Zainal Abidin Bagir
(Pengajar Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana UGM)
Kontroversi penerbitan buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia beserta protes sebagian peneliti yang pernah terlibat di dalamnya (Republika, 26 Mei 1009) memang cukup runyam. Kerunyaman menjadi makin rumit karena ada yang memanfaatkan buku ini untuk menunjukkan bahaya 'Islam garis keras' di Indonesia, sementara yang lain memanfaatkan protes sebagian peneliti itu untuk menyerang kredibilitas kelompok yang disimplifikasi sebagai 'Muslim liberal'.
Tapi, kalau mau sedikit berterus terang, mungkin kerunyaman ini bisa mulai diurai dan kontroversi ini memberikan banyak pelajaran penting. Setidaknya, kita bisa melihat dua hal yang terpisah, namun juga bisa terkait di sini: mengenai gerakan transnasional yang menjadi isu utama buku ini dan kualitas penelitian yang dikeluhkan para peneliti itu.
Dalam Ilusi Negara Islam, sifat transnasional dengan tepat dilekatkan pada beberapa organisasi Islam yang disebut sebagai gerakan garis keras. Kritiknya tentu adalah pada 'garis keras'-nya. Sifat transnasional dilekatkan pada gerakan tersebut untuk menunjukkan bahwa ini adalah isu besar dan serius. Bahkan, karena melibatkan dana asing, besar kemungkinan agendanya adalah agenda asing yang tak relevan dengan lokalitas Indonesia dan dianggap mengancam Indonesia. Menarik bahwa Hizbut Tahrir Indonesia, yang menjadi salah satu tertuduh utama di buku itu, tidak menampik tuduhan transnasional itu. Bahkan, mereka meneguhkannya: bukahkah watak Islam sendiri adalah transnasional? Jadi, apa yang salah? Beberapa peneliti yang merasa namanya dicatut untuk kepentingan buku ini sesugguhnya juga secara implisit menisbahkan ke-transnasional-an upaya melawan gerakan Islam garis keras itu. Mereka menyebut campur tangan terlalu jauh pihak LibForAll dari Amerika Serikat yang mendanai penelitian dan penerbitan buku ini sebagai salah satu sumber pelanggaran etis pencatutan nama mereka. Ini terlepas dari penegasan mereka tentang kekhawatiran yang sama pada tumbuh berkembangnya kelompok-kelompok garis keras itu.
Di era globalisasi ini, ke-transnasional-an tak bisa dihindari. Dan, sebetulnya, sama sekali tak punya konotasi negatif, justru sebagian besar positif. Semua gerakan demokratisasi ataupun anti-demokrasi, gerakan lingkungan dan gerakan perempuan, gerakan fundamentalis ataupun pluralis yang ada dalam Islam, agama-agama lain, atau yang tak membawa label agama makin kuat dan bersaing melampaui batas-batas negara.
Ide Khilafah atau Kristen Pantekosta dan hak asasi manusia atau kesetaraan gender terlalu besar untuk bisa dibatasi oleh batas-batas negara. Gerakan transnasional pun, jika berhasil, dampaknya bisa sangat signifikan. Keberhasilan gerakan kemerdekaan Timor Timur, misalnya, bukan hanya merupakan hasil tekanan negara-negara besar, tapi juga gerakan masyarakat sipil transnasional yang menjadikan isu lokal itu terlihat dalam dunia internasional. Karena dampak ide atau gerakan dalam suatu komunitas bisa mengenai komunitas lain, itu sah saja jika orang atau kelompok asing punya kepedulian.
Berkat kebebasan yang muncul mengikuti Reformasi 1998, ladang Indonesia pun menjadi makin subur dan menyatu dengan dunia internasional sehingga menjadi lahan persaingan beragam kelompok itu. Jika transnasionalitas tak terelakkan, lalu apa persoalannya? Ini menjadi persoalan jika pohon dari luar hendak ditanam di lahan sendiri secara paksa. Ide bisa datang dari mana saja. Penting diakui bahwa tanah kita bukanlah tanah ideal yang tak bisa diperkaya lagi. Namun, memang tak selalu jelas perubahan mana yang akan membawa perbaikan atau justru merusak identitas (baik itu identitas 'Islam Indonesia, Islam yang murni/sebenarnya', maupun yang lain). Identitas pun sebetulnya sifatnya cair, tak statis, serta bisa bahkan selalu berubah kandungannya demi pencapaian apa yang dianggap ideal. Yang lalu menjadi persoalan tampaknya adalah autentisitas dan integritas. Di sini, isunya bisa terkait dengan persoalan sumber dana. Dana asing menjadi buruk jika itu mengorbankan autentisitas dan integritas. Secara lebih konkret, persoalannya adalah akuntabilitas. Untuk sebuah penelitian, seperti buku Ilusi Negara Islam (yang sesungguhnya cukup serius karena berasal dari penelitian dua tahun), akuntabilitas salah satunya terletak pada pertanggungjawaban akademik, pertanggungjawaban atas klaim-klaim yang dibuat, atau pengakuan karya seperti yang disinggung para pemrotes.
Jika penelitian menjadi jalan untuk advokasi (sekali lagi, baik itu untuk suatu Islam moderat, penerapan syariah, maupun kesetaraan gender), advokasi yang bertanggung jawab adalah yang berdasar pada pengetahuan terbaik yang kita miliki. Sementara itu, kebenaran mungkin tak tercapai oleh manusia, dugaan atau prasangka justru bisa menyesatkan lebih jauh dari pencapaian pengetahuan yang baik.
Barangkali, hal ini terlalu dasar untuk diungkapkan. Tapi, tak ada salahnya mengingat bahwa pengetahuan kita tak menjamin 'saya sudah tahu apa yang baik untuk masyarakat' meskipun pengetahuan itu bersumber dari pengalaman lapangan puluhan tahun atau dari kitab yang diwahyukan. Selalu ada penafsiran, lalu penafsiran atas pengalaman empiris ataupun atas wahyu selalu tak sempurna.
Setelah soal pencarian pengetahuan terbaik, akuntabilitas juga menyangkut pertanyaan lain: kepada siapakah pengembangan suatu gagasan dipertanggungjawabkan? Pertanggungjawaban utama setiap (gagasan untuk) gerakan sosial selayaknyalah kepada masyarakatnya sendiri, bukan kelompok atau organisasi lain, termasuk penyandang dana. Sekali lagi, mungkin ini hal yang klise atau terlalu remeh untuk dikatakan, tapi selalu penting diulang untuk menginterogasi diri sendiri.
Dengan demikian, kiranya sah-sah saja kelompok 'Muslim liberal', garis keras, HTI, Ahmadiyah, aktivis lingkungan, aktivis HAM, atau gerakan perempuan menjadi suatu gerakan transnasional dan menerima (atau memberikan) dana dari barat, timur, utara, atau selatan.
Persoalannya adalah akuntabilitas yang menjadi salah satu isyarat untuk autentisitas dan integritas. Jika kelompok-kelompok itu sungguh serius dengan apa yang diperjuangkannya, autentisitas dan integritas adalah urusan yang sangat penting. Kiranya, perlu kita akui bahwa setiap kelompok dalam ruang publik punya agenda dan kepentingannya sendiri. Akan lebih baik jika semua pelakunya bersaing secara fair, berlomba-lomba untuk kebaikan, bukan saling menjatuhkan. Ruang publik bebas Indonesia masa ini ada karena pengorbanan yang mahal sehingga perlu sungguh-sungguh dijaga. Termasuk, tugas penjagaan adalah menghindari insinuasi demi delegitimasi. Karena, ini hanya akan mencemari udara kebebasan yang sehat.
Bukankah perbedaan adalah sumber rahmat yang dapat saling memperkaya? Tugas utama menjaga ruang kebebasan itu memungkinan munculnya perbedaan garis keras, liberal, moderat, atau apa pun ada pada semua yang hidup di dalamnya, yang menghirup udara kebebasan itu. Fatwa, selebaran, atau hasil penelitian semuanya punya tanggung jawab yang sama.
Minggu, 31 Mei 2009
Gerakan Transnasional dan Tanggung Jawabnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar