para ulama dalam masalah akidah. Gerakan penyadaran ini lalu berkembang menjadi sebuah kesadaran massal, tidak saja di tempatnya dicetuskan, tapi meluas hampir ke seluruh jazirah Arab, bahkan keluar sampai ke tanah-tanah seberang, termasuk Indonesia.
Secara umum, gerakan ini memiliki beberapa tokoh ulama yang dijadikan rujukan, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, juga Ibnul Qayyim al Jauzi. Dan kelak, gerakan ini menjadi semacam pemantik kebangkitan gerakan-gerakan Islam yang lebih modern dan dianggap sebagai gerakan yang memiliki pengaruh luas di dalam dunia Islam, seperti ide Pan-Islamisme yang dicetuskan oleh Jamaluddin al Afghani, dan juga pemikiran yang dibawa oleh Syaikh Muhammad Abduh.
Secara logika, dengan sangat sederhana hal ini bisa dicerna. Mengapa gerakan pemurnian akidah yang diserukan dan diperjuangkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini berkembang menjadi ide dan pemikiran yang membahayakan kolonialisme? Sebab, akidah yang murni mendorong manusia untuk melepaskan diri dari menjadi hamba manusia lainnya, dan menjadi hamba Allah SWT semata. Gerakan ini, secara jangka panjang telah mengilhami usaha dan perjuangan kemerdekaan yang sedang membelenggu dunia Islam pada masa-masa itu. Dan tentu saja, gerakan ini telah dipandang sebagai ancaman tersendiri bagi kekuatan-kekuatan kolonial.
Hassan al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin sendiri, bisa dibilang sebagai salah satu anak cucu ideologis dari pemikiran tokoh-tokoh, seperti Syaikh Jamaluddin al Afghani dan juga Syaikh Muhammad Abduh. Maka secara ideologis, di sinilah letak pertemuan antara Wahabi dan Ikhwanul Muslimin yang hari ini disebut-sebut telah memberikan sumbangan besar pada perilaku terorisme.
Salah satu motif yang bisa dilacak dengan menyebut Wahabi dan Ikhwanul Muslimin sebagai akar ideologis dari masalah teror ini tidak lain untuk memperlebar pukat harimau untuk seluruh gerakan Islam. Maka kelak, bukan hanya gerakan-gerakan yang sudah familier disebut sebagai networking teroris seperti Jemaah Islamiyah. Tapi, bisa jadi tuduhan akan diperlebar pada elemen-elemen tertentu dari gerakan-gerakan seperti Muhammadiyah, al Irsyad, Persis, bahkan juga Nahdlatul Ulama, bahkan yang lebih bersifat trans-nasional, seperti Hizbut Tahrir dan Jamaah Tabligh.
Sebab, gerakan-gerakan seperti Muhammadiyah, memiliki unsur ajaran 'Wahabi' yang dibawa oleh KH Ahmad Dahlan saat meluruskan umat Islam dari penyimpangan TBC (Tachayul, Bid'ah, dan Churafat, ejaan lama). Ditambah lagi dengan penyebutan Ikhwanul Muslimin, maka nama partai politik seperti Partai Keadilan Sejahtera di Indonesia, atau PAS di Malaysia, juga menjadi sasaran dari perluasan incaran.
Dan dengan mudah, gerakan-gerakan perlawanan seperti Patani United Liberation Organization (PULO) dan Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang ada di Thailand Selatan, yang bergerak karena perlawanan akibat ketidakadilan Pemerintahan Thailand, mendapatkan stigma gerakan teroris karena mendapatkan ide tarbiyah dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Apalagi gerakan perlawanan seperti Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang mendiang pemimpin besarnya, Ustadz Salamat Hashim, adalah seorang Azhari atau lulusan Universitas Al Azhar, Mesir. Dengan sangat mudah gerakan perlawanan dikelompokkan sebagai teroris, apalagi secara tradisional Amerika memang memiliki hubungan erat dengan kepentingan Filipina. Padahal, secara kontekstual gerakan-gerakan seperti yang disebut terakhir ini lahir akibat dari penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di negara-negara seperti Thailand dan Filipina.
Selasa, 04 Agustus 2009
Darul Islam, Wahabi, Lalu Apa Lagi?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar