Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki sumberdaya alam (SDA) yang diperbaharui maupun tidak diperbaharui melimpah. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui seperti hutan, ikan, tanaman perkebunan dan seterusnya. Sementara, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui berupa mineral, barang tambang (batubara dan emas), minyak dan gas. Sayangnya, SDA tersebut tidak mampu memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Apakah ada kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga saat ini hampir semua sumberdaya tersebut dikelola dan dikendalikan asing? Hampir setiap hari di media massa koran maupun televisi kita kerap mendengar berita illegal logging, illegal fishing maupun illegal mining. Kita sebagai pemilik sah sumberdaya itu hanya menjadi ”penonton” di rumah sendiri. Kita pun lupa bahwa sekitar 90 % penduduk negeri ini beragama Islam yang praktis tidak mendapatkan apapun dari praktek pengelolaan SDA semacam itu.
Perspektif Konvensional
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki kekayaan SDA melimpah secara teoritis harus berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat. Semakin melimpah SDA, akan semakin makmur bagi penduduknya. Faktanya, data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menyebutkan bahwa 69.957 desa di Indonesia (PODES, 2006) sekitar 45,2 % termasuk kategori desa tertinggal. Dari jumlah penduduk miskin yang mencapai 42,4 juta (BPS, 2006) sekitar 68,4 % berada di pedesaan. Mengapa kondisi asimetris bisa terjadi padahal kita memiliki SDA yang melimpah?
Dalam kepustakaan ekonomi sumberdaya ”konvensional” dinyatakan bahwa kepemilikan (property right) atas SDA dikelompokkan (Tietenberg, 1992); (i) kepemilikan pribadi (private property right); (ii) kepemilikan bersama (common property right), dan (iii) kepemilikan negara (state property right). Hampir 90 % pengelolaan SDA di Indonesia masuk kategori kepemilikan pribadi yang dalam hal ini direpresentasikan perusahaan multinasional (multinational corporation). Saat ini tidak ada lagi aturan yang membatasi mana barang publik (publik goods), mana milik pribadi dan mana yang diatur negara. Dalam bidang pertambangan minyak dan Gas pemiliknya Exxon Mobile, Shell, dan Total E & P.
Sementara, dalam bidang pertambangan mineral (tembaga, emas dan batubara) pemiliknya Freepot, Newmont, Kalimantan Prima Coal (KPC). Dalam bidang perkebunan perusahaan-perusahaan Malaysia menguasai 90 % perkebunan Sawit di Sumatera dan Kalimantan. Sumberdaya air yang menjadi barang publik pengelolaannya pun sekarang dilakukan perusahaan-perusahaan asing yang awalnya berkedok proyek Water Resources Sector Adjustement Loan (Watsal) dari Bank Dunia. Bukan hanya itu, operasi penangkapan ikan di perairan Indonesia banyak dilakukan kapal asing bertonase besar. Parahnya lagi pemerintah justru membuat peraturan perundangan yang menjustifikasi pihak-pihak asing dalam menguasai SDA seperti UU MIGAS, UU Sumberdaya Air, UU Penanaman Modal Asing, UU Perikanan, UU Perkebunan, dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dst. Kondisi ini sebenarnya kontradiktif dengan UUD 1945 pasal 33 dimana ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ”dikuasai” oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Semangat konstitusi jelas membenarkan adanya kepemilikan negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti sumberdaya air, tanah, minyak dan gas, mineral serta lautan dan biotanya.
Perspektif Islam
Islam sebagai agama ”wahyu” juga mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan SDA. Jenis kepemilikan atas SDA terdiri dari (i) kepemilikan individu (mikl fardhiyah); (ii) kepemilikan umum (milk ’ammah) dan, kepemilikan negara (milk daullah) (Solihin, 2007). Terminologi konsep kepemilikan dalam Islam ini memang tidak berbeda dengan konsep ekonomi sumberdaya konvensional. Akan tetapi, secara substansi dan implementasi konsep kepemilikan (property right) menurut ajaran Islam berbeda signifikan. Islam mengakui kepemilikan individu/swasta akan tetapi tidak boleh memilikinya.
Pemanfataannya pun hanya diperbolehkan pada batas tertentu agar tidak menimbulkan kerusakan atas SDA (Ar Rum : 41). Berkebalikan dengan konsep ekonomi liberal yang bukan sekadar menguasai, akan tetapi boleh mengeksplotasi tanpa batas bahkan memperjualbelikan dengan pihak lain dengan mengabaikan negara pemiliknya. Islam juga mengakui kepemilikan umum/bersama seperti barang tambang, tanah, sumber air (sungai, mata air), lautan dan biotanya (An Nahl, : 14) dan seterusnya yang juga ada batasan dalam pemanfaatannya. Islam mencontohkan bagaimana Nabi Saleh AS melakukan ”reforma agraria” atas tanah, padang-padang rumput, dan sumber air (oase) yang saat itu hanya dikuasai oleh sembilan keluarga dari kaum Tsamud yang mewarisi kebudayaan kaum Ad (suku pengembala) (Al Ar’af : 73). Reforma agraria tersebut mengakibatkan sumberdaya tersebut berubah kepemilikan dari individu (keluarga) menjadi milik bersama (common property right) (Zia Ul Haq, 1987).
Peran Negara
Jika kita transformasikan nilai ajaran Islam dalam konteks kekinian, peran negara yang pemimpinnya sebagai pengemban amanah rakyat harus mampu mengelola/mengendalikan dan memanfaatkan SDA demi mensejahterakan rakyatnya. Dalam perspektif ini substansi pasal 33 UUD 1945 jelas sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam. Akan tetapi, mengapa Negara sebagai intitusi tertinggi yang berperan dalam mengelola/mengendalikan dan memanfaatkan SDA justru ”mengabaikan” dengan amanat konstitusi? Parahnya, lagi negara justru memproduksi peraturan-perundangan yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Kita tidak perlu mengkaitkan dulu dengan ajaran Islam yang notabene dianut 90 % penduduk negara ini. Konstitusi yang jelas–jelas menentang penguasaan asing, kepemilikan individu yang tak terbatas (baca : UU Penanaman Modal) atas barang publik (public goods) yang menyangkut hajat hidup orang banyak justru diperbolehkan. Apakah hal ini merupakan bentuk baru dari kegagalan pemerintah (government failure) dalam mengelola SDA? Atau, memang kita sudah terjebak dalam arus neo-liberalisme yang ”memaksa” negara mengorbankan rakyatnya demi kepentingan sekelompok elita dan pihak asing yang menguasai aset ekonomi global?
Islam dengan Al Qur’an dan Al Hadist sebagai pedoman pokoknya tidak sekadar memuat teks-teks normatif saja. Melainkan, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mampu mentransformasikannya model pengelolaan SDA sekalipun tidak disebutkan bersumber dari keduanya. Ada beberapa yang dapat disebutkan di Indonesia antara lain (i) Model kelembagaan Panglima Laot yang mengatur perikanan laut di Aceh menurut sejarahnya bersumber dari filosofih ajaran Islam pada masa Kesultanan Aceh Darussalam (Saharuddin, 2006); (ii) Sama halnya dengan kelembagaan ”Sasi” yang mengatur penangkapan sumberdaya ikan secara komunal (Ikan Lompa dan Lola) juga dibangun atas nilai-nilai ajaran Islam di Maluku sejak dulu sampai kini; (iii) Penutupan perairan semacam situ yang kenal sebagai ”Lebaklebung” di Minangkabau juga bernapaskan ajaran Islam (Beckmann et all, 2001), dan (iv) Di wilayah Kesultanan Buton yang pada masanya sudah menerapkan syariat Islam dalam mengatur sistem penguasaan tanah, penangkapan ikan di laut, dan hukum tawan karang bagi kapal asing yang terdampar di perairan Buton.
Model-model pengelolaan SDA tersebut yang kerap disebut kearifan lokal yang sejatinya mengandung mentranformasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam yang hakiki karena (i) dalam mengelola SDA ada aturan pengelolaan dan pemanfaatan (ii) adanya pengakuan kepemilikan inividu maupun publik/umum, tetapi pemanfaataannya terbatas karena harus ada jaminan keberlanjutan pada masa datang (sustainability), dan (iii) negara yang waktu itu direpresentasikan sebagai ”kesultanan” maupun ”kerajaan” bukan pemilik SDA, melainkan berperan mengatur dan mengendalikan pemanfaatannya sehingga memakmurkan rakyatnya. Awal tergerusnya nilai-nilai Islam transformatif ini akibat kolonialisme dengan idiologi kapitalisme/lebralisme-nya dengan semboyan gold, gospel dan glory. Sementara di masa kini, penjajahannya bersifat ekonomi (utang luar negeri dan liberalisasi perdagangan) tetap dengan idiologi kapitalisme/neo-liberalismenya.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia harus mulai membangun paradigma-paradigma transformatif berbasiskan agama khususnya Islam dalam mengelola SDA agar pemanfaatannya berkelanjutan. Tanpa itu, eksploitasi atas SDA oleh pihak asing maupun para kapitalis akan semakin merajalela. Rakyat akhirnya menjadi korban dengan dalih pembangunan (developmentalisme). Akhirul Kalam, Selamat atas terselenggaranya WOC-CTI Summit di Manado. Wallahu alam bisawab/taq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar