Tuhan tidak tidur. Bahkan, Dia tidak akan tidur. Dengan kemahakuasaan-Nya, Dia-lah yang mengatur dunia dan segala isinya, serta perputaran sistem tata kehidupan manusia. Karena ketidaktidurannya itulah Sang Khalik mengetahui pasti dan sangat detail apa saja yang telah dan akan terjadi.
Ini bukanlah cuplikan renungan puasa bulan Ramadhan. Bukan pula khotbah Idul Fitri. Ini hanya terinspirasi dari sebuah judul berita di harian ini tempo hari, ”JK: Gusti Allah ’Ora Sare’”.
Pernyataan ora sare (bahasa Jawa) Wakil Presiden itu menyentak. Selama ini, Jusuf Kalla (JK) tak pernah terdengar mengutip ungkapan Bugis walaupun ia seorang Bugis. Padahal, orang Bugis juga memiliki banyak ungkapan perumpamaan bernilai tinggi, sebagaimana bahasa Jawa, Melayu, Sunda, Batak, dan bahasa lainnya.
Ketika JK mengungkapkan sesuatu dengan bahasa ”orang lain”, bukan berarti JK sudah kehilangan jati dirinya sebagai orang Bugis, ”manusia sabrang” istilah Syafii Maarif bagi JK. Jangan pula salah! Seberapa pun kadarnya, ”kejawaan” setidaknya ada juga dalam kehidupan JK. Dua menantunya orang Jawa. Istrinya adalah orang Minang. Tidak heran jika banyak orang mencap JK sebagai nasionalis tulen.
Boleh jadi, ora sare-nya JK bermakna lain, untuk menegaskan apa yang ada di benaknya, yang tidak bisa tergambarkan dan dipahami kebanyakan orang jika diungkapkan dengan bahasa lain, seperti bahasa Indonesia, apalagi bahasa Bugis.
Biarlah JK sendiri yang merasakan makna ungkapan Jawa itu dari lubuk hatinya yang paling dalam. Pembaca pun tak dilarang menafsirkan lebih jauh, lebih luas, dan lebih dalam makna di balik pernyataan JK tersebut. Apakah itu sekadar lucu-lucuan menjelang buka puasa, gurauan di antara pidato resmi, letupan kekecewaan, atau kekesalan.
Kalau pembaca tak keberatan, saya hanya coba menangkap yang dirasakan maupun yang disimpan rapat dalam hati JK sehingga lahir ucapan itu.
Pertama-tama, ungkapan itu diucapkan di hadapan tim sukses dan pendukungnya yang telah bekerja keras siang dan malam. Mereka memang sering tidak tidur, ora sare, untuk memenangkan pasangan JK-Wiranto dalam pemilu presiden dan wakil presiden pada 8 Juli 2009.
Seperti ungkapannya, dan saya saksikan sendiri karena beberapa kali bertemu di rumah jabatan selama masa kampanye pilpres, JK pun kadang memang seperti ora sare, tidak tidur. Sampai larut malam, bahkan dini hari, JK belum tidur dan terus menerima kedatangan tamu yang mengalirkan pernyataan kelompoknya mendukung penuh.
Kadang hingga dini hari, JK belum juga istirahat karena masih harus rapat, menyusun strategi, dan menghitung kekurangan dan kekuatan secara cermat. Padahal, pagi buta ia dan timnya masih harus berangkat lagi ke penjuru Nusantara yang dicita- citakannya senantiasa menyatu dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak tercabik-cabik konflik akibat ketidakadilan. Harmonis dalam taraf kesejahteraan rakyatnya. Berdiri sama tegak dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini.
Betapa lelah JK memperjuangkan misinya yang mulia dan terhormat itu. Bukan ambisi kekuasaannya, apalagi keserakahannya mengejar takhta dan harta. ”Eeh kalian harus tahu. Saya, walaupun tidak duduk di sini, di mana pun saya kelak, kalau bisa berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara ini, itu sudah sangat membahagiakan saya,” kata JK dalam suatu perbincangan di ruang kerjanya.
Ia sudah cukup kaya raya untuk hidup tenang pada masa tua. Selama 40 tahun lebih jadi pengusaha, sudah cukuplah uangnya untuk membiayai kegiatan apa saja yang hendak dilakukannya. ”Kita jalan-jalan saja, tanpa protokol, tanpa ajudan, dan pengawal serta pengamanan,” katanya kepada saya dalam suatu percakapan tengah malam di rumah jabatan ketika perhitungan perolehan suara JK dan rivalnya makin timpang. ”Baik, Pak. Nanti saya jadi ajudan Bapak,” kata saya, dan dia tertawa lebar.
Kubu JK-Wiranto bukan tak berduka. Mereka kalah telak. Sangat jauh melenceng dari kalkulasi semula. Tetapi JK tak larut dalam kesedihan berkepanjangan. Seorang putrinya menyatakan, ”Kami semua bersedih. Tetapi kami malu sama Bapak (JK) karena dia tidak pernah bersedih, selalu menampakkan ketegarannya menghadapi kenyataan ini.”
”Kita semua sudah bekerja keras. Allah yang Mahatahu. Allah yang mengatur dan menentukan semua ini,” kata JK.
JK memang ora sare. Tidurnya yang banyak justru ketika dalam penerbangan. Gusti Allah juga ora sare. Dia bersama JK, setiap saat, dalam penerbangan dan cuaca yang sangat buruk dan menakutkan sekalipun. Hasil kerja keras JK tidak sesuai harapannya. Dia terima semua itu sebagai takdir. Dia telah berjuang dan berupaya keras untuk menjemput takdirnya.
Sejauh yang teramati secara cermat, baru dalam pemilu kali ini terjadi semua ormas Islam bersatu padu mendukung satu orang, yakni JK. Namun, seperti dikatakan banyak orang, seolah ada pula tangan jahat turut campur sehingga hasilnya sangat mencengangkan. Ada yang mengatakan, perolehan suara JK-Wiranto tidak masuk akal. Ada pengkhianatan dan kecurangan.
Namun, biarlah, Gusti Allah pasti ora sare.
Kita berharap, dengan segala pengalaman bisnisnya, memimpin Golkar dan menjadi wakil presiden yang dinamis, penuh terobosan, nyaris tak tidur untuk bekerja keras dan tulus, tetap ora sare mengoreksi hal-hal yang salah, curang, dan berbagai ketidakadilan lainnya di negeri ini.