Sabtu, 9 Januari 2010 | 02:46 WIB
Keagamaan
Sebagai dimensi ritual personal, ibadah haji telah melahirkan pengalaman rohani yang luar biasa bagi seorang Muslim. Namun, dimensi sosiologis-politis haji juga begitu kuat dan telah melahirkan transformasi intelektual yang menimbulkan spirit baru di kalangan komunitas Muslim. Bahkan, haji menjadi motor penggerak perubahan sikap dan perilaku, yang dalam catatan sejarah mampu menjadi motor pergerakan sosial.
Haji merupakan forum pertemuan umat Islam sedunia. Berbagai bangsa menyatu dalam lautan tawaf mengelilingi Kabah, beriringan dalam rombongan sai antara Safa dan Marwah, melebur dalam wukuf di Arafah, hingga bergandengan bersama dalam melawan ”kejahatan” di Jamarat Mina. Pertemuan umat Islam sedunia itu, dengan membawa kultur dan pengetahuan masing-masing, telah memberikan warna baru dalam pergaulan sesama Muslim. Bukan hanya dalam pemahaman kebudayaan yang multiras, tetapi juga ideologi secara politis.
Perjalanan haji telah melahirkan ikatan solidaritas yang lekat di dunia Islam dan kebangsaan, yang menggairahkan spirit keagungan Islam yang rahmatan lil alamin. Kekuatan haji secara ideologis-politis sangat kental saat perjalanan haji mulai diminati pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Haji menjadi semacam media baru perlawanan terhadap kolonialisme Barat (Eropa) yang menganeksasi negara-negara di Asia dan Afrika. Bahkan, perlawanan berlatar agama (Islam) yang dipimpin para haji bisa dikatakan menjadi prolog yang mendahului pergerakan nasional (kebangsaan).
Dalam kisah-kisah klasik sejarah pergerakan rakyat di Indonesia, peran kaum haji atau kaum putih menjadi pemompa semangat perlawanan dalam menentang kolonialisme sangatlah jelas. Kaum elite agama, khususnya para haji, telah melahirkan etos perlawanan dengan semangat kebangkitan agama (revivalisme). Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebutnya sebagai gerakan religio-politik. Pola perlawanan itu juga tumbuh subur dalam bingkai gerakan tarekat yang memperkuat radikalisasi agama.
Salah satu kisah yang sangat fenomenal adalah peran dominan haji sebagai penggerak dalam perlawanan sosial di Banten (1888), selain gerakan-gerakan sosial lainnya semisal peristiwa Cikande, Banten (1845), gerakan Haji Rifangi/Rifai di Jawa Tengah, atau skala lebih kecil perlawanan Haji Entong Gendut di Condet, Jakarta (1916), hingga merintis pergerakan nasional pada awal abad ke-20.
Perang Diponegoro (1825-1830) juga tak lepas dari peran Kiai Maja yang menjadi pemimpin spiritual penyuntik semangat perang agama. Bahkan tak perlu dipertanyakan lagi soal peran ulama dalam Perang Aceh (1873-1904) dalam mengobarkan perjuangan di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Perang Aceh merupakan perang tersulit yang ditumpas penguasa kolonial.
Saking takutnya penguasa kolonial hingga muncul ketakutan terhadap para haji (haji fobia). Bahkan, bukan hanya gerakan mereka yang ditakuti, simbol-simbol haji juga menjadi momok bagi penguasa kolonial. Misalnya saja, pascaperlawanan petani di Banten, Residen Banten meminta pemerintah kolonial agar memerhatikan pakaian haji. Memang, pengenaan pakaian haji sebagai simbol mereka yang telah pergi ke Mekkah menunaikan rukun Islam kelima makin tersebar luas di Banten. Kebiasaan pemakaian simbol itu dinilai potensi berbahaya karena mereka yang berpakaian haji sangat dihormati di kalangan masyarakat.
Bagi Muslim, Mekkah merupakan pusat kosmis. Bukan hanya menjadi titik sentral beribadah dan kiblat bersujud, tetapi juga menjadi pusat ilmu pengetahuan. Haji telah mengukuhkan sistem komunikasi yang luas di dunia Islam. Tidak hanya tukar informasi dari belahan Islam di dunia lainnya, tetapi juga pertemuan gagasan-gagasan baru. Isu-isu pan-Islamisme menjadi sesuatu yang terbuka diterima kaum haji dari Indonesia. Kebangkitan pan-Islamisme semakin menguat ketika Barat terus melakukan penaklukan terhadap bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Pengalaman sosiologis haji memungkinkan terjadinya pertukaran informasi, budaya, kultur, ilmu pengetahuan sesama Muslim dan seluruh penjuru dunia. Bahkan, di Mekkah, justru jemaah haji Indonesia bisa bertemu dan berkomunikasi di antara penduduk Nusantara seperti dari Jawa, Padang, Palembang, Banten, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara. Saat itulah para haji bisa mengetahui apa yang terjadi di wilayah lain di Nusantara. Snouck Hurgronje, penasihat masalah pribumi pemerintah kolonial Belanda yang pernah bermukim di Mekkah (1884-1885), menceritakan, para haji dari seluruh Nusantara kala itu justru membicarakan perlawanan rakyat Aceh.
Tak mengherankan, bila Snouck Hurgronje menyatakan, Mekkah merupakan tempat persemaian fanatisme keagamaan. Bagi sosok penting dalam penaklukan Islam di Indonesia itu, para haji ditanamkan rasa permusuhan terhadap penguasa kolonial di Tanah Air mereka. Bagi Belanda, hal itu amat membahayakan terlebih lagi jumlah haji Indonesia kian meningkat setiap tahun.
Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, jumlah jemaah Indonesia sekitar 20 persen dari total jemaah. Pada 1915-1919, Belanda melarang perjalanan haji setelah Sultan Turki memproklamasikan seruan jihad. Namun, setelah diperbolehkan kembali pada 1920, jumlahnya meningkat hingga 40 persen. Orang Indonesia di Mekkah juga terbanyak di kalangan orang asing. Mereka dikenal sebagai ”orang Jawah”, sekaligus untuk menyebut orang Asia Tenggara. Sejak 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Mekkah setelah bahasa Arab. Di Mekkah, jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928, bahasa Melayu menjadi perekat di antara orang Nusantara.
Tak mengherankan, mereka yang pulang berhaji dipastikan diawasi penguasa kolonial. Langkahnya selalu dikuntit, bahkan sampai di desa-desa. Bahkan dalam perjalanan di kapal laut hingga aktivitas di Tanah Suci pun dimonitor. Penguasa kolonial berdalih, pengawasan itu untuk melindungi haji dari tindakan kriminal seperti penipuan hingga penyakit.
Meskipun karantina yang dibangun di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta, yang disebutkan sebagai pengawasan kesehatan menyusul wabah kolera di Mekkah, hal tersebut tak bisa menyembunyikan maksud-maksud politis di balik kebijakan karantina itu. Sistem karantina justru memudahkan pengawasan terhadap para haji.
Meskipun demikian, perjalanan rohani yang sudah pasti mampu mengalahkan keinginan duniawi ini tak membuat orang-orang Islam surut untuk pergi haji. Peringatan dari pemerintah kolonial, intaian petugas intelijen, lama dan beratnya kondisi perjalanan, atau mahalnya ongkos naik haji tak melemahkan semangat untuk berangkat ke Tanah Suci. Tidak heran, setiap tahun justru keberangkatan orang yang hendak berhaji semakin bertambah. Apalagi saat haji akbar (saat wukuf pada hari Jumat), jumlah mereka lebih banyak lagi.
Ratusan tahun silam spirit haji telah memberikan corak dan warna bagi perjalanan bangsa. Spirit haji seperti itu tampaknya sangat dibutuhkan saat ini ketika bangsa kita terus terpuruk dalam karut-marut persoalan yang nyaris tak terselesaikan, saat korupsi terus merajalela, saat tuding-menuding menjadi pemandangan lumrah, dan saat moral dan etika diabaikan.
Bangsa ini semestinya bisa memetik spirit haji untuk membangun terus silaturahim, memupuk kebersamaan dan kesetaraan, menggalang solidaritas, bukan justru saling cerca dan nyaman dalam kemunafikan. Perubahan sikap itu sangatlah krusial bila kita ingin bangsa ini maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar