Minggu, 31 Mei 2009

Fikih dan Tuntutan Zaman


Danang Kuncoro Wicaksono
(Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Suriah 2008-2009)

Dewasa ini, Fikih Islam selalu mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari beberapa kalangan. Ia sering dijadikan objek yang seolah-olah 'diperkosa' sedemikian rupa demi memuaskan nafsu dan kepentingan kelompok tertentu. Ada yang ingin merombaknya secara total, bahkan menghapusnya sama sekali karena dianggap tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman. Kalangan ini biasanya merasa minder dan rendah diri dengan agamanya sendiri sehingga merasa malu menyandang predikat Muslim, karena telah tersilaukan oleh peradaban Barat yang menurutnya lebih layak menjawab tuntutan zaman.

Ada pula yang ingin mempersempit koridor syariat yang sebenarnya sangat luas, sehingga menciptakan image bahwa Islam adalah ajaran yang sempit, kaku, jumud, dan tidak dinamis. Kalangan ini biasanya terlalu bersemangat dalam beragama namun tidak memiliki bekal ilmu yang cukup, sehingga seringkali berijtihad dan beristinbath tanpa kaidah. Atau, memiliki pengetahuan yang cukup tapi tidak memiliki metode yang tepat dalam menyampaikannya sehingga alih-alih memberikan pencerahan justru menimbulkan kesalahpahaman. Atau, bisa juga disebabkan oleh fanatisme kelompok, mazhab, atau ulama tertentu sehingga mengabaikan pendapat ulama lain. Ada yang terlalu tekstual dalam menafsirkan teks-teks yang ada sehingga menimbulkan asumsi bangkitnya kembali mazhab Zhahiriyah Modern. Namun, ada pula yang terlalu kontekstual sehingga menabrak batas-batas yang telah ditetapkan oleh para ulama, sehingga keblinger dan kebablasan. Lalu, bagaimana kita menyikapi semua itu?

Fikih sebagai suatu komponen terpenting dalam syariat Islam merupakan sekumpulan intisari hukum-hukum syariat yang bersifat praktis, yang telah diekstrak oleh para ulama mujtahidin dari sumber-sumbernya yang terperinci. Sejak dahulu para ulama sangat intensif memperhatikan permasalahan-permasalahan yang muncul di zaman mereka lalu mencari hukum yang sesuai dengan Alquran dan sunah, tentunya dengan kaidah-kaidah baku yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fikih, kemudian menulisnya dalam kitab-kitab mereka. Berbagai aktivitas ijtihad pun marak berlangsung dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Sehingga, tak mengherankan jika pada era kodifikasi kitab-kitab fikih, banyak terjadi silang pendapat di antara ulama. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Dr Musthafa Sa'id Al-Khin dalam kitabnya, Atsarul Ikhtilaf fi Al-Qawa'id Al-Ushuliyah, yaitu perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam tataran kaidah ushuliyah yang kemudian berimplikasi munculnya perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil yang dijadikan sebagai sandaran dalam beristinbath. Dari situlah akhirnya timbul perbedaan para ulama dalam memutuskan hukum fikih.

Hingga saat ini, sudah terlalu banyak kitab fikih yang ditulis oleh para ulama dan dikaji secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Berbagai madrasah fiqhiyah maupun ushuliyah pun akhirnya banyak bermunculan. Fatwa-fatwa terkait dengan persoalan-persoalan kontemporer yang belum pernah terjadi di zaman dahulu seperti hukum cloning manusia, credit card, dan semisalnya pun telah banyak ditulis oleh para ulama di zaman ini.

Begitulah seterusnya, fikih selalu menjadi pembahasan yang selalu hangat dan tak pernah basi. Setiap muncul permasalahan baru, selalu muncul pula para ulama yang berjuang dan berusaha keras untuk mencarikan hukum sehingga menjadikan Islam sebagai sebuah undang-undang yang selalu up to date. Perbedaan yang terjadi di antara para ulama merupakan hal yang wajar selama hukum-hukum yang dihasilkan berdasarkan pada dalil-dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Perbedaan tersebut tidak seharusnya menjadikan para pengikut ulama tertentu saling menghujat satu sama lain. Justru sebaliknya, adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama seharusnya dapat membuktikan betapa Islam sangat kaya dengan pilihan solusi yang ditawarkan dan perbedaan yang terjadi merupakan manifestasi rahmat bagi seluruh umat.

Adapun tuduhan beberapa kalangan yang mengatakan bahwa fikih Islam belum bisa menjawab persoalan umat merupakan tuduhan yang sangat tidak berdasar. Realita yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Munculnya cabang-cabang Syariah dalam bank-bank konvensional di beberapa negara Eropa menunjukkan bahwa Islam merupakan solusi yang jitu bagi krisis yang tengah melanda umat manusia. Begitu juga undang-undang Ahwal Syakhsiyah yang mendapat pujian para ahli perundang-undangan dunia seperti Gustave Lebon, membuktikan bahwa Islam adalah aturan yang tepat dan sesuai dengan fitrah manusia.

Materi Qodhoya Fiqhiyah Muashiroh (Contemporary Islamic Issues) pun kini telah menjadi mata kuliah tetap (muqorror) yang diajarkan di universitas-universitas Islam di Timur Tengah. Para ulama kontemporer seperti Dr M Sa'id Ramadhan Buthi, Dr Yusuf Qaradhawi, Dr Wahbah Zuhaili, dan lain-lain merupakan para ulama garda terdepan yang tak pernah lelah menjawab persoalan-persoalan umat yang muncul belakangan ini. Mereka adalah orang-orang yang paling berjasa di zaman ini dalam rangka menjaga orisinalitas dan relevansi Islam di setiap zaman. Ulama-ulama seperti merekalah yang akan mempertahankan kemurnian Islam ini dari segala macam bentuk penyelewengan, dan akan senantiasa ada di setiap zaman. Bahkan, dalam sebuah hadis disebutkan bahwa setiap seratus tahun sekali akan muncul para ulama yang memurnikan (tajdid) ajaran Islam. Semua ini menunjukkan bahwa aktivitas ekstraksi hukum (istinbath al-ahkam) dari sumber-sumbernya yang masih asli terkait dengan permasalahan-permasalahan baru yang muncul di setiap masa masih dan akan terus berlanjut.

Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi kita semua, 'Siapakah yang akan meneruskan perjuangan para ulama itu di masa mendatang? Siapakah yang akan memberikan fatwa-fatwa bagi umat terkait dengan persoalan yang muncul di masa yang akan datang?' Siapa lagi jika bukan kita sebagai generasi penerus yang saat ini sedang berguru kepada mereka yang akan meneruskan perjuangan mereka di masa depan ketika mereka telah tiada. Mereka takkan lama lagi akan pergi meninggalkan kita semua di dunia ini. Akankah kita terus berangan-angan sambil berkata, ''Andaikan Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad masih hidup di zaman ini, tentu mereka akan menjawab semua persoalan umat yang semakin kompleks di zaman ini.''

Namun, angan-angan saja tidak akan mendatangkan solusi tanpa dibarengi dengan usaha yang keras dan sungguh-sungguh dalam rangka menggali kekayaan khazanah Islam yang masih terpendam di dalam lautan kitab dan pemikiran para ulama yang saat ini masih hidup. Oleh karena itu, tidak ada jalan lagi bagi kita selain menimba dan terus menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari para ulama yang masih hidup di zaman ini sebagai bekal kita untuk menghadapi masa depan yang permasalahannya semakin kompleks dan membutuhkan ulama-ulama brilian seperti mereka untuk mampu menyelesaikan problematika yang muncul. Andaikan boleh berangan-angan seperti di atas, mengapa tidak sekaligus berangan-angan, ''Seandainya Rasulullah masih hidup di zaman ini?'' Wallahu 'alam bis shawab.

(-)

Tidak ada komentar: