Oleh Malja Abrar
Dalam metafor al-Ghazali, Alquran adalah bagaikan lautan yang terdapat banyak mutiara di dalamnya. Ada sebagian orang yang hanya berada di tepi pantai, sebagian lagi berada dalam radius ratusan meter dari garis pantai, sebagian kecil masuk jauh ke bagian tengah lautan, dan hanya beberapa yang dengan nyali kuat menyelam ke dalam lautan dan berhasil memungut mutiara-mutiara di dasarnya.
Umat Islam umumnya berkeberatan jika kitab suci mereka, yaitu Alquran, diperlakukan sebagai “teks biasa” sebagaimana teks-teks yang lain. Umat Islam mainstream, misalnya, merasa keberatan jika piranti baca semacam hermeneutika digunakan dalam studi ilmiah Alquran. Dikhawatirkan, dipakainya piranti baca semacam hermeneutika tersebut akan berujung pada desakralisasi terhadap Alquran. Keberatan semacam ini sangat bisa dipahami, namun al-Suyuthi sungguh telah memberikan pelajaran yang sangat berharga dalam hal bagaimana melihat dan mendekati Alquran.
Inilah salah satu tema penting yang dikupas dalam buku terbaru Jaringan Islam Liberal, Metodologi Studi Alquran. Bertempat di Gedung Teater Utan Kayu, Jakarta, Senin (30/11/2009) Jaringan Islam Liberal (JIL) menyelenggarakan acara bedah buku sekaligus menandai peluncuran buku terbitan kerja sama JIL dan Gramedia Pustaka Utama (GPU) tersebut, dengan menghadirkan tiga orang narasumber sekaligus: Dawam Rahardjo, Nasaruddin Umar, dan Ulil Abshar Abdalla.
Al-Suyuthi, seorang sarjana Islam klasik yang hidup di Mesir (1445-1505), dalam sebuah compendium-nya, al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, telah memberikan contoh yang baik sekali bagaimana seharusnya umat Islam melihat teks suci Alquran. Dalam karyanya tersebut, al-Suyuthi dengan rileks sekali “mengiris-iris” (dari kosakata Inggris to analyze) Alquran yang oleh kebanyakan umat Islam dianggap sebagai teks sakral dan mengkajinya secara ilmiah adalah perkara tabu dan dirasa mengganggu kesadaran teologis mereka.
Dalam diskusi yang dihadiri oleh ratusan audiens dari berbagai latar belakang beragam tersebut, Ulil, sapaan akrab salah satu kandidat Ketua Umum PBNU ini, memberikan contoh dengan mengutip salah satu fasal yang cukup panjang mengenai aspek-aspek gramatikal Alquran (i’rab) dalam kitab al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam fasal tersebut, al-Suyuthi mengulas tentang beberapa “insiden linguistik” dalam Alquran. Jika mengacu pada standar garamatik Bahasa Arab yang ada, setidaknya ada tiga kesalahan atau penyelewengan gramatik (lahn) dalam Alquran sebagaimana yang dilaporkan oleh sahabat Urwah ibn al-Zubair: ayat 20:63, 4:162, dan 5:69 (al-Itqân, Dar el Fikr, Vol. I, hal. 183).
Dalam salah satu varian qira’at atau bacaan Alquran yang juga valid, ketiga ayat tadi dibaca demikian: inna hâdzâni lasâhirâni (20:63), wa al-muqîmîna al-shalât wa al-mu’tûna al-zakât (4:162), inna al-ladzîna âmanû wa al-ladzîna hâdû wa al-shâbi’ûna (5:69). Jika kita pakai standar tata Bahasa Arab baku, ketiga ayat tadi seharusnya dibaca demikian: inna hâdzaini (bukan inna hâdzâni, meskipun memang ada varian bacaan lain yang membaca in bukan inna), wa al-mu’tîna (bukan wa al-mu’tûna ), dan wa al-shâbi’îna (bukan wa al-shâbi’ûna ).
Tentu bukan hanya soal-soal yang berkaitan dengan aspek gramatik yang diungkap oleh al-Suyuthi dalam karyanya al-Itqan ini. Banyak hal ia ulas dalam karyanya tersebut dalam rangka melakukan studi ilmiah terhadap Alquran, sebagaimana studi ilmiah yang dilakukan oleh para orientalis sekarang ini terhadap Alquran. Al-Suyuthi meletakkan Alquran sebagai teks “historis”, sehingga memungkinkannya untuk melakukan studi ilmiah terhadap “kejanggalan-kejanggalan” yang ada didalamnya.
Seandainya laporan-laporan seperti ini disampaikan oleh seorang sarjana Islam lain yang tidak se-otoritatif al-Suyuthi, tentu akan mengundang kemarahan umat Islam. Tapi al-Suyuthi menyampaikannya dengan rileks sekali, dengan cara memperlakukan teks Alquran sebagai “teks normal” sebagaimana teks-teks yang lain. “Semangat inilah yang dibawakan dan hendak ditawarkan oleh buku terbaru Jaringan Islam Liberal yang berjudul Metodologi Studi Alquran ini,” tandas Ulil, kandidat doktor di Harvard University ini, sembari mempromosikan buku yang dibedah pada diskusi malam itu.
Dengan meminjam sebuah metafor yang sangat ia sukai dari salah satu karya al-Ghazali, Jawâhir al- Qurân, Ulil menyatakan bahwa buku Metodologi Studi Alquran ini laksana mutiara (jauhar) di tengah kemandekan studi Alquran di Indonesia, sebab buku ini menawarkan suatu penglihatan dan pendekatan terhadap Alquran dengan cara yang tidak konvensional. Dalam metafor al-Ghazali, Alquran adalah bagaikan lautan yang terdapat banyak mutiara di dalamnya. Ada sebagian orang yang hanya berada di tepi pantai, sebagian lagi berada dalam radius ratusan meter dari garis pantai, sebagian kecil masuk jauh ke bagian tengah lautan, dan hanya beberapa yang dengan nyali kuat menyelam ke dalam lautan dan berhasil memungut mutiara-mutiara di dasarnya.
Semangat pendekatan inkonvensional ini penting, sebab kalau kita lihat studi ilmiah terhadap Alquran di dunia Islam sendiri, kurang atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Semua buku tentang Ulûm al-Qurân yang ditulis oleh para sarjana Alquran modern, sebut saja misalnya Manna’ Khalil al-Qatthan, Shubhi al-Shalih, Abdul Wahhab Khallaf, Wahbah Zuhaili, Yusuf Qardlawi, hampir semuanya adalah repetisi atau pengulangan saja dari kitab al-Itqan yang ditulis oleh Imam al-Suyuthi. Tidak kita temukan perkembangan yang signifikan terhadap metodologi studi Alquran dalam karya-karya mereka.
Studi ilmiah Alquran yang cukup challenging, menantang justru datang dari para orientalis. Karena itu, menurut Ulil, bentuk studi ilmiah Alquran yang paling ideal adalah menggabungkan studi Alquran yang berkembang dalam tradisi Islam dengan studi Alquran yang dikembangkan oleh para orientalis. Setidaknya ada tiga fase penting dalam studi Alquran di kalangan para orientalis. Pertama adalah studi Alquran yang dirintis oleh Abraham Geiger (1810-1874) di Jerman pada abad ke-19. Untuk pertama kali, Geiger merintis studi Alquran dengan mencoba melihat Alquran sebagai teks yang tumbuh dalam dua tradisi agama semitik utama, yaitu Yahudi dan Kristen.
Kedua adalah rintisan studi Alquran yang dikembangkan oleh seorang sarjana Alquran berkebangsaan Jerman, Theodor Noldeke (1836-1930). Noldeke menulis buku Geschichte des Qorans (Sejarah Alquran) yang terbit pada 1860. Bersama dengan Friedrich Zacharias Schwally, Gotthelf Bergstrasser, dan Otto Pretzl, Theodor Noldeke menulis buku Geschichte des Qorans ini. Buku yang menggunakan metodologi Alkitab (Bible) ini, mereka tulis selama 68 tahun sejak edisi pertama dan selama 40 tahun sejak diusulkannya edisi kedua. Dalam Karya tersebut, Noldeke meletakkan suatu fondasi penting dalam studi Alquran di Barat. Dia melihat Alquran sebagai teks yang tumbuh secara historis. Noldeke misalnya menawarkan penyusunan ulang kronologi surat-surat Alquran yang berbeda sama sekali dengan kronologi yang kita lihat dalam mushaf sekarang. Dalam opini standar umat Islam, susunan surat atau chapter Alquran adalah al-Fatihah, lalu al-Baqarah dan seterusnya hingga surat al-Nas. Dan kronologi penyusunan surat seperti yang kita lihat dan baca dalam mushaf sekarang ini, diyakini sebagai perkara tawqif atau hasil dari pen-dikte-an langsung dari Tuhan.
Ketiga adalah studi Alquran yang dirintis seorang sarjana Jepang, Toshihiko Izutsu (1914-1993). Izutsu merintis studi Alquran yang dianggap cukup ground-breaking, melakukan terobosan karena dia mendekati Alquran berdasarkan tema-tema yang merupakan gagasan pokok dalam Alquran. Dalam karyanya Ethico-Religious Concepts in the Quran (Montreal: McGill University Press, 1966. Edisi Bahasa Indonesia diterbitkan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993), misalnya, Izutsu berbicara tentang struktur inti konsep kufr, iman, syirk, tentang baik dan buruk (al-husn dan al-qubh) dan pokok-pokok soal lain yang merupakan tema etik dalam Alquran.
Nasaruddin Umar dan Mas Dawam menambahkan bahwa memang studi yang ilmiah terhadap Alquran sudah banyak contohnya dalam tradisi kajian Islam klasik sendiri. “Tidak perlu kita membuka kitab putih untuk dapat melakukan studi ilmiah terhadap Alquran. Dalam kitab kuning sendiri, studi ilmiah Alquran itu dapat kita temukan banyak contohnya, baik dalam tradisi Sunni maupun Syi’ah,” ujar Pak Nasar, Dirjen Bimas Islam dan Katib ‘Aam PBNU 2003-2008 ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar