- Oleh Abdul Mu’ti
Sesuai konstitusi, negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara. Kewajiban negara wajib melindungi perempuan dan anak-anak dari pelaku kawin sirri. Tujuan syariah adalah untuk melindungi umat manusia dan menyelamatkan masyarakat dari kehancuran. Demi kemaslahatan umat dan masyarakat, biarlah perkawinan sirri menjadi sejarah feodalisme masa lalu.
DISKURSUS kawin sirri mulai mendapat perhatian publik secara serius setelah pernikahan kontroversial Syeh Puji dengan gadis 12 tahun terjadi. Miliarder asal Kabupaten Semarang itu kemungkinan besar akan masuk bui karena melanggar undang-undang perkawinan dan perlindungan anak.
Jika pengadilan Syeh Puji bertujuan untuk penegakan hukum, tindakan pemerintah sungguh sangat terlambat dan terkesan politis. Praktik kawin sirri sudah terjadi berpuluh tahun, bahkan sudah menjadi tradisi. Sekian lama pemerintah membiarkan praktik perkawinan yang tidak tercatat secara resmi ini. Mayoritas masyarakat juga memaklumi karena berpendapat bahwa perkawinan sirri sesuai dengan ”agama”.
Berbagai pihak baru tersadar, ketika kawin sirri mulai menjadi pandemi. Demoralisasi membuat perkawinan sirri menjadi penyebab beraneka patologi sosial. Bangunan keluarga roboh karena perceraian. Di antara penyebab perceraian yang tertinggi adalah kawin sirri. Menurut Departeman Agama, 200 ribu (10 persen) dari dua juta pernikahan setiap tahun bercerai karena perkawinan sirri (Depag, 2009). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam keluarga kawin sirri juga tinggi.
Selama Januari-Februari 2009, LBH APIK Jakarta menerima 130 kasus KDRT di Jabodetabek. Sebanyak 51 persen (49 persen isteri dan 3 persen suami) menggugat cerai pasangan mereka. Sejumlah 46,8 persen yang mengajukan perceraian adalah pasangan yang melakukan perkawinan sirri (LBH APIK, 2009). Masalah lain yang mengemuka adalah perampasan hak-hak sosial anak dan ibu yang melahirkan seperti kasus artis Machicha Mochtar.
Neofeodalisme
Secara historis-antropologis, akar tradisi kawin sirri dapat ditarik dari tradisi tradisi poligami yang berkembang dalam masyarakat feodalistik. Fisolofi budaya feodal menempatkan supremasi laki-laki sebagai warga kelas satu dan subordinasi perempuan sebagai warga kelas dua. Perempuan diciptakan ”untuk” laki-laki. Posisi perempuan tidak lebih dari sekadar objek (maf'ul bih) atau pelengkap penyerta (maf'ul ma'ah).
Nilai perempuan sama halnya dengan harta benda. Kemakmuran dan prestasi identik dengan kekayaan harta, jumlah isteri dan tingginya jabatan. Dalam kultur feodalisme aristokratik yang berbasis kerajaan, seorang raja atau sultan ”wajib” poligami. Selain seorang permaisuri, raja atau sultan memiliki selir sebagai ”ageman” yang tidak terbatas jumlahnya.
Meskipun praktik dan motivasinya berbeda, tradisi poligami juga terdapat dalam kultur feodalisme religius. Seorang pemimpin agama (ustadz, kiai, ajengan, dan sebagainya) lazim memiliki banyak istri. Bagi kelompok ini, poligami dimaksudkan untuk mengikuti ”sunnah” Nabi Muhammad dan strategi dakwah. Perkawinan tidak tercatat karena sistem administrasi dan birokrasi negara belum berjalan dengan baik.
Perkawinan sirri pada masa kini merupakan bentuk neofeodalisme. Feodalisme ini memadukan kultur feodalisme aristokratik, religius dan free-sex dalam liberalisme humanistik. Masyarakat liberal memandang perkawinan sebagai kontrak sosial semata. Mereka mengabaikan lembaga perkawinan.
Yang terpenting dalam hubungan laki-laki dan perempuan adalah suka sama suka. Tidak ada lagi dimensi transendental. Relasi seksual bergeser dari fungsi reproduksi dan regenerasi yang sakral, tereduksi sebatas rekreasi atau hiburan (enjoyment). Berganti-ganti pasangan bukanlah hal yang asing.
Dalam praktik kawin sirri, agama sering hanya dijadikan sebagai kedok atau legalisasi formal. Dalam Marriage Counselling, Dadang Hawari menilai praktik kawin sirri sekarang ini tidak lebih dari upaya sengaja untuk melegalisasi perselingkuhan dan poligami. Di Jakarta, Bogor dan kota-kota lain, ditemukan hotel-hotel yang melakukan komersialisasi dan komodifikasi kawin sirri. Oleh para lelaki hidung belang yang diperbudak nafsu, kawin sirri adalah bentuk baru dari ”prostitusi religius”. Beberapa pelakukanya adalah orang kaya baru (OKB) dan ulama su' (tidak beradab).
Dikotomi
Selain alasan kultural, kawin sirri terjadi karena faktor politik. Pertama, dikotomi antara hukum negara dengan hukum agama. Sebagian muslim memisahkan secara tegas hukum agama dengan negara. Kelompok ini menolak sistem negara Pancasila. Mereka hanya ”loyal” kepada agama dan mengabaikan, bahkan menolak hukum negara dan segala perangkatnya.
Ideologi ini, secara tidak langsung, mendapatkan pembenaran dari sistem perundangan yang dualistik, misalnya dengan dibentuknya peradilan agama. Di satu sisi, peradilan agama merupakan akomodasi negara terhadap umat Islam yang memungkinkan mereka menyelesaikan masalah perdata sesuai dengan syariah.
Pada sisi yang lain, adanya lembaga peradilan agama yang khusus bagi umat Islam menunjukkan ada perbedaan antara hukum positif negara dengan syariah. Jika tidak diklarifikasi dengan arif, pandangan dikotomis ini bisa menimbulkan problem konstitusi dan politik yang serius pada masa depan.
Kedua, pemahaman undang-undang perkawinan (UUP) No. 1/1974 yang tidak komprehensif. Pasal 2 UUP No. 1/1974 menyebutkan perkawinan dinyatakan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan agama masing-masing mempelai. Berdasarkan pasal ini, banyak pasangan yang menikah secara ”agama”.
Mereka cukup menikah di depan ulama, kiai, ustadz dan sebagainya dan tidak mencatatkan di kantor urusan agama (KUA). Dalam khazanah fikihh klasik, tidak ada satu pun ulama mazab yang memasukkan pencatatan sebagai syarat dan rukun perkawinan. Mazab ahlussunnah yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia menyebutkan lima syarat perkawinan: (1) ada mempelai, (2) wali --khususnya mempelai wanita, (3) saksi, (4) mahar, dan (5) ijab kabul.
Sesuai dengan pemahaman fikih tersebut, perkawinan sesuai dan sah menurut agama apabila kelima hal tersebut terpenuhi. Atas alasan ini, banyak pasangan ”kumpul kebo” yang mengaku sudah menikah secara ”agama”. Kekeliruan pemahaman UUP No. 1/1974 ini ikut bertanggung jawab atas pertentangan antara hukum agama versus hukum pemerintah.
Solusi
Sebagai respons atas fenomena kawin sirri yang meresahkan, Departemen Agama sedang menyiapkan RUU Materiil Peradilan Agama bidang perkawinan. RUU ini memuat pasal-pasal penting yang belum diatur dalam UUP No.
1/1974. Dalam RUU ini tidak disebutkan istilah kawin sirri, tetapi perkawinan yang ''tidak tercatat''. Mempelai, wali, saksi dan pihak mana pun yang terlibat dalam perkawinan yang tidak tercatat akan dikenai sanksi hukum. Secara konseptual, solusi konstitusional yang ditawarkan Departemen Agama sangat rasional. Masalah --klasik-- dalam sistem hukum di Indonesia bukan semata-mata terletak pada materi, melainkan penegakannya.
Solusi konstitusional yang mengharuskan pencatatan perkawinan akan semakin kuat apabila dikaitkan dengan solusi religius. Perlu reinterpretasi konsep fikih klasik, khususnya tentang perkawinan. Tidak dimasukkan pencatatan sebagai syarat atau rukun perkawinan karena pada masa klasik belum ada lembaga birokrasi yang memadai. Masyarakat yang masih tinggi tingkat kujujurannya dan mobilitas yang terbatas membuat lembaga pencatat pernikahan tidak diperlukan.
Ajaran Islam tentang perkawinan, secara implisit, menghendaki keharusan pencatatan. Pertama, Alquran menegaskan agar setiap transaksi utang-piutang dalam jangka waktu tak terbatas dicatat dengan sebaiknya-baiknya. Analog dengan ini, perkawinan yang merupakan akad (transaksi) juga harus dicatat pula. Kedua, keharusan adanya saksi dalam pernikahan mengandung makna bahwa pernikahan tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ketiga, tuntunan tentang walimatu al-ursy yang diselenggarakan setelah perkawinan mengandung pesan agar perkawinan tercatat dengan baik (well-recorded) dalam memori kolektif masyarakat. Berdasarkan interpretasi ini, perkawinan yang tidak tercatat tidak sah menurut agama.
Sesuai konstitusi, negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara. Negara wajib melindungi perempuan dan anak-anak dari pelaku kawin sirri. Tujuan syariah adalah untuk melindungi umat manusia dan menyelamatkan masyarakat dari kehancuran. Demi kemaslahatan umat dan masyarakat, biarlah perkawinan sirri menjadi sejarah feodalisme masa lalu. (35)
–– Dr Abdul Mu’ti MPd, Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Jakarta