Oleh: Asro Kamal Rokan
Didik Achmad Taufik terbaring tidak berdaya. Hidupnya sederhana. Gajinya sebagai supervisi satpam Hotel JW Marriott habis untuk membiayai kehidupan istri dan dua anaknya--Rafi Ansyah (7) dan Keisya Nailah (1,3)--yang masih kecil. Kini, wajah, bawah telinga, kaki, dan tangan lelaki itu terluka. Bom laknat pada Jumat (17/7) pagi itu membuat keluarga sederhana itu menderita.
Bom JW Marriott dan Ritz Carlon di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, menewaskan sembilan orang dan melukai puluhan lainnya. Para teroris--perencana, pelaku, pemberi dana, dan bahkan mereka yang mengetahui, namun melindungi--tentu menikmati hasil kekejian mereka, seperti drakula yang puas setelah mengisap darah.
Lihat pula ini: Chusnul Chotimah, 42 tahun, korban Bom Bali I Oktober 2002 lalu. Bom laknat itu membakar 60 persen tubuhnya. Kaki kirinya kini lumpuh. Warga Jln Hang Tuah Gang II Nomor 85, Sidoarjo, Jatim, itu menderita trauma dan cacat permanen. Setiap tiga bulan dia harus membayar Rp 900 ribu untuk pengobatan. Chusnul menderita selamanya.
Wahai para teroris, kami berkata kepadamu: Perbuatan biadabmu telah menyebabkan anak-anak kehilangan ayahnya, kehilangan kasih sayang selamanya. Orang-orang tidak berdosa--bahkan di antara mereka mungkin saja saudaramu--bersimbah darah, cacat selamanya, dan lumpuh. Padahal, mereka tidak bersalah apa pun padamu, bahkan tidak pernah menjentikkan jari padamu.
Wahai para teroris, kami berkata padamu: Apakah kamu beragama? Apa pun agamamu membunuh pasti dilarang. Apalagi dalam agama Islam yang memuliakan kasih sayang dan mencintai sesama manusia. Seandainya perang sekalipun, diwajibkan melindungi perempuan, anak-anak, hewan, tumbuhan, dan bahkan mengobati musuhmu yang cedera dan tidak berdaya, seperti Salahuddin Al Ayyubi yang mengobati musuh utamanya, Richard I Lion Heart of England.
Jika kau mengaku beragama Islam, agama damai ini mengajarkanmu bahwa apabila kau membunuh suatu jiwa yang tidak bersalah, itu sama artimya kau telah membunuh manusia seluruhnya. Bahkan, Rasulullah berkata, "Masuk neraka seseorang yang dengan sengaja tidak memberi makan kucingnya hingga kucing itu mati."
Wahai para teroris, kami berkata padamu: Kau tentulah orang-orang dungu dan sakit jiwa. Kau melawan musuhmu dengan cara membunuh orang lain, yang mungkin saudaramu sendiri, yang tidak punya sangkut paut dengan musuhmu. Dan, kau tentu tahu musuh-musuhmu tidak terpengaruh apa pun atas bom yang kau ledakkan. Tidakkah ini pekerjaan orang-orang dungu dan sakit jiwa?
Wahai para teroris, kami berkata padamu: Kau telah menjadikan rakyat bangsa ini menjadi musuhmu, padahal kami tidak pernah menyakitimu. Di mana hatimu, jiwamu, menjadikan rakyat bangsa ini menderita karena kebiadabanmu, nafsu jahatmu, kepengecutanmu. Bagaimana bisa hatimu tenang, tidurmu nyenyak--dan bahkan kau berdoa untuk keselamatan diri dan keluargamu--sementara darah tergenang, kepala dan badannya terlepas karena kebiadabanmu?
Kau teroris, kami berkata padamu: Apabila ibu, anak, istri, dan keluargamu terbunuh, bagaimana perasaanmu? Jika kau manusia dan memiliki hati, pasti kau marah dan bahkan mungkin menjadi gila. Dapatkah kau mengatakan orang-orang yang kau cintai itu tewas sebagai bagian dari perjuangan, sementara mereka tidak ada hubungan apa pun dengan rencanamu. Mereka tidak berdosa, namun tewas berlumur darah.
Kami berkata padamu: Demi ibumu--yang melahirkan, menyusui, berdoa agar kau menjadi anak yang baik dan berbakti--berhentilah membunuh, menyebar teror. Jangan biarkan darah mengalir, seperti darah yang mengalir dari rahim ibumu dengan kesakitan ketika melahirkanmu. Menyerahlah dan bertobatlah. Ibumu yang telah wafat atau masih hidup pasti bangga punya anak yang pandai minta maaf, pandai mengasihi sesamanya, bukan orang-orang bengis dan dungu.
Kami berkata padamu dengan sungguh-sungguh: Berhentilah membunuh. Ketika kau membunuh orang-orang tidak bersalah padamu, sama saja kau membunuh seluruh manusia, termasuk ibumu dan keluargamu. Bagaimana kau bisa mendapatkan surga jika kau dengan sengaja dan sangat biadab membunuh saudara-saudaramu?
Jumat, 24 Juli 2009
Wahai Teroris, Apakah Kamu Beragama?
Terorisme
Oleh: Azyumardi Azra
Bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta pada 17 Juli lalu menyentakkan kesadaran kita bahwa terorisme masih ada di sekitar kita. Selama empat tahun, setelah bom bunuh diri terjadi di Bali pada 2005, negeri kita terhindar dari kenestapaan akibat aksi terorisme pengeboman bunuh diri. Meski dalam kurun waktu itu aparat kepolisian telah membongkar berbagai jaringan kelompok teror di Semarang, Palembang, dan Cilacap belum lama ini, ternyata sel-sel terorisme masih aktif.
Rentetan pengeboman di negeri kita sudah cukup panjang. Bermula, khususnya dengan ledakan bom di depan kediaman Dubes Filipina (1 Agustus 2000); Bursa Saham Jakarta (13 September 2000); serangkaian pengeboman menjelang Hari Natal (Desember 2000); bom Bali I (12 Oktober 2002); ledakan di restoran McDonald, Makassar (5 Desember 2002); bom di depan Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta (5 Agustus 2004); bom di kafe karaoke di Poso (10 Januari 2004); bom di depan Kedutaan Besar Australia (9 September 2004); bom di Pasar Tentena (28 Mei 2005); dan bom bunuh diri Bali II (2 Oktober 2005).
Rentetan pengeboman menunjukkan, modus aksi terorisme mengalami pergeseran dan peningkatan sehingga kian sulit terdeteksi intelijen dan aparat keamanan lainnya. Jika pada beberapa kasus bom bunuh diri pelaku memakai mobil atau datang dari luar lokasi pengeboman dengan menggendong bomnya, kini dalam kasus terakhir di Marriott dan Ritz Carlton dilakukan dari dalam hotel itu sendiri. Jika sebelumnya bom yang sudah siap meledak dirakit di luar, kini justru dibuat di dalam hotel itu sendiri. Ini sebuah modus baru yang belum terantisipasi sekuritas hotel ataupun aparat kepolisian dan bukan tidak mungkin muncul pula modus-modus baru usai Marriot dan Ritz Carlton.
Sementara itu, sel-sel teroris yang 'tersisa' kian mempercanggih modus dan metode terornya, tetapi pengamanan untuk mengantisipasi dan mencegah terorisme hampir tidak berubah sejak pengamanan ketat diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir ini di hotel-hotel, mal-mal, gedung publik, dan tempat strategis lainnya. Pemeriksaan nyaris telah menjadi kerutinan belaka. Kita semua bisa menyaksikan dan mengalami rutinitas pemeriksaan seperti itu sehingga patut dipertanyakan efektivitasnya. Aparat pengamanan pun tidak bisa terlalu berani melakukan pemeriksaan menyeluruh karena ada resistensi dari yang diperiksa.
Karena itu, pemberantasan terorisme memerlukan kerja sama semua pihak, bukan hanya aparat keamanan. Menghadapi terorisme tidak bisa dengan saling mencurigai, apalagi dengan memercayai 'teori konspirasi' bahwa ada pihak tertentu yang merekayasa aksi-aksi teror untuk kepentingan tertentu. Mencurigai pihak tertentu tanpa ada bukti yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan hanyalah berujung pada friksi dan konflik politik dan sosial. Jika ini terjadi, para teroris berhasil mencapai salah satu tujuannya, yaitu konflik di antara berbagai pihak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada tingkat masyarakat akar rumput, peran dalam pencegahan terorisme juga tidak kalah penting. Jika kepemimpinan kelompok teroris sering dikatakan telah tercerai-berai, bisa dipastikan masih terdapat sel-sel yang sangat boleh jadi terus berkecambah. Kecambah tersebut boleh jadi menjadi kian canggih dan radikal. Karena sudah mengetahui cara kerja aparat kepolisian, mereka dapat mengadopsi cara-cara dan modus-modus baru. Dan, sel-sel dan kecambah-kecambah baru kelompok teroris ini juga kelihatannya kian sulit dideteksi. Karena, sangat boleh jadi mereka adalah orang-orang baru yang belum terdapat dalam daftar kepolisian.
Pertumbuhan sel dan kecambah itu tampaknya hanya mungkin terjadi karena adanya orang-orang dalam masyarakat yang tidak mau peduli atau bahkan dalam satu dan lain hal melindungi para teroris tersebut. Bahkan, ada kalangan masyarakat yang mengambil mereka sebagai menantu dan sebagainya. Tidak heran kalau kemudian mereka sangat sulit ditemukan.
Karena itu, sekali lagi, kerja sama seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, aparat keamanan, ormas, dan kepemimpinan sosial sangat mutlak dalam pemberantasan terorisme. Terorisme atas alasan apa pun tidak bisa dibenarkan dan terorisme adalah salah satu bentuk paling telanjang dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Bersama-sama bahu-membahu memberantas terorisme merupakan usaha mulia untuk melindungi kemanusiaan.
Bom dan Isu Terorisme
Oleh Ismatillah A Nu'ad
(Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Jakarta)
Teror bom kembali mengguncang Jakarta Jumat kemarin. Tak tanggung-tanggung, tiga tempat menjadi sasarannya, antara lain, Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton Kuningan serta di wilayah Muara Angke, yang merupakan tempat sentral bagi operasional PLN dan Pertamina. Puluhan korban jiwa pun tak bisa dielakkan lagi, baik warga negara Indonesia maupun ekspatriat yang tengah berada di hotel.
Diduga adanya analisis bahwa itu merupakan tindakan terorisme yang dilakukan oleh pihak tertentu dalam rangka ingin memperkeruh keadaan, baik pascapemilu maupun yang mencoba ingin memunculkan kembali stigma terorisme yang berdalih keagamaan. Meskipun oleh beberapa pihak menyebut kecenderungan kedua lebih kuat, terkait isu-isu bernuansa keagamaan yang dewasa ini mencuat kembali kepermukaan.
Kita mungkin masih ingat, teror serupa pernah terjadi di Kuningan Jakarta pada tahun 2003 dan 2004, yakni di Hotel JW Marriot dan Kedutaan Besar Australia. Peristiwa saat itu menambah deretan kelam teror bom di Indonesia pascaperistiwa bom Bali 1 dan 2 tahun 2002. Terorisme yang dibalut dengan wajah keagamaan-Islam saat itu sangat populer pascaperistiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Para pengamat Barat menyebutnya sebagai kebangkitan gerakan fundamentalis Islam, yang mencoba melakukan perlawanan pada Barat sebagai pihak yang mengecewakan. Apalagi, saat itu AS masih dikendalikan Bush yang tergolong orang yang memiliki overdosis keagamaan dan ambisius melakukan perang.
Mungkinkah teror bom Kuningan dan Muara Angke merupakan kelanjutan gerakan fundamentalis yang belum padam? Mengingat jejak-jejak terorisme di Indonesia masih ada, misalnya yang terakhir, kasus penangkapan di Palembang pada awal medio 2009. Di satu sisi, agenda itu memang belum selesai, seperti ingin melakukan perlawanan setidaknya terhadap sektor-sektor yang diindikasi milik Barat. Meskipun di sisi lain hal itu perlu penelusuran lagi. Jeffrey K Hadden dalam Prophetic Religion and Politic (1986) pernah menanyakan perihal kaum fundamentalis yang tidak menciptakan peradabannya sendiri.
Kaum fundamentalis mengalami kebangkrutan di mata orang Barat karena memusuhinya tanpa dibarengi dengan alasan yang kuat dan kompetisi yang fair . Dan, mereka juga mengalami kebangkrutan di mata Muslim lain yang moderat dan kritis, atau kaum Muslim yang selama ini tak memaknai Barat sebagai musuh, akan tetapi sebagai partner dialog yang saling mengisi satu dengan lainnya. Mayoritas Muslim bahkan tak setuju atau mengecam tindakan-tindakan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme yang dilakukan kaum fundamentalis dalam menghadapi Barat.
Selain tak memiliki pijakan, 'tradisi' yang selama ini dilakukan dalam aktivitas kaum fundamentalis justru tak disukai, bahkan dibenci oleh Muslim sebagai komunitas umat dalam arti universal. Fundamentalisme di dunia Islam justru adalah kelompok minoritas, subaltern , dan merupakan kelompok periferi yang tak secara terang-terangan melakukan aktivitasnya, di dalam komunitas Muslim itu sendiri secara keseluruhan. Islam yang ditarik kaum fundamentalis ke dalam pengertian ekstremisme, radikalisme, terorisme jelas tak memiliki pijakan yang kuat dari sumber-sumber suci ajaran Islam. Mengartikan 'melakukan aksi terorisme terhadap Barat' berarti Jihad, misalnya, jelas suatu kesimpulan yang tak bisa dipertanggungjawabkan karena hal itu justru bertentangan dengan ajaran Islam yang mencintai persahabatan, perdamaian, dan jalan dialog.
Bahkan, secara tegas dikatakan Majid Khadduri, jika mengartikan jihad sebagai perang melawan musuh, itu pun ketika kondisi sudah tak memungkinkan untuk melakukan jalan damai, dalam kondisi terdesak, di mana musuh memang akan memerangi kaum Muslim maka kita wajib membela jiwa kita. Secara ekstensif Khadduri menegaskan, meskipun jihad adalah suatu tindakan kekerasan, akan tetapi dalam Islam, jihad sendiri memiliki aturan-aturan yang harus diperhatikan, seperti tak membunuh musuh yang sudah benar-benar menyerah, tak menganiaya orang cacat, melindungi anak-anak dan kaum perempuan, tak boleh merusak makhluk hidup, seperti pepohonan dan lain-lain. Selanjutnya, menurut Khadduri, jika jihad telah selesai dan perdamaian tercapai, hukum berlaku bagi seluruh kaum Muslim termasuk ketika ia berada di luar wilayah Islam. Demikian pula, kaum non-Muslim harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan dalam wilayah Islam, jika ia sedang berada di wilayah tersebut. Seandainya terjadi perselisihan, Islam mengutamakan jalan damai, dan Islam dapat menempatkan hak-hak kaum non-Muslim itu. (Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam , 1995).
Kaum fundamentalis di situ mengalami kebangkrutan, tak hanya karena aktivitasnya yang ekstrem, radikal, dan aksi-aksi teror yang ternyata tak dimufakati oleh komunitas Muslim secara menyeluruh. Tetapi, kaum fundamentalis yang selama ini mengaktualisasi dalam aktivitas politik yang direpresentasi kelompok politik Islam, juga mengalami kebangkrutan di dunia Islam. Karena ketika mereka sudah memperoleh kursi kekuasaan-politik, yang terjadi adalah konflik kepentingan ( vested interest ), berebut kekuasaan, dan justru mengabaikan pesan-pesan substansial Islam yang mengajarkan keadilan dan kemaslahatan. Kelompok politik Islam terlena dengan glamouritas politik dan ingar bingar kekuasaan yang empuk, sementara janji-janji yang semula ditawarkan terlupakan begitu saja ketika sudah bergumul dengan arus politik.
Selain itu, ada juga suatu kecenderungan ketika kelompok politik Islam sudah mendapat simpati massa Muslim, lalu berkuasa dalam panggung politik-kekuasaan karena mendapat suara mayoritas, yang terjadi adalah suatu ketimpangan dan ambiguitas perihal siapakah yang sesungguhnya yang memegang kekuasaan itu? Di situ, kelompok politik Islam memegang otoritas keduniawian atas nama Tuhan. Segala tindakan politik dinisbatkan atas nama Tuhan. Sehingga, terjadi wilayah abu-abu mana sebetulnya kepentingan manusia dan mana yang sesungguhnya dikehendaki Tuhan dalam pesan-pesan suci-Nya. Sebab, kerapkali terjadi praktik-praktik otoritarianisme dalam negara-negara Islam dengan mengatasnamakan kedaulatan Tuhan.
Khaled Abou al-Fadl dalam bukunya And God Knows the Soldiers (2001) mengkritik model-model berkuasa, seperti kelompok politik Islam yang selalu menggunakan dalih-dalih kedaulatan Tuhan, padahal demi kepentingan politik. Menurut Prof Khaled, kesewenang-wenangan (otoritarianisme) yang mewujud dengan mengangkangi teks-teks suci Islam adalah bagian dari kecenderungan puritan dan despotik, yang sudah mewabah di era Islam modern. Inilah sebentuk model kepahlawanan agama yang justru mengancam dan menyapu-bersih kekayaan dan keragaman khazanah warisan peradaban Islam. Dengan mengklaim 'bala tentara Tuhan', kaum fundamentalis yang menggawangi kekuatan politik Islam itu tak segan-segan memberangus pemikiran kritis dan mengosongkan Islam dari ajaran-ajaran moral.
Saatnya Islam yang diwakili oleh komunitas umat yang justru menjadi mayoritas, baik mereka yang moderat, yang kritis yang selama ini memperjuangkan demokrasi, HAM dan civil society , dan Muslim tradisional, mempromosikan secara global bahwa Islam adalah suatu ajaran yang rahmatan lil alamin , cinta damai dan persahabatan, cinta keadilan dan kemaslahatan. Dan, sebaliknya menegaskan bahwa praktik-praktik kekerasan dalam ekstremisme, radikalisme, terorisme, dan fundamentalisme bukanlah mewakili Islam itu sendiri, melainkan mewakili kelompok politiknya masing-masing.
Perilaku Keberagaman di Indonesia
Oleh M Ridwan Lubis
(Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)
Paling tidak ada dua prestasi yang akan diperoleh manusia manakala mereka memiliki etos keberagamaan. Pertama, agama melahirkan etos kerja yang dinamis, kreatif, dan inovatif. Berbeda halnya dengan pandangan pesimisme tentang keberagamaan. Beragama menjadikan diri mereka meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta adalah milik Allah, dan sepenuhnya dianugerahkan kepada manusia untuk mengelolanya, agar menjadikan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Perilaku malas dan menjadi manusia yang menggantungkan nasibnya pada orang lain adalah bukan bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ketentuan tentang nasib dan takdir Allah diyakini adalah merupakan ilmu Allah, yang tidak bisa diukur oleh manusia. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk pasrah saja karena telah ada takdir.
Takdir Allah tidak akan diketahui oleh manusia sebelum ketentuan Allah itu telah terjadi. Pemahaman tentang takdir yang demikianlah yang telah menjadi faktor utama umat Islam pada masa kejayaan Islam, telah berhasil membangun kehidupan yang disebut dengan peradaban Islam. Umat yang memiliki etos kerja yang demikian pada masa lalu meyakini dengan jelas bahwa berkarya untuk kepentingan umat manusia adalah ibadah. Dalam kaitan itulah, umat Islam pada masa lalu menghasilkan berbagai hasil penemuan ilmiah yang sampai sekarang masih terus dikenang oleh dunia sains, sebagaimana dengan laporan suplemen surat kabar Republika yang diberi judul Islamic Digest . Oleh karena itu, tidak benar pandangan kaum orientalis yang memiliki pandangan skeptis terhadap Islam dengan mengatakan, kepercayaan terhadap Islam menjadi sumber kemunduran umat Islam karena sejarah telah membuktikan ketika umat Islam berpegang kepada ajarannya, mereka berhasil menorehkan peradaban yang belum ada taranya sampai sekarang.
Kedua, keberagamaan yang benar akan mendorong umat Islam membangun semangat ukhuwah islamiyah di kalangan internal Muslim, solidaritas ukhuwah wathoniah di kalangan saudara sebangsa, dan solidaritas ukhuwah basyariyah dalam pergaulan antarbangsa di dunia. Solidaritas persaudaraan sesama Muslim menjadi begitu penting, disebabkan Islam telah terfragmentasi ke dalam berbagai mazhab, baik dalam ilmu kalam, fikih, dan tasawuf. Dan, untuk kasus Indonesia sekalipun umat Islam rata-rata beraliran Sunni, akan tetapi memiliki komunitas yang berbeda, seperti pengelompokan yang dilakukan kalangan sosiolog, yaitu muslim tradisional dan modernis, dan sebutan yang lebih khusus di Sumatra, yaitu kaum tua dan kaum muda.
Titik temu di dalam Islam sangat banyak, akibat dari adanya kesepakatan tentang garis-garis pokok yang bersifat absolut dan universal, yang menjadi acuan keislaman. Kerangka acuan pokok yang telah menjadi kesepakatan umat Islam, antara lain rukun iman, rukun Islam, kesatuan kiblat, Alquran Al Karim, Hadis Shahih, halal dan haram, persaudaraan sesama Muslim. Fragmentasi Islam ke dalam berbagai aliran, bahkan organisasi tentunya tidak bisa dihalangi. Oleh karena itu, bagian dari kebebasan manusia mengekspresikan hasil pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya terhadap ajaran Islam.
Fakta teoretis menunjukkan bahwa prestasi peradaban itu dihasilkan umat Islam, bukan tidak melalui perjuangan. Masyarakat arab sebelumnya adalah masyarakat yang miskin peradaban, bahkan mereka tidak mengenal sistem pemerintahan kecuali kepemimpinan yang dikendalikan oleh kepala-kepala suku. Rasulullah yang memperkenalkan kepada mereka sistem pemerintahan, yang merupakan cikal bakal bentuk negara konfederasi. Eksistensi kepala kabilah tetap dipelihara, namun Rasulullah membentuk sistem kepemimpinan puncak yang mengatasi seluruh kepala kabilah. Itulah embrio negara kebangsaan modern yang diperkenalkan Nabi Muhammad ribuan tahun yang lalu.
Berubahnya Semenanjung Arabia menjadi pusaran dari masyarakat kosmopolitan sebagai konsekuensi Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam, tiba-tiba mereka dihadapkan kepada tantangan besar untuk melebarkan sayap Islam keluar dari Semenanjung Arabia. Tantangan ini dapat mereka selesaikan dengan dilandasi oleh keteguhan sikap, untuk menyiarkan Islam. Dari sudut pandangan sederhana kecil, kemungkinan Islam dapat menyebar ketiga benua yang dikenal waktu itu: Asia, Afrika, dan sebagian Eropa dalam rentang waktu yang belum mencapai satu abad. Tentulah ada faktor lain, kenapa Islam dapat tersebar dalam waktu yang amat singkat dibandingkan agama alain yang sudah ratusan, bahkan ribuan tahun tidak terlalu jauh bergerak dari negeri asal usulnya.
Pertama, penyiaran Islam tidak didasari oleh motivasi yang berwawasan keduniaan untuk mencari materi, akan tetapi oleh karena tekad mencari keridhaan Allah. Hal ini tentunya merupakan bukti kebenaran janji Allah bahwa ''Hai orang-orang yang beriman jikalau kamu menolong (agama) Allah, pastilah Allah akan menolong kamu dan menetapkan pendirian kamu.'' (QS Muhammad [47]). Posisi Mekkah sebagai titik sumbu yang menghubungkan arus perdagangan komoditas antara timur dan barat, menjadi keunggulan dalam membantu kemudahan membangun komunikasi tentang datangnya agama baru.
Kedatangan Islam dengan ide-ide baru, membentuk opini tentang kedatangan agama baru sebagai kekuatan pembebas yang dirindukan manusia. Sebab, terlalu manusia menderita perilaku eksploitatif yang dilakukan para penguasa feodal, yang mengatasnamakan agama. Kedua, agama baru, yaitu Islam tidak sebagaimana agama-agama sebelumnya yang kehilangan elemen vitalnya, akibat ditundukkan kepada kepentingan manusia. Islam datang dengan membawa pesan sosial, yaitu kekuatan pembebasan yang memerdekakan manusia dari perbuatan eksploitatif, dengan mengatasnamakan agama.
Padahal, semestinya ajaran agama adalah berperan menolong manusia dari berbagai perilaku sosial yang eksploitatif itu. Sikap eksploitatif itu, antara lain, ditunjukkan kalangan pemuka agama yang menjadikan agama sebagai alat untuk merampas hak dan kemerdekaan orang lain ( religio feodalism ). Atas dasar itu, Islam datang dengan membawa wajah baru agama yang membebaskan manusia dari perilaku perbudakan, diskriminasi manusia karena perbedaan jenis kelamin, ras, maupun kelas-kelas sosial lainnya. Akibatnya, manusia di seputar Semenanjung Arabia berlomba-loma menerima agama baru, yang membebaskan mereka dari cengkeraman kelaliman penguasa Persia dan Romawi.
Ketiga, Islam tidak hanya datang dengan modal ajaran dalam bentuk pengayaan kerohanian ( spritual enrichment ), tetapi kehadirannya membawa model baru agama, yaitu mengintegrasikan antara nilai agama dan kehidupan demikian juga mengakomodasi berbagai perilaku dan tradisi sosial, sebagai bagian dari sarana penyiaran Islam. Tentunya masyarakat yang dihargai tradisinya atas nama Islam, dengan sendirinya akan menimbulkan sikap yang responsif terhadap agama baru.
Agama yang baru bukan saja menawarkan ajaran yang sama sekali baru dibanding dengan agama-agama sebelumnya, melainkan yang lebih penting lagi bahwa agama yang datang belakang tidak dipahami sebagai pendatang, namun dipahami masyarakat sebagai milik mereka yang hilang, sebagaimana dinyatakan Rasul dalam sebuah hadisnya, ilmu itu adalah barang hilang dari orang beriman. Oleh karena itu, sama sekali mereka tidak mengalami ketegangan psikologis dengan menerima agama yang baru.
Keempat, Islam datang tidak hanya membawa pesan-pesan moral, tetapi juga konsep nyata tentang rekonstruksi kehidupan yang ideal dan mensinergikan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Coba bandingkan dengan ajaran sebelumnya bahwa kehidupan duniawi dipahami sebagai perilaku kotor, yang harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan manusia. Pandangan yang memisahkan antara dunia akhirat, di samping terdapat kesulitan juga bertentangan dengan kenyataan bahwa manusia masih berada di alam dunia. Islam datang dengan memperkenalkan konsep baru bahwa dunia adalah jembatan menuju ke alam akhirat, yang kemudian ditegaskan oleh Alquran: ''Dan carilah pada apa yang telah dinugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.'' (QS Al Qasas [28]: 77).
Kelima, seorang Muslim dalam melakukan penyiaran Islam memulai dengan pendekatan Alquran, yaitu membangun kesadaran pada manusia tentang arah kehidupan yang benar dengan jalan membangun dialog, untuk memacu potensi rasionalitas manusia dalam menerima sebuah kebenaran. Karena, kekuatan sebuah ajaran terletak pada penggunaan potensi akal dengan sempurna. Sehingga, ajaran yang datang diendapkan oleh akal dan diterima sebagai fakta kebenaran. Kebenaran yang dibangun di atas rasionalitas, memiliki kekuatan internal yang sukar untuk berubah, sekalipun ada ancaman dan kesulitan fisik yang dihadapi. Hal ini tergambar pada kesungguhan mereka pada masa kejayaan Islam, kesungguhan mereka untuk mencari kebenaran sebuah informasi sekalipun berjalan selama berbulan-bulan. Karena, seorang Muslim tentulah menyadari bahwa di balik sebuah kesulitan, Allah telah menjanjikan akan datangnya kemudahan yang tidak terkira-kira (QS Al Syarh [94]:5-6). Dengan melalui pendekatan yang dialogis itu, diimbangi dengan pola penyampaian ajaran secara berangsur-angsur ( al tadrij fi al dakwah ), memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengendapkan ingatan terhadap ajaran yang disampaikan.
Terakhir, tentunya cepatnya penyebaran Islam sampai ke Nusantara, yang menjadi faktor dominan adalah kemampuan para mubalig, menjadikan diri mereka sebagai masyarakat model yang Islami dalam mengimplementasikan nilai-nilai keislaman. Sehingga, masyarakat melihat bahwa apa yang mereka sampaikan sudah terlebih dahulu mereka laksanakan, dalam kehidupan pribadi maupun keluarganya. Sekarang ini, perkembangan Islam mengalami perlambatan, bahkan umat Islam seakan memilih posisi defensif terhadap isu-isu global maupun berbagai kesalahpahaman orang lain terhadap Islam.
Hal ini tidak terlepas dari kekurangberhasilan perilaku sebagian umat yang menyatakan diri sebagai Muslim, namun belum terpancar keluhuran nilai-nilai Islam kepribadiannya. Dari yang semula umat Islam sebagai produsen ilmu pengetahuan, berubah menjadi konsumen sains. Sikap proaktif terhadap perubahan kemudian menjadi reaktif terhadap hal-hal yang baru. Hal ini semua berpangkal dari adanya semacam kegamangan umat Islam menangkap Islam pada pemikiran yang rasional-substantif. Sehingga, terkadang rekan sendiri justru yang dijadikan sebagai saingan karena perbedaan simbol. Hal ini hendaknya menjadi bahan renungan bagi umat Islam, kebetulan sekarang bertepatan dengan suasana peringatan Isra dan Mi'raj Rasulullah SAW dan sekaligus menjelang bulan Ramadhan.
Minggu, 19 Juli 2009
Perilaku Keberagaman di Indonesia
Oleh M Ridwan Lubis
(Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)
Paling tidak ada dua prestasi yang akan diperoleh manusia manakala mereka memiliki etos keberagamaan. Pertama, agama melahirkan etos kerja yang dinamis, kreatif, dan inovatif. Berbeda halnya dengan pandangan pesimisme tentang keberagamaan. Beragama menjadikan diri mereka meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta adalah milik Allah, dan sepenuhnya dianugerahkan kepada manusia untuk mengelolanya, agar menjadikan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Perilaku malas dan menjadi manusia yang menggantungkan nasibnya pada orang lain adalah bukan bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ketentuan tentang nasib dan takdir Allah diyakini adalah merupakan ilmu Allah, yang tidak bisa diukur oleh manusia. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk pasrah saja karena telah ada takdir.
Takdir Allah tidak akan diketahui oleh manusia sebelum ketentuan Allah itu telah terjadi. Pemahaman tentang takdir yang demikianlah yang telah menjadi faktor utama umat Islam pada masa kejayaan Islam, telah berhasil membangun kehidupan yang disebut dengan peradaban Islam. Umat yang memiliki etos kerja yang demikian pada masa lalu meyakini dengan jelas bahwa berkarya untuk kepentingan umat manusia adalah ibadah. Dalam kaitan itulah, umat Islam pada masa lalu menghasilkan berbagai hasil penemuan ilmiah yang sampai sekarang masih terus dikenang oleh dunia sains, sebagaimana dengan laporan suplemen surat kabar Republika yang diberi judul Islamic Digest . Oleh karena itu, tidak benar pandangan kaum orientalis yang memiliki pandangan skeptis terhadap Islam dengan mengatakan, kepercayaan terhadap Islam menjadi sumber kemunduran umat Islam karena sejarah telah membuktikan ketika umat Islam berpegang kepada ajarannya, mereka berhasil menorehkan peradaban yang belum ada taranya sampai sekarang.
Kedua, keberagamaan yang benar akan mendorong umat Islam membangun semangat ukhuwah islamiyah di kalangan internal Muslim, solidaritas ukhuwah wathoniah di kalangan saudara sebangsa, dan solidaritas ukhuwah basyariyah dalam pergaulan antarbangsa di dunia. Solidaritas persaudaraan sesama Muslim menjadi begitu penting, disebabkan Islam telah terfragmentasi ke dalam berbagai mazhab, baik dalam ilmu kalam, fikih, dan tasawuf. Dan, untuk kasus Indonesia sekalipun umat Islam rata-rata beraliran Sunni, akan tetapi memiliki komunitas yang berbeda, seperti pengelompokan yang dilakukan kalangan sosiolog, yaitu muslim tradisional dan modernis, dan sebutan yang lebih khusus di Sumatra, yaitu kaum tua dan kaum muda.
Titik temu di dalam Islam sangat banyak, akibat dari adanya kesepakatan tentang garis-garis pokok yang bersifat absolut dan universal, yang menjadi acuan keislaman. Kerangka acuan pokok yang telah menjadi kesepakatan umat Islam, antara lain rukun iman, rukun Islam, kesatuan kiblat, Alquran Al Karim, Hadis Shahih, halal dan haram, persaudaraan sesama Muslim. Fragmentasi Islam ke dalam berbagai aliran, bahkan organisasi tentunya tidak bisa dihalangi. Oleh karena itu, bagian dari kebebasan manusia mengekspresikan hasil pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya terhadap ajaran Islam.
Fakta teoretis menunjukkan bahwa prestasi peradaban itu dihasilkan umat Islam, bukan tidak melalui perjuangan. Masyarakat arab sebelumnya adalah masyarakat yang miskin peradaban, bahkan mereka tidak mengenal sistem pemerintahan kecuali kepemimpinan yang dikendalikan oleh kepala-kepala suku. Rasulullah yang memperkenalkan kepada mereka sistem pemerintahan, yang merupakan cikal bakal bentuk negara konfederasi. Eksistensi kepala kabilah tetap dipelihara, namun Rasulullah membentuk sistem kepemimpinan puncak yang mengatasi seluruh kepala kabilah. Itulah embrio negara kebangsaan modern yang diperkenalkan Nabi Muhammad ribuan tahun yang lalu.
Berubahnya Semenanjung Arabia menjadi pusaran dari masyarakat kosmopolitan sebagai konsekuensi Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam, tiba-tiba mereka dihadapkan kepada tantangan besar untuk melebarkan sayap Islam keluar dari Semenanjung Arabia. Tantangan ini dapat mereka selesaikan dengan dilandasi oleh keteguhan sikap, untuk menyiarkan Islam. Dari sudut pandangan sederhana kecil, kemungkinan Islam dapat menyebar ketiga benua yang dikenal waktu itu: Asia, Afrika, dan sebagian Eropa dalam rentang waktu yang belum mencapai satu abad. Tentulah ada faktor lain, kenapa Islam dapat tersebar dalam waktu yang amat singkat dibandingkan agama alain yang sudah ratusan, bahkan ribuan tahun tidak terlalu jauh bergerak dari negeri asal usulnya.
Pertama, penyiaran Islam tidak didasari oleh motivasi yang berwawasan keduniaan untuk mencari materi, akan tetapi oleh karena tekad mencari keridhaan Allah. Hal ini tentunya merupakan bukti kebenaran janji Allah bahwa ''Hai orang-orang yang beriman jikalau kamu menolong (agama) Allah, pastilah Allah akan menolong kamu dan menetapkan pendirian kamu.'' (QS Muhammad [47]). Posisi Mekkah sebagai titik sumbu yang menghubungkan arus perdagangan komoditas antara timur dan barat, menjadi keunggulan dalam membantu kemudahan membangun komunikasi tentang datangnya agama baru.
Kedatangan Islam dengan ide-ide baru, membentuk opini tentang kedatangan agama baru sebagai kekuatan pembebas yang dirindukan manusia. Sebab, terlalu manusia menderita perilaku eksploitatif yang dilakukan para penguasa feodal, yang mengatasnamakan agama. Kedua, agama baru, yaitu Islam tidak sebagaimana agama-agama sebelumnya yang kehilangan elemen vitalnya, akibat ditundukkan kepada kepentingan manusia. Islam datang dengan membawa pesan sosial, yaitu kekuatan pembebasan yang memerdekakan manusia dari perbuatan eksploitatif, dengan mengatasnamakan agama.
Padahal, semestinya ajaran agama adalah berperan menolong manusia dari berbagai perilaku sosial yang eksploitatif itu. Sikap eksploitatif itu, antara lain, ditunjukkan kalangan pemuka agama yang menjadikan agama sebagai alat untuk merampas hak dan kemerdekaan orang lain ( religio feodalism ). Atas dasar itu, Islam datang dengan membawa wajah baru agama yang membebaskan manusia dari perilaku perbudakan, diskriminasi manusia karena perbedaan jenis kelamin, ras, maupun kelas-kelas sosial lainnya. Akibatnya, manusia di seputar Semenanjung Arabia berlomba-loma menerima agama baru, yang membebaskan mereka dari cengkeraman kelaliman penguasa Persia dan Romawi.
Ketiga, Islam tidak hanya datang dengan modal ajaran dalam bentuk pengayaan kerohanian ( spritual enrichment ), tetapi kehadirannya membawa model baru agama, yaitu mengintegrasikan antara nilai agama dan kehidupan demikian juga mengakomodasi berbagai perilaku dan tradisi sosial, sebagai bagian dari sarana penyiaran Islam. Tentunya masyarakat yang dihargai tradisinya atas nama Islam, dengan sendirinya akan menimbulkan sikap yang responsif terhadap agama baru.
Agama yang baru bukan saja menawarkan ajaran yang sama sekali baru dibanding dengan agama-agama sebelumnya, melainkan yang lebih penting lagi bahwa agama yang datang belakang tidak dipahami sebagai pendatang, namun dipahami masyarakat sebagai milik mereka yang hilang, sebagaimana dinyatakan Rasul dalam sebuah hadisnya, ilmu itu adalah barang hilang dari orang beriman. Oleh karena itu, sama sekali mereka tidak mengalami ketegangan psikologis dengan menerima agama yang baru.
Keempat, Islam datang tidak hanya membawa pesan-pesan moral, tetapi juga konsep nyata tentang rekonstruksi kehidupan yang ideal dan mensinergikan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Coba bandingkan dengan ajaran sebelumnya bahwa kehidupan duniawi dipahami sebagai perilaku kotor, yang harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan manusia. Pandangan yang memisahkan antara dunia akhirat, di samping terdapat kesulitan juga bertentangan dengan kenyataan bahwa manusia masih berada di alam dunia. Islam datang dengan memperkenalkan konsep baru bahwa dunia adalah jembatan menuju ke alam akhirat, yang kemudian ditegaskan oleh Alquran: ''Dan carilah pada apa yang telah dinugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.'' (QS Al Qasas [28]: 77).
Kelima, seorang Muslim dalam melakukan penyiaran Islam memulai dengan pendekatan Alquran, yaitu membangun kesadaran pada manusia tentang arah kehidupan yang benar dengan jalan membangun dialog, untuk memacu potensi rasionalitas manusia dalam menerima sebuah kebenaran. Karena, kekuatan sebuah ajaran terletak pada penggunaan potensi akal dengan sempurna. Sehingga, ajaran yang datang diendapkan oleh akal dan diterima sebagai fakta kebenaran. Kebenaran yang dibangun di atas rasionalitas, memiliki kekuatan internal yang sukar untuk berubah, sekalipun ada ancaman dan kesulitan fisik yang dihadapi. Hal ini tergambar pada kesungguhan mereka pada masa kejayaan Islam, kesungguhan mereka untuk mencari kebenaran sebuah informasi sekalipun berjalan selama berbulan-bulan. Karena, seorang Muslim tentulah menyadari bahwa di balik sebuah kesulitan, Allah telah menjanjikan akan datangnya kemudahan yang tidak terkira-kira (QS Al Syarh [94]:5-6). Dengan melalui pendekatan yang dialogis itu, diimbangi dengan pola penyampaian ajaran secara berangsur-angsur ( al tadrij fi al dakwah ), memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengendapkan ingatan terhadap ajaran yang disampaikan.
Terakhir, tentunya cepatnya penyebaran Islam sampai ke Nusantara, yang menjadi faktor dominan adalah kemampuan para mubalig, menjadikan diri mereka sebagai masyarakat model yang Islami dalam mengimplementasikan nilai-nilai keislaman. Sehingga, masyarakat melihat bahwa apa yang mereka sampaikan sudah terlebih dahulu mereka laksanakan, dalam kehidupan pribadi maupun keluarganya. Sekarang ini, perkembangan Islam mengalami perlambatan, bahkan umat Islam seakan memilih posisi defensif terhadap isu-isu global maupun berbagai kesalahpahaman orang lain terhadap Islam.
Hal ini tidak terlepas dari kekurangberhasilan perilaku sebagian umat yang menyatakan diri sebagai Muslim, namun belum terpancar keluhuran nilai-nilai Islam kepribadiannya. Dari yang semula umat Islam sebagai produsen ilmu pengetahuan, berubah menjadi konsumen sains. Sikap proaktif terhadap perubahan kemudian menjadi reaktif terhadap hal-hal yang baru. Hal ini semua berpangkal dari adanya semacam kegamangan umat Islam menangkap Islam pada pemikiran yang rasional-substantif. Sehingga, terkadang rekan sendiri justru yang dijadikan sebagai saingan karena perbedaan simbol. Hal ini hendaknya menjadi bahan renungan bagi umat Islam, kebetulan sekarang bertepatan dengan suasana peringatan Isra dan Mi'raj Rasulullah SAW dan sekaligus menjelang bulan Ramadhan.