Jumat, 24 Juli 2009

Bom dan Isu Terorisme

Oleh Ismatillah A Nu'ad
(Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Jakarta)

Teror bom kembali mengguncang Jakarta Jumat kemarin. Tak tanggung-tanggung, tiga tempat menjadi sasarannya, antara lain, Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton Kuningan serta di wilayah Muara Angke, yang merupakan tempat sentral bagi operasional PLN dan Pertamina. Puluhan korban jiwa pun tak bisa dielakkan lagi, baik warga negara Indonesia maupun ekspatriat yang tengah berada di hotel.

Diduga adanya analisis bahwa itu merupakan tindakan terorisme yang dilakukan oleh pihak tertentu dalam rangka ingin memperkeruh keadaan, baik pascapemilu maupun yang mencoba ingin memunculkan kembali stigma terorisme yang berdalih keagamaan. Meskipun oleh beberapa pihak menyebut kecenderungan kedua lebih kuat, terkait isu-isu bernuansa keagamaan yang dewasa ini mencuat kembali kepermukaan.

Kita mungkin masih ingat, teror serupa pernah terjadi di Kuningan Jakarta pada tahun 2003 dan 2004, yakni di Hotel JW Marriot dan Kedutaan Besar Australia. Peristiwa saat itu menambah deretan kelam teror bom di Indonesia pascaperistiwa bom Bali 1 dan 2 tahun 2002. Terorisme yang dibalut dengan wajah keagamaan-Islam saat itu sangat populer pascaperistiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Para pengamat Barat menyebutnya sebagai kebangkitan gerakan fundamentalis Islam, yang mencoba melakukan perlawanan pada Barat sebagai pihak yang mengecewakan. Apalagi, saat itu AS masih dikendalikan Bush yang tergolong orang yang memiliki overdosis keagamaan dan ambisius melakukan perang.

Mungkinkah teror bom Kuningan dan Muara Angke merupakan kelanjutan gerakan fundamentalis yang belum padam? Mengingat jejak-jejak terorisme di Indonesia masih ada, misalnya yang terakhir, kasus penangkapan di Palembang pada awal medio 2009. Di satu sisi, agenda itu memang belum selesai, seperti ingin melakukan perlawanan setidaknya terhadap sektor-sektor yang diindikasi milik Barat. Meskipun di sisi lain hal itu perlu penelusuran lagi. Jeffrey K Hadden dalam Prophetic Religion and Politic (1986) pernah menanyakan perihal kaum fundamentalis yang tidak menciptakan peradabannya sendiri.

Kaum fundamentalis mengalami kebangkrutan di mata orang Barat karena memusuhinya tanpa dibarengi dengan alasan yang kuat dan kompetisi yang fair . Dan, mereka juga mengalami kebangkrutan di mata Muslim lain yang moderat dan kritis, atau kaum Muslim yang selama ini tak memaknai Barat sebagai musuh, akan tetapi sebagai partner dialog yang saling mengisi satu dengan lainnya. Mayoritas Muslim bahkan tak setuju atau mengecam tindakan-tindakan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme yang dilakukan kaum fundamentalis dalam menghadapi Barat.

Selain tak memiliki pijakan, 'tradisi' yang selama ini dilakukan dalam aktivitas kaum fundamentalis justru tak disukai, bahkan dibenci oleh Muslim sebagai komunitas umat dalam arti universal. Fundamentalisme di dunia Islam justru adalah kelompok minoritas, subaltern , dan merupakan kelompok periferi yang tak secara terang-terangan melakukan aktivitasnya, di dalam komunitas Muslim itu sendiri secara keseluruhan. Islam yang ditarik kaum fundamentalis ke dalam pengertian ekstremisme, radikalisme, terorisme jelas tak memiliki pijakan yang kuat dari sumber-sumber suci ajaran Islam. Mengartikan 'melakukan aksi terorisme terhadap Barat' berarti Jihad, misalnya, jelas suatu kesimpulan yang tak bisa dipertanggungjawabkan karena hal itu justru bertentangan dengan ajaran Islam yang mencintai persahabatan, perdamaian, dan jalan dialog.

Bahkan, secara tegas dikatakan Majid Khadduri, jika mengartikan jihad sebagai perang melawan musuh, itu pun ketika kondisi sudah tak memungkinkan untuk melakukan jalan damai, dalam kondisi terdesak, di mana musuh memang akan memerangi kaum Muslim maka kita wajib membela jiwa kita. Secara ekstensif Khadduri menegaskan, meskipun jihad adalah suatu tindakan kekerasan, akan tetapi dalam Islam, jihad sendiri memiliki aturan-aturan yang harus diperhatikan, seperti tak membunuh musuh yang sudah benar-benar menyerah, tak menganiaya orang cacat, melindungi anak-anak dan kaum perempuan, tak boleh merusak makhluk hidup, seperti pepohonan dan lain-lain. Selanjutnya, menurut Khadduri, jika jihad telah selesai dan perdamaian tercapai, hukum berlaku bagi seluruh kaum Muslim termasuk ketika ia berada di luar wilayah Islam. Demikian pula, kaum non-Muslim harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan dalam wilayah Islam, jika ia sedang berada di wilayah tersebut. Seandainya terjadi perselisihan, Islam mengutamakan jalan damai, dan Islam dapat menempatkan hak-hak kaum non-Muslim itu. (Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam , 1995).

Kaum fundamentalis di situ mengalami kebangkrutan, tak hanya karena aktivitasnya yang ekstrem, radikal, dan aksi-aksi teror yang ternyata tak dimufakati oleh komunitas Muslim secara menyeluruh. Tetapi, kaum fundamentalis yang selama ini mengaktualisasi dalam aktivitas politik yang direpresentasi kelompok politik Islam, juga mengalami kebangkrutan di dunia Islam. Karena ketika mereka sudah memperoleh kursi kekuasaan-politik, yang terjadi adalah konflik kepentingan ( vested interest ), berebut kekuasaan, dan justru mengabaikan pesan-pesan substansial Islam yang mengajarkan keadilan dan kemaslahatan. Kelompok politik Islam terlena dengan glamouritas politik dan ingar bingar kekuasaan yang empuk, sementara janji-janji yang semula ditawarkan terlupakan begitu saja ketika sudah bergumul dengan arus politik.

Selain itu, ada juga suatu kecenderungan ketika kelompok politik Islam sudah mendapat simpati massa Muslim, lalu berkuasa dalam panggung politik-kekuasaan karena mendapat suara mayoritas, yang terjadi adalah suatu ketimpangan dan ambiguitas perihal siapakah yang sesungguhnya yang memegang kekuasaan itu? Di situ, kelompok politik Islam memegang otoritas keduniawian atas nama Tuhan. Segala tindakan politik dinisbatkan atas nama Tuhan. Sehingga, terjadi wilayah abu-abu mana sebetulnya kepentingan manusia dan mana yang sesungguhnya dikehendaki Tuhan dalam pesan-pesan suci-Nya. Sebab, kerapkali terjadi praktik-praktik otoritarianisme dalam negara-negara Islam dengan mengatasnamakan kedaulatan Tuhan.

Khaled Abou al-Fadl dalam bukunya And God Knows the Soldiers (2001) mengkritik model-model berkuasa, seperti kelompok politik Islam yang selalu menggunakan dalih-dalih kedaulatan Tuhan, padahal demi kepentingan politik. Menurut Prof Khaled, kesewenang-wenangan (otoritarianisme) yang mewujud dengan mengangkangi teks-teks suci Islam adalah bagian dari kecenderungan puritan dan despotik, yang sudah mewabah di era Islam modern. Inilah sebentuk model kepahlawanan agama yang justru mengancam dan menyapu-bersih kekayaan dan keragaman khazanah warisan peradaban Islam. Dengan mengklaim 'bala tentara Tuhan', kaum fundamentalis yang menggawangi kekuatan politik Islam itu tak segan-segan memberangus pemikiran kritis dan mengosongkan Islam dari ajaran-ajaran moral.

Saatnya Islam yang diwakili oleh komunitas umat yang justru menjadi mayoritas, baik mereka yang moderat, yang kritis yang selama ini memperjuangkan demokrasi, HAM dan civil society , dan Muslim tradisional, mempromosikan secara global bahwa Islam adalah suatu ajaran yang rahmatan lil alamin , cinta damai dan persahabatan, cinta keadilan dan kemaslahatan. Dan, sebaliknya menegaskan bahwa praktik-praktik kekerasan dalam ekstremisme, radikalisme, terorisme, dan fundamentalisme bukanlah mewakili Islam itu sendiri, melainkan mewakili kelompok politiknya masing-masing.

Tidak ada komentar: