Oleh Wail al-Sawwah
Akal yang sehat tentu tidak akan menerima sikap seperti itu terhadap perempuan. Seorang Nabi yang berwatak sebagai pendidik, arif, dan pemimpin umat, tidak mungkin memperlakukan perempuan seperti yang digambarkan di dalam hadis-hadis misoginis di atas. Hadis-hadis misoginis itu pun bertentangan dengan puluhan hadis lain yang menegaskan keharusan menghormati dan menghargai perempuan.
Dalam suatu riwayat, Jabir ibn Abdullah menyampaikan bahwa Nabi Muhammad melihat seorang perempuan kemudian ia masuk rumah untuk menemui Zainab bint Jahsyn untuk menunaikan “hajat"-nya. Setelah usai, ia keluar menemui para sahabat sembari berkata, “Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu (hasrat seksual) karenanya, bersegeralah ke istrinya. Perilaku itu akan menghilangkan hasrat yang ada di dalam jiwa (dalam riwayat lain: akan menekan hasrat yang terpendam di dalam jiwa).” Hadis ini diriwayatkan Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Qathan, dan al-Albani. Semua ahli hadis ini memastikan bahwa hadis ini sahih.
Kita akan jadikan hadis ini sebagai obyek pembahasan untuk membuktikan bahwa ide berpedoman kepada hadis-hadis Nabi yang baru dikumpulkan dua ratus tahun setelah mangkatnya Nabi adalah keliru jika kita tidak mempertimbangkannya secara rasional dan logis. Rasionalitas dan logika akan membantu menentukan tingkat kesahihan suatu hadis. Prinsip-prinsip yang dipegang para perawi hadis, seperti ilmu jarh wa ta’dîl dan lain-lain, tidak sepenuhnya dapat dijadikan pedoman. Sebab, prinsip-prinsip ini tidak cukup mumpuni untuk membendung sampainya hadis-hadis sebagaimana disebutkan tadi kepada pembaca masa kini yang begitu saja meyakininya sahih dan dapat dipercaya.
Cobalah kita bayangkan kejadian yang digambarkan hadis di atas sesuai dengan konteks ruang dan waktunya. Bayangkanlah Nabi dan para sahabat yang duduk dalam satu majelis, lalu lewatlah seorang perempuan. Nabi melihatnya dan berhasrat padanya (atau karenanya). Ia lalu minta izin kepada para sahabat untuk masuk rumah menemui Zainab bint Jahsyn. Ia lantas menunaikan “hajat"-nya kepada Zainab dan segera kembali ke para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Ia lalu menjelaskan apa yang telah dilakukannya: “Perempuan datang menyerupai setan. Dalam kondisi seperti itu, sebaiknya seorang laki-laki segera menemui istrinya agar tidak termakan godaan setan.”
Mari kita analisa hadis di atas. Jika direka ulang, kita mendapat gambaran bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat dalam rangka berdiskusi tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan umat, agama, dan masyarakat. Dalam buku-buku sejarah kita tak pernah menemukan bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat hanya untuk bergurau menghabiskan waktu. Tiba-tiba seorang perempuan lewat, lalu Nabi segera meninggalkan perbincangan serius tentang berbagai masalah umat untuk menunaikan “hajat” kepada istrinya. Jelaslah bahwa perilaku ini tidak layak bagi seorang pemimpin seperti Nabi dan tidak pula sesuai dengan usianya ketika itu.
Semua riwayat yang menceritakan hadis ini memang tidak menjelaskan kondisi si perempuan yang lewat di hadapan Nabi dan para sahabat: Apakah ia muda atau tua; Apakah ia cantik atau tidak? Apakah ia berpakaian tertutup atau terbuka? Semua riwayat juga tidak menjelaskan alasan mengapa Nabi menoleh kepada perempuan itu, memperhatikannya, lalu meninggalkan forum sahabatnya.
Lepas dari pembicaraan penting antara Nabi dan para sahabat, siapa pun tidak pantas meninggalkan sebuah majelis sekadar untuk menunaikan “hajat” pada istrinya kemudian kembali lagi, seolah tak terjadi apa pun. Perilaku seperti ini tidak mungkin terjadi pada Nabi. Sikap ini mengandung penghinaan terhadap seorang tamu (jika ia tuan rumah), terhadap tuan rumah (jika ia seorang tamu), atau terhadap majelis manapun. Hal-hal seperti ini memang tidak dijelaskan di dalam hadis di atas.
Namun, Nabi masuk menemui Zainab, sesuai teks hadis, “kemudian menunaikan ‘hajat’ kepada Zainab dan segera keluar lagi menemui para sahabat...” Teks hadis ini, dengan berbagai riwayatnya, mengesankan bahwa Nabi menemui Zainab hanya dalam waktu yang singkat. Sebab ketika ia keluar, para sahabat masih duduk di tempat semula. Ini berarti Nabi datang tergesa-gesa kepada istrinya, kemudian menyetubuhinya, lalu mengalami orgasme dalam waktu singkat. Setelah itu, ia segera kembali lagi kepada para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Sikap seperti ini bukanlah watak Nabi dan bukan pula watak laki-laki mana pun yang menghargai diri sendiri dan istrinya.
Sebab Nabi pernah bersabda, “Janganlah seseorang menyetubuhi istrinya seperti hewan. Hendaklah ada rasûl di antara mereka.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan rasûl itu?” Beliau menjawab: “Ciuman dan rayuan.” Dalam riwayat Anas ibn Malik, Nabi bersabda, “Ada tiga kelemahan pada seorang laki-laki...” Ia antara lain menyebutkan: “Seorang laki-laki mendekati istrinya kemudian menyetubuhinya tanpa cumbu rayu. Ia menyetubuhi istrinya dan mencapai orgasme sebelum sang istri mencapai orgasme.”
Mungkinkah Nabi melarang sesuatu namun ia justru melakukannya? Tampaknya petunjuk Nabi dalam hal ini dapat kita lihat dalam penjelasan Imam Abu Hamid al-Ghazali: “Jika seseorang bersetubuh dengan istrinya, hendaklah ia memperlambat orgasmenya sehingga sang istri mencapai orgasme pula. Orgasme sang istri bisa jadi lebih lambat. Jika ia meninggalkan istrinya sebelum ia mencapai orgasme, dorongan syahwatnya tidak akan terpenuhi. Dengan demikian ia telah menyakiti sang istri. Perbedaan waktu datangnya orgasme ini membuat ketidaknyamanan ketika suami sudah orgasme lebih dulu. Orgasme secara berbarengangan lebih memberi kenikmatan bagi istri. Seorang suami tidak boleh bersikap egoistis. Bisa jadi istri merasa malu dalam hal ini. Maka, sang suami haruslah dapat memahaminya,”
Inilah penjelasan yang sangat baik tentang pentingnya seorang suami tidak tergesa-gesa mencapai orgasme lalu meninggalkan tempat tidur sebelum sang istri mencapai orgasme pula. Jika etika demikian berlaku bagi laki-laki biasa, apakah mungkin Nabi memperbolehkan dirinya untuk cepat-cepat mencapai orgasme tanpa mempedulikan istrinya?
Apa yang sedang dilakukan oleh Zainab ketika Nabi menemuinya? Apakah ia sedang sibuk dengan urusan rumah tangga atau sibuk dengan urusan agama? Dalam dua kondisi ini, apakah sang suami boleh datang kepadanya untuk mengajak berhubungan badan dan ia harus segera meninggalkan apa yang sedang ia kerjakan? Setelah beberapa saat, sang suami justru keluar menemui para sahabat. Apa yang Zainab lakukan kemudian? Apakah ia meneruskan kesibukannya dan seolah-olah tidak terjadi apa pun? Benar belaka, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi pernah bersabda, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur (untuk berhubungan badan), tapi sang istri menolak, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi”. Tapi hadis ini secara implisit mengandung pengertian bahwa sang suami mengajak istrinya pada malam hari karena ada kalimat “sampai pagi”. Jika sang suami datang secara mendadak, langsung mengajak istrinya berhubungan badan, tapi sang istri menolak, apakah para malaikat tetap juga akan mengutuknya?!
Teks hadis kita menegaskan bahwa Nabi segera kembali menemui para sahabat. Apakah hal ini berhubungan dengan keinginan Nabi untuk segera menyelesaikan tema pembicaraan? Atau, ia ingin segera menjelaskan perilakunya yang sangat cepat itu kepada mereka?
Sesuatu yang lebih penting dari itu semua adalah, dalam hadis di atas, Nabi tampak begitu lemah berhadapan dengan sesuatu yang datang dari luar dirinya (faktor eksternal), yaitu setan. Dalam hadis itu pun Nabi berkata, “Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu karenanya, hendaklah ia menemui (menyetubuhi) istrinya. Yang demikian itu akan meredam hasrat (seksual) yang ada dalam jiwanya.” Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Albani disebutkan, “Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat perempuan dan terpesona, hendaklah kalian menemui istri karena pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu.”
Menyamakan perempuan dengan setan adalah pelecehan yang tidak mungkin dilakukan oleh Nabi. Menurut Alquran, beliau tak berbicara berdasarkan nafsu. Karena itu perlu dipahami bahwa menyamakan perempuan dengan setan adalah kasus yang umum pada agama-agama tauhid, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi. Penyamaan ini kadangkala sangat tak masuk akal. Contohnya adalah hadis Nabi riwayat Muslim: “Waspadalah terhadap dunia. Waspadalah terhadap perempuan. Sungguh, kerusakan pertama yang terjadi pada Bani Israel adalah karena perempuan.” Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi juga menegaskan: “Aku tidak meninggalkan cobaan yang paling berbahaya bagi laki-laki melebihi perempuan.”
Poin terakhir yang akan kita bahas adalah hadis al-Albani: “Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat perempuan dan terpesona, hendaknya kalian menemui istri karena pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu.” Hadis ini secara eksplisit mengandung unsur pelecehan kemanusiaan terhadap perempuan. Hadis ini memberikan pengertian bahwa jika seorang laki-laki tertarik (secara seksual) kepada seorang perempuan, hendaklah ia menemui istrinya. Karena, pada istrinya ada anggota tubuh yang sama dengan anggota tubuh yang diinginkan pada perempuan itu. Bukankah ini berarti menggeser status perempuan dari manusia istimewa menjadi laksana barang? Apakah perempuan hanya diinginkan karena tubuh (fisik)-nya? Apakah ucapan, interaksi, kelembutan, akal, dan jiwa perempuan tidak ada gunanya dalan hubungan seksual?
Akal yang sehat tentu tidak akan menerima sikap seperti itu terhadap perempuan. Seorang Nabi yang berwatak sebagai pendidik, arif, dan pemimpin umat, tidak mungkin memperlakukan perempuan seperti yang digambarkan di dalam hadis-hadis misoginis di atas. Hadis-hadis misoginis itu pun bertentangan dengan puluhan hadis lain yang menegaskan keharusan menghormati dan menghargai perempuan. Pertanyaanya: apakah hadis-hadis misoginis itu sahih? Apakah Nabi melakukan itu semua kemudian mengucapkan hadis-hadis misoginis? Ada dua jawaban: “ya” atau “tidak”. Jawaban yang pertama berarti pelecehan terhadap sosok Nabi yang dicintai dan dimuliakan. Jawaban yang kedua adalah yang benar.
Tampaknya kita harus berani mempertanyakan sikap para peneliti Muslim yang secara berlebihan mengaggap hadis sebagai sumber kebenaran sejarah. Kita harus berani memulai penelitian terhadap wacana kenabian sebagai sumber perdana yang lahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Kita harus meletakkannya dalam kerangka analisis yang rasional dan logis. Kita harus pula mengembalikan wacana kenabian pada kondisi ruang dan waktunya. Kita tidak perlu harus secara membabi-buta menjadikannya sebagai kaidah bagi perilaku kita hari ini. Kita tidak perlu bercermin kepadanya secara serampangan.
Andai Nabi Muhammad hari ini diutus kembali kepada kita sebagai masyarakat manusia, pasti ia akan menggunakan cara-cara yang rasional dalam memahami apa yang pernah ia ucapkan dulu. Dan sebetulnya, sebagian besar peninggalan sejarah yang kita miliki saat ini (turâts) masih dipenuh dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang luhur andai saja kita memperlakukannya secara rasional.
(diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Taufik Damas, sumber: http://www.alawan.org)
* Wail al-Sawwah adalah intelektual dan aktivis pembela HAM asal Suriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar