Minggu, 31 Mei 2009

Facebook vs Fatwa Haram



Zainal Alimuslim Hidayat
(Analis di Fakultas Ilmu Komputer UI)

Facebook akhirnya menuai kontroversi. Situs yang sangat digemari terutama oleh kalangan muda ini difatwakan haram. Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPP) se-Jawa Timur mengharamkan penggunaan jejaring sosial seperti friendster dan facebook yang berlebihan (Republika Online, 23/5). Fatwa ini cukup mengentak di kalangan facebookers Tetapi, bisa jadi fatwa haram ini tidak akan banyak pengaruhnya. Seperti dalam kasus golput, di mana justru semakin membengkak jumlahnya meski sudah difatwakan haram. Mengapa?

Jumlah pengguna facebook saat ini sudah sangat menggurita. Lebih dari 225 juta orang menjadi warga setia facebook hingga Mei 2009. Pertumbuhan tersebut, terutama ditopang pesatnya pengguna dari luar Amerika Serikat. Di Chili dan Turki, facebook bahkan dilaporkan sangat digdaya. Sebanyak 76 persen dan 66 persen pengguna internet di kedua negara adalah warga ''republik facebook''. Bagaimana di negara kita? Sebanyak 17,78 persen (2,3 juta) dari total pengguna internet juga tergila-gila dengan situs ciptaan Mark Zuckerberg itu. Padahal, awal tahun ini pengguna facebook baru sekitar 1 juta.

Keunggulan facebook terutama karena kemampuannya yang memungkinkan orang untuk saling berkomunikasi, mencari dan berbagi informasi, secara efisien. Dalam ideal Mark Zuckerberg, sang penemu facebook, situs rekaannya tersebut merupakan sebuah peranti sosial (social utility). Situs ini menjadi tempat favorit untuk bernostalgia dengan teman lama, tetapi juga ampuh untuk membangun jaringan pertemanan baru.

Di facebook, seorang pengguna memiliki 'kedaulatan' dengan siapa saja mereka berteman dan siapa boleh mengakses informasi tentang dirinya. Facebook sangat digilai karena menjadi ajang narsis yang nyaris sempurna. Jutaan foto diunggah ke situs ini setiap hariya. Selain itu, faktor lain yang penting dicatat, facebook digemari karena situs ini relatif nyaman, sehat, dan mudah digunakan (user friendly). Situs ini galak terhadap pornografi dan tidak terlampau eksesif menampilkan iklan.

Jika menilik sejarahnya, facebook dikembangkan oleh sejumlah mahasiswa Universitas Harvard dan awalnya hanya menerima keanggotaan dari kalangan pelajar dan mahasiswa di AS. Dalam tempo singkat facebook sukses ''merevolusi'' kehidupan kampus. Facebook, pesta, dan cinta; Tiga kata yang kemudian tak bisa dipisahkan. Lewat fitur grup, mahasiswa saling mengundang (invite) menghadiri pesta yang tentu saja lengkap dengan minuman keras. The Crimson, koran di Harvard, banyak melaporkan, polisi dibuat sibuk dengan membanjirnya acara pesta.

Dibandingkan dengan situs sejenisnya, facebook juga memiliki fitur yang memungkinkan seorang pengguna ''mengobral'' status cinta mereka ke teman-teman di dalam jaringannya. Ajakan kencan (seks) yang agresif kerap dikeluhkan dan menjadi alasan mengapa sebagian mahasiswa membenci facebook.

Kini, setelah go international, facebook dibuat sedemikian rupa agar membuat semua orang merasa nyaman berlama-lama di dalamnya. Dengan fitur-fitur yang terus disempurnakan, facebook memang akan semakin memikat banyak orang, termasuk generasi tua. Apalagi, fitur tersebut sebagiannya menjadi substitusi perangkat online lain seperti e-mail, blog, album foto, dan chatting room. Dan, facebook sangat agresif dalam menambah fitur baru tersebut.

Kecanduan facebook dan situs sejenis memang menyisakan sejumlah persoalan. Pada individu, facebook bisa menimbulkan kecanduan pada penggunanya. Di kalangan pelajar, facebook diduga telah mengalahkan waktu untuk belajar. Studi yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Ohio menyimpulkan, pelajar yang mengunjungi facebook secara rutin lebih buruk hasil tesnya di sekolah (Cnet.com, 12/4/2009). Entah karena alasan seperti ini, Universitas Indonesia sejak pertengahan Mei 2009 mulai membatasi akses mahasiswa, dan facebook hanya bisa diakses selepas jam 4 sore.

Facebook juga sering didakwa berperan menurunkan produktivitas. Sebuah kalkulasi meyebutkan, dengan rata-rata seorang pekerja 'nongkrong' di facebook selama satu jam sehari, Australia kehilangan 5 miliar dolar AS pada 2007. Atas dasar ini, banyak kantor ramai-ramai menutup akses ke situs tersebut pada jam efektif kerja.

Namun, apakah karena dampak seperti tadi facebook lantas diharamkan? Studi lebih baru justru menyimpulkan sebaliknya. Dr Brent Coker dari Universitas Meulbourne, menemukan bahwa pekerja yang berselancar di internet untuk sekadar rekreasi pada jam kantor (Workplace Internet Leisure Browsing) lebih produktif ketimbang yang tidak melakukannya. Tak heran, jika banyak pihak di negeri ini keberatan terhadap fatwa haram dengan alasan facebook masih lebih banyak manfaat daripada mudaratnya.

Tantangan beragama
Tumbuhnya generasi digital merupakan tantangan besar bagi institusi agama. Selama ini, siaran televisi dan menjamurnya pusat belanja (mal) sudah cukup membuat agama 'tersisih'. Menonton dan berbelanja bahkan sudah seperti ritual; lebih khusyuk dilakukan serta punya alokasi waktu khusus yang lebih panjang ketimbang ibadah. Kini, dengan kecenderungan makin murahnya koneksi internet dan beragamnya perangkat untuk mengaksesnya, kompetisi antara agama vs teknologi menjadi semakin keras. Nasib agama pun bisa jadi akan kian tersisih.

Dalam kasus facebook, akrab dengan situs tersebut berarti sangat menyita waktu (time consuming). Bagi banyak remaja, berlebihan menggunakan facebook potensial mengabaikan tugas belajar mereka, termasuk kewajiban mendalami agama. Namun, dari sisi pengaruh buruk, dampak televisi masih jauh lebih kuat. Di facebook kendali ada pada pengguna, sementara televisi menjejali penonton dengan tayangan yang sering kali tidak mendidik dan tidak sesuai dengan usianya.

Sudah menjadi tugas pokok ulama membimbing umatnya--terlebih generasi muda--ke jalan yang benar. Konon, fatwa haram muncul karena semakin banyaknya santri yang 'tersihir' canggihnya situs jejaring sosial di internet. Tentu saja, sesuatu perilaku yang berlebihan dan melalaikan, tidak selaras dengan ajaran agama. Dalam konteks seperti ini, fatwa dan respons para kiai dapat dipahami.

Tetapi, setidaknya terdapat dua hal yang lebih mendesak dilakukan ketimbang pendekatan fatwa.

Pertama, perlunya menanamkan kesadaran berteknologi yang sehat pada generasi yang tumbuh di era digital. Sering kali akar persolaannya bukan pada teknologi, tetapi lebih pada persoalan manajerial (managerial problem). Yaitu, rendahnya kemampuan membagi waktu dan membuat skala prioritas. Oleh karena itu, kampanye internet sehat perlu diintensifkan, termasuk harus pula menyentuh kalangan pesantren dan disisipkan dalam kurikulum sekolah-sekolah agama.

Kedua, harus dihindari kesan seolah-olah agama memusuhi teknologi. Sebaliknya, agama harus diarahkan untuk mendorong rasa ingin tahu (curiousity) dan menumbuhkan kreativitas generasi muda. Penting digarisbawahi, facebook adalah produk teknologi hasil kreasi remaja usia 20 tahun.

Alhasil, saat ini umat Islam perlu lebih banyak memproduksi teknologi ketimbang menghasilkan fatwa. Teknologi yang tumbuh dari dalam tentu akan lebih memahami dan berkesesuaian dengan budaya dan keyakinan sebagai Muslim. Inilah tantangan sesungguhnya di era digital.

Tidak ada komentar: